BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bekerja merupakan suatu aktivitas yang penting dalam kehidupan setiap individu. Jika dalam khazanah pendidikan Islam dikenal adanya jargon wajib
belajar seumur hidup, maka sejajar dengan itu sebenarnya diperlukan pula jargon ’wajib bekerja’. Sebab, Islam memberikan ruang yang demikian luas dan
menganggap penting semua kerja yang produktif. Hal ini dapat dilihat dari ayat dalam Al-Qur’an:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang
Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” QS. At-Taubah: 105
Al-Qur’an menyebutkan perintah kerja dengan frekuensi yang sedemikian banyak. Islam menghapus semua perbedaan kelas antar umat manusia dan
menganggap kerja sebagai parameter peringatan kualitas seseorang konsekuensi dari takwa sebagai proses kerja Tim Multitama Communications, 2006.
Berdasarkan hal tersebut, sudah sepantasnya setiap individu berusaha untuk melakukan suatu usaha demi terlaksananya aktivitas bekerja yang berguna
bagi kehidupan. Dengan bekerja, seseorang dapat menentukan posisi dan statusnya dalam kehidupan.
Namun pada kenyataannya tingginya angka pengangguran merupakan fenomena empiris yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2004 lebih dari 40 juta
orang Indonesia tidak memiliki pekerjaan Wijaya,2008. Sementara pengangguran terus melanda negara Indonesia, beberapa perusahaan semakin
selektif menerima karyawan baru bersamaan dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Akibat dari hal tersebut, banyak pengangguran yang bermunculan.
Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 10.011.142 juta orang. Dari jumlah tersebut, 20 diantaranya adalah lulusan perguruan tinggi
www.suarasurabaya.net . Selain itu menurut Tony Wijaya 2008, jumlah ini
diprediksi akan semakin meningkat apabila tidak segera disediakan lapangan pekerjaan baru.
Tabel 1.1 Jumlah Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat
Pendidikan 2004 2005
Nop 2006
Agust 2007
Agust 2008
Agust 1
Tidak sekolah 1.004.296
937.985 781.920 532.820 528.195
2 Sekolah Dasar 2.275.281 2.729.915 2.589.699 2.179.792 2.179.792
3 Sekolah Menengah
Pertama 2.690.912 3.151.231 2.730.045 2.264.198 2.166.619
4 Sekolah Menengah
Atas 3.695.504 5.106.915 4.156.708 4.070.553 3.369.959
5 DiplomaAkademi
237.251 308.522 278.074 397.191 519.867 6
Universitas 348.107 395.538 395.554 566.588
626.202 Total
10.251.351 12.630.106
10.932.000 10.011.142 10.011.142
Sumber: BPS 2008 dalam Tony Wijaya, 2008
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS tahun 2008 di atas, jumlah
pengangguran di tingkat universitas dari tahun 2004 hingga 2008 semakin meningkat. Di tahun 2008 pengangguran di universitas menunjukan angka
626.202 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini pengangguran tidak hanya berstatus lulusan sekolah dasar SD sampai dengan sekolah menengah atas
SMA saja, melainkan salah satunya berasal dari kelompok ”educated people” atau kaum terdidik yang biasa disebut dengan sarjana atau lulusan dari perguruan
tinggi. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah tidak ada jaminan seorang
sarjana mudah memperoleh pekerjaan Teddy Oswari, 2005. Menurut Sukamdani S. Gitosardjono, untuk mengatasi keterbatasan lapangan pekerjaan, diharapkan
lulusan dari perguruan tinggi juga mampu membuka usaha sendiri dalam H. Moko P. Astamoen, 2005
Sedangkan hasil informasi dari Badan Pusat Statistik BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapatnya penurunan angka pengangguran
www.bps.go.id . Fakta tersebut menunjukkan kenyataan yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tetap saja fenomena pengangguran selalu tidak dapat dihapuskan Sehingga, Teddy Oswari 2005
menegaskan bahwa solusi untuk mengatasi pengangguran khususnya dikalangan educated people adalah dengan memunculkan intensi berwirausaha pada diri
mahasiswa. Dengan mengetahui intensi seseorang untuk berwirausaha, maka secara umum dapat diprediksi kemungkinan orang tersebut untuk memulai suatu
usaha atau berwirausaha di masa depan Krueger, Reilly Casrud, 2000. Menurut Bird, Katz dan Gartner Jean Pierre Boissin, 2009 intensi merupakan
kunci dari sebuah perilaku berwirausaha. Selanjutnya, berwirausaha adalah perilaku yang terencana, oleh karena itu sangat tepat bila dijelaskan melalui
intensinya. Krueger, Reilly dan Casrud Jean Pierre Boissin, 2009 mencoba model
teori Ajzen yaitu variabel sikap, norma subjektif dan persepsi terhadap perilaku yang dikontrol pada sembilan puluh tujuh alumni sekolah bisnis di United States
dan hasilnya adalah signifikan terhadap prediksi intensi. Sedangkan Kennedy et al Jean Pierre Boissin, 2009 menunjukkan bahwa pada sampelnya yang berjumlah
seribu tujuh puluh lima orang mahasiswa Austria, hampir 53 sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku menggambarkan variasi intensi
niat dalam menciptakan suatu bisnis baru, dengan sikap yang cenderung ditunjukkan hampir sama dengan faktor-faktor intensi berwirausaha.
Munculnya intensi berwirausaha pada diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti karakteristik demografis, karankteristik lingkungan dan juga
karakteristik kepribadian dari orang tersebut Indarti dan Rostiani, 2008. Dalam hal ini, salah satu karakteristik kepribadian yang memberikan pengaruh cukup
penting terhadap intensi berwirausaha adalah kebutuhan akan prestasi need for achievement David Pistrui, 2003; Nikolaus Franke dan Christian Luthje, 2004;
Keith M Hmieleski dan Andrew C Corbett, 2006; Jukka Vesalainen dan Timo Pihkala, 2003; Kelly G. Shaver dan Linda R Scott, 1991; Errko Autio et.al, 1997,
kebutuhan akan kemandirian need for autonomy Keith M Hmieleski dan Andrew C Corbett, 2006; David Pistrui, 2003; Errko Autio et.al, 1997, faktor kepribadian
big five extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, openness to experienceintellect Ciavella et al. 2004; Jeff Brice,JR. 2003; Hao
Zhao dan Scott E Seibert. 2006 , self-efficecy Espen J Isaksen, 2006; Anurandha Basu dan Meghna Virick, 2008; Linan et.al, 2004, dan locus of control Shaver
dan Linda R Scott, 1991; Nikolaus Franke dan Christian Luthje, 2004. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebutuhan akan prestasi need for
achivement dan kebutuhan akan kemandirian need for autonomy merupakan bagian dari suatu kepribadian yang menjadi latar belakang kemunculan suatu
perilaku. Beberapa pendekatan kepribadian modern menggunakan konsep motif
kebutuhan dalam memahami kepribadian, namun para tokoh membahasnya secara lebih sederhana Sebagai contoh, mahasiswa mungkin menganalisis tujuan-
tujuan tertentu atau “tugas dalam hidup” seperti berhasil dalam sekolah Cantor dkk dalam Friedman dan Schustack, 2008. Banyak mahasiswa yang menjadikan
hal itu sebagai motivasi utama dalam hidup mahasiswa. Kebutuhan dianggap sebagai dorongan motif seseorang untuk
memunculkan tingkah laku. Dorongan tersebut dapat berubah-ubah karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan sosial. Murray memandang perlunya
memperhatikan dan menganalisis berbagai interaksi antara individu dengan situasi yang ditemuinya di sepanjang hidupnya. Murray menggunakan konsep motivasi
tidak sadar dari Freud, Jung, Adler, di samping konsep tuntutan lingkungan dari Lewin serta konsep trait yang canggih dari Allport Friedman dan Schustack,
2008. Kemudian Friedman dan Schustack 2008 mengartikan motif Sebagai dorongan psikobiologis internal yang membantu munculnya pola perilaku
tertentu. Konsep motif menunjukkan pemikiran adanya dorongan dalam diri manusia yang mendorong munculnya perilaku untuk memenuhi kebutuhan.
Kemudian Murray menggunakan istilah kebutuhan need yang merujuk pada kesiapan untuk merespon dengan cara tertentu dalam kondisi tertentu.
Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan akan prestasi dan kebutuhan akan kemandirian menurut beberapa peneliti dianggap sebagai latar belakang
kerpibadian yang mempengaruhi kemunculan intensi berwirausaha seseorang. Selanjutnya faktor yang memunculkan intensi berwirausaha pada diri
seseorang selain karakteristik kepribadian adalah karakteristik demografi seperti
umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang juga diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan Nurul Indarti dan
Rokhima Rostiani, 2008. Sebagai contoh, penelitian dari India yang dilakukan loleh Sinha menemukan bahwa latar belakang pendidikan seseorang menentukan
tingkat intensi seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang dijalankan. Selanjutnya, Kristiansen menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial serta faktor
budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan Nurul Indarti dan Rokhima Rostiani, 2008.
Namun fenomena yang terjadi adalah intensi berwirausaha dikalangan mahasiswa masih tergolong rendah. Rendahnya intensi berwirausaha disebabkan
oleh persepsi atau keyakinan yang berasal dari nilai negatif budaya terhadap kegiatan wirausaha. Kristiansen Riyanti dan Rosini, 2008 menyebut bahwa
faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Menurut Riyanti 2008 faktor budaya dapat terlihat jelas pada nilai dan belief yang dianut oleh anggota dari kelompok budaya tersebut. Sebagai contoh
belief mengenai locus of control, ada beberapa budaya yang menekankan pada internal locus of control sedangkan ada juga yang tidak. Orang-orang yang hidup
dengan budaya internal locus of control mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terdorong menjadi wirausahawan karena mereka percaya bahwa mereka
dapat mempunyai kesempatan untuk sukes apabila mereka berusaha dengan keras. Contoh berikutnya mengenai image atau status apabila menjadi seorang
wirausahawan. Pada beberapa budaya menjadi wirausahawan dapat dipandang
sebagai suatu pekerjaan yang positif sedangkan pada budaya yang lain wirausaha dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif Riyanti, 2008.
Persepsi mahasiswa yang sudah terbentuk sejak lama akibat nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga adalah menganggap berwirausaha sebagai suatu
solusi dalam mengatasi masalah pengangguran tetapi solusi tersebut tidak memberikan keamanan dan kepastian kerja.
Menurut Riyanti 2010, indikasi mengapa kewirausahaan belum berkembang di Indonesia karena hanya sedikit orang yang berminat menekuni
dunia wirausaha. Sedikitnya jumlah wirausaha di Indonesia mungkin karena mayoritas masyarakatnya masih berada dalam struktur dan cara pikir agraris. Nilai
agraris lebih menekankan pada tekun bekerja, yaitu terus-menerus mengerjakan hal yang sama namun tidak menekankan pola pikir kreatif. Selanjutnya Riyanti
2010 menekankan bahwa masyarakat Indonesia masih cenderung mencari pekerjaan yang menciptakan rasa aman. Oleh karena itu, masyarakat indonesia
cenderung lebih sering menjadi pegawai. Kemudian dimensi budaya di Indonesia yaitu collectivism-individualism cenderung menganggap bahwa masyarakat
Indonesia memiliki sikap kompromistis. Karakteristik ini menghambat kewirausahaan dalam hal kemunculan-kemunculan gagasan-gagasan baru.
Perilaku masayarakat Indonesia dengan budaya collectivism-individualism merupakan perilaku yang muncul karena ditentukan oleh leader yang
mengarahkan anggotanya ke arah suatu perilaku. Sehingga kemandirian dalam menentukan karir untuk berwirausaha menjadi rendah dikarenakan budaya
collectivism-individualism merupakan kebiasaan yang telah menjadi tradisi di lingkungan masyarakan Indonesia.
Selain itu, berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anabela Dinis et.al 2010, didapatkan bahwa tujuh puluh lima sampel mahasiswa fakultas
bisnis dan ekonomi pada Universitas Beira Interior di Portugal memiliki intensi berwirausaha yang rendah. Rendahnya intensi berwurausaha mahasiswa
disebabkan oleh kebutuhan akan prestasi need for achievement yang juga rendah. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Errko Autio 1997
menggambarkan bahwa intensi berwirausaha mahasiswa cukup tinggi dikarenakan pengaruh dari tingginya kebutuhan akan prestasi need for achievement,
kebutuhan akan kemandirian need for autonomy, jaringan network serta fasilitas di lingkungan universitas. Errko Autio menggunakan sampel dengan jumlah
sebanyak seribu sembilan ratus lima puluh enam orang mahasiswa yang berasal dari kombinasi antara mahasiswa Universitas Teknologi Helsinki di Finland,
Universitas Linkoping di Swedia, Universitas Colorado di USA, dan Institute Teknologi Asia di Thailand.
Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Jeff Brice J.R. 2003 memaparkan bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh faktor kepribadian Big
Five extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional Stability, dan opennes to experience.
Selanjutnya, menurut Barbara J. frazier dan Linda S. Niehm 2010, sejak dekade terakhir, beberapa dari universitas telah mengadakan kurikulum
kewirausahaan tidak hanya pada jurusan bisnis tetapi juga pada jurusan non
bisnis. Hal tersebut dianggap penting untuk dilakukan karena diharapkan seluruh mahasiswa khususnya pada jurusan non-bisnis juga dapat memiliki intensi
berwirausaha yang sama dengan mahasiswa jurusan bisnis. Sehingga diharapkan seluruh mahasiswa dapat bekerja secara mandiri.
Berdasarkan literatur tersebut, beberapa Universitas di Indonesia khususnya di Jakarta, terbukti banyak yang telah mengadakan program kelas-
kelas kewirausahaan, pelatihan, seminar serta lomba tentang kewirausahaan entrepreneurship. Namun berdasarkan hasil survey, Universitas Mercu Buana
Jakarta termasuk kategori universitas yang telah menyediakan kurikulum- kurikulum kewirausahaan pada seluruh fakultas dan jurusan non bisnis.
Kelas kewirausahaan yang diadakan di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat merupakan bentuk dari sikap proaktif pihak universitas dalam rangka
memunculkan intensi berwirausaha serta meningkatkan jiwa berwirausaha pada diri mahasiswa mereka. Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan, peneliti
menyimpulkan bahwa Universitas Mercu Buana merupakan salah satu Universitas yang baik dalam usahanya mewujudkan jiwa kewirausahan pada mahasiswa-
mahasiswanya. Berikut merupakan kutipan visi dari Universitas Mercu Buana yaitu:
”sebagai perguruan tinggi untuk menghasilkan tenaga profesional dan berjiwa wirausaha yang mampu menguasai teknologi informasi dan mampu berbahasa
inggris dan beretika” www.mercubuana.ac.id
. Universitas Mercu Buana yang terletak di Meruya Jakarta Barat terdiri dari
tujuh fakultas yang kesemuanya telah dilengkapi dengan program kelas kewirausahaan. Ke tujuh Fakultas tersebut adalah Fakultas Teknik, Ilmu
Ekonomi, Ilmu Komunikasi, Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Menejemen Agribisnis, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Ilmu Komputer
www.mercubuana.ac.id Fenomena yang peneliti temukan di universitas mercu buana jakarta
khususnya pada mahasiswa Fakultas Desain Grafis dan Multimedia adalah beberapa diantara mereka ada yang bersemangat untuk berwirausaha dan ada yang
tidak bersemangat untuk berwirausaha. Fenomena tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Apalagi jurusan yang mereka ambil lebih cocok untuk
berwirausaha ketimbang bekerja kepada orang lain menjadi karyawan. Selain itu fasilitas serta lingkungan Universitas Mercu Buana Jakarta sudah cukup
mendukung bagi mahasiswa agar memiliki kesadaran berwirausaha dan memilih wirausaha menjadi pilihan karir mereka. Berdasarkan hasil observasi, peneliti
menemukan beberapa fasilitas pendukung kegiatan wirausaha mahasiswa jurusan desain grafis Universitas Mercu Buana Jakarta diantaranya; mata kuliah yang
mendukung keahlian desain grafis dan multimedia mahasiswa, kelas kewirausahaan, studio green sebagai tempat praktek potografi, ruang sablon,
ruang 3D, program-program pameran karya dan kewirausahaan setiap bulan, serta seminar-seminar kewirausahaan yang sengaja di buat untuk meningkatkan
kesadaran berwirausaha mahasiswa universitas mercu buana Jakarta. Kemudian untuk melengkapi informasi mengenai sampel penelitian,
peneliti melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa Jurusan Desain Grafis dan Multimedia Universitas Mercu Buana Jakarta pada tanggal 22
September 2009. Adapun beberapa hasil wawancaranya sebagai berikut :
1. Menurut Anita, ia bersemangat untuk berwirausaha butik karena selain yakin akan kemampuannya, ia juga ingin selalu berusaha menunjukan karya yang
terbaik. Ia mengaku sering mendapatkan nilai baik sehingga memacunya untuk terus berkarya. Selain itu, ia bercita-cita ingin berwirausaha butik
setelah lulus. 2. Menurut Kusnadi, berwirausaha memberikan keuntungan bagi banyak pihak.
Selain tidak menjadi pengangguran, dengan menjadi wirausahawan, banyak terbuka lahan pekerjaan baru sehingga setiap orang memiliki banyak
kesempatan untuk bekerja. Menurut Kusnadi, berwirausaha dianggap sebagai lahan untuk mengapresiasikan karya dan melatih diri menjadi individu yang
mandiri, dapat terus mengasah kemampuan mendisain, pantang menyerah dan selalu terbuka terhadap saran-saran yang diberikan orang lain. Apabila telah
memiliki semua sifat-sifat tersebut, tentu setiap mahasiswa yang ingin menjadi wirasuahawan akan mampu bersaing di pasar fashion.
3. Sedangkan menurut Andi, ia ingin bekerja distasiun televisi dan menjadi editor film dengan memanfaatkan ilmu yang dimilikinya. Ia merasa kurang
percaya diri dan menganggap berwirausaha kurang meyakinkan untuk mendapatkan penghasilan.
Dari hasil survey yang dilakukan terhadap empat puluh lima mahasiswa desain grafis menunjukkan bahwa, 45 diantaranya memiliki dorongan yaitu
kebutuhan yang membuat mereka berniat untuk berwirausaha meskipun diantara mereka tetap memiliki keinginan untuk bekerja menjadi web desain di
perusahaan. Sedangkan 55 mahasiswa tidak memiliki dorongan kebutuhan dan
keinginan untuk berwirausaha dan memilih menjadi karyawan di perusahaan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut Errko Autio dkk 1997 dapat dianggap
sebagai faktor penentu ada atau tidaknya keinginan berwirausaha. Dorongan tersebut berupa kebutuhan akan prestasi dan kebutuhan akan kemandirian.
Sedangkan Kolvreid dan Casrud 2000 menganggap faktor sikap, norma subjektif, dan persepsi perilaku yang dikontrol perceived behavior control serta
trait kepribadian yang dimiliki mahasiswa memberikan pengaruh sehingga seseorang memiliki keinginan untuk memulai suatu usaha Nikolaus Franke dan
Christian Luthje, 2004. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat judul
“Pengaruh Kepribadian terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa Jurusan Desain Grafis dan Multimedia Universitas Mercu Buana Jakarta” sebagai judul
penelitian. Namun pada penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian hanya pada sampel mahasiswa saja karena yang peneliti teliti hanya sampai pada taraf
niat berwirausaha bukan pada perilaku wirausahanya.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah