Pengelolaan dan Pengembangan Objek Wisata

19 dari berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam kategori unsur pengelolaan dan pola pengelolaan. Damanik dan Weber 2006 menyatakan unsur-unsur pengelolaan, keberhasilan optimalisasi pengusahaan suatu tempat wisata harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi lingkungan biofisik kawasan yang mampu menarik minat pengunjung, seperti keindahan alam, keunikan dan kekhasan flora dan fauna, keheningan, kesejukan dan lain-lain. 2. Sikap masyarakat sekitar yang mampu mendukung terjalinnya hubungan yang baik antara pengelola kawasan dan masyarakat sekitar. 3. Tersedianya dana yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam jumlah maupun kontinyuitas. 4. Jumlah dan keahlian tenaga kerja yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik. 5. Kemudahan, kenyamanan dan keamanan pengunjung untuk mendatangi kawasan tersebut. Sedangkan dalam kaitannya dengan pola pengelolaan, untuk mencapai keberhasilan pengusahaan suatu destinasi wisata, pengelola harus mampu melakukan dengan optimal hal-hal sebagai berikut Damanik dan Weber 2006: 1. Penataan ruang, yakni dengan membagi kawasan ke dalam beberapa zona untuk tujuan dan pemanfaatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik kawasan. 2. Pengadaaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas, yakni dengan membangun fasilitas-fasilitas tertentu yang benar-benar diperlukan, dengan tetap memperhatikan faktor estetika dan kelestarian lingkungan. 3. Pengelolaan sumberdaya manusia, yakni dengan merekrut tenaga kerja yang berkualitas, mengembangkannya serta menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik antara sesama karyawan maupun pimpinan dengan karyawan. 4. Pengorganisasian dan administrasi, yakni dengan mengelompokkan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, penugasan setiap kelompok aktivitas pada staf, pendelegasian wewenang, pengontrolan kegiatan serta penerapan sistem pelaporan yang efektif dan efisien. 5. Pengelolaan sumberdaya alam, yakni dengan mempertahankan, menggali, meneliti serta mengembangkan sumberdaya alam yang ada. 20 6. Pengelolaan pengunjung, yakni dengan mengatur kegiatan pengunjung di dalam kawasan, mengontrol jumlah pengunjung serta memberikan pelayanan informasi dan interpretasi bagi pengunjung. 7. Pengelolaan keuangan, yakni dengan secara kontinyu mampu mendapatkan dana yang diperlukan serta mampu mangalokasikannya seefisien mungkin. 8. Pengelolaan hubungan dengan masyarakat sekitar, yakni dengan melakukan pembinaan, memberikan kesempatan berusaha, merekrut tenaga kerja, dan lain-lain. 9. Pengelolaan pemasaran, yakni dengan melakukan usaha publikasi kepada masyarakat luas untuk menumbuhkan minat mereka terhadap kegiatan dalam kawasan Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan pariwisata membutuhkan strategi perencanaan yang baik, komprehensif dan terintegrasi, sehingga dapat mencapai sasaran sebagaimana yang dikehendaki dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak yang negatif, baik menurut sudut pandang ekologis, ekonomis maupaun sosial budaya dan hukum. Menurut Gunn 1994, perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki dan permintaan atau minat pengunjung wisata. Komponen penawaran terdiri dari atraksi potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk aktivitas wisata, transportasi aksesibilitas, dan amenitas berupa pelayanan informasi dan akomodasi dan sebagainya. Sedangkan komponen permintaan terdiri dari pasar wisata dan motivasi pengunjung. Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata alamnya ODTWA. Menurut Departemen Kehutanan 2006 keseluruhan potensi ODTWA merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta. Departemen Kehutanan 2006 menulis ada beberapa strategi pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Alam ODTWA meliputi: 21 1. Aspek perencanaan pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang tata ruang wilayah, standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan dan sistem informasi ODTWA. 2. Aspek kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi. 3. Aspek sarana dan prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu 1 alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, 2 sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal. 4. Aspek pengelolaan yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan ODTWA secara lestari. 5. Aspek pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. 6. Aspek pemasaran dengan mempergunakan teknologi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. 7. Aspek peran serta masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8. Aspek penelitian dan pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, sosial dan ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA. Hadinoto 1996 menyatakan kondisi-kondisi dan prosedur untuk perencanaan ekowisata yang konsisten adalah pengaturan dan prosedur yang berhubungan dengan efisiensi, keterlibatan pengelola, nilai budaya, monitoring dan prosedur penilaian serta keterlibatan stakeholders di dalam ekowisata. Selanjutnya Hadinoto 1996 mengusulkan perencanaan untuk pengembangan ekowisata terletak pada: 22 1. Perencanaan ekowisata menyertakan perlindungan lingkungan dan mengukur perencanaan penggunaan lahan. 2. Perencanaan ekowisata, dengan proses perawatan ekologis, cagar alam keanekaragaman biologi dan memastikan bahwa penggunaan sumberdaya tetap terjaga. 3. Perencanaan ekologis dan lingkungan cenderung mendekati nilai-nilai di dalam masyarakat. 4. Memiliki ukuran-ukuran untuk mengevaluasi area alami. 5. Metode perencanaan ekowisata dan lingkungan dalam mengevaluasi atribut lingkungan untuk konservasi dan perlidungan di dalam suatu kerangka perencanaan ekowisata. 6. Konsep daya dukung tidak bisa dipisahkan dari berbagai macam biaya. 7. Pendekatan perencanaan ekowisata harus meliputi nilai sosial dan mengikutsertakan wisatawan serta masyarakat setempat. 8. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari suatu proses berkelanjutan sustainable. 9. Perencanaan regional memberikan metode yang terbaik untuk menuju keberhasilan strategi pengembangan ekowisata dan perlindungan lingkungan. 10. Untuk penetapan dari suatu kerangka perencanaan ekowisata untuk area alami yang dipilih didasarkan pada konsep pengembangan yang berkelanjutan, didasarkan pada konservasi dan perlindungan lingkungan, dan mengikutsertakan pengunjung serta masyarakat setempat. Proses perencanaan pembangunan pariwisata menurut Yoeti 1997, dapat dilakukan dalam lima tahap : 1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki 2. Melakukan penaksiran assessment terhadap pasar pariwisata internasional dan nasional, dan memproyeksikan aliranlalu lintas wisatawan. 3. Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah region secara komparatif. 4. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki. 5. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal. 23 Wahab 2003 menggambarkan proses pengembangan kawasan wisata dari waktu ke waktu, dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat. Pada tahap awal pengembangan wisata, respons terhadap potensi ODTW akan mendorong tumbuhnya aksesibilitas ke kawasan. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya sistem transportasi yang menghubungkan antara kawasan wisata dan penyalur wisata. Dalam waktu yang sama pertumbuhan jumlah wisatawan terus meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur wisata. Stakeholders yang berpengaruh pada tahapan eksplorasi adalah pelaku bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan daerah tujuan wisata yang baru. Pada tahap selanjutnya dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan, maka peranan masyarakat sebagai penerima wisatawan juga mulai diikutsertakan dalam pengembangan kawasan. Pada tahapan ini masyarakat akan berperan lebih aktif dalam menyediakan sarana seperti akomodasi, restoran, cinderamata, serta sarana lainnya sehingga potensi ekonomi masyarakat akan berkembang. Hal ini tentunya akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan tenaga kerja dan menarik migrasi dari kawasan lain di sekitarnya. Peranan pemerintah kemudian terbentuk setelah proses pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukan kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata. Butler 1980 membuat model siklus hidup suatu destinasi wisata yang menggambarkan proses pengembangan sebuah kawasan wisata. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini. A = stagnation B = rejuvenation C = decline Consolidation Involvement Gambar 6 Siklus hidup destinasi wisata Sumber: Butler 1980 24 Dari Gambar di atas siklus hidup destinasi menurut Butler 1980 dapat dijelaskan dalam Tabel 1. Tabel 1 Siklus hidup destinasi wisata NO. TAHAPAN SIKLUS KETERANGAN 1. Exploration Kunjungan terbatas dan sporadis dari orang yang ingin berpetualang. Terjadi kontak yang intensif dengan penduduk lokal dan menggunakan fasilitas yang dimiliki penduduk dengan dampak sosial dan ekonomi yang sangat kecil 2. Involvement Meningkatnya pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas kepada pengunjung. Kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan wisatawan. Promosi destinasi wisata mulai diinisiasi 3. Development Investor luar mulai tertarik untuk menanamkan modalnya guna membangun berbagai fasilitas pariwisata di destinasi tersebut. Aksesibilitas mengalami perbaikan, advertising semakin intensif dan fasilitas lokal mulai diisi dengan fasilitas modern dan terbaru. Atraksi buatan mulai muncul, khususnya diperuntukkan bagi wisatawan. Tenaga kerja dan fasilitas import mulai dibutuhkan untuk mengantisipasi pertumbuhan pariwisata yang begitu cepat. 4. Consolidation Porsi terbesar dari ekonomi lokal berhubungan dan bersumber dari pariwisata. Level kunjungan tetap meningkat namun dengan rata-rata kenaikan semakin menurun. Usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang bertempat tinggal semakin jauh dari sebelumnya. 5. Stagnation Kapasitas maksimal dari faktor penunjang telah mencapai batas maksimum atau terlampaui, menyebabkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jumlah puncak kunjungan wisata tercapai. Atraksi buatan menggantikan atraksi alam dan budaya, dan destinasi tidak lagi dianggap menarik. Post stagnation 6. Decline Wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non-pariwisata. Atraksi wisata menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh, dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata. 7. Rejuvenation Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial baru atau penggunaan sumberdaya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya. Sumber: Butler, 1980 25

2.3. Konsep Daya Dukung Dalam Ekowisata

Menurut UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 pasal 1 butir 6 dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lainnya. Daya dukung adalah konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan. Sehingga keberadaan, kelestarian dan fungsinya dapat terwujud dan pada saat dan ruang yang sama juga pengguna atau masyarakat pemakai sumberdaya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera danatau tidak dirugikan Clivaz et al. 2004. Dalam konteks pariwisata, daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Namun luas maupun waktu, umumnya tidak dapat dirata-ratakan karena penyebaran wisatawan di dalam ruang dan waktu tidak merata Damanik dan Weber 2006. Menurut Manning 2002, daya dukung rekreasi merupakan kemampuan suatu area rekreasi secara alami, segi fisik dan sosial untuk mendukung penggunaan aktivitas rekreasi dan dapat memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan. Daya dukung pariwisata adalah daya dukung bio geofisik dan sosial ekonomi dan budaya dari suatu lokasi dan atau tapak tujuan wisata dalam menunjang kegiatan pariwisata tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan kepuasan wisatawan dalam menikmati lokasi dan atau tapak wisata. Dari definisi ini menempatkan aspek kualitas lingkungan menjadi kualitas wisata Soemarwoto 1997. Daya dukung menjadi sangat penting karena ekowisata sangat tergantung dari kualitas atraksi wisata. Atraksi wisata alam dapat berupa macam, jenis, keadaan dan proses alam dari suatu ekosistem merupakan objek yang sangat rentan. Kondisi objek dan daya tarik wisata ini menentukan kualitas wisata. Douglass 1975 mendefinisikan kualitas wisata merupakan tingkat yang normal dari suatu area wisata agar wisatawan dapat merasakan kenyamanan dari aspek psikologis dan kesegaran dari aspek fisik jasmani. Cole 2003 menyatakan bahwa masalah dampak suatu kegiatan seperti pariwisata, baik pariwisata massal maupun ekoturisme terkait erat dengan konsep daya dukung. Kenyataannya bahwa aktivitas pariwisata memiliki dampak 26 terhadap karakteristik sosial budaya, lingkungan, serta ekonomi dari daerah yang dikunjungi dan keyakinan bahwa dampak-dampak tersebut dapat meningkat seiring dengan peningkatan volume kunjungan, memberikan gagasan pada kita bahwa mungkin ada suatu garis batas keberadaan pengunjung dimana jika jumlah pengunjung melampaui batas-batas tersebut, maka dampak menjadi tidak dapat diterima. Apabila prinsip garis batas di atas dipadukan dengan konsep berkelanjutan sustainability, maka perpaduan itulah dikenal sebagai konsep daya dukung. Beberapa komponen untuk mengukur daya dukung wisata, antara lain: 1. Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat bergantung pada kapasitas sumber daya, sistem dan kemampuan ekologis dari lahan, erosi, dan iklim. 2. Daya dukung psikologi yang berhubungan dengan presepsi individu dalam berwisata sebagai contoh kebisingan, kebosanan dan keindahan serta kemampuan mencapai kawasan. 3. Daya dukung ekologibiologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya secara ekologi termasuk didalamnya flora dan fauna, habitat alamiah dan bentang alam. Terdapat beberapa faktor yang umum digunakan adalah terganggunya kehidupan alamiah disturbance wild life dan kehilangan spesies. 4. Daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan, sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk. 5. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Pariwisata merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Ia sangat peka terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran oleh limbah domestik yang berbau dan nampak kotor, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan oleh penebangan hutan, gulma air di danau, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Daya dukung hutan mangrove menurut Brown et al. 1997 adalah kemampuan sumberdaya hutan mangrove dalam mempertahankan fungsi dan kualitasnya tanpa mengurangi kemampuan memberi fasilitas pelayanan berupa