78 Berikut cuplikan catatan lapangan “Si Kembar dan Merah Putih di Panjat
Pinang”: “…Nah hari ini bu guru akan bercerita tentang apa ini ? sambil
menunjukkan judul cerita Anak : Si kembar dan merah putih di panjat pinang
Guru : iya judulnya si kembar dan merah putih di panjat pinang, anak-anak pernah melihat panjat pinang ?
Anak : pernah, yang diatasnya ada hadiah Guru : aahh pinter, siapa yang pernah melihat lomba panjat pinang ?
Anak : mengacungkan tangan…” lampiran 3, CL 5.3
Berdasarkan catatan lapangan tersebut, guru mengajak anak untuk membaca judul cerita kemudian mengaitkan cerita dengan kehidupan sehari-hari
yang pernah dialami oleh anak seperti peristiwa lomba panjat pinang . Berdasarkan hasil penelitian tersebut saat kegiatan pembukaan guru
melakukan beberapa hal yakni memberikan kata-kata yang membuat anak penasaran dengan isi cerita yaitu “tretetetetet”, dilanjutkan dengan mengajak anak
membaca kalimat “bismillahirrohmanirrohim”, kemudian guru mengawali dengan tanya jawab dengan anak dari cerita sebelumnya, lalu masuk ke apersepsi
pengantar cerita ke cerita selanjutnya yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari anak.
d. Pengembangan Cerita yang Dituturkan Guru
Terdapat berbagai pengembangan cerita yang dituturkan guru saat metode story telling berlangsung yaitu guru mengembangkan segala bentuk ekspresi
tokoh dalam cerita seperti dalam wawancara berikut: “…saya melakukan ekspresi mimik wajah, suara, dan gerak yang sesuai
dengan tokoh dalam cerita, kalau sedang memerankan tokoh ibu ya lemah lembut, kalau sedang memerankan tokoh anak yang tertawa terbahak-
79 bahak ya mencontohkan dengan tertawa terbahak-bahak, setiap
pembicaraan saya pasti memeberikan ekspresi …” lampiran 2, CW 2.2.3
Hasil wawancara tersebut dapat dibuktikan pada hasil penelitian pertama tanggal 7 September 2015, guru mengajak anak untuk mengikuti segala bentuk
ekspresi yang diperankan oleh tokoh dalam cerita, berikut cuplikan catatan lapangannya:
“…Guru:”Nah, selanjutnyaa mereka mempunyai mulut yang kecil”sambil ekspresi mengerutkan bibir “tidak lebar gini”sambil menunjukkan
ekspresi mulut lebar,”ayok semuanya mulutnya di kecilkan…” lampiran 3, CL 1.3
Berdasarkan catatan lapangan tersebut ketika guru memberikan ekspresi disetiap tokoh yang diperankan, guru juga selalu menjaga interaksi dengan anak
agar anak tetap memperhatikan dan senang seperti gambar berikut:
Gambar 20. Perintah Guru Mengajak Memegang Hidung Sumber: lampiran 4, CD 1.8
Sejalan dengan dokumentasi tersebut, ekspresi gerakan yang sangat energik ditunjukkan guru saat melakukan gerakan berpura-pura memainkan
pedang yang tajam saat penelitian hari kedua yaitu cerita “Sally Tidak hati-hati” berikut ini cuplikan catatan lapangannya:
80 “Sally sedang bermain cyuu-cyuu-cyuu”sambil memperagakan gaya
bermain pedang“ternyata dia bermain pisau, dia itu tidak tahu kalau itu pisau mamanya habis dari dapur…” lampiran 3, CL 8
Berdasarkan catatn lapangan tersebut, dokumentasi saat guru melakukan ekspresi gerakan saat bermain pedang juga ditunjukan sebagai berikut:
Gambar 21. Ekspresi Guru Berpura-pura Bermain Pedang Sumber : lampiran 4, CD 2.5
Selain mengembangkan cerita dengan ekspresi, guru juga mengembangakan cerita dengan menyisipkan humor yang menyegarkan suasana
cerita. Berikut ini hasil wawancara dengan guru utama: “…Ya saya selalu menyisipkan humor pada setiap kesempatan untuk
menghidupkan suasana, tidak hanya itu saya juga melakukan interaksi tanya jawab dengan anak-anak untuk menjaga anak masih memperhatikan
cerita saya…” lampiran 2, CW 2.2.6
Sejalan dengan hasil wawancara tersebut guru menyisipkan humor dapat dibuktikan dengan catatan lapangan berikut ini:
“Guru:”Akhirnya kukunya Nisa sudah tidak panjang-panjang lagi dan halus, ketika dia gatel digigit nyamuk terus digaruk-garuk tidak
lecet”sambil memperagakan meneplok pipi dan bagian badan lain
81 Guru:”Aduh, ternyata ada kutunya”sambil melucu meneplok kepala yang
gatel”ternyata Nisa apa? Lupa keramas jadinya gatel, makanya ketika di ambil hii ada kutunya”sambil memperagakan memakan kutu
Anak-anak:”Aaaa orang gila namanya kalau ada kutu dimakan“menjerit kaget tertawa terbahak-bahak…” lampiran 3, CL 3.3
Berdasarkan catatan lapangan tersebut memperlihatkan bahwa guru juga melakukan improvisasi pengembangan cerita dengan humor yang tidak
berhubungan dengan isi cerita namun membuat anak senang. Tidak hanya itu, untuk mengembangkan cerita guru juga melakukan tanya
jawab tentang cerita yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari anak sebagai berikut:
“…Anak:”Pantesan dia kembar” Guru:”Iya,ternyata mereka adalah saudara kembar kayak disini teman kita
di kelompok B8 ada yang namanya Zahra dan Syifa itu kembar” Anak-anak:”Oh iya ya…” lampiran 3, CL 1.3
Kemudian guru juga menguhubungkan hobi yang disukai tokoh cerita dikaitkan dengan hobi anak-anak dalam kehidupan nyata, kemudian mengajak
anak untuk berekpresi seperti makan es krim yang lezat, berikut catatan lapangannya:
“Anak: “Makan es krim” sambil menunjuk gambar dihalaman selanjutnya
Guru:” Tuh makan es krim berdua juga, ayok kita juga ikutan makan es krim”ekspresi makan eskrim”Siapa yang suka es krim?”
Anak-anak:”Saya” sambil menunjuk anak Guru:”Es krim rasanya apa?”
Anak-anak:”manis, dan dingin dan enak, dan enak dan enak dan enak sekali” lampiran 3, CL 1.3
Selain itu, guru juga sering menghubungkan isi cerita dengan tokoh kartun yang sangat disukai anak, seperti berikut:
82 “…eh si Sally gak tau lagi jalan-jalan kedapur dia melihat ada mainan
bagus lalu diambilnya pisau itu untuk bermain pedang-pedangan, eh ada mainan bagus asik bisa buat main pedang-pedangan ,siapa yang punya
pedang?” Anak-anak:”Takasi, Oro cimaru, Sasuke, Naruto”
Guru:”Iya, dia kepingin kayak Naruto…” lampiran 3, CL 8
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, guru selalu mengajak komunikasi dengan anak-anak untuk mengembangkan cerita dan menghubungkannya dengan
kehidupan yang dekat dengan anak-anak. Hal ini dilakukan guru supaya anak tetap terkondisi untuk mengikuti metode story telling sampai selesai.
e. Guru Mengkomunikasikan dengan Anak Nasehat dari dalam Cerita
Metode story telling tidak terlepas dari unsur pesan moral yang terdapat dalam cerita. Maka dari itu, untuk menyampaikan pesan moral kepada anak-anak
diperlukan komunikasi dengan bahasa anak-anak supaya anak-anak dapat mengambil hikmah atau pelajaran penting untuk kehidupan anak. Seperti hasil
wawancara berikut ini : “…saya memasukkan nasehat dengan cara mengambil intisari diakhir
cerita kemudian mengkomunikasikan pada anak dengan cara tanya jawab hal-hal yang patut di contoh dan tidak dalam cerita…” lampiran 2, CW
2.2.9.
Berdasarkan catatan wawancara tersebut diperoleh kenyataan dilapangan sebagai berikut:
“…Guru:”Walaupun mereka saudara tetapi ketika bermain terkadang suka berantem juga berebut mainan. Ini aku, punyaku, punyaku terus
bermusuhan” ekspresi suara anak kecil berebut mainan”Namun setelah berantem mereka saling maaf-maafan terus saling membantu ketika Mona
lepas kuciran rambutnya maka Lisa membantu sini kak aku kucirin rambutnya…” lampiran 3, CL 1.3
83 Berdasarkan catatan lapangan tersebut guru berusaha mengkomunikasikan
pada anak tentang cerita Mona dan Lisa yang mengisahkan dua anak kembar yang berbeda kepribadian dan watak sering bertengkar tapi mereka tetap saling
menyayangi karena mereka saudara. Sejalan dengan catatan lapangan tersebut, nasehat dalam cerita “Aku
Selalu Haiti-hati” sebagai berikut: “…Guru :”Nah anak-anak, tadi Sally ngapain saja?”
Anak-anak:”Main pisau, Makan obat, main korek api” Guru:”Iya pinter makanya kalau main benda-benda berbahaya tersebut
harus hati-hati harus ada orang tua yang mendampingi, nah sekarang siapa yang mau membaca cerita?”…” lampiran 3, CL 2.4
Berdasarkan kutipan catatan lapangan tersebut dapat dipahami guru memasukan pesan moral di akhir cerita dengan cara menanyakan pada anak hal-
hal yang dilakukan oleh tokoh cerita, kemudian memberikan nasehat supaya anak lebih berhati-hati menggunakan benda-benda yang berbahaya dan harus dalam
pengawasan orangtua. Selain itu, nasehat yang disampaikan pada hasil penelitian dihari ketiga tentang cerita “Aku bisa potong kuku sendiri” dapat dituangkan
dalam catatan lapangan sebagai berikut: “…Guru:”Wah kuku Nisa panjang, makanya untuk garuk lecet lain kali
hati-hati ya, makanya kukunya jangan sampai panjang”ekspresi berbicara sebagai bundanya Nisa
Guru:”Emang kenapa bunda gak boleh kukunya panjang?”ekspresi suara anak-anak
Guru:”Kalau kukunya panjang buat menggaruk jadinya apa?” Anak-anak:”Jadi lecet”serempak menjawab
Guru:”Makanya itu kalau sudah panjang harus diapakan?” Anak-anak:”Dipotong…”lampiran 3, CL 3.3
84 Berdasarkan catatan lapangan tersebut guru menasehati anak tentang
pentingnya memotong kuku, caranya dengan menggunakan tanya jawab, supaya anak bisa berfikir kenapa kuku tidak boleh di biarkan panjang. Hal tersebut juga
merupakan stimulasi untuk anak supaya berfikir aktif dengan gejala-gejala-gejala dalam kehidupan disekitar.
Berdasarkan hasil penelitina tersebut cara guru dalam mengkomunikasikan sebuh nasehat kepada anak yaitu dengan cara memberi pertanyaan kepada anak
sehingga anak akan berfikir aktif dan mencari sendiri jawaban menurut pemikiran mereka agar anak dapat mengambil hikmah dari setiap cerita.
f. Kegiatan Penutup Metode Story telling dengan Mengajukan Pertanyaan