4. Mempunyai perangkat peralatan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya: bangunan gedung, mesin-mesin, alat-alat lain.
5. Mempunyai alat pengebor semangat, misalnya: lambang-lambang, panji- panji, slogan-slogan, semboyan-semboyan dan lain sebagainya.
6. Mempunyai tradisi atau tata-tertib sendiri.
Soemardjan dan Soelaiman 1974 secara umum menyimpulkan bahwa lembaga sosial merupakan suatu tatanan sosial yang mempunyai tiga fungsi pokok
dalam kehidupan masyarakat, yaitu: 1. Sebagai pedoman patokan bagi para anggota masyarakat tentang cara
bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Sebagai pertahanan atau penangkal kekuatan dalam melestarikan keutuhan masyarakat.
3. Sebagai pedoman bagi masyarakat dalam rangka usaha memelihara suatu ketertiban dan sekaligus memberantas segala perilaku anggota masyarakat
yang menyimpang
2.8 Analisis Multistakeholder
Analisis Multistakeholder akan mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. 1999, untuk menentukan siapa yang
perlu dipertimbangkan
dalam analisis
multistakeholder yaitu
dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap
HR, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu: 1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang
berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan. 2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui
dan dihormati. 3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak
mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.
4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.
5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.
6. Integrasi hutanbudaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan
sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka
terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri.
7. Defisit kekuasaan,
berhubungan dengan
hilangnya kemampuan
masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka daritekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-
praktik yang merusak.
2.9 Tinjauan Studi Terdahulu
Suharti 2007 menduga permintaan dan manfaat kunjungan rekreasi dengan menggunakan metode biaya perjalanan di Kebun Wisata Pasirmukti. Nilai
surplus konsumen sebesar Rp. 7.478 dengan menggunakan jumlah kunjungan selama satu tahun Juli 2006
– Juni 2007. Nilai lokasi dihitung dengan menggunakan WTP Rp. 1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp.
18.900. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap WTP adalah biaya perjalanan, pendapatan, jumlah rombongan, jarak tempuh, lama mengetahui Kebun Wisata
Pasirmukti, jumlah rekreasi selama satu tahun, daya tarik, tempat rekreasi alternatif, jenis kelamin dan status hari.
Miftahurrohmah 2012 mengestimasi nilai manfaat ekonomi total dari hutan
mangrove Angke
Kapuk pasca
rehabilitasi adalah
sebesar Rp.21.020.913.790,80, dengan rincian sebagai berikut; nilai manfaat langsung
berupa kayu, ikan, bibit dan arang adalah sebesar Rp. 8.689.724.000,00, nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp. 12.285.357.670,80, dan manfaat pilihan
sebesar Rp. 45.832.122,00. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan kelembagaan hutan mangrove yaitu terdri dari pemerintah, masyarakat, perusahaan, akademisi,
dan keamanan. Hubungan aktor dalam pengelolaan kelembagaan hutan mangrove berjalan harmonis dan sinergis.
Mahesi 2008 menyatakan bahwa nilai jasa lingkungan di Kebun Raya Cibodas KRC lebih besar dari nilai jual pohon atau tanaman dalam tahun.
Yang menjadi permasalahan adalah nilai jasa lingkungan tidak langsung dirasakan secara ekonomi. Nilai sumberdaya hayati dapat dikelompokkan berdasarkan nilai
ekologi, nilai komersial dan nilai rekreasi. Nilai ekonomi wisata dari sisi permintaan wisata yang didekati dari biaya perjalanan adalah sebesar Rp.
109.326.386.400tahun per tahun. Nilai ini masih rendah. Surplus konsumen wisata dengan metode biaya perjalanan sebesar Rp.22.727 per individu,
sedangkan berdasarkan kesediaan membayar sebesar Rp.12.218 per individu. Ringkasan gambaran penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Matriks Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti
Alat Analisis Hasil
1 2
3 Suharti
Miftahurrohmah Mahesi
Travel Cost Method Total Economic Value
dan Analisis stakeolders
Contingent Valuation Method
dan Travel Cost Method
Menduga nilai ekonomi Kebun Wisata Pasirmukti dengan menggunakan
willingness to pay WTP sebesar Rp.
1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp. 18.900.
Menduga nilai ekonomi total dari kawasan hutan mangrove Angke Kapuk
setelah rehabilitasi sebesar Rp. 21.020.913.790,80. Aktor yang terlibat
dalam pengelolaan hutan mangrove adalah pemerintah, masyarakat,
perusahaan, akademisi dan keamanan. Nilai ekonomi wisata dari sisi
permintaan wisata yang didekati dari biaya perjalanan adalah sebesar Rp.
109.326.386.400tahun, sedangkan berdasarkan kesediaan membayar
sebesar Rp.12.218 per individu. Adanya surplus konsumen, baik surplus
wisata maupun diluar wisata dapat dijadikan acuan dalam pengembangan
dan pengelolaan kawasan konservasi.
Beberapa penelitian diatas mengangkat topik valuasi atau penilaian terhadap suatu sumberdaya agar didapat nilainya secara moneter. Penelitian ini
pada intinya membahas hal yang sama. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah, dalam penelitian sebelumnya, belum ada
yang meneliti tentang nilai ekonomi total dan analisis struktur kelembagaan dengan obyek Hutan Rakyat. Selain itu, studi diatas lebih melihat jasa lingkungan
dari segi permintaan wisata sehingga objeknya merupakan tempat wisata.