59 dalam seminggu yang dilaksanakan pada hari Senin, Selasa, dan Rabu setelah
snack time. Konsistensi guru dalam menerapkan metode story telling tersebut yang menjadi alasan untuk menciptakan pembiasaan anak untuk mendengarkan
cerita, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan minat anak dalam membaca buku cerita.
b. Persiapan Mengajar
1 Guru Memahami Buku Cerita
Sebelum guru menceritakan cerita kepada anak-anak terlebih dahulu, guru membaca dan memahami bacaan yang akan diceritakan hal ini sesuai dengan
wawancara bersama guru sebagai berikut: “…Ya, itu pasti supaya guru bisa paham yang akan disampaikan kepada anak,
3 hari sebelum dibacakan guru sudah membaca buku ceritanya…” lampiran 2, CW 2.1.6
Berdasarkan wawancara tersebut terlihat bahwa guru sangat matang dalam mempersiapakan kegiatan sehingga guru paham apa yang akan diceritakan untuk
anak.
2 Menyiapkan Buku Cerita yang sesuai dengan Tema
Mempersiapkan buku cerita yang tepat sesuai dengan tema RKH untuk metode story telling dibutuhkan waktu satu minggu sebelum kegiatan. Hal ini
terbukti pada hasil wawancara dengan guru utama kelompok B3 sebagai berikut: “…seminggu sebelum pelaksanaan story telling, jika membutuhkan alat
peraga seperti buku cerita, perlu waktu untuk mencari diperpustakaan tema yang sesuai dengan rencana kegiatan harian…” lampiran 2, CW 2.1.2.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut guru dapat memiilih buku cerita
diperpustakaan dari berbagai sumber yang sesuai dengan tema saat itu. Hal ini
60 mempertegas bahwa buku cerita bergambar merupakan komponen penting yang
dibutuhkan dalam metode story telling. Selain itu, guru menggunakan buku cerita bergambar sebagai alat bantu untuk story telling pada kemampuan membaca
permulaan karena pada buku cerita bergambar terdapat tulisan yang disertai dengan gambar sehingga anak dapat ikut serta dalam melafalkan kalimatnya.
Untuk metode story telling pada kemampuan membaca permulaan guru menggunakan media buku cerita bergambar, sehingga diharapkan setelah selesai
metode story telling oleh guru anak juga dapat membaca cerita kembali dari buku cerita tersebut. Berikut ini adalah buku cerita yang dipergunakan dalam metode
story telling selama penelitian berlangsung:
Gambar 5. Buku Cerita Berjudul Mona Lisa Sumber: lampiran 4, CD 1.1
Buku cerita yang berjudul “Mona Lisa” dibacakan guru pada tanggal 7 September 2015, buku tersebut mengisahkan dua anak kembar yang berbeda
kepribadian, Mona identik dengan anak yang suka berbicara dengan nada berteriak, suka warna merah, lincah, kalau tertawa terbahak-bahak sedangkan Lisa
identik dengan anak yang lemah lembut, suka warna ungu, kalau tertawa mulutnya di tutup. Buku cerita ini masuk daftar buku cerita yang sesuai dengan
61 tema diri sendiri sub tema keluargaku karena Mona dan Lisa adalah saudara
kandung dalam satu keluarga. Buku cerita berikutnya yaitu berjudul “Aku selalu hati-hati” yang
dibacakan subyek pada tanggal 8 September 2015 sebagai berikut:
Gambar 6. Buku Cerita Berjudul Aku Selalu Hati-hati Sumber: lampiran 4, CD 2.1
Buku tersebut mengisahkan tentang anak laki-laki yang hidup dalam sebuah keluarga yang harmonis, namun dia selalu bertindak tidak hati-hati-hati.
Dia sembarangan dalam bermain pisau, obat, dan korek api. Cerita tersebut masuk dalam kategori tema diri sendiri karena pesan moral dari cerita tersebut anak-anak
dimnta untuk pandai-pandai menjaga diri dari benda-benda yang berbahaya dalam lingkungan keluarga di rumah.
Berikut ini buku cerita yang digunakan guru pada observasi selanjutnya:
62 Gambar 7. Buku Cerita Berjudul Aku bisa potong kuku sendiri
Sumber: lampiran 4, CD 3.1
Buku cerita tersebut mengisahkan tentang anak perempuan bernama Nisa yang sudah bisa mandiri memotong kukunya sendiri. Buku tersebut termasuk
buku cerita tentang diri sendiri karena menjaga kebersihan diri sendiri merupakan kewajiban diri sendiri yang harus ditanamkan sejak dini.
Buku cerita selanjutnya yang digunakan guru untuk metode story telling pada pertemuan keempat tanggal 29 September 2015 yaitu berjudul “Thumbelina”
berikut ini:
Gambar 8. Buku Cerita Berjudul Thumbelina Sumber: lampiran 4, CD 4.1
Buku cerita tersebut termasuk dalam tema diri sendiri dan subtema kebutuhanku karena buku tersebut bercerita tentang gadis kecil yang ukurannya
sebesar jempol maka dari itu kebutuhan gadis kecil itupun berbeda dengan teman- teman pada umumnya, bajunya serba kecil, tempat tidurnya kecil, sepatuya kecil,
rambutnya kecil, hidungnya kecil,dll. Cerita tersebut dilaksanakan diarea taman bermain yang sejuk, dengan pemandangan yang indah, sehingga guru juga lebih
intens dalam mengatur anak.
63 Metode story telling berikutnya pada tanggal 30 September 2015
menggunakan naskah cerita yang merupakan hasil karya guru yang berjudul “Si Kembar dan Merah Putih di Panjat Pinang”. Naskah cerita tersebut mengisahkan
tentang anak kembar yang masih malu-malu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sehingga ketika sekolah masih ditunggu oleh ibunya.
Namun, karena guru kelasnya sangat baik dalam berkomunikasi dengan anak dengan bercerita tentang panjat pinang maka anak tersebut sudah mulai tidak
takut lagi ditinggal oleh ibunya. Berikut adalah catatan dokumentasinya:
Gambar 9. Buku Cerita Berjudul Si Kembar Merah Putih di Panjat Pinang Sumber: lampiran 4, CD 5.1
Naskah cerita tersebut menceritakan tentang kisah dua anak kembar yang baru masuk taman kanak-kanak, meraka masih takut dan kurang beradaptasi
dengan lingkungan sekolah maka dari itu ia meminta ibunya untuk berdiri didepan pintu kelas menemaninya, namun karena guru kelas bercerita tentang panjat
pinang Berdasarkan dokumentasi tersebut memperlihatkan bahwa buku cerita
bergambar yakni buku cerita yang didalamnya terdapat tulisan yang disertai gambar sehingga memperjelas anak dan meminimalisir kesalahan dalam
64 membaca. Tidah hanya itu, guru juga sangat memperhatikan isi cerita dengan
tema dalam RKH sehingga buku cerita melalui proses pemilihan atau penyortiran cerita yang sesuai.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa guru cenderung cukup matang dalam mempersipkan buku cerita dan media pendukung yang dibutuhkan dalam
metode story telling. Namun, mengenai naskah cerita, guru tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan naskah cerita secara tertulis dikarenakan
metode yang digunakan guru tidak hanya story telling dan guru disibukkan dengan kegiatan administrasi yang lainnya.
3 Menyiapkan Setting Ruangan untuk Metode Story telling
Guru menyiapkan ruangan untuk metode story telling seringnya dilakukan didalam ruang kelas karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk berpindah
tempat, namun guru tetap merubah posisi duduk anak agar tidak jenuh. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama guru sebagai berikut:
“…Biasanya metode story telling dilakukan di indoor ruang kelas namun dengan posisi tempat duduk yang dinamis, tapi terkadang juga dilakukan
out door di ruang perpustakaan atau di taman yang bertujuan supaya anak tidak jenuh …”lampiran 2, CW 2.1.9
Berdasarkan catatan wawancara tersebut, jika terjadi perpindahan tempat duduk dari duduk dikursi kemudian untuk metode story telling
anak-anak dikondisikan untuk duduk di karpet atau berpindah di luar ruangan, maka guru
mempersipakan tempat terlebih dahulu yaitu saat anak-anak sedang melakukan snack time guru pendamping mempersiapkan tempat untuk metode story telling.
65 Berikut ini catatan lapangannya:
“…ketika anak masih makan saat snack time, guru pendamping mempersiapkan karpet yang akan digunakan untuk metode story telling
kemudian mengkondisikan anak untuk duduk bersila membentuk lingkaran di karpet pojok ruangan kelas…” lampiran 3, CL 3.1
Berdasarkan hasil penelitian tersebut setting ruangan untuk metode story telling tanggal 7 September 2015 dan 9 September 2015 yaitu diruang kelas di
sudut karpet.
Gambar 10. Tempat Metode Story telling di Ruang Kelas Sumber: lampiran 4, CD 3.2
Berdasarkan catatan dokumentasi tersebut, intensitas guru melakukan metode story telling sering dilaksanakan didalam ruang kelas namun dengan
posisi yang berbeda-beda dan sudut yang berbeda-beda yaitu diatas karpet dan duduk dikursi masing-masing. Tidak hanya di indoor namun guru telah
mempertimbangkan setting outdor.
66 Gambar 11. Tempat Kegiatan Bercerita dengan Metode Story telling di Out Door
Sumber: lampiran 4, CD 4.3 Berdasarkan catatan dokumentasi tersebut, pada tanggal 29 September
2015 guru melakukan metode story telling di parkiran sepeda yang menghadap ke taman bermain sehingga diharapkan dengan dengan suasana setting ruangan
dialam anak akan lebih santai dalam mengikuti kegiatan. Demi mempersembahkan story telling yang tidak monoton maka guru mengadakan
kegiatan tersebut berselang-seling, setelah dilakukan di indoor dan outdoor, setting ruangan diadakan di indoor kembali namun dengan ruang yang berbeda
yaitu diruang perpustakaan dan multimedia dengan suasana yang lebih dingin karena dilengkapi dengan pendingin ruangan seperti gambar berikut:
Gambar 12. Tempat Kegiatan Bercerita dengan Story telling di Perpustakaan Sumber: lampiran 4, CD 5.2
67 Berdasarkan catatan dokumentasi tersebut, metode story telling tanggal 30
September diselenggarakan di ruangan multimedia yang menjadi satu ruangan dengan perpustakaan. Didalam ruang tersebut terdapat pendingin ruangan dan
suasanya yang nyaman, anak juga dapat diperkenalkan dengan buku-buku yang ada diperpustakaan hal ini juga merupakan stimulus guru supaya anak mau datang
keperpustakaan untuk melihat-lihat dan membaca buku cerita yang digemari. Berdasarkan hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa setting
ruangan yang sering digunakan dalam metode story telling yakni ruang kelas, taman bermain, ruang multimedia dan perpustakaan. Penggunaan setting ruangan
yang berbeda ini bertujuan untuk memeberikan pelayanan yang terbaik dari guru kepada anak didiknya supaya anak didiknya tidak jenuh dan dapat meresap
pembelajaran yang diperoleh dengan baik dengan rasa gembira.
2. Pelaksanaan Metode Story telling pada Kemampuan Membaca