PENERAPAN METODE STORY TELLING PADA KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DI KELOMPOK B3 TK BUDI MULIA DUA PANDEANSARI YOGYAKARTA.

(1)

i

PENERAPAN METODE STORY TELLING PADA KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DI KELOMPOK B3

TK BUDI MULIA 2 PANDEANSARI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Lelly Ambarsari NIM 11111241026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan” (Terjemahan QS. Al-Alaq: 1)

Story telling adalah metode komunikasi universal yang sangat berpengaruh

pada jiwa manusia” (Kak Bimo)

“Buku menjadi salah satu stimulasi yang efektif bagi anak, karena pada waktu itu minat membaca pada anak mulai tumbuh dan diberi lahan yang tepat

melalui kegiatan story telling. (Tadkiroatun Musfiroh)

“Lingkungan yang kaya dengan buku dan tulisan membantu anak untuk mulai membedakan makna tulisan itu”.

(Vacca)

“Anak-anak yang rutinitas dan kegiatan sehari-harinya memberi kesempatan membaca akan mulai mengidentifikasi tulisan-tulisan

di lingkungannya”. (West & Egley)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Kedua orangtua.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Nusa, dan Bangsa.


(7)

vii

PENERAPAN METODE STORY TELLING PADA KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DI KELOMPOK B3

TK BUDI MULIA DUA PANDEANSARI YOGYAKARTA

Oleh Lelly Ambarsari NIM 11111241026

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini melibatkan tujuh belas subjek yang terdiri dari lima belas anak, guru Kelompok B3, dan kepala sekolah. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Instrumen yang digunakan yakni pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman dokumentasi. Pendekatan kualitatif dianalisis menggunakan model interaktif Miles dan Huberman. Langkah-langkahnya meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari meliputi: 1) persiapan program dan persiapan mengajar. Persiapan program meliputi: a) guru meyiapkan tema diri sendiri b) menentukan hari Senin, Selasa, dan Rabu untuk story telling. Persiapan mengajar meliputi: a) guru membaca dan memahami isi; b) guru menyiapkan cerita berjudul Mona dan Lisa, Aku Selalu Hati-hati, Aku Bisa Potong Kuku Sendiri, Thumbelina, dan Si Kembar dan Merah Putih di Panjat Pinang; c) guru menyiapkan karpet di sudut ruangan, mengatur suhu ruangan, dan menyiapkan tikar di taman bermain. 2) Pelaksanaan story

telling yaitu: a) guru mengatur posisi duduk pola baris, bentuk huruf “O” dan “L”;

b) recalling/mengingat kembali cerita pada pertemuan sebelumnya; c) guru

menghubungkan pengalaman anak dengan topik cerita yang akan disampaikan; d) anak dibimbing untuk membaca judul buku cerita dan kalimat sederhana yang ada dalam buku cerita; e) guru bercerita dan berinteraksi dengan ekspresi, humor, pertanyaan, gerakan, mempersilahkan anak memberikan komentar; f) anak dilibatkan dalam merumuskan kesimpulan cerita dalam bentuk tanya jawab. 3) Evaluasi Hasil Belajar meliputi: a) guru mendampingi salah satu anak untuk membaca buku cerita kembali ke depan, guru melakukan pengamatan; b) guru membuat catatan kemampuan membaca permulaan pada anak; c) pengamatan dilakukan secara bergantian dan dibatasi tiga anak setiap story telling; d) guru mendata anak dalam catatan harian untuk diamati pada pertemuan selanjutnya. Kata kunci: story telling, membaca permulaan, anak Kelompok B3


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Penerapan Metode

Story telling pada Kemampuan Membaca Permulaan di Kelompok B3 TK Budi

Mulia Dua Pandeansari Yogyakarta” dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini diajukan sebagai tugas akhir guna memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD), Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Tahun Akademik 2015/2016.

Penyusunan skripsi ini dapat selesai dan berjalan dengan lancar berkat bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut: 1. Dekan FIP UNY yang telah memberikan ijin penelitian demi terselesaikannya

tugas akhir ini.

2. Ketua Jurusan PAUD UNY yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Ibu Dr. Ishartiwi, M. Pd. Dosen Pembimbing Skripsi I dan Ibu Martha Christianti, M. Pd. Dosen Pembimbing Skripsi II yang selalu sabar dalam membimbing penulis dan berkenan meluangkan waktu guna memberikan saran, arahan, serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.


(9)

ix

4. Bapak H. Jakfar, S.Ag, S.S, M.Pd. selaku Kepala TK dan Staf Tata Usaha TK Budi Mulia Dua Pandeansari Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengadakan penelitian.

5. Ibu Sri dan Ibu Yani guru Kelompok B3 yang telah menjadi fasilitator serta seluruh siswa Kelompok B3 di TK Budi Mulia Dua Pandeansari Yogyakarta terimakasih atas kerjasamanya selama proses penelitian.

6. Keluarga saya tercinta Ibu Siti Khotijah dan Bapak Gunadi, adikku Fadil dan Bila yang selalu memberikan doa dan menjadi penyemangat penulis.

7. Seluruh dosen jurusan PG PAUD yang telah memberikan ilmu kepada penulis serta seluruh karyawan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi.

8. Sahabat terbaik saya mas Heri Haryanto, yang telah memberikan doa dan dukungan semangat selama penulisan skripsi.

9. Teman-teman S1 PG PAUD Angkatan 2011 (Mella, Diaz, Devi, Norma, Isti Evi, Eka O, Arlin, Yekti, Betty, Ayu dan Priska) terimakasih atas doa dan bantuannya selama penulisan skripsi.

10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka semua atas amal kebaikannya. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan dan semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, Maret 2016 Penulis


(10)

x

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Pembatasan Masalah... 7

D.Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

G.Batasan Istilah ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Kajian Tentang Pengembangan Membaca Permulaan ... 10

1. Pengertian Membaca Permulaan ... 10

2. Karakteristik Kemampuan Membaca Permulaan ... 11

3. Jenis Metode Untuk Mengembangkan Kemampuan Membaca Permulaan ... 16

4. Karakteristik Anak Kelompok B3 ... 18

B.Kajian Tentang Metode Story telling ... 19


(11)

xi

2. Pengertian Metode Story telling ... 20

3. Kelemahan & Manfaat Metode Story telling ... 22

4. Jenis Pelaksanaan Metode Story telling dengan Buku Cerita... 24

5. Teknik Menghidupkan Suasana Story telling ... 26

6. Tahap Penyusunan Metode Story telling untuk Anak TK ... 28

a. Persiapan Metode Story telling ... 28

b. Pelaksanaan Metode Story telling ... 32

c. Evaluasi Hasil Belajar Metode Story telling ... 33

C. Kerangka Pikir ... 39

D. Pertanyaan Penelitian ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian ... 41

B.Lokasi Penelitian ... 41

C.Subjek dan Objek Penelitian... 42

D.Informan Kunci ... 43

E. Waktu Penelitian ... 43

F. Teknik Pengumpulan Data ... 44

G.Instrumen Penelitian ... 47

H.Teknik Analisis Data ... 50

I. Uji Keabsahan Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 54

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55

C. Deskripsi Hasil Penelitian Penerapan Metode Story telling pada Kemampuan Membaca Permulaan di Kelompok B3... 56

1. Persiapan Guru Sebelum Melaksanakan Metode Story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta ... 57 2. Pelaksanaan Metode Story telling pada Kemampuan


(12)

xii

Pandeansari Yogyakarta ... 67

3. Evaluasi Hasil Pembelajaran Metode Story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Yogyakarta ... 85

D. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 87

E. Keterbatasan Penelitian ... 93

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Indikator Pencapaian Perkembangan ... 37

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Wawancara ... 47

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Observasi ... 48


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Posisi Guru di depan anak ... 29

Gambar 2. Posisi Guru di tengah anak ... 29

Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir ... 39

Gambar 4. Komponen-komponen Analisis Data ... 51

Gambar 5. Buku Cerita berjudul Mona & Lisa ... 60

Gambar 6. Buku Cerita Aku Selalu Hati-hati ... 61

Gambar 7. Buku Cerita Aku Bisa Potong Kuku Sendiri ... 62

Gambar 8. Buku Cerita Thumbelina ... 62

Gambar 9. Buku Cerita Si kembar & Merah Putih di PanjatPinang ... 63

Gambar 10. Tempat Metode Story telling di Ruang Kelas ... 65

Gambar 11. Tempat Metode Story telling di Out Door ... 65

Gambar 12. Tempat Metode Story telling di Perpustakaan ... 66

Gambar 13. Posisi Duduk Guru dan Anak Tipe1 dan 2... 68

Gambar 14. Posisi Duduk Guru dan Anak Tipe3 ... 68

Gambar 15. Posisi Duduk Guru dan Anak Tipe4 ... 69

Gambar 16. Posisi Duduk Guru dan Anak Tipe5 ... 69

Gambar 17. Interaksi Guru dengan Anak Mengenalkan Tokoh Cerita ... 72

Gambar 18. Pembukaan Cerita dengan Boneka Tangan... 75

Gambar 19. Pembukaan Cerita dengan Memanfaatkan Mural Ditembok ... 76

Gambar 20. Perintah Guru Mengajak Memegang Hidung ... 79

Gambar 21. Ekspresi Guru Berpura-pura Bermain Pedang ... 79


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ... 101

Lampiran 2. Catatan Wawancara... 107

Lampiran 3. Catatan Lapangan ... 126


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan anak usia dini merupakan awal dari pembentukan sifat dan karakteristik anak sebagai bekal pendidikan selanjutnya. Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. NAEYC (National Assosiation

Education for Young Children) menyatakan bahwa anak usia dini atau early

childhood education adalah anak yang berada dalam rentang usia nol sampai

delapan tahun (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 1).

Anak pada usia nol sampai delapan tahun ini berada dalam “usia emas”

(golden age), karena pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan anak

berkembang sangat cepat di setiap aspek perkembangannya, meskipun pada umumnya anak memiliki pola perkembangan sama tetapi ritme perkembangannya akan berbeda antara anak yang satu dengan lainnya karena pada dasarnya anak bersifat individual (Sofia Hartati, 2005: 7). Oleh karena itu, peran pendidikan anak usia dini sangat penting dalam hal memberikan rangsangan untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri anak.


(17)

2

Potensi dalam diri anak sebagai investasi bangsa yang sangat penting dan dapat dioptimalkan melalui pendidikan pada masa usia dini, salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yaitu kindergarten atau taman kanak- kanak (Slamet Suyanto, 2005: 4-5). Taman Kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal untuk rentang usia empat sampai dengan enam tahun. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) bukan pendidikan yang diwajibkan, tetapi keberadaannya mampu memberikan kontribusi dalam membantu anak mengembangakan seluruh aspek perkembangan yang dimilikinya (Heny Djoehaeni, 2005: 1).

Santrock (2007: 7) mendefinisikan perkembangan (development) adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup. Perkembang menurut Musfiroh, (2005: 6) terbagi menjadi beberapa aspek yaitu: 1) perkembangan fisik dan motorik, 2) perkembangan bahasa, 3) perkembangan sosial, 4) perkembangan moral, dan 5) perkembangan kognisi. Salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan yaitu perkembangan bahasa. Bahasa adalah suatu bentuk komunikasi lisan, tertulis, atau isyarat yang berdasarkan pada suatu sistem dari simbol-simbol (Santrock, 2007: 353). Oleh karena itu perkembangan bahasa dapat didefinisikan dengan pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan dalam hal kemampuan penguasaan alat berkomunikasi lisan, tertulis, dan isyarat.

Bahasa menurut Bromley (dalam Nurbiana Dhieni, 2009: 1.19) terbagi menjadi empat bentuk yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bahasa ada yang bersifat reseptif yaitu dimengerti dan diterima dan ekspresif yaitu


(18)

3

dinyatakan, didengar dan dibaca suatu informasi termasuk dalam bahasa reseptif sedangkan berbicara dan menuliskan suatu informasi termasuk bahasa ekspresif (Nurbiana Dhieni, 2009: 1.19). Dengan kata lain bahasa mempunyai peranan penting untuk berkomunikasi dalam kehidupan anak usia dini karena anak belajar pertama kali melalui bahasa, yaitu ketika anak mulai berkomunikasi dengan orang lain dengan cara menangis sampai dengan belajar menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Membaca merupakan bagian dari bentuk bahasa. Membaca memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Menurut Firmanawaly dalam M Nur Mustakim (2005: 13) menyebutkan manfaat membaca yaitu anak akan memperoleh pengetahuan, mengidentifikasi, menanamkan nilai-nilai keutamaan untuk membina kepribadian, berimajinasi dengan baik, membantu menyelesaikan problem, mengetahui budaya lain, memupuk rasa percaya diri. Oleh karena itu kemampuan membaca permulaan sangat penting untuk dikenalkan sejak usia dini.

Kemampuan membaca yang diajarkan kepada anak usia dini adalah kemampuan membaca permulaan. Menurut Farida Rahim (2005: 2) yang dimaksud membaca permulaan yakni proses recording (proses mengasosiasikan kata-kata atau kalimat dengan bunyi-bunyian sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan) dan decoding (proses penerjemahan rangkaian grafis ke dalam kata-kata) yang berlangsung pada kelas-kelas awal. Dengan kata lain membaca permulaan proses mencocokkan tulisan dengan suara yang didengarkan dan gambar yang dilihat sehingga anak lebih mudah untuk membaca.


(19)

4

Membaca tidak muncul begitu saja pada diri anak, tetapi harus dengan motivasi dari lingkungan sekitar seperti hasil penelitian Guthrie Wigfield (dalam Carrol&Barbara, 2008: 343) menyebutkan bahwa salah satu faktor paling penting dalam mengajar membaca permulaan pada anak-anak usia dini yakni motivasi. Oleh karena itu, pengalaman yang dimiliki disekolah bisa memudahkan motivasi anak untuk membaca permulaan. Namun, belum semua guru yang ada disekolah dapat berperan menciptakan lingkungan menyenangkan dan menarik yang memotivasi anak menuju kesiapan membaca permulaan. Burns, dkk (Mohammad Fauzil Adhim, 2004: 31) mengatakan bahwa kesiapan membaca pada anak dapat dirangsang dengan memberikan pengalaman pra membaca (pre reading

experience). Oleh karena itu guru perlu merancang pembelajaran untuk

merangsang kesiapan membaca permulaan salah satunya story telling menggunakan buku cerita bergambar. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005a: 108) menyatakan bahwa media buku menjadi salah satu stimulasi yang efektif bagi anak Taman Kanak-kanak, karena pada waktu itu minat baca pada anak mulai tumbuh dan diberi lahan yang tepat melalui metode story telling (bercerita)

Menurut Ecols (dalam M Nur Mustakim, 2005: 184) story telling terdiri atas dua kata yaitu story berarti cerita dan telling berarti penceritaan. Gabungan kedua kata story telling berarti penceritaan cerita atau perihal menceritakan cerita. Cerita bergambar dapat membantu memperbaiki kesalahan identifikasi lambang tertulis (huruf) karena konteks kata dan cerita membantu anak mengidentifikasi lambang tulisan secara tepat (Tadkiroatun, 2008: 96). Oleh karena itu, metode


(20)

5

story telling dengan buku cerita yang disertai dengan gambar akan meminimalisir

kesalahan dalam membaca.

Berdasarkan observasi awal dan wawancara yang telah dilaksanakan pada Maret 2015 di Kelompok B3. Guru Kelompok B3 menegaskan bahwa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran pendidik berusaha memberikan metode yang tepat dan menyenangkan. Oleh karena itu dalam rangka mencapai salah satu tujuan pembelajaran yaitu menyiapkan anak-anak yang cerdas membaca permulaan di usia TK maka guru di sekolah tersebut memberikan pembelajaran untuk merangsang minat baca anak dengan metode yang menyenangkan supaya anak nyaman berada disekolah. Salah satu metode yang digunakan guru untuk merangsang minat baca anak yaitu metode story telling.

Metode story telling di TK Budi Mulia 2 Pandeansari dilaksanakan tiga kali dalam seminggu. Namun intensitas penerapan metode tersebut dirasa masih kurang mengingat penyampaian setiap materi di Taman Kanak-kanak harus dengan cara yang menyenangkan. Intensitas penggunaan metode story telling sebanyak tiga kali dalam seminggu tersebut ternyata terbukti anak tertarik untuk membaca gambar yang terlihat dan berusaha melafalkan tulisan dan mencocokkan dengan gambar atau mengambil makna dari gambar untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam membaca. Hal tersebut tidak terlepas dari peran guru yang memberikan stimulus dengan maksimal terhadap perkembangan bahasa anak melalui metode story telling. Namun belum diketahuinya tentang penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan yang terdiri dari


(21)

6

persiapan metode story telling, pelaksanaan metode story telling, dan evaluasi metode story telling.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui tentang penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta. Penelitian ini memfokuskan tentang persiapan metode story telling yang meliputi tema cerita, waktu, naskah/buku cerita, setting ruang, posisi duduk, dan wawasan guru. Pelaksanaan metode story

telling yang meliputi langkah-langkah metode story telling yakni posisi duduk,

pembukaan, pengembangan cerita, nasehat cerita dan penutup cerita. Evaluasi hasil belajar metode story telling meliputi cara guru mengobservasi tentang perkembangan anak dalam membaca permulaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan pembelajaran sekolah lain.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Belum semua guru yang ada disekolah dapat berperan menciptakan lingkungan yang memotivasi anak untuk mengembangkan kemampuan membaca permulaan.

2. Intensitas penerapan metode story telling dirasa masih kurang.

3. Belum diketahuinya tentang penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari


(22)

7

Yogyakarta yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar metode story telling.

C. Pembatasan Masalah

Peneliti membatasi masalah agar mendapatkan fokus penelitian yang diambil dari identifikasi masalah nomor tiga. Pembatasan masalah tersebut yaitu penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta. Fokus Penelitian meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar kegiatan dengan metode story telling.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari batasan masalah tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan rumusan masalahnya adalah bagaimana penerapan metode

story telling pada kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi

Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta yang berfokus pada persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar metode story telling ?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui cara persiapan metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2.


(23)

8

2. Mengetahui cara pelaksanaan metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2.

3. Mengetahui cara mengevaluasi anak setelah metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Teoritis

Menambah data dan informasi mengenai penerapan metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta.

2. Praktis

a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah atu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip belajar anak Taman Kanak-kanak yakni belajar melalui bermain.

b. Mengetahui penerapan metode story telling pada pembelajaran anak usia dini.

G. Batasan Istilah

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjelasan dari variabel metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta yakni: 1. Metode Story telling yaitu metode menceritakan cerita yang dilaksanakan

dengan alat peraga buku cerita bergambar. Metode ini digunakan di TK Budi Mulia 2 untuk membelajarkan membaca permulaan pada anak usia dini.


(24)

9

Pembelajaran membaca permulaan menggunakan metode story telling ini terdiri dari 3 (tiga) proses yakni persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Persiapan meliputi menetapkan tujuan dan tema yang dipilih untuk metode

story telling, menetapkan persiapan bentuk story telling yang dipilih, dan

menetapkan bahan dan alat yang diperlukan untuk metode story telling. Pelaksanaan meliputi langkah-langkah metode story telling yakni mengkomunikasikan mengatur tempat duduk anak, pembukaan metode story

telling, pengembangan cerita, mengkomunikasikan nasehat dalam cerita dan

tanya jawab. Evaluasi meliputi observasi reaksi anak saat anak membaca ulang buku cerita.

2. Membaca permulaan dalam penelitian ini yakni proses anak memahami bahasa lisan yang diperdengarkan guru melalui story telling sehingga anak tertarik untuk membaca gambar yang terlihat berusaha melafalkan tulisan dan mencocokkan dengan gambar atau mengambil makna dari gambar untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam membaca.

3. Anak Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 yakni anak dengan rentang usia 5-6 tahun. Usia tersebut termasuk dalam rentang usia pendidikan taman kanak-kanak. Di Taman Kanak-kanak Budi Mulia Dua Pandeansari Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan kelompok B yang terdiri atas delapan kelas yakni Kelompok B1, B2, B3, B4, B5, B6, B7, B8, dan B9. Penelitian ini difokuskan pada penerapan metode story telling di kelompok B3.


(25)

10 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Pengembangan Membaca Permulaan 1. Pengertian Membaca Permulaan

Sulzby (dalam Morrow, 1993: 123) mengemukakan penemuannya tentang kemampuan awal membaca tercermin dari perkembangan membaca pada anak usia dua sampai lima tahun yaitu usaha anak “membaca” cerita-cerita dalam buku yang sudah dikenal melalui gambar, cerita yang terbentuk belum baik, anak terdengar menceritakan kisah dalam buku namun tidak membacanya, anak juga tertarik pada cetakan hurufnya. Semakin bertambah usia anak, kemampuan membaca anak dituangkan dalam perilaku yang mendekati membaca konvensional. Yaitu anak belajar membaca cetakan huruf, cerita yang disampaikan telah terbentuk dengan baik, dan bahasa yang digunakan sudah terdengar seperti sedang membaca. Dari teori tersebut, anak belajar “membaca” dari buku-buku cerita yang sering ditemui dan dibacakan. Semakin sering anak beraktivitas dengan buku, maka semakin bertambah juga kemampuan dalam membaca.

Pada tahap awal membaca, anak berusaha membaca cerita-cerita yang sudah dikenal. Guru berperan untuk mengenalkan cerita-cerita tersebut pada anak melalui metode story telling dengan cara klasikan atau individual. Setelah guru selesai membacakan cerita pasti anak akan berkomentar tentang cerita yang baru saja disampaikan guru. Komentar dan pertanyaan awal anak-anak selama membaca cerita berhubungan dengan gambar dan makna dari cerita yang dibaca


(26)

11

atau dibacakan. Selama pengalaman anak dengan membaca cerita bertambah, komentar-komentar dan pertanyaan-pertanyaan yang anak ajukan mulai mengarah pada nama-nama huruf, pembacaan kata-kata secara terpisah dari kalimatnya, atau usaha untuk melafalkan kata-kata (Morrow, 1993: 123).

Seperti yang dinyatakan Nurbiana Dhieni (2005: 9.3) tentang tanda-tanda kesiapan anak untuk belajar membaca adalah bahwa anak sudah dapat memahami bahasa lisan, mengucapkan kata-kata dengan jelas, mengingat kata-kata, mengucapkan bunyi huruf, menunjukkan minat membaca, dan membedakan suara/bunyi dan objek-objek dengan baik.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menegaskan bahwa membaca permulaan yakni proses anak memahami bahasa lisan yang diperdengarkan guru melalui pembacaan cerita sehingga anak tertarik minatnya untuk membaca gambar dan berusaha melafalkan tulisan dan mencocokannya dengan gambar untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam membaca.

2. Karakteristik Kemampuan Membaca Permulaan Anak

Perkembangan kemampuan membaca anak dapat dikategorikan kedalam beberapa tahap. Menurut Cochrane et.al (Nurbiana Dhieni, 2008: 5.12) perkembangan kemampuan dasar membaca anak usia 4-6 tahun berlangsung dalam lima tahap , yakni: a) tahap fantasi; b) tahap pembentukan konsep diri; c) tahap membaca gambar; d) pengenalan bacaan; dan e) tahap membaca lancar.


(27)

12

Menurut Tadkiroatun Musfiroh ( 2009: 8-9) berdasarkan penelitian yang dilakukan di barat, perkembangan membaca anak-anak dapat dikategorikan kedalam lima tahap, yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Magic

Tahap magic yakni anak mulai berpikir bahwa buku merupakan sesuatu yang penting. Anak melihat-lihat buku, membawa-bawa buku, dan sering memiliki buku favorit.

b. Tahap Konsep Diri

Anak melihat diri sendiri sebagai pembaca, mulai terlihat dalam kegiatan “pura-pura membaca”, mengambil makna dari gambar, membahasakan buku walaupun tidak cocok dengan teks yang ada di dalamnya.

c. Tahap Membaca Antara

Anak-anak memiliki kesadaran terhadap bahan cetak (print). Mereka mungkin memilih kata yang sudah dikenal, mencatat kata-kata yang berkaitan dengan dirinya, dapat membaca ulang cerita yang telah ditulis, dapat membaca puisi. Anak-anak mempercayai setiap silabel sebagai kata dan dapat menjadi frustasi ketika mencoba mencocokkan bunyi dengan tulisan. Pada tahap ini anak mulai mengenal alfabet.

d. Tahap Lepas Landas

Pada tahap ini anak-anak mulai mengguankan tiga sistem tanda ciri yakni grafofonil, semantik, dan sintaksis. Mereka mulai bergairah membaca, mulai mengenal huruf dari konteks, memperhatikan lingkungan huruf cetak dan membaca apa-apa disekitarnya, seperti tulisan pada kemasan, tanda-tanda. Resiko


(28)

13

bahasa dalam setiap tahap ini jika anak diberikan terlalu banyak perhatian pada setiap huruf.

e. Tahap Independen

Anak dapat membaca buku yang tidak dikenal secara mandiri, mengkonstruksikan makna dari huruf dan dari pengalaman sebelumnya dan isyarat penulis. Anak-anak dapat membuat perkiraan tentang materi bacaan. Materi berhubungan langsung dengan pengalaman yang paling mudah untuk dibaca, tetapi anak-anak dapat memahami struktur yang dikenal.

Pendapat lain disampaikan oleh Goodchild (2004: 21-30) mengenai enam kategori dalam tahap perkembangan membaca, antara lain:

a. Bayi (0 -15 bulan)

Kelompok usia ini menyukai buku yang dipenuhi dengan gambar-gambar yang jelas dan besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi lebih senang dengan gambar hitam dan putih, namun itu hanya dalam beberapa bulan pertama setelah itu mereka lebih menyukai buku yang berwarna-warni.

b. Batita (13 bulan-3 tahun)

Pada usia ini anak-anak senang mempunyai buku yang dapat disentuh dan dirasakan. Anak-anak senang jika mampu membolak-balik halaman dan “membaca” buku sendiri pada saat tenang. Anak-anak sudah mulai mempelajari bahwa cerita mempunyai awal dan akhir. Anak senang mendengarkan dan berperan serta dalam sajak anak-anak dan lagu anak-anak.


(29)

14 c. Prasekolah (2, 5- 5 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak mulai berkembang dan maju. Tahap prasekolah atau anak usia dini. Usia TK menjadi salah satu kategori pada tahap ini. Anak mulai mampu mengurutkan cerita-cerita sederhana dengan benar. Anak juga mempelajari aneka pelajaran penting tentang susunan buku, misalnya membaca buku dari kiri ke kanan atau mengetahui cara membuka-buka buku. d. Pembaca Pemula (5-6 tahun)

Pada usia ini anak-anak menjadi bersemangat untuk mulai mengartikan kata-kata dan kalimat-kalimat yang mereka lihat. Beberapa tahap pada kategori ini adalah sebagai berikut:

1) Pengenalan kata. Anak-anak mulai mengenal jenis kata yang lebih banyak, anak mulai berusaha menuliskan kata-kata dan meminta petunjuk cara menuliskan kata tersebut, mengenal bunyi yang berkaitan dengan kata yang di tulis dan menyuarakan kata itu perlahan untuk mendengarkan bunyinya. 2) Kepercayaan diri yang melambung. Pada masa inilah anak-anak menjadi lebih

percaya diri dalam mengambil resiko. Saat anak membaca sendiri, mereka menggunakan jari-jari untuk menuntun pembacaan. Anak mulai mengenali kata yang bunyinya hampir sama, dan membuat kaitan sehingga kata-kata ini menjadi sajak, misalnya anjing, kucing, kambing.

3) Membaca tanpa bersuara. Yaitu membaca hanya dengan menggerakan bola mata dan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara atau dapat disebut dengan membaca di dalam hati.


(30)

15

Perkembangan membaca menurut Chall (dalam Santrock, 2007: 363-365), ada lima tahapan menurut rentang usia atau tingkat kelas. Penjelasan tentang tahap perkembangan membaca antara lain sebagai berikut:

1) Tahapan 0

Rentang usia atau tingkatan kelas mulai dari lahir sampai dengan kelas satu. Anak-anak menguasai persyaratan-persyaratan membaca. Banyak anak mempelajari gerak membaca kiri-kanan dan tatanan membaca, mengidentifikasi huruf-huruf dan alfabet, serta menulis namanya, dan membaca kata-kata yang muncul di rambu-rambu jalan.

2) Tahapan 1

Rentang usia atau tingkatan kelas pada tahapan ini dari kelas satu sampai dua. Pada tingkat ini, anak mulai belajar membaca, anak memperoleh kemampuan membunyikan kata-kata (menerjemahkan huruf-huruf menjadi bunyi dan menyampur bunyi menjadi kata-kata), dan anak melengkapi pembelajaran membaca dengan nama-nama dan bunyi-bunyi huruf.

3) Tahapan 2

Rentang usia atau tingkatan kelas pada tahapan ini dari kelas dua dan tiga. Ciri ciri dari tahap ini anak lancar dalam mengulang tiap-tiap kata dan keahlian membaca yang lain. Namun, belum dapat memahami makna yang dibaca.

4) Tahapan 3

Rentang usia atau tingkatan kelas pada tahapan ini dari tingkat 4 hingga 8. Pada tingkat 4 hingga 8, anak mampu memperoleh informasi dari media cetak, anak membaca untuk belajar. Namun, anak masih kesulitan memahami informasi


(31)

16

yang ditampilkan dari beragam sudut pandang dalam satu cerita. Pentingnya anak membaca berpengaruh pada pemahaman anak dalam berbagai mata pelajaran. 5) Tahapan 4

Rentang usia atau tingkatan kelas pada tahapan ini berada saat sekolah menengah atas. Banyak siswa menjadi pembaca-pembaca yang sangat kompeten. Anak mengembangkan kemampuan untuk memahami materi yang ditampilkan dari berbagai sudut pandang. Hal ini memampukan anak untuk mereduksikan literatur, sejarah, ekonomi, dan politik yang terkadang seperti seorang ahli.

Berdasarkan beberapa teori di atas menegaskan bahwa kemampuan membaca permulaan pada anak usia dini memiliki beberapa tahap. Tahapan membaca anak usia dini dipengaruhi oleh kelompok usia, dan tingkatan kelas. Setiap tahapan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada usia kelompok B3 yaitu usia 5-6 tahun anak berada pada tahap pembaca pemula yakni ditunjukkan dengan anak mampu membaca kalimat sederhana dengan menggunakan jari-jari untuk menuntun bacaan.

3. Jenis Metode untuk Mengembangkan Kemampuan Membaca Permulaan Slamet Suyanto (2005: 165-167) mengatakan bahwa cara pengenalan membaca untuk anak ada kaitan dengan metode story telling. Pertama adalah dengan fonik. Cara ini dilakukan dengan mengeja huruf demi huruf pada saat membaca atau menulis kata. Misalnya kata “MAKAN” dapat dieja menjadi /EM/ /A/ = /MA/ dan /KA/ /A/ /EN/ = /KAN/, jadi dibaca MAKAN. Hal ini dapat dilakukan guru saat melakukan metode story telling guru menunjukkan kosa kata yang ada dalam buku cerita.


(32)

17

Kedua adalah dengan membaca menyeluruh atau dikenal dengan istilah

whole language. Cara ini mengajarkan membaca dari keseluruhan lebih dahulu,

kemudian anak diajak mencari huruf penyusunnya (whole to part). Misalnya saat guru sedang melakukan story telling dengan buku cerita bergambar, guru menunjukkan gambar anak yang sedang makan, kemudian guru bertanya gambar anak sedang apakah itu. Anak menjawab “MAKAN”. Kemudian, anak mencoba menemukan huruf penyusun kata “MAKAN” dan memahami bagaimana kata tersebut terbentuk.

Ketiga adalah seperti cara belajar membaca dalam bahasa Jepang dan dalam metode Iqra untuk membaca Qur’an. Metode tersebut mengombinasikan huruf konsonan (B, C, D, dan seterusnya) dengan huruf vokal (A, I, U, E, O). Misalnya akan muncul kombinasi seperti BA-BI-BU-BE-BO, dan seterusnya dalam buku cerita. Dengan kombinasi seperti itu anak dapat mengenali pola huruf yang dapat digabung dan membacanya.

Sejalan dengan teori tersebut, menurut Nurbiana Dhieni (2009: 5.24) terdapat empat metode dalam mengembangkan membaca untuk anak usia dini yaitu: a) pendekatan pengalaman bahasa, b) fonik, c) lihat dan katakan, dan d ) metode pendukung konteks. Pendekatan pengalaman bahasa yakni guru menggunakan kata-kata anak sendiri untuk membantunya belajar membaca yang dapat berupa penjelasan suatu gambar atau suatu cerita pendek yang dimasukan kedalam suatu buku cerita bergambar. Fonik mengajarkan alfabet yang diberikan terlebih dahulu kepada anak-anak, nama-nama huruf dan bunyinya. Lihat dan katakan yakni anak-anak belajar mengenali kata-kata atau kalimat-kalimat


(33)

18

keseluruhan, bukannya bunyi-bunyi individu. Sedangkan pendukung konteks yakni belajar membaca menggunakan buku cerita yang menarik dengan menggunakan font yang besar atau menggunakan cerita yang dialognya didalam gelembung.

Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005 b: 108) menyatakan bahwa media buku menjadi salah satu stimulasi yang efektif bagi anak Taman Kanak-kanak, karena pada waktu itu minat baca pada anak mulai tumbuh dan diberi lahan yang tepat melalui kegiatan story telling. Oleh karena itu, melalui kegiatan story telling anak akan terangsang minatnya untuk membaca buku cerita yang sebelumnya telah digunakan guru untuk bercerita.

4. Karakteristik anak Kelompok B3

Menurut Nurbiana Dhieni ( 2009: 6.6) bahasa anak berkembang sesuai dengan jenjang-jenjang tahap perkembangan anak TK sebagai berikut:

a. Jenjang Sensorimotoris: Sejak lahir hingga 18-24 bulan, dalam mendekati akhir periode ini sesudah bahasa anak mulai tumbuh, pikiran dimaksud juga mulai tumbuh (gerakan yang dominan gerak reflek).

b. Jenjang praoperasional: 18-24 bulan hingga 6-7 tahun dengan ciri dalam perkembangan kemampuan berpikir dengan bantuan symbol-simbol (lambang-lambang).

Lebih lanjut, menurut Muller (2005: 16) menyatakan perkembangan kemampuan berbahasa anak TK sebagai berikut:

a. Membaca buku favorit, dan membacakan kembali cerita secara sederhana b. Mendengar cerita dan menuturkan tulisan-tulisan yang sudah dikenal


(34)

19

c. Menggunakan kosa kata deskriptif untuk menjelaskan dan mempelajari sesuatu

d. Memahami konsep tulisan-tulisan kiri ke kanan dan atas ke bawah

e. Memasangkan kata yang diucapkan secara verbal dengan kata dalam tulisan f. Menulis huruf alphabet tertentu

g. Menulis beberapa kata-kata termasuk nama panggilan mereka

Selanjutnya menurut Depdiknas (2000: 5) menyatakan usia 4-6 tahun ditandai oleh anak mampu membaca dan mengungkapkan sesuatu melalui gambar.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menegaskan bahwa karakteristik anak Kelompok B3 yakni anak kelompok B sudah membaca buku favorit dan membacakan buku cerita secara sederhana, anak mampu mendengarkan cerita dan menuturkan tulisan yang sudah dikenal, anak mampu menggunakan kosa kata deskriptif untuk menjelaskan sesuatu, anak memahami konsep tulisan kiri ke kanan dan atas ke bawah, anak mampu memasangkan kata yang diucapkan secara verbal dengan kata dalam tulisan, anak mampu menulis huruf alphabet tertentu, anak mampu menulis beberapa kata dan nama panggilannya, serta anak mampu membaca dan mengungkapkan kata melalui gambar.

B. Kajian Tentang Metode Story telling 1. Pengertian Metode

Menurut Suyono dan Harriyanto (2011: 19) metode pembelajaran adalah “seluruh perencanaan dan prosedur maupun langkah-langkah kegiatan pembelajaran termasuk pilihan cara penilaian yang akan dilaksanakan”. Maka dari


(35)

20

itu, salah satu tugas guru yakni memberikan kecakapan dan pengetahuan kepada murid-murid. Pemberian kecakapan dan ilmu pengetahuan tersebut dilakukan oleh guru dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu untuk mengembangkan aspek bahasa anak.

Menurut Permendikbud tahun 2014 no.146 lampiran IV menyatakan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan pendidik dalam melakukan kegiatan pembelajaran kepada anak untuk mencapai kompetensi tertentu. Metode pembelajaran dirancang dalam kegiatan bermain yang bermakna dan menyenangkan bagi anak.

Berdasarkan teori tersebut dapat ditegaskan bahwa metode yakni cara yang digunakan oleh guru dengan prosedur atau lankah-langkah tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2. Pengertian Metode Story telling (bercerita)

Menurut Ibnoe (dalam Enny Zubaidah, 2004: 20) menyatakan bercerita atau yang biasa disebut dengan mendongeng (story telling) merupakan salah satu metode komunikasi untuk anak yang lebih efektif. Ketrampilan guru saat story

telling menjadi faktor utama dalam keberhasilan menstimulasi kemampuan

komunikasi anak.

Menurut Ecols (dalam Muh. Nur Mustakim, 2005: 174) story telling terdiri atas dua kata yaitu story berarti cerita dan telling berarti penceritaan. Gabungan kedua kata story telling berarti penceritaan cerita atau perihal menceritakan cerita. Hilda Karli (2010: 78) mengungkapkan bahwa metode stoy telling bertujuan menciptakan suasana menyenangkan dan akrab dengan anak. Menurut Enny


(36)

21

Enny Zubaidah (2006: 30) menjelaskan bahwa mendongeng / story telling merupakan usaha yang dilakukan oleh pendongeng dalam menyampaikan isi perasaan, buah pikiran, atau sebuah cerita kepada anak-anak secara lisan. Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Moeslichatoen ( 2009: 140), metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak Taman Kanak-kanak dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Nurbiana Dhieni (2009: 6.6) yang menyatakan bahwa metode bercerita / story telling adalah cara penyampaian atau penyajian materi secara lisan dalam bentuk cerita dari guru kepada anak didik Taman Kanak-kanak. Sementara itu, menurut Bachtiar Bachri (2005: 10) metode bercerita adalah upaya untuk mengembangakan potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan.

Berdasarkan pengertian metode story teling tersebut, peneliti menegaskan metode story telling untuk menstimulasi kemampuan membaca permulaan anak yakni suatu cara pembelajaran menceritakan cerita menggunakan buku cerita bergambar yang disampaikan secara lisan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dan akrab dengan anak. Diharapkan dengan terciptanya suasana yang akrab dan menyenangkan dengan anak maka akan tumbuh perhatian anak dalam menyimak cerita dari awal hingga selesai, kemudian minat membaca anak terhadap buku cerita yang pernah didengarkan akan tumbuh. Sehingga semakin sering intensitas metode story telling di terapkan pada anak, maka keinginan anak


(37)

22

untuk membaca ulang buku cerita semakin bertambah sehingga anak yang telah terbiasa dengan dunia buku cerita bergambar maka kemampuan membaca anak akan meningkat lebih awal.

3. Kelemahan & Manfaat Metode Story telling

Kelemahan dari metode story telling Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2008: 161-170), kelemahan atau masalah seputar cerita dan bercerita yang berhasil diidentifikasi, yaitu :

a. Cerita Tuna Makna

Cerita tuna makna yakni cerita yang tidak menyuguhkan suatu deskripsi nilai-nilai budaya, nikai-nilai moral, dan nilai-nilai kehidupan yang dapat diidentifikasi, seperti tolong menolong, toleransi, patuh pada orang tua, rendah hati, disiplin diri, dan mengembangkan kepekaan nurani.

b. Interpolasi dan Korupsi Berlebihan

Interpolasi yang menyangkut fakta cerita, seperti peristiwa yang ditambah-tambah, munculnya nama-nama baru yang disengaja, dan dialog-dialog yang tidak sesuai sehingga membuat cerita sejarah kehilangan cerita sejarahnya.

c. Improvisasi Lepas Konteks

Improvisasi yang dilakukan tanpa melihat kadar dan kepentingan dalam cerita dapat dikategorikan sebagai improvisasi lepas konteks. Improvisasi ini terjadi karena pencerita terlalu intens atau masuk kedalam improvisasinya sendiri sehingga beresiko kehilangan kaitan dengan cerita.


(38)

23 d. Imajinasi Tak Terkendali

Masa anak-anak sering sering mengalami kesulitan membedakan dunia nyatadan dunia khayalan karena latar pengetahuan anak belum maksimal, mereka belum dapat membedakan bahwa sesuatu yang ada dalam cerita belum tentu ada di dunia nyata.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti dapat menegaskan kelemahan metode

story telling akan terjadi karena adanya cerita tuna makna, interpolasi dan korupsi

berlebihan, improvisasi lepas konteks, dan imajinasi tak terkendali.

Sedangkan manfaat story telling menurut Tampubolon (dalam Nurbiana Dhieni, 2009: 6.7) menyatakan bahwa manfaat story telling pada anak yakni menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca, tetapi juga dalam mengembangkan bahasa dan pikiran anak. Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Tadkiroatun Musfiroh (2008: 81) menyatakan bahwa cerita bagi anak memiliki manfaat yang sama pentingnya dengan aktivitas dan program pendidikan, yaitu merangsang minat menulis dan minat baca anak.

Menurut Enny Zubaidah (2006: 32) dongeng atau story telling mempunyai manfaat intrinsik yaitu memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan. Novi Romawati (2007: 27-28) juga berpendapat bahwa, metode story telling bermanfaat bagi anak karena dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat anak didik.

Dari manfaat metode story telling yang dipaparkan tersebut, peneliti menegaskan bahwa cerita membekali anak-anak dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan mereka selanjutnya. Melalui metode story teling diharapkan akan


(39)

24

memberikan kesenangan dan kegembiraan sehingga akan membangkitkan semngat anak didik untuk menyimak jalan cerita, jika anak sudah senang dengan cerita tersebut maka minat baca anak akan tumbuh untuk membaca buku cerita yang telah diperdengarkan. Anak yang sering beraktivitas dengan buku cerita bergambar maka kemampuan membaca anak akan meningkat.

4. Jenis Pelaksanaan Metode Story telling dengan Buku Cerita

Menurut Wright (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 141) mengemukakan bahwa membacakan cerita dalam buku memiliki beberapa kelebihan yakni demonstrasi terbaik bagaimana mencintai buku, merupakan sumber ide terbaik, ketika menyimak tulisan, anak memiliki kesempatan untuk memprediksi kata dari kelanjutan cerita, gambar dalam buku cerita membantu pemahaman anak, dan keberadaan buku mendorong anak untuk belajar “membacanya” sendiri begitu kegiatan story telling selesai.

Menurut Lubern (dalam Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 3) buku adalah sebuah kebenaran yang ditunjukkan bagi anak dengan memiliki bagian cerita yang dapat diingatkan dan dapat memberikan kesenangan. Berdasarkan teori tersebut, supaya buku cerita dapat memberikan kesenangan maka buku yang baik memiliki bahasa yang unik yang benar-benar dapat menyenangkan dan dapat membangun pengetahuan anak yang membaca atau mendengarkanya, maka guru harus memperhatikan cara memilih buku cerita yang baik untuk metode story

telling di TK.

Pemilihan buku cerita untuk story telling harus memperhatikan petunjuk cara memilih buku cerita yang baik, menurut Morrow (dalam M. Nur Mustakim,


(40)

25

2005: 181) sebagai berikut : 1) mempunyai plot yang sederhana dan tersusun baik; 2) mempunyai permulaan, pertengahan dan akhir cerita yang jelas; 3) memiliki tema dasar; 4) mempunyai karakter yang cukup jelas; 5) berisi dialog; 6) menggunakan repetisi atau pengulangan; 7) menggunakan bahasa yang hidup atau frase-frase yang biasa.

Tadkiroatun Musfiroh (2008: 69-80) mengemukakan ada tiga jenis buku cerita yang sesuai untuk Taman Kanak-kanak yaitu : a) cerita rakyat; b) cerita fiksi modern; c) cerita faktual.

a. Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah cerita yang tersebar dari mulut ke mulut yang berkaitan dengan cerminan kebudyaan lingkungan masyarakat tertentu sehingga mempengaruhi tingkah laku mereka.

b. Cerita Fiksi Modern

Cerita fiksi modern merupakan cerita imajinatif yang diciptakan oleh seseorang mengenai kehidupan sehari-hari. Terdapat 2 (dua) bentuk cerita fiksi modern yaitu : 1) cerita fiksi popular, dan 2) cerita fiksi ilmiah. Cerita fiksi popular yaitu cerita yang menampilkan peri kehidupan sehari-hari melalui tokoh manusia maupun rekaan (binatang dan tokoh khayali dengan bentuk tertentu). Sedangkan Cerita fiksi ilmiah adalah cerita yang mengandung unsur-unsur keilmiahan walaupun dalam kadar yang disesuaikan dengan pendengar yang dibidik. Cerita fiksi ilmiah mengandung nilai kebenaran yang dapat dibuktikan dialam nyata.


(41)

26

Cerita faktual merupakan cerita yang didasarkan pada peristiwa fakta yang dialami seseorang atau sekelompok orang. Cerita ini biasanya berbentuk buku sejarah dan berisi tentang peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 198).

Sedangkan menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006: 5) kriteria buku cerita anak yang baik sebagai berikut: a) jalan cerita yang mudah diikuti; b) kata dan ucapan yang berulang; c) kisah yang dapat ditebak dan kumulatif; d) berisi kumpulan kegiatan; e) berisi sekumpulan kegiatan; f) lucu; g) berisi kejadian yang menarik minat anak; h) akhir yang baik dengan kesimpulan sesuai; dan i) berisi pesan atau moral yang jelas.

Berdasarkan teori tersebut, jenis cerita yang baik digunakan untuk kegiatan story telling di Taman Kanak-kanak yakni cerita yang sederhana dan jelas, memiliki dialog, lucu, mengandung pesan moral, dan mempunyai awalan dan akhiran yang jelas. Dalam penelitian ini cerita yang disajikan tentang cerita fiksi modern yang berjudul Mona dan Lisa, Aku bisa potong kuku sendiri, Aku selalu hati-hati, Thumbelina, dan Si Kembar dan Merah Putih di panjat pinang. 5. Teknik Menghidupkan Suasana Story telling

Bercerita dengan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan harusa dapat menarik minat anak. Guru berperan penting dalam menumbuhkan minat anak dalam mendengarkan cerita. Guru harus mengetahui teknik-teknik untuk menarik minat anak dalam mendengarkan. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 169) mengemukakan bahwa teknik-teknik story


(42)

27

yang sederhana dapat disajikan memikat pendengar,teknik itu berfungsi untuk mengoptimalkan unsur-unsur cerita seperti dialog dan klimaks, humor, peranserta pendengar, improvisasi, alat bantu, dan olah suara.

Adapun berbagai macam teknik untuk menghidupkan suasana cerita menurut Bachtiar S.Bachri (2005: 158) antara lain : a) mengoptimalkan dialog tokoh-tokoh cerita; b) mengoptimalkan klimaks cerita; c) memberi humor di sela-sela bercerita; d) melibatkan anak dalam cerita melalui pertanyaan dan teguran; dan e) berolah suara, mimik; dan pantomimic sehingga membangkitkan minat dan semangat anak untuk terus menyimak.

Guru dapat menghidupkan suasana story telling melalui tiga ekspresi dasar (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 139-142) yaitu:

a. Ekspresi Sedih

Ekspresi sedih ditunjukan antara lain oleh raut muka yang menciut, alis menurun, mulut mendekat kehidung, mata meredup tidak bercahaya.

b. Ekspresi Gembira

Ekspresi gembira ditunjukan oleh suara agak meninggi berirama, penuh hentakan, wajah berseri dan mata bersinar, hidung sedikit mengembang, dan ujung mulut cenderung tertarik keatas.

c. Ekspresi Marah

Ekspresi marah diwujudkan antara lain melalui suara yang keras, bernada tinggi, mengandung stakato, ketegangan pada alis dan penajaman pandangan mata, pengerasan mulut, dan gerakan hidung mengembang.


(43)

28

Dari uraian tersebut peneliti menegaskan bahwa dalam metode story

telling dibutuhkan teknik untuk menghidupkan suasana cerita yakni

mengoptimalkan dialog tokoh-tokoh cerita, mengoptimalkan klimaks cerita, menyisipkan humor, melibatkan anak melalui pertanyaan dan teguran, dan berolah suara atau mimik dan ekspresi untuk membangkitkan suasana.

6. Tahap Penyusunan Metode Story telling untuk Anak TK a. Persiapan Metode Story telling

Untuk menyajikan metode story telling yang baik, diperlukan beberapa persiapan. Berikut langkah-langkah persiapan pembelajaran menggunakan metode story telling (Bachtiar S.Bachri, 2005: 143-156):

1) Membuat rencana kegiatan story telling. 2) Mengorganisasi anak

Mengorganisasi anak yakni mengelompokan anak-anak yang akan dilibatkan atau diajak berorientasi dalam penceritaan, meminta anak untuk mencari tokoh utama dalam cerita mengingatnya dan menyebutkan kembali sifat-sifatnya, pemberian informasi sejelas-jelasnya tentang proses dan tujuan cerita yang akan disampaikan serta kemungkinan permasalahan yang muncul dalam memahami cerita.

3) Menata ruang untuk story telling

Pelaksanaan diluar kelas membutuhkan beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya: 1) kesesuaian tuntutan cerita, 2) keamanan, 3) kenyamanan, 4) faktor penunjang lain (kesegaran). Sedangkan story telling


(44)

29

dilaksanakan didalam ruangan harus memperhatikan aspek yakni: 1) aliran udara / ventilasi, 2) tata cahaya, 3) penataan warna.

4) Mengelola tempat untuk story telling

Mengelola tempat duduk berkaitan dengan interaksi guru dan siswa, karakteristik materi cerita, setting materi cerita, aktivitas yang dilakukan dalam penceritaan, serta media pembelajaran yang digunakan. Menurut Bachtiar S Bachri (2005: 175) mengelola tempat duduk adalah sebagai berikut:

a) Posisi guru di depan anak

Gambar 1. Posisi Guru Didepan Anak

Model tersebut dipilih jika story telling menggunakan seting latar belakang pangggung boneka yang memerlukan posisi duduk anak untuk melihat pencerita.

b) Posisi guru di tengah-tengah anak

Gambar 2. Posisi Guru Ditengah-tengah Anak

Model tersebut digunakan jika story telling dilakukan dengan monolog tanpa latar belakang, jika menggunakan media cukup dipegang dengan posisi duduk atau berdiri.


(45)

30

Sedangkan menurut Moeslichatoen (2009: 175- 178) persiapan kegiatan bercerita terdiri atas :

1) Menetapkan tujuan dan tema yang dipilih

Tujuan penggunaan metode story telling terutama dalam rangka memberi pengalaman belajar melalui cerita guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Tujuan

story telling yakni memberi informasi atau menanamkan nilai-nilai sosial, moral,

atau keagamaan. Dalam menetapkan tujuan pengajaran harus dikaitkan dengan tema yang dipilih dan ada kedekatan hubungan dengan kehdupan anak didalam keluarga, sekolah, atau luar sekolah. Pemilihan tema juga harus menarik dan memikat perhatian anak dan menantang anak untuk menanggapi, menggetarkan perasan serta menyentuh nurani.

2) Menetapkan bentuk story telling yang dipilih

Bentuk story telling merupakan ilustrasi apa yang akan dipilih guru agar suasana dalam cerita dapat hidup. Adapun ilsutrasi tersebut dapat menggunakan gambar, membaca cerita dalam buku ata majalah, menggunakan papan flannel. 3) Menetapkan rancangan bahan dan alat yang dipilih

Berdasarkan bentuk story telling yang akan dipilih misalkan menggunakan bentuk cerita dengan ilustrasi gambar, maka guru harus menetapkan rancangan gambar yang akan disajikan. Misalnya untuk ilustrasi cerita peristiwa banjir terdapat ilustrasi rumah penduduk yang terkena banjir, orang dan anak-anak yang tinggal di tenda-tenda, sekolah yang terendam banjir,dll. Gambar tersebut dapat dimasukan dalam bentuk video yang disertai dengan suara sehingga dapat membuat cerita lebih hidup. Jika guru memilih


(46)

31

menggunakan buku cerita/ majalah maka alat yang dibutuhkan buku/ majalah cerita.

Selanjutnya menurut pendapat Kingore (dalam M.Nur Mustakim, 2005: 181) memberikan enam langkah persiapan story telling adalah sebagai berikut: 1) memilih cerita yang diminati anak, 2) membaca cerita beberapa kali agar dapat menghayati dan memahami alur, 3) memperhatikan frase yang diulang-ulang untuk menghidupkan cerita, 4) membuat rancangan pendukung atau gerakan isyarat untuk menarik pendengar/ anak, 5) mempersiapkan sebuah pengantar singkat yang menghubungkan cerita dan pengalaman pendengar/ anak, 6) berlatih menyampaikan cerita di depan cermin.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditegaskan terdapat persiapan program dan persiapan mengajar. Persiapan program yakni menyiapkan buku cerita sesuai tema, menentukan waktu untuk story telling. Sedangkan persiapan mengajar yakni berlatih untuk memahami isi cerita yang akan diceritakan, menyesuaikan ruangan dengan cerita yang akan dibacakan supaya ada kesesuaian dengan cerita serta kebersihan, kerapihan, dan keindahan ruangan akan membuat anak lebih nyaman dalam mendengarkan cerita. Posisi duduk juga harus diperhatikan supaya semua anak dapat memperhatikan cerita. Kemudian menetapkan tujuan dengan tema, menetapkan bentuk cerita yang akan dipilih, dan menentukan alat dan bahan yang dapat mendukung cerita.


(47)

32 b. Pelaksanaan Metode Story telling

Pelaksanaan metode story telling meliputi langkah-langkah dalam bercerita. Menurut Moeslichatoen (2009: 179) langkah-langkah metode story telling yaitu:

1) Langkah pertama: mengkomunikasikan tujuan dan tema dalam bentuk bercerita kepada anak.

2) Langkah kedua: mengatur tempat duduk anak. Anak akan dikondisikan untuk duduk dilantai diberi alas tikar atau karpet. Kemudian mengatur bahan dan alat yang akan digunakan

3) Langkah ketiga: kegiatan pembukaan bercerita. Guru menggali pengalaman anak dalam kaitannya dengan cerita yang akan diceritakan.

4) Langkah keempat: pengembangan cerita yang dituturkan guru. Guru menyajikan fakta-fakta disekitar kehidupan anak tentang cerita yang diperdengarkan.

5) Langkah kelima: guru mengkomunikasikan dengan anak nasehat dari dalam cerita tersebut.

6) Langkah keenam: langkah penutup story telling dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan cerita.

Menurut Enny Zubaidah (2004: 21) menyatakan pelaksanaan story telling diawali dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan umum untuk merangsang kepekaan anak terhadap story telling yang akan disajikan dengan cara menyanyikan lagu sesuai dengan tema yang akan diceritakan, menirukan suara binatang sebagai tokoh utama cerita, melalui gambar buku menanyakan judul


(48)

33

cerita, menirukan suara binatang atau tokoh ayang akan diperankan dengan ekpresi yang maksimal, mengatur intonasi atau tinggi rendahnya suara, menghayati tokoh yang diperankan, menampilkan ekpresi pada raut muka menangis, tertawa tersenyum, njenggureng, berteriak, lalu memaksimalkan gerak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan tokoh, dan komunikatif dengan anak.

Sedangkan menurut Abdul Majid (2001: 47) menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan saat story telling yaitu: a) tempat bercerita; b) posisi duduk; c) bahasa cerita; d) intonasi guru; e) pemunculan tokoh-tokoh; f) penampakan emosi; g) peniruan suara; h) penguasaan terhadap siswa; dan i) menghindari ucapan spontan.

Dari beberapa teori tersebut dapat ditegaskan bahwa langkah-langkah pelaksanaan metode story telling dapat dilakukan di awali dengan kegiatan tanya jawab yang berkaitan dengan topik cerita yang akan disampaikan, membuka cerita dengan nyanyian atau dengan menirukan suara tokoh dalam cerita, mengembangkan cerita dengan humor, didalam cerita guru memasukan pesan moral berupa nasehat-nasehat, dan penutup guru melakukan tanya jawab yang berkaitan tentang isi cerita. Langah-langkah tersebut sebaiknya dilakukan guru secara urut sehingga cerita dapat disajikan secara urut sesuai alur supaya tidak membingungkan anak.

c. Evaluasi Hasil Belajar Kegiatan Story telling

Menurut Johnson (dalam Masitoh dkk, 2005: 183) mengemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses memilih, mengumpulkan, dan menafsirkan informasi


(49)

34

untuk membuat keputusan. Maka dari itu, evaluasi bertujuan untuk memperbaiki program, menghentikan program, atau membandingkan program.

Menurut “The National Association of Early Childhood Specialist (NACS,1991) (dalam Masitoh dkk, 2005: 183) tujuan mengevaluasi anak usia dini untuk: 1) merencanakan pembelajaran individual dan kelompok untuk berkomunikasi dengan para orang tua, 2) mengidentifikasi anak yang memerlukan bantuan atau layanan khusus, 3) mengevaluasi apakah tujuan program pendidikan anak usia dini sudah tercapai atau belum.

Pada Taman kanak-kanak terdapat berbagai cara melakukan penilaian. (Bachtiar S.Bahri, 2005: 183-194) menjelaskan cara tersebut:

1) Pengamatan (observasi): cara untuk mendapatkan keterangan mengenai situasi dengan melihat dan mendengar apa yang terjadi, kemudian dicatat dengan cermat, untuk kemudian diinterpretasi

2) Tes Formal: cara yang dilakukan untuk mengukur sesuatu dengan alat tes yang sudah tersetandar (kuantitatif). Misalnya tes untuk mengetahui kemampuan pengetahuan anak tentang konsep yang sifatnya verbal (Boehm Test of Basic Concept)

3) Tes yang informal: cara yang dilakukan untuk mengukur sesuatu dengan pendekatan informal (kualitatif), dengan tujuan memperbaiki program kegiatan pembelajaran tersebut.

4) Inventori sikap dan minat: cara untuk mendapatkan keterangan atau informasi tentang bagaimana anak mengahayati berbagai kegiatan dan minat dengan memberikan sejumlah pertanyaan langsung pada anak.


(50)

35

5) Penilaian diri: ungkapan anak mengenai kesukaan dan ketidaksukaan dirinya terhadap sesuatu. Melalui berbagai ungkapan diri, anak akan menggambarkan bagaimana suasana hatinya.

6) Portofolio: Hasil berbagai pekerjaan anak, catatan anak, catatan guru, dan evaluasi diri yang dilakukan anak.

Sedangkan menurut Masitoh, dkk (2005: 186- 188) ada berbagai metode untuk melakukan evaluasi pada anak usia dini sebagai berikut:

1) Observasi (pengamatan) yaitu cara pengumpulan data penilaian yang pengisiannya berdasarkan pengamatan langsung terhadap sikap anak.

2) Catatan anekdot (anecdotal record) yaitu kumpulan catatan tentang sikap dan perilaku anak secara khusus baik perilaku positif/ negative

3) Percakapan (interview) yaitu penilaian melaui bercakap-cakap atau wawancara antara anak dengan guru.

4) Pemberian tugas yaitu guru memberikan tugas kepada anak setelah melihat hasil kerjanya baik secara individu maupun kelompok.

5) Portofolio yaitu penilaian yang didasarkan pada kegiatan yang dilakukan anak beserta hasil karyanya yang emnunjukkan pemikiran dan perkembangan anak.

Sejalan dengan teori tersebut Permendikbud tahun 2014 no.146 menyatakan teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan adalah sebagai berikut:

1) Pengamatan atau observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan selama kegiatan pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung


(51)

36

dengan menggunakan lembar observasi, catatan menyeluruh atau jurnal, dan rubrik.

2) Percakapan merupakan teknik penilaian yang dapat digunakan baik pada saat kegiatan terpimpin maupun bebas.

3) Penugasan merupakan teknik penilaian berupa pemberian tugas yang akan dikerjakan anak dalam waktu tertentu baik secara individu maupun kelompok serta secara mandiri maupun didampingi.

4) Unjuk kerja merupakan teknik penilaian yang melibatkan anak dalam bentuk pelaksanaan suatu aktivitas yang dapat diamati.

5) Penilaian hasil karya merupakan teknik penilaian dengan melihat produk yang dihasilkan oleh anak setelah melakukan suatu kegiatan.

6) Pencatatan anekdot merupakan teknik penilaian yang dilakukan dengan mencatat sikap dan perilaku khusus pada anak ketika suatu peristiwa terjadi secara tiba-tiba/insidental baik positif maupun negatif.

7) Portofolio merupakan kumpulan atau rekam jejak berbagai hasil kegiatan anak secara berkesinambungan atau catatan pendidik tentang berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai salah satu bahan untuk menilai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Berdasarkan uraian cara penilaian tersebut untuk objek bidang pengembangan anak Taman Kanak-kanak yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu evaluasi terhadap hasil belajar kegiatan metode story telling dengan cara observasi atau pengamatan. Hal ini didasarkan karena melalui pengamatan saat anak diminta membaca ulang cerita, guru akan mengetahui kemampuan anak


(52)

37

dalam hal membaca permulaan. Informasi seperti ini hanya diperoleh melalui observasi.

Evaluasi hasil belajar yang dimaksud yaitu cara guru mengevaluasi anak dalam hal kemampuan membaca permulaan pada anak usia kelompok B. yakni dengan cara guru mendampingi anak saat membaca ulang buku cerita bergambar yang berjudul Mona dan Lisa, Aku selalu hati-hati, Thumbelina, dan Aku bisa potong kuku sendiri, kemudian mengamati anak saat membaca kata-kata atau kalimat yang ada di dalam buku cerita bergambar.

Kemudian guru melakukan penilaian anak usia 5-6 tahun berdasarkan Permendikbud tahun 2014 no.146 sebagai berikut:

Tabel 1. Indikator Pencapaian Perkembangan

INDIKATOR PENCAPAIAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI LAHIR-6 TAHUN

Kompetensi Dasar (KD) 4-5 thn 5-6 thn

3.10. Memahami bahasa reseptif (menyimak dan membaca)

Mencerita-kan kembali apa yang didengar dengan kosa kata yang terbatas

Menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata yang Lebih

4.11. Menunjuk- kan kemampu-an berbahasa ekspresif (mengung-kapkan bahasa secara verbal dan non verbal)

Mencerita-kan gambar yang ada dalam buku

Menunjuk- kan perilaku senang membaca buku terhadap buku-buku yang dikenali

Bertanya dengan

mengguna-kan lebih dari 2 kata kata tanya seperti: apa, mengapa,

bagaimana, dimana

Mencerita- kan kembali isi cerita secara sederhana

Berdasarkan Indikator pencapaian tersebut, guru menggunakan indikator pencapaian tersebut sebagai pedoman untuk mengevaluasi hasil belajar story


(53)

38

telling pada kemampuan membaca permulaan diamati dari kemampuan anak usia

5-6 tahun.

C. Kerangka Pikir

Tahapan perkembangan anak usia 5-6 tahun dimulai dari 5 ranah yaitu perkembangan fisik motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa, dan moral agama. Perkembangan bahasa merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan. Perkembangan bahasa anak yakni dalam bentuk menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Membaca memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan membaca permulaan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak untuk dapat memperoleh pesan atau informasi. Kemampuan membaca yang diajarkan kepada anak usia dini adalah kemampuan membaca permulaan. Membaca tidak muncul begitu saja pada diri anak, tetapi harus melalui proses yang panjang dengan adanya stimulasi-stimulasi dan pembelajaran yang menyenangkan untuk mengembangkan membaca permulaan anak. Oleh karena itu perlu adanya pembelajaran untuk mengembangkan membaca permulaan salah satunya menggunakan metode story telling dengan alat peraga buku cerita bergambar.

Media buku cerita bergambar menjadi salah satu stimulasi yang efektif untuk kegiatan story telling pada kemampuan membaca permulaan. Namun belum diketahuinya penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta. Obyek penelitian ini


(54)

39

yakni proses pembelajaran metode story telling. Peneliti akan meneliti proses pembelajaran menggunakan metode story telling yang terdiri dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi metode story telling. Persiapan meliputi menyiapkan tema, waktu, naskah/buku cerita, setting ruang. Pelaksanaan metode story telling yang meliputi mengatur posisi duduk, pembukaan, pengembangan cerita, nasehat cerita dan penutup cerita. Evaluasi hasil belajar metode story telling meliputi observasi guru terhadap anak dalam membaca permulaan.

Kerangka pikir tersebut dapat diperjelas pada bagan Gambar 3. sebagai berikut:

Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir

Penelitian ini akan meneliti tentang proses pembelajaran menggunakan metode

story telling di kelompok B3 TK Budi Mulia Dua Yogyakarta yang berfokus

pada persiapan, pelaksanaan , dan evaluasi hasil belajar metode story telling pada kemampuan membaca permulaan

Penelitian ini akan menghasilkan deskripsi dari proses penerapan metode story

telling yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar metode

story telling.

TK Budi Mulia Dua Pandeansari adalah sekolah yang telah berhasil menerapkan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan

Kemampuan membaca permulaan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak untuk dapat memperoleh pesan atau informasi Kemampuan membaca permulaan dapat di stimulasi dengan menggunakan

metode story telling.

Namun belum diketahuinya penerapan metode story telling di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta


(55)

40 D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kajian teori tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Bagaimana cara persiapan guru sebelum melaksanakan metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta?

2. Bagaimana cara pelaksanaan metode story telling yang dilakukan guru dan anak di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta?

3. Bagaimana cara evaluasi hasil belajar yang dilakukan guru pada anak dalam kemampuan membaca permulaan setelah metode story telling di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta?


(56)

41 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif, karena dalam penelitian ini hanya mengungkapkan fakta kemudian menjelaskan secara deskriptif tentang fakta yang bersangkutan. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 234), penelitian deskriptif adalah penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variable, gejala, atau keadaan. Maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan fakta yang terjadi pada proses pembelajaran kegiatan menggunakan metode story telling pada pengembangan kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi Mulia Pandeansari Yogyakarta.

Peneliti memilih menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin mengetahui proses penerapan metode

story telling pada kemampuan membaca permulaan di kelompok B3 TK Budi

Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai dengan cara guru mengevaluasi anak setelah belajar metode story telling. Hal ini penting dilakukan mengingat pentingnya pengenalan membaca permulaan pada tingkat awal.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta. Sekolah ini beralamat di Kompleks Pandeansari Blok II No. 4 Condongcatur,


(57)

42

Depok, Sleman, Yogyakarta. Sekolah tersebut memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak usia dini khususnya anak usia empat sampai enam tahun yang tergolong dalam pendidikan Taman Kanak-kanak. Taman Kanak-kanak Budi Mulia 2 Pandeansari membuka delapan kelas untuk Kelompok A yakni anak usia 4-6 tahun dan delapan kelas Kelompok B yakni anak usia 5- 6 tahun. Masing-masing kelas terdiri dari 20 anak yang diampu oleh seorang guru utama dan dua orang guru pendamping. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas regular Kelompok B berlangsung antara pukul 07.15–09.45 WIB, sedangkan Kelompok A pukul 10.00 – 12.30 WIB. Kondisi sekolah saat ini sangat indah dan nyaman, hal ini terbukti dengan predikat Juara I sekolah sehat tingkat nasional tahun 2014. Setting penelitian ini akan dilaksanakan di kelompok B3 didalam ruang kelas dan di area sekolah.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian deskriptif di TK Budi Mulia 2 Pandeansari adalah seluruh pihak yang berperan dalam proses pembelajaran. Subyek penelitian meliputi kepala sekolah, guru kelas (educator), dan anak-anak di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari. Sedangkan objek penelitian adalah proses pembelajaran menggunakan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar.


(58)

43 D. Informan Kunci

Adapun informan kunci pada penelitian ini berjumlah dua sumber informan yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dengan proses pembelajaran story telling. Informan pertama yaitu Kepala sekolah TK Budi Mulia 2 Pandeansari yang mengetahui profil lembaga tersebut serta mengetahui seputar kerjasama dengan guru kelas dalam menentukan pemilihan metode pembelajaran yang tepat untuk anak. Informan kedua yaitu guru kelas B3 TK Budi Mulia 2 Yogyakarta yang mengetahui secara mendalam mengenai proses pembelajaran menggunakan metode story telling yang dapat mengembangkan kemampuan membaca permulaan pada anak.

E. Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni satu bulan. Minggu keempat bulan Agustus digunakan untuk mengurus perijinan dan minggu pertama bulan September hingga minggu keempat untuk mengambil data. Adapun jadwal pengambilan data sebagai berikut :

1. Minggu pertama bulan September 2015, peneliti datang ke TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta untuk menemui informan pertama yakni melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan mendokumentasi tentang profil sekolah dan seputar kerjasama dengan guru kelas dalam menentukan pemilihan metode pembelajaran yang tepat untuk anak .

2. Minggu kedua bulan September 2015, peneliti menemui informan kedua yakni guru utama di Kelompok B3 untuk melakukan wawancara, observasi, dan


(59)

44

mendokumentasi tentang langkah-langkah pelaksanaan metode story telling supaya dapat berhasil serta melakukan pengamatan dan dokumentasi pembelajaran story telling berlangsung.

3. Minggu ketiga bulan September 2015, peneliti menemui informan kedua dan ketiga yakni guru utama dan pendamping untuk melakukan wawancara seputar perkembangan anak selama menjalani metode story telling.

4. Minggu keempat bulan September 2015, peneliti menemui informan utama untuk mewawancarai, observasi, dan mendokumentasi tentang metode story

telling yang diikuti dan hubungan dengan kemampuan membaca permulaan

pada anak kelompok B3.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Wawancara mendalam

Moleong (2002: 135) juga menegaskan bahwa wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu disusun kemudian diajukan kepada informan. Wawancara dengan informan bertujuan untuk memperoleh wawancara yang mendalam.

Wawancara mendalam dengan informan seperti kepala sekolah dan guru diharapkan dapat menemukan hal-hal atau fenomena yang lebih spesifik yang


(60)

45

belum tentu diperoleh melalui cara observasi. Adapun kegiatan wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti yakni :

a. Wawancara dengan informan pertama subyek penelitian untuk mengetahui profil sekolah serta kerjasama antara kepala sekolah dengan guru dalam memilih metode pembelajaran yang tepat untuk anak.

b. Wawancara dengan informan kedua yakni dengan guru Kelompok B3 sebagai fasilitator metode story telling yang mengetahui proses pelaksanaan metode

story telling pembelajaran di Kelompok B3 yang meliputi persiapan,

langkah-langkah pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar kegiatan.

c. Untuk melakukan cross-check tentang hasil wawancara dengan informan pertama khususnya tentang kerjasama antara kepala sekolah dan guru dalam memutuskan pemilihan metode pembelajaran yang tepat untuk anak.

2. Dokumentasi

Peneliti memperkuat hasil wawancara dengan data penelitian dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian sebagai sumber data karena dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan (Moleong,2002:161). Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012: 328). Oleh karena itu dokumentasi akan memudahkan peneliti dalam hal memberikan informasi yang berkaitan dengan metode story telling.

Data dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: video dan foto metode story telling meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar, dokumen naskah cerita untuk story telling, dokumentasi media pendukung


(61)

46

meliputi buku cerita yang digunakan untuk story telling, serta dokumen hasil belajar kegiatan berupa data anak yang sudah mampu membaca permulaan.

3. Observasi

Sugiyono (2012: 310) mengklasifikasikan pengamatan (observasi) menjadi tiga bagian yakni observasi partisipatif, observasi tersamar, dan observasi tak berstruktur. Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipatif. Observasi partisipatif adalah peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian (Sugiyono, 2012: 310). Peneliti melakukan pencatatan secara sistematis dengan menggunakan lembar catatan lapangan. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan data yang optimal di tempat penelitian agar tercapai sesuai dengan tujuan penelitian deskriptif.

Proses observasi yang dilakukan menggunakan catatan lapangan untuk menuliskan hasil dari observasi penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan di Kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta. Observasi yang dilakukan peneliti berfokus pada proses persiapan metode story

telling, proses pelaksanaan metode story telling, dan evaluasi hasil belajar metode

story telling. Catatan lapangan terdiri dari dua bagian yakni bagian deskriptif yang

berisi gambaran tentang latar pengamatan, orang, tindakan dan pembicaraan, serta bagian interpretasi yang berisi rangkuman dari bagian deskriptif.


(62)

47 G. Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 160) instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yakni panduan wawancara, panduan observasi, dan panduan dokumentasi tentang penerapan metode story telling dalam mengembangkan kemapuan membaca permulaan anak.

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara pada penelitian ini berisi tentang pertanyaan mengenai proses metode story telling yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar. Berikut ini merupakan tabel kisi-kisi instrumen panduan wawancara tentang pelaksanaan metode story telling yang dapat mengembangkan kemampuan membaca permulaan pada anak.

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Wawancara Penerapan Metode Story

telling pada Kemampuan Membaca Permulaan di Kelompok B3

Variabel Sub variabel

Aspek indikator Sumber

data Butir Soal Pelaksanaan metode story telling Metode story telling Persiapan metode story telling Penetapan tema dalam memilih cerita Kepala TK 12 Pemilihan cerita untuk story telling yang sesuai dengan tema dalam RKH, penataan ruangan, penataan posisi duduk,

Guru 10

Pelaksanaan metode storytelling

Penyampaian tema cerita, teknik guru dalam membacakan


(63)

48 cerita, kata-kata penghubung cerita, intensitas waktu, cara guru mendampingi anak membaca ulang buku cerita Evaluasi hasil belajar metode storytelling guru melakukan observasi membaca permulaan pada anak, guru membuat evaluasi harian tentang membaca permulaan anak

Guru 11

2. Panduan Observasi

Kegiatan observasi yang dilakukan dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan pembelajaran story telling untuk kemampuan membaca permulaan . Dalam melakukan pengamatan ada beberapa aspek yang diamati. Berikut kisi-kisi pedoman observasi penerapan story telling untuk kemampuan membaca permulaan anak.

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Observasi Penerapan Metode Story telling pada Kemampuan Membaca Permulaan di Kelompok B3

Variabel Sub variabel aspek Indikator Sumber data Jumlah butir Penerapan metode story telling pada kemampuan membaca permulaan Kegiatan pembelajaran storytelling Persiapan metode storytelling Persiapan ruang belajar metode storytelling, Penataan ruangan, penataan posisi duduk, kesiapan guru dalam memahami cerita, kesiapan naskah cerita yang sesuai dengan tema

Guru 5

Penerapan metode

Apersepsi menuju ke cerita inti, peran


(64)

49

storytelling dan ekspresi

pendidik saat menyampaikan isi cerita,menutup metode story telling Evaluasi hasil belajar metode storytelling cara guru melakukan evaluasi membaca permulaan pada anak Guru

3. Panduan Dokumentasi

Kegiatan dokumentasi yang dilakukan dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan dokumen berupa gambar, foto, video, dan catatan lapangan tentang pelaksanaan pembelajarn story telling untuk kemampuan membaca permulaan . Berikut kisi-kisi pedoman dokumentasi pelaksanaan story telling untuk kemampuan membaca permulaan anak.

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Dokumentasi Penerapan Metode Story

telling pada Kemampuan Membaca Permulaan di Kelompok B3

Sub variable Aspek Dokumentasi Jumlah butir Persiapan metode Rencana kegiatan

harian (RKH)

Foto Rencana Kegiatan Harian

9 Media buku cerita

bergambar Foto media pendukung metode storytelling Ruangan untuk storytelling Foto ruangan Pengaturan posisi

duduk anak dan guru

Foto posisi duduk Pelaksanaan

metode story telling

Proses pembuka storytelling

Video dan foto pembuka storytelling Proses penerapan

storytelling

Video dan foto penerapan storytelling Evaluasi hasil

belajar metode

Proses kegiatan evaluasi storytelling

Video dan foto proses evaluasi


(65)

50

story telling storytelling

Lembar evaluasi harian

Foto lembar evaluasi harian Proses guru menilai

perkembangan membaca anak

foto proses guru menilai anak saat membaca buku cerita

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yakni upaya peneliti untuk menganalisa data, mengorganisasikan data, memilih dan memilahnya agar dapat diolah, menemukan data yang penting berdasarkan kebutuhan dalam penelitian kemudian dipublikasikan (Moleong, 2005: 280). Analisa data dalam penelitian di TK Budi Mulia 2 Pandeansari Yogyakarta dilaksanakan mulai dari observasi di TK, selama penelitian di TK, dan pasca penelitian di TK. Data penelitian bersumber melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pengumpulan sumber data dimulai dengan melakukan wawancara yang mendalam dengan informan. Setelah melakukan wawancara peneliti membuat transkip hasil wawancara dengan cara memutar kembali rekaman wawancara kemudian menuliskan kata-kata yang sesuai dengan isi rekaman. Setelah peneliti menulis hasil wawancara selanjutnya membuat reduksi data dengan cara mengambil data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian, kemudian menyajikan sesuai dengan masalah penelitian dalam bentuk laporan, dan membuat kesimpulan agar mudah dipahami pembaca.


(66)

51

Adapun langkah-langkah analisis data kualitatif dalam penelitian ini menggunakan Model interaktif Miles dan Huberman yang dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 4. Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif Sumber: Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman ( 1992: 20)

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Menurut Huberman (1992: 16), reduksi data merupakan proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Dari pendapat tersebut peneliti melakukan tahap reduksi data yakni data yang diperoleh saat penelitian kemudian dibuat reduksi data, yaitu merangkum hasil data observasi, wawancara dan dokumentasi, dan catatan lapangan mengenai penerapan kegiatan menggunakan metode story telling di kelompok B3 TK Budi Mulia 2 Yogyakarta. Tahap reduksi data peneliti merangkum hasil catatan lapangan dan mengambil inti-inti penelitian yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu tentang proses persiapan metode story telling, pelaksanaan metode story

telling, dan evaluasi hasil belajar metode story telling.

Pengumpulan data

(data collection)

Reduksi data (data

reduction)

Penyajian data

(data display)

Kesimpulan-kesimpulan:


(67)

52 2. Penyajian Data (Data Display)

Peneliti menyajikan data tersebut kemudian melakukan penilaian atau pemaknaan data hasil penelitian sehingga data lebih terorganisir dan mudah dipahami. Data disajikan dalam bentuk catatan wawancara (CW), catatan dokumentasi (CD), dan catatan lapangan (CL). Setiap jenis catatan diberikan kode agar memudahkan dalam proses penarikan kesimpulan.

3. Mengambil kesimpulan dan verifikasi

Peneliti kemudian melakukan pendeskripsikan data hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan berdasarkan display data. Kesimpulan data hasil penelitian berbentuk pernyataan singkat agar kesimpulan yang ditarik merupakan kesimpulan yang akurat dengan mengacu pada bukti-bukti yang ada dilapangan sesuai dengan fokus penelitian.

Cara penarikan kesimpulan yang dilakukan dalam penelitian ini mengkonfirmasi hasil wawancara dengan hasil observasi dan dokumentasi apakah sejalan atau tidak, mempertajam dengan membuat kesimpulan pada setiap data, dan merevisi kesimpulan-kesimpulan yang telah dibuat yang tidak sesuai dengan teori untuk sampai pada kesimpulan terakhir berupa proporsi ilmiah mengenai gejala kenyataan yang diteliti.

I. Uji Keabsahan Data

Untuk menguji keabsahan data, penelitian ini menggunakan triangulasi data. Triangulasi data adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang


(1)

175

CATATAN HASIL DOKUMENTASI PENERAPAN METODE STORY TELLING PADA KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DI KELOMPOK B3 TK BUDI

MULIA DUA PANDEANSARI YOGYAKARTA Kode data : CD 5

Hari/Tanggal : Rabu, 30 September 2015 Waktu : 09.15 – 10.00 WIB

Tempat : Perpustakaan sekolah

Metode Story telling yang berjudul “Si Kembar dan Merah Putih di Panjat Pinang”

CD 5.1 CD 5.2


(2)

176

CD 5.5 CD 5.6

CD 5.7

Keterangan gambar:

 CD 5.1: Judul naskah cerita “Si kembar dan merah putih di panjat pinang” karya guru kelompok B3

 CD 5.2: Posisi duduk guru di kursi besar, anak duduk bersila dikarpet  CD 5.3: Guru melakukan tanya-jawab recalling dari cerita Thumbelina  CD 5.4: Guru melakukan apersepsi sebelum memperkenalkan judul cerita  CD 5.5 : Guru mengajak anak membaca judul cerita bersama-sama

 CD 5.6: Guru memeperagakan memukul kentongan sebagai awal masuk cerita  CD 5.7 : Guru memperagakan mengendarai motor dan anak-anak mengikutinya


(3)

177

CATATAN HASIL DOKUMENTAS CUPLIKAN ISI BUKU CERITA “MONA & LISA” UNTUK STORY TELLING

Kode data : CD 6

CD 6.1 Anak membaca kosa kata huruf hidup yaitu “mereka”, “lucu” dan membaca kosa kata sederhana yang berimbuhan seperti “mem+punya+i”, “hidung”, ”yang”, “mulut”, dan

“kecil”.


(4)

178

CATATAN HASIL DOKUMENTAS CUPLIKAN ISI BUKU CERITA “THUMBELINA” UNTUK STORY TELLING

Kode data : CD 6

CD 6.3 Anak membaca kalimat sederhana yang disertai dengan gambar pendukung, anak mengucap kosa kata sederhana “punya”, “sayap”, “pohon”, “capung”, dan “perempuan”.


(5)

179

CATATAN HASIL DOKUMENTASI EVALUASI HARIAN DI KELOMPOK B3

Kode: CD 7

CD 7.1 Evaluasi harian guru pada 7 September 2015


(6)

180

CD 7.3 Evaluasi harian tanggal 29 September 2015


Dokumen yang terkait

Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Menggunakan Media Gambar Pada Siswa Kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah Yahya Pondok Gede Bekasi Tahun Pelajaran 2015/2016

2 6 104

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPERILAKU MULIA MELALUI Pengembangan Kemampuan Berperilaku Mulia Melalui Story Telling Di Kelompok B TK Dharma Wanita Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 1 14

PENDAHULUAN Pengembangan Kemampuan Berperilaku Mulia Melalui Story Telling Di Kelompok B TK Dharma Wanita Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 2 4

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PERILAKU MULIA MELALUI STORYTELLING DI KELOMPOK B TK Pengembangan Kemampuan Berperilaku Mulia Melalui Story Telling Di Kelompok B TK Dharma Wanita Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 1 12

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN MELALUI METODE SINTESA PADA ANAK KELOMPOK B TK Upaya Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Melalui Metode Sintesa Pada Anak Kelompok B TK Jatirejo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Tahun 2012-2013.

0 1 14

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN METODE MULTISENSORI PADA ANAK KELOMPOK B2 DI TK PG Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Dengan Metode Multisensori Pada Anak Kelompok B2 Di Tk Pg Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2011 – 2012.

0 3 16

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN METODE MULTISENSORI PADA ANAK Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Dengan Metode Multisensori Pada Anak Kelompok B2 Di Tk Pg Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2011 – 2012.

0 0 12

KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK TK KELOMPOK B DI GUGUS 1 KECAMATAN SEYEGAN SLEMAN YOGYAKARTA.

1 8 191

KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK TK KELOMPOK B DI GUGUS SIDOMUKTI MANTRIJERON YOGYAKARTA.

1 2 118

PENGARUH MOTIVASI ESTERNAL DAN MOTIVASI INTERNAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA TK BUDI MULIA DUA PANDEANSARI

1 3 11