standar sertifikasi, sehingga harga yang mereka dapat tidak setinggi kayu sertifikasi yang seharusnya.
Pengelolaan HR Giriwoyo diawasi langsung oleh PPHR. PPHR merupakan organisasi tingkat Kecamatan yang mewadahi masyarakat pemilik
hutan rakyat untuk berinteraksi. Untuk mendukukung PPHR, terdapat organisasi yang cakupannya lebih sempit, yaitu Gabungan Pelestari Hutan Rakyat GPHR
di tingkat Desa. Setiap Desa yang merupakan cakupan HR Giriwoyo memiliki GPHR masing-masing. Selanjutnya, dibawah GPHR terdapat Kumpulan Pelestari
Hutan Rakyat KPHR. KPHR merupakan organisasi, atau wadah berinteraksi bagi masyarakat pemilik hutan rakyat di tingkat dusun di sebuah Desa. KPHR
merupakan organisasi dibawah PPHR dan GPHR, dimana ketiga elemen ini saling berkoordinasi
dalam melakukan
berbagai kegiatan
guna mendukung
pengembangan HR Giriwoyo.
Gambar 9 Tingkatan organisasi pengelola hutan rakyat
Hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dimanfaatkan untuk dijual ke pasar umum, dijual ke tetangga serta untuk kebutuhan sendiri. Penjualan ke pasar
umum sebagian besar dalam bentuk glondongan, bukan dalam bentuk olahan. Cabang dan ranting dimanfaatkan untuk kandang ternak serta untuk kayu bakar.
Hutan Rakyat Giriwoyo merupakan salah satu dari sebagian kecil hutan di Indonesia yang sudah memiliki sertifikasi berdasarkan sistem LEI Lembaga
Ekolabeling Indonesia. Sistem LEI memandang pengelolaan HR harus memperhitungkan tiga aspek tertentu, yaitu Aspek Produksi, Sosial dan Ekologi.
PPHR
GPHR
KPHR
6.1.1 Kepemilikan, Penebangan dan Prasarana Hutan
Kepemilikan lahan HR di Giriwoyo jelas dan berkekuatan hukum, hal ini dibuktikan dengan adanya surat bukti kepemilikan berupa Surat Hak Milik SHM
dan Letter-C. Sebanyak kurang lebih 70 masyarakat memiliki SHM sebagai bukti sah kepemilikan lahannya, sedangkan sisanya memiliki status Letter-C.
Letter-C merupakan surat kepemilikan lahan berdasarkan pengakuan dari
pemerintah desa setempat. Batas-batas antar lahan telah diketahui dengan jelas dan sudah disepakati oleh masing-masing pemilik, biasanya masyarakat
menggunakan batas buatan seperti jalan pembatas dan susunan batu untuk memisahkan lahan satu dengan lahan lainnya. Untuk menjaga agar batas antar
lahan tetap jelas, kadang dilakukan perawatan terhadap batas wilayah tersebut oleh kedua belah pihak. Kegiatan pengelolaan hutan tetap menjadi tanggung
jawab masing-masing pemilik, oleh karena itu kualitas hutan sangat dipengaruhi oleh keseriusan dan kemampuan pemilik lahan dalam menjaga dan mengelola
hutan tersebut. Pada umumnya kegiatan pemeliharaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah dengan melakukan penjarangan, memotong cabang atau
ranting tanaman, menegakkan tanaman yang miring untuk tanaman yang masih kecil, dan hanya sebagian kecil dari pemilik lahan memberi pupuk pada
tanamannya. Penebangan pohon atau pemanenan dilakukan dengan istilah tebang butuh.
Umumnya masyarakat menebang pohon ketika mereka butuh biaya untuk pendidikan, biaya pengobatan, membuat rumah, untuk pesta, dan kebutuhan lain
yang membutuhkan dana cukup besar. Dasar pertimbangan penebangan antara lain;
1. Besarnya pohon sesuai dengan kebutuhan uang yang diperlukan. 2. Pohon yang bernilai uang lebih dari yang dibutuhkan akan dibiarkan.
3. Posisi pohon yang dipilih adalah yang tidak menyebabkan longsor dan paling mudah dijangkau transportasi.
4. Jenis pohon yang ditebang utamanya Jati tetapi apabila kebutuhan dapat dicukupi dengan menebang pohon non-Jati, maka Jati tidak ditebang.
5. Pohon yang ditebang terlalu rapat.
Proses penebangan dilakukan dengan cara pemilik lahan sebelumnya sudah sepakat untuk melakukan transaksi. Pihak pembeli akan datang ke lokasi
penebangan dengan membawa tenaga kerja untuk menebang dan alatchainsaw. Tenaga dan alat serta sarana yang digunakan dalam proses penebangan semua
ditanggung oleh pembeli. Keamanan tebang ditanggung oleh pembeli juga, misalkan apabila saat penebangan pohon yang ditebang menimpa pohon lain
sampai rusak, maka pembeli wajib mengganti pohon yang rusak juga. Perencanaan tebang yang terpola untuk tujuan produksi masih belum dilakukan di
HR Giriwoyo, karena selama ini penebangan hanya berdasarkan kebutuhan seperti untuk membangun rumah, biaya sekolah, pesta atau biaya berobat.
Akses jalan desa ke hutan terlihat sudah cukup baik, sudah dilakukan pengecoran. Akses jalan ini berguna selain untuk prasarana transportasi umum
yang menghubungkan antar dusun dan antar desa, juga berguna sebagai batas antar lahan. Kondisi jalan yang baik memudahkan kendaraan untuk mengakses
dan mengangkut hasil hutan yang akan ditebang.
6.1.2 Kualitas SDM
Pengetahuan budidaya kayu baik praktek dan teori mulai dari pembibitan sampai pemanenan pada umumnya sudah dipahami oleh pengelola karena telah
diwarisi secara turun temurun. Kebanyakan pengetahuan yang mereka dapat secara turun temurun merupakan metode tradisional, misalnya untuk pemupukan
dilakukan dengan cara menimbun seresah di sekitar batang pohon atau mematikan hama dengan cara manual. Lalu mengenai jarak tanam, para pengelola masih
berpikir bahwa kayu merupakan investasi mereka untuk jangka panjang, maka harus ditanam sebanyak mungkin, karena itu hutan di HR Giriwoyo cenderung
padat dengan rata-rata jarak tanam 1 x 1 meter. Jarak tanam yang terlalu rapat disebabkan pula karena tidak dilakukannya penjarangan oleh petani. Penjarangan
tidak dilakukan karena berbagai alasan; pertama, butuh biaya untuk melakukan penjarangan, kedua, sayang ditebang karena lama untuk menumbuhkannya.
Dengan jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan pertumbuhan kayu tidak terlalu optimal.
Untuk transaksi penjualan kayu, harga yang diterima oleh pengelola masih dirasa kurang adil dan sering dimanipulasi oleh pembeli karena pengetahuan
pengelola tentang taksiran kualitas kayu, volume, dan informasi harga kayu yang ditebang masih minim. Posisi tawar yang sangat rendah dari pengelola karena
menjual kayu dalam keadaan terdesak karena kebutuhan turut pula menjadi alasan mengapa harga yang didapat oleh pengelola tidak sesuai.
6.1.3 Tata Kelola dan Manfaat Hutan
Pada dasarnya aturan kelola hutan yang ada dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan merupakan tata kelola yang berkembang di
masyarakat secara turun temurun dan merupakan suatu kesepakatan yang tidak tertulis, misalnya membuat terassering dari tatanan batu untuk menahan tanah
sebagai media tanam, menanam tanaman kayu di lahan kritis, melakukan penjarangan, memberi pagar bambu pada tanaman baru untuk menghindari
gangguan hewan, mengumpulkan seresah di bawah tegakan pohon sebagai pupuk alami, tidak menebang tanaman di sekitar lokasi mata air, dan lainnya . Dewasa
ini, untuk menguatkan tata kelola dan aturan pengelolaan HR Giriwoyo, maka dibuatkan peraturan sah dari tingkat KPHR sampai PPHR. Peraturan yang
dirumuskan KPHR sampai PPHR yang mengatur tata kelola HR agar tetap lestari kemudian disahkan oleh Kepala Desa setempat dan kemudian dijadikan sebuah
Perdes peraturan desa. Beberapa aturan dari PPHR yang kemudian di-perdes- kan antara lain kesepakatan menanam minimal lima pohon tiap menebang satu
pohon, hanya menebang kayu yang memenuhi syarat pertumbuhan diameter 60 cm, dan sebagainya, namun aturan-aturan ini tidak sepenuhnya dipatuhi oleh
petani karena alasan-alasan tertentu. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, pengelolaan HR Giriwoyo
dibawahi langsung oleh PPHR. Anggota PPHR yang diberi nama Catur Giri Manunggal adalah semua kepala keluarga KK yang ada di wilayah tiga desa
Sejati, Tirtosuworo, Guwotirto dan satu kelurahan Girikikis. Fungsi dari PPHR adalah sebagai forum perkumpulan dari empat GPHR yang ada di tiga desa dan
satu kelurahan dalam pengelolaan hutan rakyat. PPHR sampai KPHR sudah memiliki struktur organisasi yang jelas. Anggota dan pengurus sudah memiliki