BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
63
5.3. Proses Koordinasi Pelaksanaan Rencana Aksi Daerah
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal RAD PPDT
Kabupaten
Analisis tentang proses koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi Daerah RAD PPDT di provinsi dan
Kabupaten merupakan upaya untuk menelaah lebih lanjut faktor‐faktor penyebab adanya
permasalahan yang menyebabkan kurang optimalnya hasil realisasi RAD PPDT di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten. Dengan kata lain, analisis proses koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi
Daerah RAD PPDT adalah untuk menjawab pertanyaan permasalahan yang ditemukan di Sub Bab
5.1.1 tentang Realisasi RAD PPDT oleh SKPD Provinsi dan Kabupaten termasuk oleh
KementerianLembaga yang memberikan bantuan langsung ke Kabupatenmasyarakat, dan Sub Bab
5.1.2. tentang proses perencanaan substansi RAD PPDT di Provinsi dan Kabupaten. Dugaan
sebelumnya bahwa hasil realisasi RAD PPDT di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten sangat
dipengaruhi oleh proses perencanaan substansi RAD PPDT dan proses pelaksanaan Rencana Aksi
Daerah RAD PPDT Provinsi dan Kabupaten.
Proses koordinasi pelaksanaan yang akan dibahas pada Sub Bab 51.3 ini adalah proses koordinasi
yang dilaksanakan oleh Tim Koordinasi Kementerian PDT, Tim Koordinasi Provinsi dan Kabupaten
cq. Bappeda selaku perencana RAD PPDT, yang memiliki tugas untuk mengawal, memonitor, dan
mengevaluasi pelaksanaan RAD PPDT. Sementara itu, substansi RAD PPDT dilaksanakan oleh masing‐
masing
SKPDDinas teknis di provinsi dan kabupaten sesuai dengan amanat PP 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten. Berikut hasil analisis di wilayah studi.
KABUPATEN LANDAK
Sesuai dengan uraian pada analisis proses perencanaan sebelumnya, partisipasi SKPD di Kabupaten
dalam penyusunan RAD PPDT rendah, karena RAD tersebut langsung dijabarkan dari STRADA PPDT
dan lebih banyak diinisiasi oleh Bappeda. Kondisi ini menyebabkan SKPD di Kabupaten Landak pada
umumnya tidak terlalu paham mengenai mekanisme pelaksanaan RAD PPDT. Kondisi ini berdampak
pada proses koordinasi pelaksanaan, yang tersirat pada forum FGD yang dilaksanakan peneliti
bersama seluruh SKPD terkait. SKPD pada umumnya kurang familiar dengan dokumen RAD PPDT
yang menunjukkan lemahnya koordinasi dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan untuk
mengawal RAD PPDT. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi proses pelaksanaan RAD PPDT
oleh SKPD terkait di Kabupaten Landak adalah adanya perubahan struktur organisasi di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Landak pada tahun 2008, dimana struktur organisasi instansi yang terkait
dengan pelaksanaan RAD PPDT mengalami perubahan. Ketiadaan forum koordinasi pelaksanaan RAD
PPDT yang rutin dan intensif menyebabkan para pejabat baru di masing‐masing Dinas kurang
memahami sistem dan prosedur pembangunan daerah tertinggal.
Keterputusan komunikasi antara Bappeda dengan SKPD dalam pelaksanaan RAD PPDT terkait erat
dengan ketiadaan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAD PPDT. Lemahnya monitoring dan
evaluasi menyebabkan pelaksanaan kegiatan‐kegiatan RAD PPDT oleh SKPD terkait sesuai
kewenangannya maisng‐masing tidak terpantau. Akibatnya permasalahan, hasil‐hasil yang dicapai,
dan manfaat yang diperoleh d pun tidak diketahui. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak BD,
pejabat Bappeda Kabupaten Landak, Bappeda selama ini belum pernah melaksanakan evaluasi
secara menyeluruh terhadap pelaksanaan RAD PPDT. Hal tersebut diakui pula oleh Bapak M, staff
Bagian perencanaan KPDT yang menyatakan KPDT belum pernah melaksanakan evaluasi terhadap
pelaksanaan RAD PPDT.
BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
64
Disamping ketiadaan forum koordinasi pelaksanaan yang intensif dengan SKPD terkait, pelaksanaan
RAD juga minim partisipasi pihak swasta. Seperti telah diuraikan pada hasil analisis sebelumnya, hal
ini disebabkan karena RAD diposisikan oleh Pemerintah Kabupaten Landak sebagai instrumen untuk
memperoleh pendanaan dari Pusat, sehingga dapat dipahami jika paradigma untuk menarik
keterlibatan pihak swasta dalam konteks pelaksanaan RAD PPDT menjadi kurang menonjol. Hal ini
dapat secara jelas dilihat dalam matriks RAD PPDT, dimana sumber pembiayaan dari pihak swasta
ternyata tidak dihitung. Padahal, dokumen STRANAS justru mendorong partisipasi masyarakat dan
dunia usaha dalam pengentasan ketertinggaalan wilayah, karena jumlah dana APBN dan APBD yang
tersedia sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan. Koordinasi pelaksanaan yang dapat
dilakukan dalam konteks pelaksanaan RAD PPDT untuk memfasilitasi dunia usaha misalnya
mengkoordinasikan penyederhanaan perijinan dan pemberian iklim usaha yang sehat dan menarik di
daerah.
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
Koordinasi Pelaksanaan
Proses koordinasi dalam pelaksanaan RAD PPDT ini memiliki perbedaan dengan proses penyusunan
rencana RAD PDT. Hasil penelitian menelaah proses pelaksanaan dan mekanisme koordinasi dalam
pelaksanaan RAD PPDT tersebut, dari sisi :
1. Proses pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh Provinsi Maluku terhadap SKPD di provinsi
dan terhadap Kabupaten SBB.
2. Proses pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh Kabupaten SBB terhadap SKPD di Kabupaten
SBB, dan proses konsultasi ke provinsi dan pusat.
Proses pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh Provinsi Maluku terhadap SKPD di provinsi dan
terhadap
Kabupaten SBB, sebagai berikut :
Di tingkat provinsi, dibentuk Tim Koordinasi RAD PPDT yang langsung berada di bawah Gubernur
Provinsi Maluku yang memiliki sejumlah tugas koordinasi penyusunan maupun pelaksanaan RAD
PDT. Namun Tim ini kurang berfungsi dalam mengkoordinasikan pelaksaan RAD PDT.
Hal itu ditunjukkan dari keterangan peserta FGD di tingkat provinsi Maluku :
1. RAD PPDT yang dilaksanakan di Tahun 2008 tidak banyak diketahui oleh para SKPD Provinsi,
termasuk oleh Bappeda Provinsi Maluku.
2. Peserta FGD berpendapat bahwa penyusunan dokumen STRADA dan RAD PPDT Kabupaten
Seram tidak tersosialisasikan dengan baik dari pusat ke SKPD Provinsi.
3. Tidak ada kejelasan koordinasi dan arahan dari Kementerian PDT bagi tim koordinasi di provinsi
terkait dengan pelaksanaan RAD PDT
Keterangan peserta FGD ini juga didukung oleh keterangan Kepala Bappeda Provinsi Maluku yang
diwawancarai lebih lanjut, dengan hasil sbb :
1. Kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh Tim Koordinasi STRADA dan RAD PDT Provinsi Maluku
diakui oleh Kepala Bappeda Provinsi. Menurut Kepala Bappeda Provinsi Maluku, Tim Koordinasi
Provinsi untuk RAD PDT kurang berjalan efektif karena tidak ada suatu landasan kewajiban bagi
Bappeda Provinsi untuk mengawal usulan RAD agar dilaksanakan oleh SKPD di Provinsi Maluku.
2. Kepala Bappeda Provinsi Maluku hanya mengetahui bahwa kegiatan koordinasi yang dilakukan
oleh Bidang Fisik Prasarana Bappeda provinsi selaku anggota yang ditunjuk untuk melaksanakan
koordinasi pelaksanaan RAD PDT, hanya menangani koordinasi proyek P2DTK, selain itu tidak
ada koordinasi yang dilaksanakan.
3. Tidak ada aturan khusus yang mengikat Provinsi untuk menyusun secara khusus STRADA dan
RAD PDT Provinsi Maluku, karena dalam hal ini Kementerian PDT langsung berkoordinasi ke
kabupaten terkait, bukan ke pihak provinsi. Pekerjaaan penyusunan STRADA PPDT ini langsung
ditangani oleh masing‐masing kabupaten yang diinstruksikan oleh Kementerian PDT melalui
BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
65
surat perjanjian antara Pejabat Pembuat Komitmen Program Penataan Kelembagaan dan
Ketatalaksanaan Satuan Kerja Satker Sekretariat Kementerian PDT dengan Kepala BAPPEDA
Kabupaten selaku Ketua Tim Penyusun STRADA dan RAD PDT Kabupaten.
4. RAD PPDT langsung disusun oleh kabupaten mengacu pada RAN PDT, sedangkan provinsi hanya
mengkompilasi RAD dari semua kabupaten. Akibatnya STRADA dan RAD PDT Kabupaten SBB
tidak banyak dibahas dan diketahui oleh SKPD di tingkat provinsi Maluku.
5. RAD PDT tidak diikuti oleh penyusunan Rencana Aksi Sektor RAS khusus PDT di provinsi
Maluku, karena tidak ada kejelasan koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian PDT kepada
Bappeda Provinsi Maluku untuk bersama‐sama membahasa hal itu dengan SKPD. Kementerian
PDT tidak melakukan koordinasi yang intensif dan reguler seperti pendampingan mulai dari
perencanaan sehingga koordinasi pelaksanaan RAD PDT.
6. Hubungan antara Rencana Aksi Daerah RAD dan Rencana Aksi Sektoral RAS di tingkat provinsi
kurang terkoordinasi karena RAD diserahkan begitu saja kepada SKPD. Hal ini menjadi masalah
karena banyak programkegiatan di Kabupaten yang kurang diketahui oleh Bappeda Provinsi
sehingga Bappeda sulit mengkoordinasikannya apalagi mengevaluasinya.
7. Pemerintah pusat tidak mengkoordinasikan program‐program kemiskinan kepada Bappeda
Provinsi dan kabupaten juga tidak melaporkan perkembangan pelaksanaan di lapangan kepada
Bappeda Provinsi. Menurut Kepala Bappeda Provinsi, ada 13 jenis pogram yang terkait dengan
penanganan kemiskinan, air bersih, Jamkesmas, PNPM, dll, dengan total anggaran APBN yang
masuk langsung ke kabupaten‐kabupaten di Maluku dan masyarakat pada Tahun 2009 mencapai
Rp 720 Milyar. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat masalah koordinasi yang kurang
berjalan antara pusat dengan provinsi dan antara kabupaten dengan provinsi. Kepala Bappeda
Provinsi mengharapkan agar Bappenas dapat mensosialisasikan penyelesaian masalah ini di
tingkat pusat, supaya Bappeda Provinsi Maluku dapat mengetahui perkembangan program‐
program yang terkait dengan kemiskinan yang langsung masuk ke kabupaten. Menurutnya
program ‐program kemiskinan seharusnya dibahas terlebih dahulu dalam mekanisme
Musrenbang Provinsi sehingga dapat dikoordinasikan dan dipadukan dengan perencanaan
provinsi. 8.
Belum ada kerangka kebijakan yang membedakan mana programkegiatan PDT dan mana yang bersifat
kegiatan sektoral biasa baik dari pusat, provinsi dan kabupatenkota. Kerangka yang jelas
sangat diperlukan agar memudahkan Bappeda Provinsi untuk melakukan koordinasi pelaksanaan
programkegiatan PDT dan mengevaluasinya. 9.
Belum ada keleluasaan bagi daerah dalam penggunaan nomenklatur program‐program terutama yang
terkait dengan kekhususan daerah, karena daerah memiliki spesifikasi permasalahan yang tidak
dapat disamaratakan oleh pemerintah pusat. Selama ini daerah selalu dituntut untuk mengikuti
nomenklatur programkegiatan dari pusat yang dirasa kurang fleksibel dengan kebutuhan
daerah. Selain
kepala Bappeda Provinsi, juga digali pendapat Kabid Fisik Prasarana Bappeda Provinsi Maluku
selaku pelaksana Tim Koordinasi Pelaksana STRADA dan RAD PDT, hasilnya :
1. PDT tidak menjelaskan tentang perkembangan RAD yang telah disusun misalnya masalah
pengkoordinasiannya di tingkat pusat, ke tingkat provinsi, dan ke kabupaten.
2. Kementerian PDT tidak melakukan pendampingan dan pengawalan secara substansi selama
proses perencanaan RAD berlangsung.
3. RAD PDT tidak terkait dengan Rencana Aksi Sektor RAS, yang terjadi adalah RAD dan RAS
SKPD di tingkat provinsi berjalan sendiri‐sendiri, RAD PDT ini diserahkan begitu saja kepada
sektoral tanpa ada pengawalan dan koordinasi secara substansial dari Kementerian PDT
terhadap pihak terkait di provinsi.
4. Kerangka strategi kebijakan pembangunan daerah tertinggal yang disusun di dalam STRADA
PDT itu masih sangat umum.
BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
66
Kabid Ekonomi Bappeda Provinsi Maluku juga dimintai penjelasan terkait dengan pelaksanaan
STRADA dan RAD PDT, dengan hasil :
1. Koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian PDT terkait dengan upaya pengawalan pelaksaan
RAD oleh SKPD di provinsi, sangat kurang.
2. Program‐program sektoral SKPD yang ada di dalam RAD PPDT yang dilaksanakan di kabupaten
SBB adalah programkegiatan rutinitas SKPD secara umum, bukan programkegiatan dalam
rangka PDT. Menurutnya, harus ada kerangka yang jelas untuk dapat membedakan mana
kegiatan SKPD yang terkait dalam Kerangka RAD PDT dan mana kegiatan SKPD yang bersifat
rutinitas sektoral biasa, mulai dari tingkat KL di pusat sampai ke SKPD di tingkat provinsi dan
kabupaten, sehingga Kementerian PDT memiliki acuan yang jelas dalam pengkoordinasian, dan
dalam mengawal RAD supaya dilaksanakan oleh SKPD.
3. Kementerian PDT tidak dapat meng‐calim apa yang dilaksanakan oleh SKPD adalah otomatis
merupakan pelaksanaan RAD PDT, karena pelaksanaan tersebut belum tentu untuk kepentingan
pelaksanaan RAD PDT dan belum tentu sesuai dengan target kegiatan yang dimaksud oleh KPDT.
4. Tidak ada target yang jelas dari STRADA dan RAD PDT. Contoh : Provinsi Maluku yang terdiri dari
gugus pulau‐pulau ini apakah semua programnya dimasukkan ke dalam RAD PPDT ? jawabnya
tidak, karena program ini bersifat umum. Sedangkan Program PDT di daerah seharusnya dibuat
terfokus dan terpilih, misalnya dari sekian kegiatan list usulan, harus dipilih mana yang betul‐
betul sesuai dengan spesifikasi permasalahan pembangunan daerah tertinggal di lingkup suatu
kabupaten, sehingga jika KPDT melakukan koordinasi untuk kerangka PDT maka akan menjadi
jelas batasannya dan juga dapat ditandai bahwa di luar spesifikasi programkegiatan tersebut,
berarti adalah program‐program rutinitas SKPD yang akan tetap terlaksana meskipun tidak ada
koordinasi dari Kementerian PDT.
Proses pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh Kabupaten SBB terhadap SKPD di Kabupaten
SBB, dan proses konsultasi ke provinsi dan pusat, sebagai berikut :
Pekerjaaan koordinasi dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah PDT di Kabupaten SBB sudah
dilaksanakan oleh Bappeda Kabupaten SBB terhadap semua SKPD di Kabupaten SBB dalam rangka
penyusunan rencana pembangunan daerah tertinggal di tingkat kabupaten SBB. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa proses dan mekanisme koordinasinya seperti berikut ini :
1. Draft Rencana Aksi Daerah disusun oleh Tim Koordinasi RAD PPDT Kabupaten SBB dengan
memasukkan programkegiatan yang ada pada SKPD atau Kementerianlembaga, ke dalam RAD.
2. Dalam rapat koordinasi SKPD di Kabupaten SBB yang dipimpin oleh Bappeda Kab SBB, SKPD
diarahkan untuk dapat mengakomodasi Rencana Aksi Daerah RAD PPDT Kabupaten SBB.
3. Rencana Aksi Daerah RAD PPDT yang diakomodir oleh SKPD kemudian diusulkan untuk dibiayai
oleh APBD Kabupaten SBB, APBD Provinsi Maluku, dan APBN, melalui masing‐masing SKPD.
Disinilah letak titik kritis apakah RAD PPDT Kabupaten Seram tersebut betul‐betul ditampung
oleh SKPD untuk diprioritaskan di APBD Provinsi Maluku dan APBN melalui masing‐masing SKPD‐
nya, :
a. RAD PPDT Kabupaten SBB yang sampai di tingkat provinsi Maluku, ternyata menghadapi
kendala. RAD PPDT dari kabupaten ke tingkat provinsi tidak ditindaklanjuti untuk
dikoordinasikan pelaksanaannya oleh SKPD provinsi Maluku. Dokumen RAD PPDT yang
sampai ke provinsi tersebut, dikompilasi oleh Bappeda Provinsi sebagaimana yang dilakukan
terhadap RAD PDT dari kabupaten lainnya di Provinsi Maluku. Seharusnya dikoordinasikan
oleh provinsi oleh Bappeda ke SKPDnya untuk diusulkan ke pusat, namun hal itu tidak
dilakukan, sehingga banyak SKPD di tingkat provinsi yang tidak mengetahui dan tidak
memahami substansi RAD PDT dari kabupaten SBB Yang ada adalah SKPD di provinsi
melaksanakan programkegiatan yang bersifat rutinitas sektoralnya.
b. Ketika dikonfirmasi dengan Kepala Bappeda Kabupaten SBB, Tim Kajian mendapat jawaban
bahwa Kabupaten SBB sudah mempunyai RPJPD, RPJMD, RKPD, RAD PDT, dan RAS SKPD.
RAD PPDT Kabupaten SBB ini memiliki kelemahan yaitu tidak ada suatu kesepakatan maupun
BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
67
landasan hukum yang menjadi acuan untuk memaksa SKPD provinsi dan kabupaten agar
mengalokasikan anggarannya untuk pelaksanaan RAD PDT.
c. Koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian PDT terhadap Bappeda Provinsi dan SKPD di tingkat
provinsi Maluku, tidak optimal, berdampak pada kurangnya dukungan provinsi dalam koordinasi
pelaksanaan RAD PDT Kabupaten SBB. Monitoring
dan Evaluasi Monitoring
dan Evaluasi dilakukan untuk menilai SPKD dalam hal memahami, mendukung dan melaksanakan
RAD PPDT baik di wilayah provinsi maupun di kabupaten. Hal ini penting karena monev
dapat menilai tinggi rendahnya kinerja dan keberpihakan SKPD dalam pelaksanaan RAD PPDT,
atau untuk menilai perkembangan yang terjadi adalah karena dampak adanya RAD PPDT ataukah
karena dampak implementasi programkegiatan SPKD yang bersifat rutinitastahunan, atau mungkin
karena dampak proses pembangunan oleh sektor swastamasyarakat pelaku usaha, atau bahkan
mungkin adanya faktor eksternal lain yang turut berpengaruh dalam upaya pembangunan daerah
tertinggal. Dengan
melihat perkembangan yang terjadi, di satu sisi dapat menilai keseriusan pemerintah dalam Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal PPDT, yang tercermin dari implementasi SPKD, juga dapat
melihat efektivitas dan efisiensi dari Strategi Daerah STRADA PPDT yang dilaksanakan. Dari monitoring
dan evaluasi dapat membuka peluang partisipasi bagi stakeholders selain SKPD LSM, Perguruan
tinggi, swastamasyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam pembangunan
daerah tertinggal. Upaya mendorong keterlibatan komponen masyarakat secara luas merupakan
sasaran dari prioritas PPDT. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi, publikasi, kebebasan masyarakat
dalam memperoleh informasi tentang programkegiatan SKPD, good governance dan respon
yang cepat dari pemerintah dan pemerintah daerah, yang semua itu di dapat atas hasil yang ditemukan
dari proses monitoring dan evaluasi pelaksanaan programkegiatan dalam rangka PPDT. Kegiatan
monitoring dan evaluasi seyogyanya diadakan secara reguler maupun insidental, dimana hasil
evaluasi dilemparkan ke dalam forum diskusi Tim Koordinasi RAD PPDT di tingkat kabupaten yang
dilanjutkan ke tingkat provinsi dan tingkat pusat, sebagai bentuk akuntabilitas. Monitoring yang regular,
dalam kerangka implementasi RAD PPDT di Provinsi Maluku dan Kabupaten SBB belum memperhitungkan
musim. Dalam banyak kasus ada daerah yang pada musim tertentu atau bulan tertentu
memperlihat kondisi ekstrim karena faktor cuaca, wabah penyakit, konflik sosial, dan sebagainya.
Adapun alat yang akan digunakan dan dilihat perkembangannya serta efektifitasnya dalam
penyelesaian faktor‐faktor ketertinggalan Kabupaten SBB adalah :
• Pemahaman mengenai siklus perencanaan dan penganggaran sehingga intervensi yang dilakukan
dapat efektif dan dapat menjadi masukan umpan balik bagi RKPD maupun APBD. • Indikator pelaksanaan KebijakanProgram PPDT:
a Indikator Input
b Indikator proses
c Indikator output
d Indikator dampak
Dengan unit analisis terendah adalah desa atau kelurahan.
Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan responden di provinsi dan kabupaten, diketahui
bahwa Tim Koordinasi Provinsi Maluku kurang optimal dalam melakukan monitoring dan evaluasi
terkait dengan pelaksanaan RAD PDT sebagai contoh di Tahun 2008 belum ada laporan dari Tim
Koordinasi RAD PPDT yang melakukan kegiatan monitoring secara reguler terhadap SKPD, termasuk
kurang melakukan pengendalian apalagi melakukan evaluasi tentang capaian pelaksanaan RAD PPDT
BAB V ANALISIS KESERASIAN DAN KETERPADUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
68
baik di tingkat provinsi maupun ke tingkat kabupaten. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya bukti
rapat ‐rapat koordinasi reguler yang dilakukan oleh Tim Koordinasi dalam rangka monev RAD PPDT
tersebut. Untuk itu, Tim Koordinasi cq. Kepala Bappeda Provinsi menyampaikan rencananya mulai
Tahun 2010 akan mengadakan pertemuan dengan sejumlah kabupaten untuk memonitor dan
mengevaluasi pelaksanaan program‐program kemiskinan dan program SKPD dan KL yang datang
dari pusat dan masuk langsung ke kabupaten, terutama yang selama ini sangat kurang berkoordinasi
dengan Bappeda Provinsi. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan sinkronisasi, sinergi dan efektifitas
capaian dan dampak dari pelaksanaan suatu programkegiatan dalam rangka percepatan
pembangunan daerah‐daerah tertinggal di Provinsi Maluku.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di tingkat provinsi, di tingkat kabupaten SBB proses monitoring
pelaksanaan RAD PDT dilakukan oleh Tim Koordinasi cq. Bappeda namun kurang terarah sehingga
untuk RAD PPDT sehingga monitoring yang dilakukan adalah dalam rangka implementasi kegiatan
SKPD yang bersifat rutinitas di kabupaten SBB. Dan sangat disayangkan, koordinasi di tingkat provinsi
terhadap kabupaten SBB juga tidak optimal, sehingga monev yang dilakukan lebih terkait dengan
kegiatan instrumen proyek‐proyek dari Kementerian PPDT. Bappeda Kabupaten SBB berharap agar
Tim Koordinasi di tingkat provinsi lebih aktif berkoordinasi dengan Kementerian PDT dan
kementerian terkait lainnya dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan RAD PDT Kabupaten
SBB.
Pemkab SBB belum dapat memanfaatkan forum‐forum koordinasi proyek instrumen dari
Kementerian PDT, seperti P2DTK, P4DT atau forum koordinasi proyek‐proyek penaggulangan
kemiskinan
lainnya. Ke depan, bentuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAD PPDT seyogyanya dapat
memanfaatkan forum‐forum koordinasi proyek‐proyek tersebut di daerah sehingga dapat sinergis
dan terpadu. Karena proyek‐proyek instrumen KPDT dan Penanggulangan Kemiskinan adalah
bagian dari upaya Pemerintah untuk memberikan stimulan dan akselerasi dalam pengentasan masalah
ketertinggalan daerah. Meski masing‐masing proyek tersebut mempunyai sasarab dan prioritas
yang sedikit berbeda, namun apabila Tim Koordinasi RAD PPDT Kabupaten SBB mampu menyatukannya
dalam suatu forum‐forum koordinasi monitoring dan evaluasi, hasilnya akan lebih siginifikan
dan lebih berdampak pada upaya peningkatan kualitas substansi RAD PPDT ke depan serta
memiliki peluang untuk cepat terealisasi. Meski
evaluasi di Kabupaten SBB masih berupa evaluasi oleh masing‐masing SKPD secara tahunan dan
belum ada evaluasi oleh Bappeda terhadap implementasi programkegiatan dalam RAD PPDT, pada
saatnya nanti yaitu evaluasi lima tahunan RAD PPDT, hasil evaluasi tersebut hendaknya dapat
memperlihatkan perubahan, baik dari sisi jumlah maupun tingkat kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten
SBB. Juga penting memperlihatkan proses transformasi sosial yang terjadi di Kabupaten
SBB dan di Provinsi Maluku pada umumnya, sehingga diketahui apakah programkegiatan yang
dilaksanakan
oleh SPKD dapat melakukan perubahan meningkatnya kemampuan kapasitas aparat perencanaSKPD
dalam penyusunan substansi perencanaan RAD PPDT, dalam koordinasi pelaksanaan
RAD PPDT, dalam koordinasi sinergitas RAD PPDT dengan program penanggulangan kemiskinan
dan program bantuan sosial lainnya yang masuk ke dalam Provinsi Maluku dan Kabupaten
SBB. Selain itu monitoring dan evaluasi ini juga dapat menilai kemampuan SKPD dalam melakukan
perubahan ke arah peningkatan aktifitas ekonomi lokal, meningkatkan kerukunan sosial
antar suku dan antar beragama di Maluku, terlepasnya desa‐desa dari keterisolasian, meningkatnya
kualitas SDM dan kelembagaan usaha dan kelembagaan aparatur pelaksana pemerintah
daerah, meningkatkan struktur kesejahteraan masyarakat, dan ini baru akan diketahui
apabila RAD PPDT yang disusun Tahun 2007 sudah berjalan lima tahun.
BAB VI INDIKATOR PROSES PENGELOLAAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
1
BAB VI
INDIKATOR KINERJA PROSES
PENGELOLAAN PEMBANGUNAN DAERAH
TERTINGGAL
Pada bab ini akan dibahas mengenai indikator kinerja pembangunan daerah tertinggal. Metode
yang digunakan adalah Logical Framework Analysis LFA, yaitu suatu instrumen analisis yang
dapat membantu perencana untuk menganalisis situasi eksisting, membangun hirarkis logika
dari tujuan yang akan dicapai, mengidentifikasi risiko potensial yang dihadapi dalam pencapaian
tujuan dan hasil, membangun cara untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tujuan
dan hasil, menyajikan ringkasan aktivitas suatu kegiatan, serta membangun upaya monitoring
selama pelaksanaan implementasi proyek Ausguideline, 2005. Ringkasnya, metode LFA
dibangun berdasarkan permasalahan aktual yang kemudian disusun solusi kebijakan setiap
permasalahan. Berkaitan dengan penyusunan indikator proses pengelolaan pembangunan
daerah tertinggal, maka permasalahan yang menjadi dasar analisis adalah permasalahan dalam
proses perencanaan dan proses pelaksanaan RAD PPDT kabupaten yang sudah dibahas pada
Bab V. Karena permasalahan dari kedua proses tersebut bersifat unik di dua daerah studi, yaitu
Kabupaten Landak sebagai sample daerah tertinggal daratan di wilayah KBI dan Kabupaten
Seram Bagian Barat sebagai sample di daerah tertinggal kepulauan di wilayah KTI, maka
penyusunan indikator proses pengelolaan ini dibedakan di kedua daerah tersebut.
BAB VI INDIKATOR PROSES PENGELOLAAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
2
6.1. Kabupaten Landak