Proses Pengawasan Isi Siaran Sebagai Wujud Fungsi KPI
kelompok masyarakat dalam mengelola lembaga-lembaga penyiaran. Sementara pemerintah sendiri hanya secara administratif mengetahui, namun tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan pencabutan izin, sebagaimana dulu terjadi pada jaman soeharto.
18
Namun, seperti yang diungkapkan Agus Sudibyo dalam jurnal prisma, implementasi UU Penyiaran tidak berjalan mulus. Transisi menuju ruang publik
penyiaran bercorak kepublikan yang independen justru berbalik pada reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi yang mengontrol media penyiaran. Pada Juli 2004,
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Uji Material judicial review terhadap UU Penyiaran. Dari 22 pasal yang diujimaterrialkan hanya 2 pasal yang
dikabulkan MK. Salah satunya menyangkut fundamental bagi reformasi penyiaran di Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945, sehingga KPI, sebagai lembaga regulator
penyiaran, justru tidak dapat turut PP Penyiaran.
19
Keputusan MK tersebut menutup peluang bagi KPI untuk terlibat dalam perumusan PP, apalagi sebenarnya PP Penyiaran lebih operasional sebagai regulasi
penyiaran dibandingkan UU Penyiaran. Sementara pemerintah pada akhirnya justru menggunakan PP Penyiaran sebagai langkah untuk mengambil alih otoritas KPI
dibidang penyiaran.
20
Melalui PP Penyiaran tentang Penyiaran No. 49, 50, 51, dan 52, pemerintah membuat aturan yang mengarahkan semua perizinan kepada Depkominfo
dan mendelegitimasikan KPI sebagai lembaga regulator.
18
Wirodono, sunardian, Matikan TV-Mu Teror Media Televisi di IndonesiaYogyakarata: Resist Book 2006 hal110
19
Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media PenyiaranYogyakarta: LkiS, Jakarta:ISAI 2004, hal 59
20
Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media Penyiaran, hal 60
Terlepas dari penolakan DPR dan masyarakat pada PP Penyiaran tersebut, pemerintah seakan tidak mempertimbangkan keberatan mereka, justru berpihak pada
pengusaha dan industri medi. Paket PP Penyiaran ini justru pada akhirnya memperlihatkan market-based powers dibandingkan dengan public-based powers.
Negara justru seakan menjamin kontinuitas ekspansi bisnis para pengusaha penyiaran. UU Penyiaran yang dimaksudkan untuk menertibkan penyimpangan seperti praktik
jual beli frekuensi, perizinan koruptif, monopoli kepemilikan media, serta produksi siaran yang berorientasi pada iklan dan rating, dan sebagainya
21
Terkait dengan produksi siaran, KPI hadir sebagai lembaga yang fungsinya dijamin oleh UU Penyiaran pasal 8 1 sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi serta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Wewenang dan tugas serta kewajibannya juga terkait dengan pengawasan terhadap produksi isi siaran. Hal ini
juga diatur dalam UU Penyiaran pasal 8 2 dan 3 diantaranya: 2Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, KPI
mempunyai wewenang: a. Menetapkan standar program siaran;
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran; d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siar;
21
Wirodono, sunardian, Matikan TV-Mu Teror Media Televisi di Indonesia, hal 59-62
e. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
2 KPI mempunyai tugas dan kewajiban:
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan
industri terkait; d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti, aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
f. Menyusun perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Fungsi KPI jelas mendukung tugas dan wewenang dan kewajibannya dalam melakukan pengawasan isi siaran terhadap program dan tayangan televisi. Adanya uji
material MK tahun 2004 dan paket PP Penyiaran sebenarnya tidak begitu saja menafikan posisi KPI sebagai pengawas isi siaran. Pasal 8 ini juga didukung dengan
beberapa pasal lainnya yang masih bisa mendukung kinerja KPI. Memang cukup disayangkan KPI tidak lagi bisa terlibat dalam pembuatan PP dan hal ini mengurangi
kekuatannya dalam menegakkan pengawasan isi siaran. Namun, ketika semua aturan dan fungsi tersebut dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya, KPI masih bisa
memberikan implikasi yang kuat pada ranah penyiaran Indonesia. Pada akhirnya memberikan kontribusi media penyiaran yang kondusif bagi masyarakat.
Terkait dengan penelitian ini, posisi KPI yang tidak bisa lagi terlibat dalam pembuatan PP Penyiaran karena JR MK 2004, memang sedikit terjepit. Di satu sisi
media penyiaran swasta memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah dengan adanya tarik ulur kepentingan, dan di sisi lain KPI kesulitan untuk bertindak tegas
tanpa adanya dukungan PP yang operasional dari pemerintah. Pada penelitian ini, RCTI sebagai stasiun televisi tampaknya tidak menjalankan niat perubahan dengan
sepenuhnya, hal ini terlihat dari isi content yang tetap menampilkan peran antagonis dengan kata-kata kasar dan makian yang masih digunakan dalam adegan tersebut dan
sinetron religi ini masih tidak mencerminkan keIslaman didalamnya. RCTI sebagi lembaga penyiaran tidak mau kehilangan kue iklan dan rating yang mau tidak mau
atas nama industri dianggap sebagai nafas dan dewa stasiun televisi. Peran antagonis yang dimainkan didalam nya dianggap sebagai kekuatan besar untuk menarik
penonton agar dapat menyaksikan tayangan tersebut. Walaupun demikian penggolongan yang digunakan pada tayangan sinetron religi tersebut menggunakan
penggolongan R-BO nampaknya tidak mengindahkan isi cerita yang ada didalamnya. Pasalnya pada tayangan tersebut remaja tidak seharusnya menonton tayangan
tersebut. Banyak kata-kata kasar yang nantinya dapat berimbas pada kelakuan sehari- hari remaja tersebut dan dapat di aplikasikan pada kehidupan dalam bergaul.
Dalam acara Dialog Publ ik di KPI 288 dengan tajuk “Optimalisasi Tayangan
Religi dan Perlindungan Anak bagi Masyarakat: Berkacadari Program Ramadhan 1433H di TV” Menteri Agama Suryadharma Ali berharap para pimpinan media
televisi membatasi program dan acara keagamaan yang didominasi unsur lawakan, canda, dan jenaka yang dapat menghilangkan esensi nilai keagamaan.
“Di masa-masa terakhir ini saya merasa ada sesuatu yang hilang, dimana peran ulama yang berceramah di TV yang masa lalu cukup menonjol, kini peran
mereka digantikan dengan para artis dan pelawak yang nampaknya kurang cocok untuk bulan yang istimewa itu.”
22
Media juga diimbau agar turut andil menambah program dan acara yang bernilai edukatif dan informatif bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang
religius dan berbudaya, dalam kutipannya Suryadharma Ali menegaskan “Kita bermimpi TV-TV Indonesia berperan besar membentuk keimanan dan
keshalehan masyarakat. tidak sekedar memenuhi selera pasar, apalagi di masa kini agama sudah bergeser dan makin jauh dari seharusnya”.
23
Sementara KPI seperti tidak bisa berlaku tegas karena semuanya hanya bisa dilakukan secara administratif dan sementara. Klarifikasi yang diberikan kepada
sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji ini semuanya hanya bersifat sementara dan efek jera yang menjadi tujuan sanksi KPI pun tidak tercapai.
Proses pengawasan KPI terhadap sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji tampaknya bukan hanya dilemahkan oleh wujud regulasi, tetapi juga pelaksana dari
fungsi lembaga regulator itu sendiri. KPI tidak memaksimalkan fungsinya yang masih didukung oleh UU Penyiaran dan wewenangnya atas P3 dan SPS. Penggunaan P3 dan
SPS yang kurang aplikatif juga menjadi faktor tersendiri, peneliti melihat hal ini sebagai wujud tidak berjalannya fungsi KPI yang tepat dan sesuai dengan UU
Penyiaran No. 322002. Yang disertai dengan pelaksanaan wewenang, tugas, dan
22
Newsletter KPI, “Potret Ramadhan di Layar Kaca”: Edisi Juli-Agustus 2012, Hal 4
23
Newsletter KPI, “Potret Ramadhan di Layar Kaca”: Edisi Juli-Agustus 2012, Hal 4
kewajiban yang seharusnya dapat berjalan jika kembali melihat pada jalur UU Penyiaran.
Fungsi pendidikan pada media penyiaran hendaknya lebih ditingkatkan baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya, sesuai fungsi penyiaran sebagaimana
tertuang pada pasal 4 UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dan tayangan sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji hendaknya lebih ditujukan untuk
meningkatkan spritual masyarakat ketimbang hanya hiburan semata. Disamping belum terlalu berjalannya fungsi KPI secara maksimal dalam
pengawasannya, tetapi sudah ada perubahan pda peran antagonis Pak Haji Muhidin terhadap sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji, KPI juga memiliki prestasi dalam
pengawasan isi siaran terhadap tayangan televisi lainnya. Hingga agustus 2013, kurang lebih sudah ada 100 tayangan yang mendapat teguran dari KPI. Pada tahun
2009 KPI bahkan berhasil menghentikan tayangan yang dinilai melanggar UU Penyiaran dan P3 dan SPS, seperti Curhat Anjas di TPI yang sekarangg menjadi
MNC TV, video klip Shakira, dan yang terakhir program Makin Malam Makin Mantap
di ANTV. Selain itu, KPI juga menindak tegas sinetron Hareem di Indosiar yang akhirnya berubah konten dan isi ceritanya dengan judul Inayah. Di luar kualitas
sinetron tersebut, dalam hal ini KPI terbukti sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya berdasarkan UU Penyiaran dan
P3 dan SPS.
100