18
Kompoen analisis penyesuaian kebijakan pembangunan diperlukan untuk dapat mengsukseskan pelaksanaan RPJMD
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015 untuk sisa 2 tahun periode pelaksanaannya. Termasuk juga dalam penyesuaian
ini adalah penyesuaian target pembangunan daerah bilamana target yang tertera dalam RPJMD sangat jauh dari
kenyataannya atau target itu sendiri tidak realistis. Disamping itu, dalam penyesuaian ini mencakup pula penyesuaian akibat
perobahan atau adanya dokumen perencanaan baru yang menurut ketentuan berlaku harus di masukkan ke dalam
RPJMD Provinsi Sumatera Barat. Dengan cara demikian pencapaian sasaran pembangunan daerah dalam 2 tahun sisa
pelaksanaan RPJMD akan dapat dilakukan dengan lebih baik sesuai dengan perobahan yang terjadi dalam masyarakat atau
karena adanya ketentuan baru yang bersifat mengikat.
2.6. Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam evaluasi RPJMD ini dilakukan dalam 2 dua bentuk
yaitu: a data dan informasi primer b data dan informasi sekunder.Data dan informasi primer dilakukan melalui
pengamatan langsung ke lapangan untuk melihat pelaksanaan beberapa kegiatan terpilih sample guna mengetahui
keluaran output dan hasil outcome yang dapat dihasilkan oleh kegiatan bersangkutan. Untuk keperluan observasi
lapangan ini telah disusun daftar pertanyaan questionare khusus untuk keperluan tersebut. Sedangkan, informasi
sekunder ini juga diperoleh melalui wawancara dengan para pimpinan kegiatan bersangkutan, baik yang berada di Padang,
maupun di kabupaten dan kota dalam Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan data dan informasi sekunder diperoleh dari
laporan pelaksanaan kegiatan dari masing-masing SKPD terkait dan Badan Pusat Statistik Daerah. Selain itu data dan
informasi juga diperoleh melalui foccus grup disccusion masing-masing
agenda serta
seminar hasil.
19
BAB III EVALUASI KINERJA MAKRO
Evaluasi Kinerja Makro mencakup analisis terhadap capaian kinerja pembangunan daerah secara menyeluruh
yang berkaitan dengan seluruh sektor pembangunan.Evaluasi Kinerja Makro tersebut meliputi aspek-aspek: pertumbuhan
ekonomi daerah, kemakmuran ekonomi masyarakat, investasi, pengangguran, kemiskinan, Millenium Developmen Goals
MDG’s, dan daerah tertinggal. Dengan demikian analisis kinerja makro sebenarnya juga memberikan gambaran
tentang hasil
out come
dari pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah secara keseluruhan. Evaluasi
kinerja makro ini sangat penting artinya karena analisis menyangkut dengan capaian pembangunan daerah secara
menyeluruh yang perlu mendapat perhatian dari Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat.
3.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah 1.
Tingkat Capaian Kinerja
Aspek pertama dari kinerja ekonomi makro yang perlu dibahas dalam Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Provinsi Sumatera Barat 2010-2015 ini adalah menyangkut dengan aspek pertumbuhan ekonomi
daerah. Alasannya jelas karena pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu dari 3 unsur utama pembangunan
daerah disamping pemerataan dan stabilitas ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri pada dasarnya
adalah menyangkut dengan kinerja kemajuan ekonomi daerah yang merupakan kenaikan produksi barang-barang dan jasa
dalam suatu perekonomian daerah.Karena itu kinerja pertumbuhan
ekonomi daerah
lazim diukur
dengan peningkatan nilai PDRB dengan harga konstan untuk periode
bersangkutan sehingga kenaikan harga tidak termasuk di dalam perhitungan.
20
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka capaian kinerja pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi Sumatera Barat
untuk tahun 2010-2012 adalah seperti terlihat pada tabel 3.1. Informasi pada tabel ini memperlihatkan bahwa laju
pertumbuhan ekonomi tahun 2011 mencapai 6,22 sedangkan target yang ditetapkan dalam RPJMD adalah
6,21. Dengan demikian, tingkat capaian yang dapat dihasilkan pada tahun ini adalah 100,01. Ini berarti bahwa
pelaksanaan kebijakan dan program yang berkaitan dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
ternyata sudah berjalan baik sesuai rencana yang ditetapkan semula. Akan tetapi untuk tahun 2012, prestasi tersebut mulai
menurun karena realisasi pertumbuhan yang dapat dicapai pada tahun ini adalah 6,35 sedangkan target yang
ditetapkan dalam rencana adalah 6,50. Dengan demikian tingkat capaian yang diperoleh adalah 97,69 yang berarti
masih
belum dapat
mencapai tingkat
yang sudah
direncanakan sebelumnya.
Tabel 3.1 Tingkat Capaian Pertumbuhan Ekonomi
Provinsi Sumatera Barat Menurut Sektor Tahun 2011-2012
No. Unsur
Pertumbuhan Ekonomi
Satuan Kondisi
2010 2011
2012 Target
Realisasi Capaian
Target Realisasi
Capaian 1
Pertumbuhan Ekonomi
5,93 6,21
6,22 100,01
6,50 6,35
97,69 2
Investasi ADHK
Rp. Triliun 7,16
8,17 7,94
97,18 9,18
8,51 89,11
Ket : Data per bulan September 2013
Fluktuasi capaian pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya berkaitan erat dengan fluktuasi dalam realisasi
kegiatan konsumsi, investasi, baik pemerintah maupun swasta serta rasio ekspor terhadap PDRB. Sedangkan investasi
pemerintah terdiri dari dana belanja langsung dalam APBD dan nilai APBN yang dialokasikan untuk Provinsi Sumatera
Barat. Seperti terlihat pada Tabel 3.1 ternyata realisasi nilai investasi secara total pada tahun 2011 memang sudah berada
sedikit dibawah target yang ditetapkan dengan tingkat capaian 97,18. Bahkan pada tahun 2012 realisasi investasi
21
tersebut makin jauh dari target yang telah ditetapkan dengan tingkat capaian 89,11. Hal ini memberikan indikasi awal
bahwa tidak tercapainya target ekspor tahun 2012 terutama disebabkan oleh relisasi investasi total yang belum dapat
mencapai target yang telah ditetapkan.
Untuk dapat mengetahui secara lebih rinci tentang permasalahan yang menyebabkan tidak tercapainya target
pertumbuhan ekonomi tersebut, dapat dilakukan dengan memperhatikan perkembangan dari unsur-unsur pertumbuhan
ekonomi daerah seperti terlihat pada Tabel 3.2. Disini terlihat bahwa peningkatan jumlah konsumsi masyarakat secara
keseluruhan untuk tahun 2011 dan 2012 terus meningkat cukup pesat. Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Sumatera Barat dalam periode 2010-2012 sebagian besar ditunjang oleh peningkatan konsumsi masyarakat yang
cukup besarnilainya. Sedangkan peningkatan konsumsi masyarakat tersebut tentunya terjadi sebagai hasil dari
peningkatan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang cukup tinggi.
22 Tabel 3.2
Perkembangan Konsumsi, Investasi Pemerintah, Investasi Swasta dan Net Ekspor
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011 dan 2012
Catatan
:
1. Konsumsi diambil dari data PDRB menurut penggunaan; 2. Net ekspor adalah ekspor dikurangi impor;
Setelah dikurangi dana BOS untuk kabupaten dan kota; Angka Sangat Sementara.
Pertumbuhan dari 2011 ke 2012
Perkembangan kegiatan investasi pemerintah yang berasal dari dana APBD ternyata berkembang sangat lambat.
Seperti terlihat pada Tabel 3.2 ternyata nilai konsumsi rumah tangga di Provinsi Sumatera Barat cukup besar dan
tendensinya terus meningkat. Ini berarti bahwa sebagian besar disebabkan oleh permintaan yang muncul karena
peningkatan konsumsi rumah tangga. Sedang konsumsi dan investasi pemerintah dianalisis dari realisasi APBD dan APBN
yang dilaksanakan dalam daerah Provinsi Sumatera Barat. Sebagaimana juga terlihat pada Tabel 3.2 bahwa nilai
realisasi APBD Sumatera Barat tahun 2010 adalah Rp 2,24 Triliun dan meningkat menjadi Rp2,92 Triliun pada tahun
2012. Realisasi dana APBN yang masuk ke Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 adalah senilai Rp. 1,44 Triliun dan
tetap stabil sampai dengan tahun 2012. Dengan demikian perkembangan konsumsi dan investasi masyarakat dan
pemerintah selama 3 tahun pelaksanaan RPJMD Provinsi Sumatera Barat ternyata cukup baik.
23
Masalah yang
cukup serius
terlihat dalam
perkembangan investasi swasta, khususnya untuk kelompok
Penanaman Modal Dalam Negeri
PMDN. Sebagaimana terlihat pada Tabel 3.2 ternyata realisasi investasi PMDN di
Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 adalah Rp. 405 miliar, dan meningkat menjadi hanya Rp. 1.678 miliar pada
tahun 2011. Tetapi pada tahun 2012 ternyata menurun drastis menjadi hanya Rp. 750 miliar dengan laju pertumbuhan -
55,303. Sedangkan perkembangan realisasi Penanaman Modal Asing PMA diProvinsi Sumatera Barat ternyata cukup baik,
yaitu US 18 juta pada tahun 2010 dan meningkat menjadi US 65 juta pada tahun 2011. Bahkan pada tahun 2012 terus
meningkat menjadi US 86 juta. Sedangkan perkembangan nilai Net Ekspor Provinsi Sumatera Barat Ekspor kurang
Impor ternyata pada tahun 2010 bernilai US 1.463 dan meningkat menjadi US 1.955 pada tahun 2011. Akan tetapi
pada tahun 2012, nilai net ekspor tersebut ternyata menurun menjadi hanya US 1.149. Ini berarti bahwa secara rata-rata
net ekspor Sumatera Barat menurun 11,38.
Dari analisis diatas bahwa tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2012 besar
kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu menurunnya realisasi PMDN dan net ekspor pada tahun 2012 yang lalu.
Menurunnya realisasi PMDN tentunya berkaitan erat dengan iklim investasi daerah yang memang belum begitu kondusif.
Sedangkan penurunan Net ekspor terutama disebabkan oleh menurunnya nilai eksporyang cukup drastis pada tahun 2012.
Diperkirakan hal ini terutama disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi Eropa, penurunan kegiatan produksi Jepang akibat
terjadinya tsunami dan menurunnya kegiatan ekonomi Cina. Sedangkan negara-negara Eropa, khususnya Belanda, dan
Jepang adalah merupakan dua pasar tradisional ekspor Sumatera Barat.
2. Permasalahan dan Kendala
Dari analisis tingkat capaian sebagaimana diuraikan di atas terlihat bahwa tidak semua target yang telah ditetapkan
dalam RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015
24
tercapai. Ini berarti bahwa tingkat capaian yang dihasilkan dalam pelaksanaan 3 tahun rencana pembangunan daerah
tersebut tidak semua dapat dikatakan berhasil dengan baik. Pada bagian ini dibahas berbagai permasalahan dan kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan rencana tersebut yang selanjutnya akan dijadikan sebagai bahan utama untuk
melakukan penyesuaian kebijakan pembangunan sehingga pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah dalam sisa 2
tahun pelaksanaan RPJMD Provinsi Sumatera Barat periode 2010-2015 akan dapat terlaksana secara lebih baik dan sukses
sesuai dengan rencana dan target yang ditetapkan terdahulu.
Menyangkut dengan upaya dan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, permasalahan dan
kendala yang terdapat dalam masyarakat dan dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan daerah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Tidak tercapainya realisasi pertumbuhan ekonomi
Provinsi Sumatera Barat sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam RPJMD disebabkan oleh
beberapa permasalahan yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Pertama
, realisasi PMDN yang relatif rendah dibandingkan dengan tahun 2010.
Kedua
, menurunnya kegiatan ekspor pada tahun 2012 sebagai
akibat dari
krisis ekonomi Eropah
dan mundurnya kegiatan ekonomi Jepang akibat terjadinya
Tsunami,
yang kedua hal ini menyebabkan permintaan terhadap komoditi ekspor Sumatera Barat menurun. Karena
Jepang dan Eropah adalah mitra utama ekonomi Indonesia, maka kondisi tersebut terasa sangat
berpengaruh kepada ekonomi Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun daerah.
2. Peningkatan investasi yang masih relatif rendah juga
terjadi pada investasi pemerintah dan investasi swasta. Untuk investasi pemerintah, nilai yang relatif rendah
terutama disebabkan oleh relatif kecilnya proporsi belanja langsung dimana di dalamnya terdapat belanja
modal terutama yang berasal dari APBD Provinsi Sumatera Barat. Hal ini terjadi karena proporsi belanja
25
tidak langsung yang merupakan pengeluaran rutin ternyata cukup besar yaitu mencapai 60-70 dari total
APBD. Sedangkan nilai APBN yang masuk ke Provinsi Sumatera
Barat pada
tahun 2012
juga relatifkecil.Sedangkan RPJMD Provinsi Sumatera Barat
lebih banyak terkonsentrasi pada program dan kegiatan yang dibiayai oleh APBD. Akibat dari kedua hal tersebut
jumlah nilai
investasi pemerintah
yang dapat
ditanamkan di daerah menjadi relatif lebih kecil. 3.
Sedangkan peningkatan investasi swasta, baik dalam bentuk
Penanaman Modal Dalam Negeri
PMDN dan
Penanaman Modal Asing
PMA juga relatif kecil sebagai akibat dari keterbatasan infrastruktur daerah, baik
jaringan jalan dan tenaga listrik serta iklim investasi yang kurang kondusif. Iklim yang kurang kondusif ini
terutama disebabkan oleh birokrasi dalam perizinan investasi karena belum efektifnya pelaksanaan kantor
pelayanan satu atap yang telah dibangun di beberapa kabupaten dan kota. Disamping itu, tidak dapat
disangkal bahwa sampai saat ini masih terdapatnya beberapa pungutan liar dan kasus korupsi di daerah
yang menyebabkan terjadinya “ekonomi biaya tinggi”.
3. Penyesuaian Kebijakan PembangunanDaerah
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat untuk tahun 2014 dan 2015
mendatang, maka kebijakan terutama akan diarahkan untuk mendorong peningkatan investasi baik pemerintah maupun
swasta. Untuk keperluan peningkatan investasi ini, maka kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat adalah sebagai berikut:
a. Mengupayakan peningkatan porsi jumlah belanja
langsung dalam APBD Sumatera Barat mendatang dengan jalan melakukan peningkatan efisiensi dan
penghematan penggunaan belanja tidak langsung seperti biaya administrasi, pemeliharaan dan perjalanan
dinas yang pada dasarnya merupakan kegiatan konsumsi;
26
b. Memaksimalkan pemanfaatan dana APBN yang dapat
diserap oleh daerah Sumatera Barat dengan jalan menyiapkan rencana program dan kegiatan yang sesuai
dengan sasaran dan kebijakan dalam RPJMNasional, serta memperbaiki efisiensi dan efektifitas pelaksanaan
program dan kegiatan APBN yang berlokasi di daerah Sumatera Barat;
c. Melaksanakan
beberapa program
dan kegiatan
pembangunan daerah tambahan sebagaimana sudah ditetapkan dalam
Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Sumatera Barat
MP3ESB khususnya pada 3 koridor utama yang telah ditetapkan
dalam rencana tersebut; d.
Terus memperbaiki iklim investasi di daerah agar jumlah dan nilai PMDN dan PMA dapat terus meningkat. Dalam
hal ini pembangunan prasarana jalan raya dan penambahan
kapasitas tenaga
listrik serta
mengefektifkan kantor Pelayanan Satu Pintuyang telah ada di daerah merupakan kebijakan yang sangat
penting artinya.
3.2. Pemerataan Ekonomi Daerah 1.
Tingkat Capaian Kinerja
Pemerataan ekonomi daerah merupakan aspek penting dalam pembangunan daerah disamping aspek pertumbuhan.
Pemerataan ekonomi daerah pada dasarnya menyangkut dengan distribusi pendapatan dari hasil produksi tersebut
untuk para pemilik faktor produksi, baik pemilik tanah dan modal, tenaga kerja dan para pengusaha yang mengelola
kegiatan produksi tersebut. Bila distribusi hasil produksi tersebut sangat timpang, maka distribusi pendapatan daerah
menjadi tidak baik sebagaimana diharapkan dan demikian pula sebaliknya.Analisis ini diperlukan karena ketimpangan
pembangunan ekonomi yang tinggi dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang selanjutnya dapat pula mendorong
ketegangan sosial dalam masyarakat.
27
Metode pengukuran distribusi pendapatan yang lazim digunakan adalah dalam bentuk
Gini Rasio
yang diukur dari jumlah pendapatan yang diterima oleh 40 golongan
pendapatan rendah dibandingkan dengan jumlah pendapatan yang diterima golongan pendapatan tinggi dalam masyarakat
bersangkutan. Disamping itu, indikasi pemerataan pendapatan dalam masyarakat dapat pula dilihat dari tingkat kemiskinan
yang terdapat dalam masyarakat bersangkutan. Bila informasi tentang gini rasio ini tidak tersedia, maka tingkat kemiskinan
tinggi dapat juga menunjukkan bahwa pemerataan ekonomi daerah masih belum baik dan demikian pula sebaliknya
bilamana tingkat kemiskinan relatif rendah. Selanjutnya indikasi tentang pemerataan ekonomi daerah dapat pula
dilihat dari tingkat pengangguran yang terdapat pada daerah bersangkutan. Bila mana tingkat pengangguran tinggi berarti
pemerataan ekonomi daerah belum baik karena masih banyak golongan masyarakat belum mendapatkan pekerjaan dan
demikian pula sebaliknya bilamana tingkat pengangguran relatif rendah.
Tingkat capaian pemerataan ekonomi daerah yang sudah dapat dicapai dalam pelaksanaan RPJMD Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2010-2015 adalah seperti terlihat pada Tabel 3.3. Dari tabel ini secara umum terlihat bahwa tingkat
capaian dari segi pemerataan ekonomi daerah ternyata masih belum mencapai target yang sudah ditetapkan dalam rencana.
Indikasi ini terlihat dari kemajuan yang dapat dicapai dalam penanggulangan kemiskinan. Disini terlihat bahwa realisasi
tingkat kemiskinan pada tahun 2011 adalah 8,99 yang berarti lebih tinggi dari target RPJMD pada tahun yang sama
sebesar 8,55 . Ini berarti realisasi tingkat kemiskinan ternyata dibawah target yang telah ditetapkan dalam rencana.
Dengan demikian tingkat capaian yang dapat diperoleh tahun 2011 adalah 95,11 . Sedangkan realisasi tingkat kemiskinan
tahun 2012 adalah sebesar 8 yang berarti telah mencapai target sebesar 8,15 dengan tingkat capaian 101,88.
Akan tetapi bila dilihat tingkat capaian dalam bidang penanggulangan pengangguran untuk tahun 2011, ternyata
hasilnya cukup mengembirakan. Sebagaimana terlihat pada
28
Tabel 3.3, realisasi tingkat pengangguran pada tahun 2011 adalah 6,45 yang berarti lebih baik dari target yang
ditetapkan untuk tahun yang sama yaitu 6,58. Dengan demikian tingkat capaian untuk tahun 2011 adalah 100,21
yang
berarti pelaksanaan
program penanggulangan
pengangguran ternyata cukup baik. Akan tetapi pada tahun 2012 ternyata realisasi tingkat pengangguran lebih rendah
yaitu 6,52 dibandingkan dengan target sebesar 6,22. Dengan demikian tingkat capaian pelaksanaan program
penanggulangan pengangguran pada tahun 2012 ini hanyalah sebesar 95,39. Bila dihubungkan antara tingkat capaian
yang sudah baik dalam penanggulangan kemiskinan dengan capaian
yang relatif
kurang memuaskan
dalam penanggulangan tingkat pengangguran, maka hal ini
memberikan indikasi pula bahwa peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan ternyata sudah dapat mengurangi tingkat
kemiskinan, tetapi jumlahnya belum cukup untuk dapat mengurangi tingkat pengangguran secara keseluruhan untuk
daerah Sumatera Barat pada tahun 2012.
Tabel 3.3 Tingkat Capaian Pemerataan Ekonomi Daerah Provinsi
Sumatera Barat Menurut Sektor Tahun 2010-2012
Catt : Data belum tersedia
2. Permasalahan dan Kendala
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion FGD dengan para wakil SKPD dan pihak berkepentingan lainnya,
maka permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam peningkatan pemerataan pembangunan ekonomi daerah
tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Walaupun kinerja penurunan tingkat kemiskinan sudah
dapat mencapai target yang telah ditetapkan, namun
29
demikian relatif tingginya tingkat pengangguran masih tetap merupakan masalah utama pembangunan daerah
Sumatera Barat. Diperkirakan hal ini terjadi disebabkan oleh peningkatan penyediaan lapangan kerja yang juga
kurang memadai pada tahun 2012. Sementara itu, penciptaan lapangan kerja baru melalui peningkatan
kewirausahaan sebegitu jauh kelihatannya masih sangat terbatas jumlahnya sehingga belum dapat menutup
penambahan jumlah pencari kerja;
b. Kinerja
penurunan pengangguran
yang kurang
memadai pada tahun 2012 diperkirakan erat kaitannya dengan penyediaan lapangan kerja yang masih
terbatas. Disamping itu, kondisi ini diperkirakan juga disebabkan karena hasil yang dicapai dengan program-
program pemberdayaan masyarakat yang kurang optimal. Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh budaya
dan tingkah laku turut pulamenyebabkan kurang berhasilnya
program-program pemberdayaan
masyarakat tersebut. c.
Relatif lambatnya proses pengurangan jumlah daerah tertinggal yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat
terutama disebabkan karena tidak terlalu jelasnya kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong proses
pembangunan di daerah tertinggal. Disamping itu, permasalahan dan kendala khusus yang terdapat di
daerah bersangkutan turut pula memperlambat proses pengurangan jumlah daerah tertinggal tersebut.
3. Penyesuaian Kebijakan Pembangunan Daerah
Dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kinerja pemerataan pembangunan ekonomi daerah Provinsi Sumatera
Barat untuk sisa 2 tahun pelaksanaan RPJMD 2014 dan 2015, maka penyesuaian kebijakan yang akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
a. Terus diupayakan
untuk mengarahkan
dan mengintensifkan
pelaksanaan program-program
penanggulangan kemiskinan dalam rangka mengurangi
30
jumlah penduduk dan keluarga miskin di daerah yang sampai saat ini jumlahnya masih cukup besar. Dalam hal
ini program dan kegiatan yang perlu diprioritaskan adalah dalam bentuk peningkatan pemberian bantuan dan fasilitas
bagi penduduk miskin dan peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin serta peningkatan pemberian beasiswa
keluarga miskin untuk mengatasi kemungkinan terjadinya putus sekolah;
b. Terus diupayakan peningkatan penyediaan lapangan kerja baru guna mengurangi tingkat pengangguran melalui
peningkatan kegiatan-kegiatan
padat karya
dan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah UKM. Sejalan
dengan hal ini perlu pula kemampuan wirausaha masyarakat
guna dapat
meningkatkan penciptaan
lapangan kerja melalui pembentukan usaha baru yang mempunyai kelayakan;
c. Mengintensifkan kembali program
Keluarga Berencana
KB guna menekan perkembangan jumlah penduduk dan sekaligus mengurangi jumlah pencari kerja sehingga
tingkat pengangguran di daerah dapat diturunkan secara bertahap dan keluarga kecil sejahtera dapat pula
diwujudkan;
d. Memberikan perhatian, kebijakan dan bantuan khusus untuk pengembangan daerah tertinggal yang masih ada di
Provinsi Sumatera Barat sehingga secara berangsur-angsur jumlah daerah tertinggal tersebut akan dapat dikurangi
secara bertahap. Sejalan dengan hal tersebut peranan Gubernur dalam melakukan koordinasi pembangunan antar
wilayah perlu pula terus ditingkatkan.
3.3. Kemakmuran dan Kesejahteraan Masyarakat 1.
Tingkat Capaian Kinerja
Sesuai dengan tujuan nasional, aspek kemakmuran adalah salah satu sasaran akhir dari proses pembangunan pada suatu
daerah. Alasannya
jelas karena
seluruh masyarakat
menginginkan kemakmurannya semakin lama akan semakin meningkat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
31
sejahtera dalam jangka panjang. Karena itu, evaluasi pelaksanaan
kegiatan pembangunan
daerah untuk
mengetahui tingkat capaian dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan tentunya
menjadi bagian penting dalam evaluasi pelaksanaan RPJMD Provinsi Sumatera Barat 2010-2012.
Indikator kemakmuran daerah yang dapat digunakan untuk
memperlihatkan kemajuan
dalam peningkatan
kemakmuran masyarakat daerah dapat dilakukan dalam beberapa bentuk.
Pertama
adalah dengan melihat pada perkembangan nilai PDRB dengan harga berlaku yang sudah
dapat dihasilkan dalam periode perencanaan. Alasannya adalah karena nilai PDRB tersebut adalah merupakan nilai
produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh masyarakat suatu daerah dalam periode tertentu.
Kedua
, nilai pendapatan perkapita yang diperoleh dengan membagi Nilai
PDRB dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. Nilai PDRB Perkapita ini merupakan indikator kemakmuran ekonomi
daerah yang lebih baik dan dapat dibandingkan antar daerah.
Ketiga
, mengingat kemakmuran tersebut bukanlah hanya bersifat materi saja, maka indikator yang lebih baik dan
bersifat komprehensif
adalah
Indek Pembangunan
Manusia
IPM. Angka IPM pada dasarnya adalah indek gabungan dari tiga unsur pembangunan yaitu pendapatan
daya beli masyarakat, pendidikan dan kesehatan.Tingkat capaian dari ketiga unsur ini ditampilkan pada Tabel 3.4
Informasi pada Tabel 3.4 memperlihatkan bahwa capaian pembangunan dalam nilai PDRB dengan harga
berlaku pada tahun 2011 menunjukkan bahwa realisasi sebesar 98,92 triliun rupiah ternyata berada dibawah target
dalam RPJMD sebesar 100,64 triliun rupiah. Dengan demikian tingkat capaian pembangunan yang dihasilkan adalah 98,92
dari tingkat yang diharapkan. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2012 dimana realisasi yang dicapai ternyata adalah
110,37 triliun rupiah yang berada dibawah target yang ditetapkan sebesar 112,82 triliun rupiah. Ini berarti bahwa
capaian pembangunan yang dapat dihasilkan adalah 97,83
32
dari target yang ditetapkan yang bahkan lebih rendah lagi dari tahun sebelumnya 2011.
Tabel 3.4 Tingkat Capaian Kemakmuran Ekonomi Daerah
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2012
Ket : Data per bulan September 2013
Tingkat capaian dari segi nilai PDRB dengan harga berlaku tersebut secara langsung mempengaruhi pula capaian
dari segi pendapatan perkapita. Sebagaimana terlihat pada Tabel 3.4, realisasi nilai pendapatan perkapita pada tahun
2011 adalah Rp. 20,17 juta yang berarti sedikit lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam rencana sebesar Rp. 20.26
juta. Dengan demikian tingkat capaian yang diperoleh adalah 99,56. Selanjutnya untuk tahun 2012, realisasi pendapatan
perkapita ternyata adalah Rp. 22.21juta sedangkan target yang ditetapkan dalam RPJMD Provinsi Sumatera Barat adalah
Rp. 22,40. Dengan demikian tingkat capaian yang diperoleh masih bersamaan dengan tahun 2011 yaitu 99,15. Dari
informasi terlihat dari segi tingkat kemakmuran ekonomi daerah, ternyatakemajuan yang dapat dicapai Provinsi
Sumatera Barat masih sedikit lebih rendah dari target yang direncanakan semula.
Namun demikian, bila evaluasi tingkat capaian kemakmuran masyarakat tersebut tidak hanya pendapatan,
tetapi juga termasuk aspek pendidikan dan kesehatan, makatingkat capaian yang diperoleh sedikit lebih baik. Kondisi
ini terlihat dari realisasi angka IPM yang dihasilkan pada tahun 2011 yang mencapai 74,28 yaitu sedikit lebih baik dari target
yang ditetapkan dalam rencana sebesar 74,24. Dengan
33
demikian tingkat capaian yang diperoleh adalah 100,05 yang berarti kegiatan pembangunan dalam tahun 2011
tersebut sudah dapat mencapai target yang ditetapkan semula dalam rencana. Akan tetapi untuk tahun 2012 ternyata tingkat
capaian IPM tersebut ternyata masih 99,52 karena realisasi IPM yang dapat dicapai ternyata sedikit berada dibawah target
yang telah ditetapkan semula. Ini berarti bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia Provinsi Sumatera Barat tahun
2012 masih belum dapat mencapai target yang telah ditetapkan semula dalam RPJMD.
2. Permasalahan dan Kendala
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa permasalahan dan kendala umum yang dihadapi Provinsi Sumatera Barat
dalam meningkatkan
kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Masih tetap relatif rendahnya nilai tambah hasil
produksi yang dapat diterima oleh para petani dan nelayan karena kegiatan usaha masih terfokus pada
kegiatan budidaya. Sedangkan kegiatan pengolahan hasil agroindustri dan perdagangan, baik dalam negeri
atau ekspor, sebagaimana tercakup dalam kegiatan agribisnis sebegitu jauh masih ternyata belum banyak
dapat dilakukan;
b. Masih sangat terbatas kegiatan inovasi yang dapat
meningkatkan kualitas produk lama atau menghasil produk-produk baru yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi sehingga peningkatan nilai tambah untuk masyarakat dalam jumlah berarti masih sulit dilakukan;
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna untuk pengelolaan
sumberdaya alam di daerah sampai saat ini masih tetap rendah.
Kondisi ini
selanjutnya menyebabkan
peningkatan produktifitas hasil pertanian, industri dan jasa yang dilakukan di daerah menjadi tidak banyak
mengalami kemajuan.
34 3.
Penyesuaian Kebijakan PembangunanDaerah
Untuk dapat memecahkan permasalahan dan kendala pembangunan
tersebut dan
sekaligus untuk
dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat di daerah, maka
penyesuaian kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. Mendorong
kegiatan agrobisnis
dengan mengembangkan kegiatan pengolahan hasil produksi
pertanian dalam bentuk kegiatan “agroindustries”. Sejalan dengan hal tersebut perlu pula terus
dikembangkan kegiatan pemasaran hasil dengan meningkatkan kegiatan perdagangan dalam negeri dan
luar negeri ekspor;
b. Mendorong pengembangan kegiatan inovasi daerah
melalui penerapan
Sistem Inovasi Daerah
SIDa Provinsi Sumatera Barat sebagaimana telah disusun dan
ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam bentuk
Road-Map Penguatan Sida;
c. Mendirikan dan mengembangkan kembali
Badan Penelitian,
Pengembangan danInovasiDaerah
Balitbangnovda untuk
mengarahkan dan
mengembangkan kegiatan
penelitian dan
pengembangan RD yang bersifat teknologi terapan di Sumatera Barat dalam rangka pengembangan inovasi
dan IPTEK.
d. Mendorong pengembangan usaha ekonomi kreatif yang
mengandung unsur keterampilan khusus yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat seperti kain songket,
sulaman, kerajinan perak, kuliner khas Minangkabau dan lain-lainnya.
35
BAB IV EVALUASI KINERJA KEUANGAN
Evaluasi kinerja
keuangan mencakup
evaluasi pendapatan
daerah, struktur
belanja dan
evaluasi kemampuan
keuangan daerah,
evaluasi pelaksanaan
anggaran berdasarkan prioritas, dan perkiraan pendapatan pada masa datang.
4.1. Evaluasi Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajakbukan bagi
hasil pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Sedangkan lain-lain pendapatan daerah yang sah meliputi
hibah, dana darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi lainnya, dana penyesuaian dan otonom khusus serta bantuan
dari pemerintah daerah lainnya.
Sejalan dengan perubahan undang-undang yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah,
yaitudari Undang-Undangan No 34 tahun 2000 menjadi Undang-Undangan No. 28 Tahun 2009, maka orientasi
kebijakan pandapatan utama pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada dua tahun terakhir lebih menekankan kepada
penyusunan peraturan daerah untuk pelaksanaan undang- undang tersebut serta dampak pemberlakuan perubahan
terhadap perkiraan pendapatan asli daerah. Di samping itu, juga dilakukan penyempurnaan terhadap pelaksanaan
peraturan terkait sehingga mampu meningkatkan penerimaan daerah. Secara lebih khusus, kebijakan pendapatan yang
dituangkan dalam RKPD tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Penerapan Perubahan Perda tentang pajak dan retribusi daerah, khususnya pengenaan pajak pada mobil plat
merah, pajak progresif dan menaikan tarif pajak.
36
2. Peningkatan pelayanan kepada pajak daerah melalui samsat keliling, samsat
quick respon
SQR,
drive thru
untuk mempermudah dan menambah akses wajib pajak. 3. Mengembangkan Sistem Informasi manajemen SIM
Samsat Link berbasis teknologi. 4. Mengintensifkan Razia kendaraan bermotor
5. Meningkatkan perubahan status rumah sakit daerah menjadi BLUD
6. Pemberian insentif kepada pemungut retribusi, untuk meningkatkan kinerja instansi pemungut.
7. Mengoptimalkan koordinasi dengan kabupaten kota dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi didaerah.
8. Mengoptimalkan inventarisasi izin pertambangan yang diterbitkan kabupatenkota, provinsi dan pusat.
9. Meningkatkan koordinasi dengan pemerintah pusat terkait dengan dana DAU, DAK, Dana Penyesuain dan dana bagi
hasil. Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2012 juga telah
menerapkan kebijakan pemutihan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, kendaraandengan nomor polisinon-BA. Kebijakan
ini dilakukan agar berbagai jenis kendaraan non-BA yang beroperasi dan menikmati fasilitas jalan di Sumatera Barat
juga membayar pajak kendaraan bermotor di Sumatera Barat. Dengan
kebijakan ini
diharapkan penerimaan
pajak kendaraan bermotor pada tahun-tahun mendatang dapat
ditingkatkan. Evaluasi kinerja pendapatan daerah dapat dilakukan
dengan berbagai
cara, antara
lain berdasarkan
perkembanganpeningkatanrealisasi jumlah
pendapatan. Secara total, realisasi jumlah pendapatan daerah Provinsi
Sumatera Barat mengalami peningkatan sebesar 33,8, yaitu dari Rp. 2.184,0 Milyar pada tahun 2011 menjadi Rp.2.922,6
Milyar pada tahun 2012. Besarnya peningkatan pendapatan ini terjadi karena penerimaan dana Bantuan Operasional
Sekolah BOS dari Pemerintah Pusat yang diakui
37
diperlakukan sebagai bagian pendapatan hibah. Padahal setelah diterima, dana ini akan didistribusikan kembali kepada
pemerintah kotakabupaten. Dana BOS yang berjumlah Rp. 543,9 Milyar hanya numpang lewat. Oleh sebab itu,
pemberlakukan
penerimaan Dana
BOS ini
sebagai Pendapatan Hibah dalam analisis kinerja adalah kurang tepat,
karena tidak mencerminkan hal sesungguhnya atau dapat dibelanjakan untuk tujuan lain.
Jika Pendapatan Hibah Dana BOS dikeluarkan dari perhitungananalisis, realisasi jumlah pendapatan daerah
Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan dari Rp. 2.184,0 Milyar pada tahun 2011 menjadi Rp. 2.378,7 Milyar
pada tahun 2012; yang berarti meningkat sebesar Rp. 194,7 Milyar. Peningkatan jumlah Pendapatan Asli Daerah PAD
hanya sebesar Rp. 1,1 Milyar, sedangkanpeningkatan jumlah pendapatan dana perimbangan berjumlah Rp. 212,0 Milyar,
yang terdiri dari peningkatan Dana Alokasi Umum DAU berjumlah Rp. 153,9 Milyar dan pendapatan bagi hasil pajak
dan bukan pajak berjumlah Rp. 66,4 Milyar. Dengan demikian, peningkatan jumlah PAD jauh lebih rendah dari
pada peningkatan jumlah pendapatan DAU dan Bagi Hasil Pajak.
Evaluasi kinerja pendapatan daerah yang kedua dapat dilakukan berdasarkan perbandingan realisasi dengan
anggaran. Pada tahun 2011, Provinsi Sumatera Barat menganggarkan pendapatan daerah sebesar Rp. 2.071,2
Milyar dan pada tahun 2012 sebesar Rp. 2.349,6 Milyar. Realisasi pendapatan pada kedua tahun tersebut sedikit lebih
tinggi daripada yang dianggarkan, sehingga capaian realisasi pendapatan pada tahun 2011 adalah 105.5 dan pada
tahun 2012 adalah 101,2. Hal ini berarti kedua capaian ini mengambarkan kinerja yang baik, tetapi kualitas capaian
pada tahun 2011 jauh lebih baik dibandingkan tahun 2012.
Analisis berdasarkan kelompok sumber pendapatan daerah menunjukkan bahwa capaian kinerja realisasi
anggaran pendapatan dana perimbangan pada tahun 2011 dan tahun 2012 juga jauh berbeda, dimana capaian kinerja
pada tahun 2011 adalah 103,8 dan tahun 2012 sebesar
38
103,3. Akan tetapi, capaian realisasi anggaran PAD menunjukkan penurunan; jika pada tahun 2011 mampu
dihasilkan tingkat capaian sebesar 106,72 tetapi pada tahun 2012 hanya mampu dihasilkan 99,46. Dengan demikian,
capaian kinerja realisasi anggaran PAD tahun 2012 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2011 dan juga
dibandingkan dengan sumber pendapatan daerah lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi jumlah, peningkatan realisasi PAD jauh lebih
rendah dibandingkan
dengan peningkatan
sumber pendapatan daerah lainnya. Dari segi capaian realisasi
anggaran pendapatan, capaian kinerja PAD juga lebih rendah dibandingkan dengan dua sumber pendapatan daerah
lainnya. Tabel 4.1 berikut memperlihatkan perkembangan angaran dan realisasi pendapatan, serta tingkat capaian pada
tahun 2011 dan tahun 2012.
39
40
Metode evaluasi kinerja pendapatan yang ketiga dapat dilakukan dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan
target yang ditetapkan dalam RPJMD. Pada tahun 2011, target pendapatan daerah yang ditetapkan berjumlah Rp. 1.986,6
Milyar dan meningkat menjadi Rp. 2.106,2 Milyar pada tahun 2012. Dari segi jumlah, pendapatan yang dihasilkan baik pada
tahun 2011 maupun tahun 2012 jauh lebih besar dibandingkan target yang ditetapkan. Namun tahun 2012 menghasilkan
realisasi peningkatan jumlah pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan tahun 2011, dimana pada tahun 2011
dihasilkan peningkatan jumlah pendapatan sebesar Rp. 197,4 Milyar dan pada tahun 2012 sebesar Rp. 272,4 Milyar.
Analisis berdasarkan sumber pendapatan menunjukkan terjadinya perbedaan sumber peningkatan jumlah pendapatan
yang lebih besar. Pada tahun 2011, peningkatan realisasi PAD lebih besar daripada peningkatan realisasi Pendapatan Dana
Perimbangan, yaitu sebesar Rp. 137,7 Milyar berbanding Rp. 37,3 Milyar pada tahun 2012. Kondisi sebaliknya terjadi pada
tahun 2012, dimana peningkatan realisasi PAD lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan realisasi Pendapatan Dana
Perimbangan, yaitu sebesar Rp. 80,9 Milyar berbanding Rp. 187,7 Milyar.
Perbedaan sumber peningkatan jumlah pendapatan tahun 2011 dan tahun 2012 tersebut menghasilkan terjadinya
penurunan capaian kinerja realisasi target pendapatan PAD. Sebaliknya terjadi kenaikan capaian kinerja realisasi target
Pendapatan Dana Perimbangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja pencapaian target pendapatan
daerah sangat baik, dan kontribusi kinerja sumber Pendapatan Dana Perimbangan lebih tinggi dibandingkan dengan sumber
PAD. Tabel 4.2 berikut menyajikan data tentang perkembangan target dan realisasi pendapatan tahun 2011 dan tahun 2012.
41
42 4.2. Struktur Belanja dan Evaluasi Kemampuan
Keuangan Daerah
Belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah terkait fungsi pemerintah daerah itu
sendiri. Sesuai dengan konsep perencanaan berbasis kinerja, pengeluaran daerah tersebut dibedakan atas belanja tidak
langsung dan belanja langsung.
Kebijakan pengeluaran yang utama yang dijalankan Provinsi Sumatera Barat dalam 2 tahun terakhir ini adalah
meningkatkan kualitas belanja dengan tetap memperhatikan kecukupan belanja Gaji PNS dan tanggungjawabnya sebagai
provinsi yang juga harus membagihasilkan sebagian PAD yang diperoleh dan memberikan bantuan keuangan kepada
kabupatenkota dan pemerintahan desa. Secara lebih rinci, arah kebijakan belanja yang dituangkan dalam RKPD tahun
2012 adalah sebagai berikut:
1. Belanja tidak langsung:
a. Mengarahkan
penggunaan terutama
pada pengeluaran gaji PNS dengan mengantisipasi
kenaikan gaji pada tahun 2012. b.
Pada belanja bagi hasil kepada kabupatenkota diberikan porsi sesuai dengan persentase yang
telah ditetapkan
yang mengacu
kepada pendapatan asli daerah.
c. Terhadap
bantuan keuangan
kepada kabupatenkota diusahakan seefektif mungkin
sesuai dengan program provinsi yang harus dilaksanakan ditingkat kabupatenkota.
d. Pengurangan belanja bantuan sosial dan belanja
hibah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahwa belanja hibah dan bantuan sosial tidak
boleh terlalu besar.
e. Belanja tak terduga diarahkan penggunaannya
untuk mengantisipasi kejadian kebencanaan baik bencana alam maupun bencana sosial.
43 2.
Belanja langsung:
a. Melaksanakan fungsi
pemerintah berdasarkan
urusan pokok dan urusan pilihan b. Meningkatkan
alokasi anggaran
untuk melaksanakan urusan wajib seperti peningkatan
kualitas pendidikan dan pemerataan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan
peningkatan pemeratan pelayanan kesehatan.
c. Menganggarkan untuk mengembangkan ekonomi rakyat, peningkatan infrastruktur yang menunjang
peningkatan ekonomi, meningkatkan anggaran untuk kesiapsiagaan bencana.
d. Meningkatkan belanja publik atau belanja modal guna pembiayaan kegiatan pembangunan dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.
e. Mengalokasikan anggaran
untuk penunjang
operasional perkantoran. Sebelum pembahasan tentang kemampuan keuangan
daerah perlu dilakukan analisis belanja daerah. Analisis dilakukan dengan mengeluarkan belanja hibah Dana BOS
yang berasal dari pemerintah pusat. Anggaran belanja pada tahun 2011 berjumlah Rp. 2.328,8 Milyar dan realisasi pada
tahun yang sama berjumlah Rp. 2.133,0 Milyar. Hal ini berarti tingkat capaian realisasi anggaran belanja tahun 2011 adalah
91,6. Sedangkan capaian realisasi anggaran belanja tahun 2012 lebih rendah yaitu menjadi 92,9, dimana anggaran
belanja berjumlah Rp. 2611,7 Milyar dan realisasi belanja Rp. 2.426,2 Milyar.
Analisis berdasarkan klasifikasi belanja langsung dan belanja tidak langsung menunjukkan bahwa jumlah belanja
tidak langsung pada tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami sedikit penurunan. Pada tahun 2011, realisasi belanja tidak
langsung berjumlah Rp. 1.087,7 Milyar dan pada tahun 2012 adalah Rp. 1.056,3 Milyar. Sedangkan untuk realisasi belanja
langsung terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Jika
44
pada tahun 2011 jumlah belanja langsung adalah Rp. 1.045,2 Milyar dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp. 1.369,9
Milyar. Dengan demikian, kebijakan untuk lebih meningkatkan pengeluaran
untuk belanja
langsung baca
kinerja merupakan keputusan yang baik yang diharapkan dapat
meningkatkan kinerja pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, dan daya saing daerah.
Dua 2 komponen belanja tidak langsung yang terbesar adalah belanja pegawai dan belanja bagi hasil
kepada kotakab dan pemerintahan desa. Sesuai dengan kenaikan gaji PNS, jumlah belanja tidak langsung pegawai
mengalami peningkatan dari Rp. 490,3 Milyar pada tahun 2011 menjadi Rp. 524,5 Milyar pada tahun 2012. Sebaliknya,
jumlah belanja bagi hasil kepada kotakab dan pemerintahaan desa mengalami sedikit penurunan yaitu dari Rp. 403,0 pada
tahun 2011 menjadi Rp. 390,9 Milyar pada tahun 2012. Demikian juga dengan belanja sosial dan belanja bantuan
keuangan, relatif lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama akibat perubahan kebijakan untuk
membagihasilkan PAD yang dihasilkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dua 2 komponen belanja langsung yang terbesar adalah belanja barang dan jasa serta belanja modal. Realisasi
belanja modal meningkat sangat signifikan, yaitu dari Rp. 525,0 Milyar pda tahun 2011 menjadi Rp. 645,6 Milyar pada
tahun 2012. Sedangkan realisasi belanja barang dan jasa meningkat lebih tinggi, yaitu dari Rp. 440,3 Milyar pada tahun
2011 menjadi Rp. 606,9 Milyar pada tahun 2012. Di samping karena kebijakan belanja langsung yang ditetapkan,
peningkatan belanja barang dan jasa yang lebih besar ini juga disebabkan adanya kekeliruan penganggaran belanja modal
tertentu sehingga harus direklasifikasi menjadi belanja barang dan jasa.
Lebih besarnya jumlah belanja daerah dibandingkan pendapatan yang dihasilkan mengakibatkan sebagian belanja
tersebut didanai dengan pembiayaan, khususnya terjadi pada tahun 2012. Jika pada tahun 2011 penerimaan pembiayaan
berjumlah Rp. 335,2 Milyar dan sampai akhir tahun 2011
45
ternyata sisa lebih pembiayaan anggaran masih lebih besar yaitu sebesar Rp. 361,3 Milyar. Tetapi pada akhir tahun 2012,
jumlah sisa lebih pembiayaan anggaran menjadi Rp. 271,2 Milyar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2011 Provinsi Sumatera Barat belum mampu membelanjakan seluruh pendapatan yang diperoleh pada
tahun yang sama. Tetapi, pada tahun 2012, Provinsi Sumatera Barat telah menggunakan seluruh pendapatan yang
diperoleh pada tahun yang sama, bahkan telah menggunakan sebagian sisa lebih pembiayaan anggaran tahun sebelumnya.
Tabel berikut menyajikan anggaran dan realisasi belanja dan pembiayaan Provinsi Sumatera Barat tahun 2011 dan tahun
2012.
46
47
Analisis realisasi menunjukkan bahwa capaian realisasi belanja tidak langsung pada tahun 2011 lebih tinggi
dibandingkan capaian realisasi belanja langsung. Jika capaian realisasi belanja tidak langsung tahun 2011 sebesar 94,5
maka capaian realisasi belanja langsung 88,7. Kondisi seperti ini menunjukkan kinerja yang kurang baik, karena
kurang
memperhatikan belanja
yang berorientasikan
peningkatan kinerja. Kinerja capaian realisasi belanja pada tahun 2012 berbeda dengan tahun 2011. Jika capaian
realisasi belanja tidak langsung tahun 2012 adalah 93,1, maka capaian realiasi belanja langsung sedikit lebih rendah
yaitu 92,9. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa capaian kinerja pelaksanaan anggaran belanja pada tahun
2012 lebih baik dibandingkan tahun 2011, dimana capaian belanja langsung lebih tinggi dari belanja tidak langsung,
yang berarti lebih memperhatikan belanja yang berorientasi pada peningkatan kinerja.
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan
belanja Provinsi
Sumatera Barat
adalah berdasarkan proporsi masing-masing elemen belanja. Jika
pada tahun 2011 belanja pegawai tidak langsung dan langsung merupakan pengeluaran daerah yang terbesar,
sedangkan pada tahun 2012 pengeluaran daerah terbesar digunakan untuk belanja modal.
Analisis peningkatan proporsi belanja menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai terjadi penurunan, yaitu dari
26,7 pada tahun 2011 menjadi 26,5 pada tahun 2012. Sedangkan untuk belanja barang dan jasa serta belanja
modal terjadi peningkatan. Jika pada proposi belanja barang dan jasa tahun 2011 berjumlah 20,6 dan meningkat
menjadi 25,0 pada tahun 2012, atau terjadi peningkatan sebesar 4,4. Demikian juga untuk belanja modal, jika pada
proporsi pada tahun 2011 adalah 24,6 meningkat menjadi 26,6 pada tahun 2012.Dengan demikian dapat disimpulkan
kualitas belanja tahun 2012 lebih baik dibandingkan dengan tahun 2011. Tabel 4.4 berikut memperlihatkan distribusi
belanja tahun 2011 dan tahun 2012.
48 Tabel 4.4
Persentase Distribusi Belanja Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011
–2012
Sumber: Laporan Keuangan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 diolah
Peraturan Menteri Keuangan No. 73PMK.022006 Tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan
Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah, serta dipertegas oleh Permendagri No. 21
Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah,
Penganggaran dan
Pertanggung-jawaban Penggunaan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Serta Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional,
menjelaskan bahwa penentuan kemampuan keuangan daerah dihitungdari selisih antara pendapatan umumdaerah dikurangi
belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah PNSD. Pendapatan umum daerah terdiri atas pendapatan asli daerah ditambah
dana bagi hasil dan dana alokasi umum, sedangkan belanja PNSDterdiri atas gaji dan tunjangan PNSD yang meliputi gaji
pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan beras, dan tunjangan pajak penghasilan PPh Pasal 21.
Dalam Permendagri Nomor 21 Tahun 2007 selanjutnya dijelaskan bahwa pengelompokkan kemampuan keuangan
daerah untuk provinsi, diatur sebagai berikut:
49
1. di atas Rp.1.500.000.000.000,00 satu trilyun lima ratus
milyar rupiah
dikelompokkan pada
kemampuan keuangan daerah tinggi;
2. antara Rp.600.000.000.000,00 enam ratus milyar
sampai dengan Rp.1.500.000.000.000,00 satu trilyun lima
ratus miliar
rupiah dikelompokkan
pada kemampuan keuangan daerah sedang; dan
3. di bawah Rp.600.000.000.000,00 enam ratus milyar
dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah rendah.
Hasil perhitungan berdasarkan Permendari Nomor 21 Tahun 2007 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah
pendapatan umum daerah yang dihasilkan adalah Rp. 2.115,56 Milyar dan belanja gaji dan tunjangan Rp. 490,3
Milyar, sehingga kemampuan keuangan daerah pada tahun 2011 berjumlah Rp. 1.625,3 Milyar. Pada tahun 2012, jumlah
Pendapatan Umum Daerah sebesar Rp. 2.336,8 Milyar dan belanja gaji dan tunjangan Rp. 524,5 Milyar, sehingga
kemampuan keuangan daerah Provinsi Sumatera Barat sedikit mengalami peningkatan, yaitu menjadi Rp. 1.812,3 Milyar.
Dengan demikian, kemampuan keuangan daerah Provinsi Sumatera Barat tergolong baik, karena baik pada tahun 2011
maupun pada tahun 2012 jumlah kemampuan keuangan daerah di atas Rp. 1.500 Milyar.
Tabel 4.5 Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2011-2012
Sumber: Laporan Keuangan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 diolah
50
Di samping metode perhitungan di atas, kemampuan keuangan
daerah juga
dapat dihitung
berdasarkan sejauhmana daerah mampu membiayai kebutuhan belanja
daerah dari sumberdana yang berasal dari daerah sendiri. Metode perhitungan seperti ini juga sudah lazim digunakan
oleh Bappenas. Dengan demikian, penentuan kemampuan keuangan
daerah juga
akan dihitung
berdasarkan perbandingan antara PAD dengan jumlah belanja daerah.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian awal bab ini bahwa antara tahun 2011 dan tahun 2012 pendapatan
daerah Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan pendapatan daerah tersebut
terutama berasal dari Pendapatan Dana Perimbangan, sedangkan peningkatan PAD relatif jauh lebih rendah. Lebih
rendahnya peningkatan PAD pada tahun 2012 mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan keuangan daerah dalam
membiayai kebutuhan belanjanya.
Perhitungan kemampuan keuangan daerah yang diukur dari Pendapatan Asli Daerah dibagi dengan Belanja Daerah
menunjukkan bahwa kemampuan Provinsi Sumatrera Barat dalam membiayai kebutuhan belanja mengalami penurunan
dari 57,4 pada tahun 2011 menjadi 50,5 pada tahun 2012, atau turun sebesar 6,9 dari tahun 2011. Pada masa
datang, Provinsi Sumatera Barat harus mengusahakan intensifikasi pemungutan pajak daerah agar penurunan
kemampuan keuangan daerah seperti ini tidak terjadi lagi.
Jika dibandingkan dengan kemampuan keuangan daerah yang direncanakan secara tidak langsung dihitung
dari anggaran, capaian realisasi kemampuan keuangan daerah jauh lebih baik. Pada tahun 2011, kemampuan
keuangan daerah yang direncanakan 49,3 dan menurun menjadi 47,2 tahun 2012 atau turun sebesar 2,1. Akibat
penurunan
realisasi kemampuan
keuangan daerah
sebagaimana dijelaskan di atas, maka terjadi penurunan capaian kinerja realisasi kemampuan keuangan daerah dari
116,4 pada tahun 2011 menjadi 107,0 pada tahun 2012.
51 Tabel 4.6
Persentase Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Anggaran, Realisasi, dan
Tingkat Capaian
Tahun 2011 Tahun 2012
Anggaran Realisasi Capaian Anggaran Realisasi Capaian 49,3
57,4 116,4
47,2 50,5
107,0
Sumber: Laporan Keuangan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 diolah
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah menetapkan berbagai kebijakan belanja dalam rangka mencapai sasaran
strategis yang telah ditetapkan dalam RPJMD, namun salah satu kebijakan belanja sebagaimana yang diungkapkan dalam
RKPD tah un 2011 yaitu “menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan perundangan melalui penetapan peraturan daerah tentang
pengelolaan keuangan seperti Standar Pelayanan Minimum SPM dan Analisa Standar Belanja ASB, Sistem Akuntansi
dan Sistem Informasi Keuangan Daerah, belum dijalankan
sepenuhnya”. Sampai saat ini Provinsi Sumatera Barat belum
menyusun dan menetapkan target-target SPM yang ingin dicapai, serta belum menetapkan ASB yang akan digunakan
tahap perencanaan dan penilaian kewajaran usulan belanja. Akibatnya, penilaian efisiensi capaian sasaran strategis
Provinsi Sumatera Barat tidak dapat dilakukan dengan baik.
4.3. Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Berdasarkan Prioritas
Tahap pertama dalam mengevaluasi pelaksanaan anggaran berdasarkan prioritas di lihat dari jumlah sasaran
strategis yang ingin dicapai pada tahun 2011 dan tahun 2012. Pada tahun 2011 terdapat 37 sasaran strategis, dan pada
tahun 2012 terdapat 56 sasaran strategis yang ingin dicapai. Perbedaan jumlah sasaran strategis ini secara tidak langsung
menunjukkan konsistensi perencanaan yang kurang begitu baik, walaupun dapat dipahami hal ini terjadi antara lain
52
disebabkan penyusunan RPJMD tahun 2010-2015 baru diselesaikan pertengahan tahun 2011.
Secara umum, capaian realisasi belanja atau serapan dana berdasarkan perioritas pada tahun 2012 lebih tinggi
dibandingkan tahun 2011. Capaian kinerja keuangan seperti ini seharusnya mampu lebih meningkatkan capaian target
indikator kinerja. Namun demikian, pada tahun 2012 terdapat beberapa prioritas yang serapan dana anggaran belanjanya
tergolong kurang baik.Secara lebih rinci, serapan dana anggaran belanja pada tahun 2012 dapat digolongkan
sebagai berikut:
a. 49 sasaran strategis dari 57 sasasaran strategis dengan
tingkat capaian realisasi keuangan antara 85 - 100 . Hal ini menunjukan 49 sasaran strategis menunjukkan
pencapaian kinerja
keuangan dengan
predikat keberhasilan sangat baik.
b. 5 sasaran strategis menunjukan tingkat capaian realisasi
keuangan antara 80 - 84. Hal ini juga menunjukkan tingkat capaian kinerja keuangan dengan predikat
keberhasilan baik.
c. 1 sasaran strategis tidak ada alokasi anggaran dari APBD
Tahun 2012, yaitu meningkatnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana. Hal ini disebabkan karena,
program dan kegiatan yang berkaitan dengan pasca bencana di Sumatera Barat tahun 2009 sampai tahun
2012 masih disediakan pada programkegiatan yang dananya bersumber dari APBN Tahun 2012.
d. 3 sasaran strategis tingkat capaian kinerja keuangannya
di bawah 75 , yaitu : -
Meningkatnya jumlah pasar yang layak bagi perdagangan sebesar 27,6
- Meningkatnya
wisatawan nusantara
dan mancanegara sebesar 72,6.
- Meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan
energi listrik sebesar 72,1
53
Rendahnya capaian kinerja keuangan pada 3 sasaran strategis tersebut di atas disebabkan karena, program
dan kegiatan yang telah dialokasikan anggaran pada DPA SKPD yang bertanggung jawab tidak sesuai dengan
urusan
dan kewenangan
provinsi, sehingga
programkegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh SKPD yang bersangkutan.
Perkembangan kinerja keuangan belanja langsung daerah untuk program dan kegiatan yang langsung
mendukung pencapaian 57 sasaran strategis Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tahun 2011 sampai dengan tahun
2012 menunjukan kecenderungan meningkat.Tabel 4.7 berikut
menyajikan jumlah
anggaran, realisasi,
dan persentase capaian realisasi belanja berdasarkan sasaran
strategis. Evaluasi pelaksanaan anggaran berdasarkan prioritas
tidak dapat hanya dilakukan berdasarkan jumlah anggaran atau realisasi. Anggaran dan atau realisasi belanja yang besar
belum tentu merupakan sesuatu prioritas. Oleh sebab itu, evaluasi
pelaksanaan anggaran
berdasarkan prioritas
didasarkan pada 1 jumlah realisasi belanja terbesar, 2 jumlah realisasi belanja terendah, 3 peningkatan capaian
realisasi belanja terbesar, dan 4 penurunan capaian realisasi belanja terendah.
54 Tabel 4.7
Jumlah Anggaran, Realisasi, dan Persentase Capaian Belanja Berdasarkan Sasaran Strategis
Tahun 2011 dan 2012.
Sekalipun Provinsi Sumatera Barat menggunakan philosopi ABS dan SBK, namun untuk mempertahankan dan
membudayakan philosopi Minangkabau tersebut dikalangan anak muda tidaklah mudah. Kebijakan Provinsi Sumatera
Barat juga kurang memperhatikan hal ini, yang salah satunya dapat dilihat berdasarkan jumlah belanja untuk mencapai
sasaran strategi “berkurangnya kenakalan remaja dan perbuatan maksiat”. Oleh sebab itu, dalam penganggaran
berikutnya perlu lebih dipertimbangkan tindakan nyata untuk mengimplementasi ABS dan SBK agar philosopi ini kekal dan
berkembang.
55 Tabel 4.8
Jumlah Anggaran, Realisasi, dan Persentase Capaian Belanja Berdasarkan Sasaran Strategis
Tahun 2011 dan 2012.
Analisis berdasarkan jumlah realisasi belanja terendah menunjukkan 7 sasaran strategis yang memiliki realisasi
jumlah belanja sama atau kurang dari Rp. 500 juta, yaitu belanja untuk sasaran strategis meningkatnya ketersediaan
sistem informasi kependudukan yang terpadu, meningkatnya indek pembangunan gender dan pemberdayaan gender,
berkurangnya kenakalan remaja dan perbuatan maksiat, terwujudnya
partisipasi aktif
masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah, meningkatnya jumlah pasar yang layak bagi perdagangan, berkembangnya wisata
Seni dan Budaya, meningkatnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana
56 Tabel 4.9
Jumlah Anggaran, Realisasi, dan Persentase Capaian Belanja Berdasarkan Sasaran Strategis
Tahun 2011 dan 2012.
Analisis berdasarkan jumlah realisasi jumlah belanja yang terbesar menunjukan 3 sasaran strategis yang
menghabiskan belanja di atas Rp100 Milyar. Ketiga sasaran strategis tersebut adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas
jalan dan jembatan, meningkatnya pengelolaan sumberdaya air, dan meningkatnya umur harapan hidup. Sedangkan 4
sasaran stategis lainnya yang memiliki jumlah realisasi belanja terbesar tetapi dibawah Rp. 100 Milyar adalah
meningkatnya kualitas dan produktivitas berbagai komoditi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, dan
menurunnya prevalensi gizi buruk, meningkatnya angka partisipasi sekolah, serta meningkatnya perumahan dan
permukiman masyarakat.
57
Dari 7 sasaran strategis dengan jumlah belanja terbesar tersebut, dua diantaranya merupakan sasaran utama
MDGs, yaitu menurunnya prevalensi gizi buruk dan meningkatnya angka partisipasi sekolah. Sedangkan sasaran
strategis meningkatnya
pengelolaan sumberdaya
air merupakan sasaran tidak langsung dari pencapaian MDGs
yang ditargetkan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2015. Secara langsung maupun secara tidak langsung
kedelapan sasaran strategis yang dijelaskan di atas merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka
pencapaian sasaran MDGs Provinsi Sumatera Barat, meningkatnya SDM unggul yang berkarakter dan mutu
pendidikan.
58 Tabel 4.10
Jumlah Anggaran, Realisasi, dan Persentase Capaian Belanja Berdasarkan Sasaran Strategis
Tahun 2011 dan 2012.
59
Analisis peningkatan realisasi belanja sasaran strategis menunjukkan 8 sasaran strategis yang memiliki peningkatan
di atas 50, yaitu meningkatnya ekspor daerah, menurunnya illegal loging, menurunnya jumlah penduduk miskin dan
jumlah penduduk pengangguran, meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama, meningkatnya umur harapan
hidup, meningkatnya pengelolaan sumberdaya air, dan meningkatnya kuantitas dan kualitas jalan dan jembatan.
Di samping itu, sekalipun Sumatera Barat tidak lagi menjadi salah satu penghasil kayu tetapi tetap menjadikan
pemberantasan illegal loging sebagai prioritas sehingga pendanaan untuk itu perlu ditingkatkan.
Meningkatnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana, meningkatnya jumlah pasar yang layak bagi
perdagangan, berkembangnya usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, berkembangnya lembaga seni dan budaya,
meningkatnya ketersediaan sistem informasi kependudukan yang terpadu, meningkatnya konservasi, rehabilitasi, dan
pemulihan ekosistem, meningkatnya jumlah dan kawasan
60
wisata alam dan wisata budaya yang sudah tertata dengan baik
Tabel 4.11 Jumlah Anggaran, Realisasi, dan Persentase Capaian
Belanja Berdasarkan Sasaran Strategis Tahun 2011 dan 2012.
Sumber: LAKIP Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012
Kesulitan menelusuri jumlah belanja berdasarkan sasaran strategis dalam RPJMD mengakibatkan evaluasi
pencapaian target anggaran berdasarkan sasaran strategis tidak dapat dilakukan, dan atau kalau ada jumlah prakiraan
anggaran dalam RPJMD tidak konsisten atau belum dijadikan patokan dalam menyusun Anggaran Tahunan. Misalnya,
Prakiraan
anggaran Program
Peningkatan Pelayanan
Kehidupan Beragama dalam RPJMD untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp. 1.651 Milyar dan Tahun 2012 adalah Rp.
1.816milyar Sedangkan dalam TA 2011, dianggarkan sebesar Rp. 1.951 dan untuk TA 2012 sebesar Rp. 2.540.
4.4. Prakiraan Pendapatan