Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 dan P3 dan SPS dalam
Pada P3 yang tertera di Bab IV tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antargolongan pada pasal 8 yang berisi tentang lembaga
penyiaran dalam memproduksi dan atau menyiarkan sebuah program siaran yang berisi tentang keunikan suatu budaya dan atau kehidupan sosial masyarakat tertentu
wajib mempertimbangkan kemungkinan munculnya ketidaknyamanan khalayak atas program siaran tersebut. Untuk itu, pada program sinetron religi tukang bubur naik
haji lebih menceritakan masyarakat betawi yang seolah-olah banyak yang memiliki sifat tidak terpuji pada pemeran antagonis yang ada di dalam sinetron tersebut.
Seperti pada kasus yang ada pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji, dapat dilihat bahwa penetapan sanksi yang akan dilakukan oleh KPI kepada pihak tim
Tukang Bubur Naik Haji tidak adanya ketegasan yang dilakukan oleh KPI. Keputusan
ini dikeluarkan sebagai hasil pertemuan antara KPI-RCTI untuk mendengarkan klarifikasi serta hak jawab dari RCTI . KPI terlihat tidak konsisten, karena tidak
menjatuhkan teguran yang berarti untuk sinetron ini, tetapi hanya melakukan klarifikasi saja. Tetapi sudah mulai ada perubahan yang terjadi pada sinetron Tukang
Bubur Naik Haji ini, peran antagonis yang berperan menjadi Pak Haji Muhidin ini
kini sudah bertaubat dan sudah menjadi baik. Tetapi pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh Pak Haji Muhidin saja tetapi dilakukan oleh pemeran antagonis yang
lain, seperti yang sudah terlihat di paparan analisis sinetron Tukang Bubur Naik Haji tersebut. Tetapi dalam mengambil sanksi dan teguran yang seharusnya diambil
berdasarkan UU Penyiaran dan P3 dan SPS. Dalam hal ini terlihat bahwa keputusan KPI dalam hal pemberian sanksi dapat berubah akibat pertemuan-pertemuan dengan
pihak stasiun televisi. Hal ini memperlihatkan bahwa keputusan pemberian sanksi oleh KPI terkesan dapat dinegosiasikan.
“Sekarang lebih ke Sinetron Tukang Bubur Naik Haji, kalo soal TBNH, KPI belum pernah pernah menegur Sinetron TBNH, belum pernah memanggil,
memanggil iya untuk klarifikasi tetapi menegur belum pernah, kenapa? Karena gini kita lihat data aduan dari Januari sampai Agustus 2013 aduan tentang
sinetron TBNH ada 142 aduan itu masuk lewat SMS, lewat E-mail, lewat Twitter, terus lewat tatap muka, telepon, surat, ada 142 aduan, apa yang
diadukan. Pada saat itu KPI melakukan klarifikasi dan audiency, stasiun televisi, mereka PH nya dipanggil PH nya itu merangkap di TV, dan pengadu itu kita
datangkan kita audiency dan pada saat itu juga kan tokoh H.Muhidinnya berubah gitu kan, nah itu bisa saja, tapi begini kalau kita bicara alur KPI engga
bisa serta merta masuk begitu saja kita turun tangan di alur cerita atau tema, karena kenapa? Itu kreatifitas ada Undang-Undang yang menjamin itu, apa yang
dilakukan, ada kesalahan fatal TBNH ini belum pernah kami menemukan dari pemantauan yang melanggar P3SPS.
”
13
KPI juga tidak memiliki prosedur yang baku pada pelaksanaan fungsi pengawasan isi siaran. KPI tidak memiliki standar operation procedur SOP yang
jelas dan konkret. Pengawasan isi siaran yang dilakukan melalui pemantauan langsung reguler seperti yang terlihat pada hasil penelitian juga memperlihatkan
proses pengawasan KPI yang tidak lancar. Contohnya: tersendatnya distribusi rekaman tayangan bagi Analis dan Tim Panelis dari bagian monitoring atau sering
terjadinya kerusakan rekaman yang diterima Analis dan Tim Panelis. Selain itu, KPI tidak selalu menindaklanjuti hasil rekomendasi Tim Panelis atau teguran yang
dikenakan atas aduan masyarakat. Dalam kasus sinetron Tukang Bubur Naik Haji, stasiun televisi terlihat memiliki
daya pengaruh yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan lembaga regulasi penyiaran di Indonesia. Padahal seharusnya lembaga regulasi bersifat independen dan
13
Wawancara pribadi dengan Irvan Senjaya, Koordinator Pemantauan Langsung, 17 September 2013
bebas dari intervensi lembaga atau kelompok manapun, baik pemerintah atau industri. Adanya tarik ulur antara RCTI dengan KPI dalam hal pengambilan keputusan
jatuhnya sanksi, menunjukkan masih lemahnya fungsi dan wewenang lembaga tersebut sebagai pengawas regulasi sekaligus tidak tegas atau konsistennya lembaga
ini dalam hal pengambilan keputusan. Peneliti melihat pentingnya hal ini untuk diperhatikan oleh KPI, mengingat pada
SPS pasal 77 disebutkan hendaknya KPI untuk melakukan penilaian kembali atas SPS, “Standar Program Siaran secara berkala dinilai kembali oleh KPI sesuai dengan
perubahan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan norma-norma yang berlaku, serta pandangan dari masyarakat.”
Pada akhir penelitian ini, peneliti dapat melihat fungsi lembaga regulator yang berjalan di KPI sebagai regulatory body media penyiaran di Indonesia. Sesuai dengan
pemaparan pada Bab 2 tentang fungsi lembaga penyiaran, peneliti pada akhirnya melihat fungsi mana yang lebih dominan dijalankan KPI. Dua fungsi yang terlihat
dominan dilaksanakan oleh KPI adalah peran sebagai complain commission komisi komplain serta fungsi kontrol dan pemberi sanksi mulai dari denda hingga
pencabutan izin. Hal ini sebenarnya cukup memperlihatkan betapa posisi KPI belum cukup optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diamantkan
dalam UU Penyiaran. Fungsi yang paling terlihat berjalan hanyalah sebagai wadah aduan masyarakat
atau complain commission. KPI selalu menerima dan terlihat berusaha untuk menindaklanjuti aduan-aduan tersebut. Sayangnya, seperti yang terjadi pada kasus
sinetron Tukang Bubur Naik Haji, KPI tidak menjalankan penindaklanjutan aduan
masyarakat dengan baik. Teguran yang disampaikan KPI tidak memiliki pengaruh signifikan pada perubahan program tersebut. Tetapi hanya cukup terlihat perubahan
peran pada peran Pak Haji Muhiin yang terlihat semakin baik atau bertaubat, ini disebabkan pemanggilan Tim sinetron Tukang Bubur Naik Haji dan pihak RCTI.
Sehingga pada akhirnya perubahan trjadi pada peran antagonis tersebut. Walaupun masih ada beberapa peran antagonis yang seringkali mengeluarkan kata-kata kasar
dan makian tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelum adanya klarifikasi antara pihak RCTI dan pihak KPI.
Fungsi KPI lainnya yang cukup dominan dilaksanan adalah fungsi untuk mengontrol dan memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang melanggar mulai dari
bentuk denda sampai pencabutan izin. KPI secara reguler melakukan pengawasan isi siaran terhadap tayangan televisi, dan melakukan teguran serta memberikan sanksi
pada program yang melanggar dan bermasalah. Namun, sayangnya walaupun fungsi ini merupakan fungsi yang juga paling dikenal dan terlihat dari KPI, fungsi ini belum
dijalankan KPI dengan optimal. Paparan analisis ini juga pada akhirnya dapat menunjukkan posisi KPI
seharusnya berada di tengah hubungan segitiga antara media-pemerintah-publik, justru terlihat tidak berjalan. KPI terlihat tidak bisa menjalani peran mediasi, yang
secara tidak langsung hadir dalam fungsinya sebagai lembaga pengawas. KPI seharusnya dapat menjadi wakil masyarakat, mengawasi industri penyiaran dan isi
siaran, dan bekerja sama dengan pemerintah. Tetapi kasus penelitian ini menunjukkan KPI tidak memegang teguh posisi tersebut, karena media tampak memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi hubungan tersebut. Fungsi KPI kurang berjalan sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, jembatan mediasi tidak berhasil karena kepentingan masyarakat untuk mendapat tontonan yang layak tidak dicapai.
Hasil penelitian ini, pada akhirnya menegaskan pentingnya regulasi di bidang penyiaran, dan pentingnya lembaga regulasi penyiaran. Selain itu, pihak stasiun
televisi seharusnya bisa lebih waspada terhadap kemungkinan pelanggaran dan sensor sebaiknya tidak hanya dari pihak produksi, tapi juga semua yang berada dalam acara
tersebut, baik sutradara, penulis, maupun aktris atau aktor tersebut. Pada Bab X pasal 14 berisi lembaga penyiaran wajib memberikan
perlindungan dan pemberdayaan anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. Pada program sinetron
tukang bubur naik haji yang ditayangkan pada pukul 19.30 WIB yang di tayangkan pada jam prime time yang di takutkan banyak anak-anak yang masih menyaksikan
program acara ini. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran pada pasal XIII tentang program siaran
bermuatan kekerasan pada pasal 17 lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.
Adegan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan peniruan terhadap penonton. Untuk itu, pengaturan media penyiaran perlu diatur karena efeknya yang
begitu besar terhadap khalayak. Efek media penyiaran meliputi dua hal. Pertama, efek dikotomi, yaitu efek kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural. Kedua, efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari individual, interpersonal, dan sistem
dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural. Efek kognitif mempengaruhi
pengetahuan, pemahaman, dan persepsi masyarakat menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan. Efek afaektif mempengaruhi perasaan, seperti
perasaan senang dan benci yang menyangkut emosi, sikap, dan nilai. Efek behavioural mempengaruhi perilaku, seperti pola tindakan dan kebiasaan.
14