Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun

3. Pola usahatani Kelapa Sawit Berikut ini Tabel 72 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 72 Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak No Simbol pola tanam Pola tanamam perkebunan dan ternak Tanaman Jenis ternak 1. p3 Kelapa sawit Sapi 2. p26 Kelapa sawit Kambing 3. p49 Kelapa sawit Itik 4. p72 Kelapa sawit Ayam Sumber: Hasil olahan

7.4 Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam bahasa Inggris: crop cultivation serta pembesaran hewan ternak raising, meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan Wikipedia diakses tanggal, 23 Maret 2011. Atau dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi yang kompleks dengan melibatkan berbagai proses fisik, kimia dan biologi dalam memproses input untuk menghasilkan produk output. Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan usahatani lahan rawa lebak UTLRL hasil penelitian ini yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terpadu. Penerapan konsep pertanian ini dimaksudkan agar supaya terjadi peningkatkan produksi dan pendapatan petani di kawasan rawa lebak. Konsep pengelolaan tanaman secara terpadu dan sekaligus sumberdaya terpadu, melalui pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terintegrasi dan dengan dukungan teknologi yang memiliki efek sinergis sehingga mampu meningkatkan produktivtas tanaman secara berkelanjutan sustainable. Adapun ciri dari konsep pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, yaitu: 1. KeterpaduanIntegrasi Keterpaduan yang dimaksudkan adalah tidak hanya terbatas pada keterpaduan tanaman dan sumberdaya input, namun melibatkan keterpaduan yang luas, meliputi keterpaduan institusi pemerintah ataupun swasta, sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterpaduan analisis. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman secara terpadu, tidak hanya mempertimbangkan subsistem produksi tetapi sudah merencanakan sampai kepada subsistem pemasaran, termasuk kelembagaan pendukung sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan. 2. Sinergisme Efek sinergisme adalah efek yang saling mendukungmenguatkan antara komponen yang satu dengan komponen lainnya. Pemanfaatan sinergisme antara komponen-komponen produksi yang akan diterapkan bertujuan untuk mendapatkan output hasil yang lebih tinggi. Misalnya penggunaan teknologi pembuat kompos, mekanisme dan proses yang dibuat selain dapat digunakan untuk memupuk tanaman sehingga akan menaikkan ketersediaan unsur hara yang ada di lapisan olah tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi secara lebih efisien. Penggunaan varietas unggul, akan lebih bersinergi dengan kualitas benih yang prima baik kualitas genetik, fisik ataupun kualitas fisiologi dengan kriteria daya tumbuh benih yang lebih seragam minimal 90. Benih dengan kualitas yang lebih prima dapat tumbuh lebih cepat, perakarannya akan tumbuh lebih kuat dengan distribusi akar yang lebih baik sehingga dapat memanfaatkan air dan unsur hara secara optimal. 3. Partisipatif Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan dengan cara melibatkan semua pihak yang berkepentingan mulai dari petani, swasta, penyuluh serta instansi terkait mulai dari identifikasi, pelaksanaan sampai kepada evaluasi kegiatan. Dengan demikian komponen utama yang akan di integrasikan dalam sistem ini dapat berjalan secara kontinyu karena telah mengakomodasikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan petani yang pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahataninya secara optimal. Dalam penerapannya, partisipasi petani dan swasta sangat diperlukan untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan di lahannya. Misalnya introduksi pembuat alur, alat penyiang, mesin pengola hasil dan penyediaan benih unggul berkualitas serta penyediaan pupuk perlu partisipasi swasta yang dapat bermitra dengan petani dalam menyediakan sarana produksi, penyediaan jasa alsintan alat dan mesin pertanian serta dapat menampung hasil usahatani dengan harga yang layak. Dengan cara tersebut akan tercipta suatu pola kemitraan dengan asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan sehingga baik petani maupun swasta memiliki posisi tawar yang kuat. Oleh sebab itu, dalam implementasinya, penerapan sistem pertanian terpadu di awali dengan identifikasi permasalahan baik masalah teknis, maupun sosial-ekonomi dan budaya, mengetahui potensi sumberdaya, baik sumberdaya lahan atau buatan yang dapat menunjang keberhasilan melalui studi pemahaman perdesaan partisipatif PRAParticipartory Rural Appraisal. Pemilihan komponen pendukung lainnya yang tepat dalam rangka penerapan pelaksanaan pertanian terpadu, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sinergisme yang tinggi. Dalam penerapannya, ada berbagai komponen yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan, yaitu 1 pola usahatani, benih atau bibit unggul, 2 pemeliharaan dan pemupukan, 3 ketersediaan modal usahatani, 4 petani dan kelompok tani, 5 ketersediaan lembaga keuangan mikro, 6 peran aktif lembaga penyuluh pertanian, 7 dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi dan 8 pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil. Beberapa faktor atau komponen yang menyusun model ini dapat dipilah atas faktor input, proses dan output. Tujuan akhir yang ingin dicapai atau output dari model ini adalah berupa terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan petani. Uraian lebih lanjut tentang faktor input, proses dan output adalah berikut: 1. Pola usahatani, benih atau bibit unggul. Penggunaan bahan tanaman yang bermutu bersertifikat merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung keberhasilan pengelolaan tanaman. Peran benih sangat penting pada komoditas pertanian, karena benih merupakan carrier technologi. Benihbibit merupakan cetak biru dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benihbibit bermutu dari varietasjenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usahatani. Industri benihbibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, maka peran pemerintah untuk mengupayakan kondisi yang menguntungkan favorable, mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietasjenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benihbibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benihbibit. Pada saat ini penggunaan benih unggul dan bermutu masih belum optimal, dan masih terbatas untuk usaha pertanian khususnya skala perusahaan dan kegiatan yang dibiayai dan terbatas pada beberapa komoditi antara lain kelapa sawit, kakao, kapas dan tembakau. Permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya adopsi varietas unggul tanaman yaitu ketidaktahuan adanya benih unggul dan bermutu, terbatasnya ketersediaan dan sekaligus distribusi benih unggul juga masih terbatas. Penggunaan benih unggul dan bermutu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Dalam penggunaan benih unggul dapat diperoleh keuntungan antara lain dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan per satuan waktu, disamping itu meningkatkan mutu hasil yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Pemilihan suatu jenis tanaman yang akan digunakan disuatu daerah biasanya didasarkan pada kesesuaian varietas dengan lingkungan pertumbuhan setempat spesifik lokasi serta sesuai dengan kebutuhan petani. Dalam banyak kasus, petani pada umumnya kekurangan modal untuk menerapkan usahataninya secara optimal. Karena itu, banyak petani menggunakan benih dari penanamannya sendiri tanpa seleksi lapangan 2-3 generasi untuk hibrida dan beberapa siklus untuk jenis bersari bebas, kecuali pada wilayah pengembangan yang telah terbentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha benih. Benih dengan kualitas yang prima daya tumbuh dan vigornya cukup tinggi diperlukan untuk memacu keseragaman dan kecepatan pertumbuhan. Benih dengan kualitas fisiologi yang tinggi daya tumbuh minimal 90 juga lebih toleran pada kondisi lingkungan tumbuh yang kurang optimal dibandingkan benih dengan kualitas fisiologi yang lebih rendah, serta lebih efektif memanfaatkan pupuk dan hara lain yang ada di dalam tanah. Pada lingkungan pertumbuhan yang sama dengan manipulasi hara yang sama, benih dengan vigor yang tinggi akan tumbuh lebih baik. Selain penggunaan benih atau bibit unggul, untuk meningkatkan hasil tanaman diperlukan berbagai input produksi diantaranya pupuk, pestisida, dan herbisida. Selain itu, penerapan sistem budidaya tanaman berupa pengaturan pola tanam cropping patern dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, juga bertujuan untuk meningkatkan produksi per satuan luas lahan. Sebagaimana diketahui bahwa pola tanam, dapat meningkatkan hasil tanaman. Pola tanam adalah suatu sistem dalam menentukan jenis-jenis tanaman atau pergiliran tanaman, pada suatu daerah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada pada periode musim hujan dan musim kemarau. Mengacu kepada kebijakan pembangunan pertanian, pengembangan pola tanam dan diversifikasi usahatani di lahan sawah memiliki justifikasi yang kuat. Bersamaan dengan kebijakan diversifikasi tersebut di atas, perlu terus dilakukan penelitian dan pengembangan pola tanam dengan mempertimbangkan aspek yang luas pada berbagai agroekosistem. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pola tanam mengacu pada kerangka kerja dan metodologi yang diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan Partodiharjo, 2003: a penelitian dan pengembangan pola tanaman harus berkaitan erat dengan mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi, dan peluang yang tersedia; b pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam yang dikaji dalam rangka perolehan umpan balik dan memperlancar proses adopsi teknologi; c keikutsertaan peneliti dengan tim yang bersifat multi-disiplin dari bidang keahlian ilmu tanah, tanaman, perlindungan tanaman, dan sosial ekonomi; dan d penekanan sasaran penelitian dan pengembangan pola tanam untuk meningkatkan intensitas tanam dan dapat diterima petani. Diversifikasi usahatani dan pertanian bukanlah hal yang baru bagi sebagian besar petani skala kecil di Indonesia Kasryno, 2000. Pada awalnya, petani melakukan diversifikasi usahatani adalah untuk memenuhi keragaman kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam konteks ekonomi, diversifikasi pertanian diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar dan meningkatkan pendapatan petani dengan tingkat stabilitas yang lebih tinggi. Dengan demikian diversifikasi pertanian demand driven farming system diversication memerlukan instrument kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda dengan diversifikasi intensifikasi usahatani supply driven dengan sasaran utama memenuhi kebutuhan dan memperoleh surplus produksi Rusastra, 2004. Dalam penerapan pola tanam, biasanya tanaman palawija diusahakan dalam bentuk pergiliran tanaman di lahan sawah tadah hujan dan sawah berpengairan. Adapun pola tanam yang umumnya dianjurkan menurut Tanga 2007 berdasarkan ketersediaan irigasi sebagaimana Tabel 73. Tabel 73 Pola tanam pada suatu daerah irigasi Ketersediaan air Pola tanam Air cukup Padi – padi palawija Air terbatas Padi – padi – palawija sebagian areal atau Padi – padi sebagian areal - palawija Air sangat terbatas Padi – palawija – palawija Sumber: Tanga 2007 Pola tanam merupakan sub sistem dari sistem budidaya tanaman, merupakan jenis-jenis tata urutan tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah tertentu selama satu jangka waktu tertentu. Komponen-komponen penting dalam sistem pola tanam yaitu agroklimat, tanah, tanaman, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Sasaran utama penerapan pola tanam yang tepat adalah produksi yang secara agronomis dapat mencapai hasil yang maksimum. Tujuan dari penerapan pola tanam diantaranya adalah: 1 menghindarkan adanya ketidakseragaman tanaman, 2 melaksanakan waktu tanam sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan, 3 efesien dalam hal penggunaan air irigasi, 4 mempertahankan kontinuitas hasil tanaman, 5 meningkatkan hasil tanaman, dan 6 dapat mengurangi biaya pemeliharaan. Pada umumnya lahan rawa lebak dapat ditanami jenis palawija varietas unggul berumur pendek yang penanamannya dilakukan setelah padi, pemanfaatan lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan baik pada umumnya disaat awal musim kemarau. Pola tanam yang biasa digunakan yaitu: pola tanam satu kali dalam setahun dan pola tanam dua kali dalam setahun. Bentuknya adalah sebagaimana Tabel 74. Tabel 74 Pola tanam di rawa lebak Pola Tanam Jenis Tanaman Satu kali tanam dalam setahun Padi Jagung Dua kali tanam dalam setahun Padi – padi Padi – jagung Berbagai pola penanaman tumpangsari juga diketahui telah terbukti unggul dalam pola tanam di lahan kering Indrawati et al., 1993. Di samping sebagai upaya diversifikasi komoditas, pola tumpangsari terbukti dapat memanfaatkan lahan dan energi dengan lebih baik Karimuna dan Daud, 1992. Sebagai contoh hasil penelitian Pribadi 2007, pola tanam jagung dan sambiloto, dapat memanfaatkan komponen agroekosistem lahan apabila tersusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi komplementari dan berhubungan dalam interaksi yang bersifat sinergis positif. Interaksi yang terjadi dalam bentuk pola tanam ini dapat mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, dan peningkatan diversifikasi usaha, peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Selain pola tanam, sistem penanaman ratun adalah suatu teknis budidaya yang cukup strategis diterapkan dalam sistem usahatani padi di rawa lebak. Pada sistem ratun, spesies padi yang memiliki high regeneration ability, keturunan padi liar Oryza longistaminafa mampu menghasilkan tunas-tunas ratun yang produktif dari rumpun setelah dipanen dan sangat sesuai untuk dikembangkan dalam sistem ratun De Data dan Bernasor, 1988. Pada daerah tertentu, panen kedua diharapkan dapat dicapai melalui pemanfaatan ratun. Ratun atau singgang Jawa atau turiang Sunda merupakan rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali menghasilkan anakan baru yang selanjutnya dapat dipanen Flinn dan Mercado, 1988; Islam et al., 2008. Sistem ini dikembangkan pertama kali di areal persawahan dekat pantai di bagian selatan Amerika Serikat pada awal tahun 1960. Setelah varietas padi keturunan 0. longisfaminata diintroduksikan, kegiatan sistem ratunisasi semakin menyebar dan sangat diminati oleh petani di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki musim tanam terbatas Jones dan Snyder, 1987. BoIlich et al. 1988 juga melaporkan bahwa pada tahun 1985 di Lemont, Texas, lahan sawah seluas 160 ha diusahakan secara komersial, pertanaman padi utama menghasilkan sebesar 8,2 tha gabah kering giling GKG dan padi ratun mampu menghasilkan sebesar 3,6 tha GKG, sehingga total produksi dapat mencapai 11,6 tha GKG. Hasil studi memberikan gambaran bahwa, diestimasikan sekitar 30 areal sawah di daerah tropik di Asia atau sekitar 26,63 juta ha, mempunyai hasil rata-rata 57 tha pada tanaman utama, apabila dilaksanakan sistem ratun diperkirakan hasil ratun rata-rata 50 dari tanaman utama, sehingga sumbangan padi ratun akan mencapai 35,95 juta ton setiap tahun Krishnamurthy, 1988. Selain sifat genetik, dalam menghasilkan tunas produktif juga sangat tergantung dari tinggi pemotongan batang padi, waktu panen, dan pengaturan air irigasi. Waktu panen yang paling baik ketika batang padi belum terlalu kering atau relatif masih hijau sehingga secara fisiologi akan berkemampuan untuk menghasilkan anakan ratun Gris, 1965 dalam Krishnamurthy, 1988. Tunas ratun yang muncul dari pangkal batang rumpun mirip dengan bibit muda, sedangkan tunas ratun dari buku atas mirip bibit yang sudah tua. Hasil penelitian Jones 1993 menunjukkan bahwa tingginya rumpun ratun dari permukaan tanah dapat berpengaruh pada jumlah malai dan jumlah gabah per malai. Hasil tertinggi dipanen dari singkal padi setinggi 0,2 dan 0,3 m, dibandingkan pemotongan setinggi 0,1, 0,4 dan 0,5 m dari permukaan tanah. Sistem ratun dengan tinggi rumpun padi 0,15 dan 0,20 m menghasilkan padi lebih baik dari tinggi singka 0,5 m. Kemudian informasi terakhir menyebutkan bahwa di Thailand, rumpun padi yang dipotong dipangkal malai lalu direbahkan lurus barisan mampu menghasilkan padi seperti tanaman awal utama, apabila dilakukan pemupukan dan pemeliharaan yang sama seperti halnya tanaman utama. Dari hasil penelitian Isgianto et al. 1993 di Kebun Jambegede, Kendalpayak, Mojosari, Ngale dan Genteng Jawa Timur pada musim hujan MH 19921993 dan musim kemarau MK 1993 menunjukkan bahwa varietas IR64, IR66 dan Semeru dapat dibudidayakan secara ratun apabila tidak terjadi endemi penyakit tungro, sedangkan varietas IR72 dan Krueng Aceh cukup baik dibudidayakan secara ratun di lahan yang tidak endemik hama wereng coklat. Sistem ratunisasi varietas IR64, IR72, Semeru dan IR66 menghasilkan padi yang sama pada pemotongan 5 atau 15 cm. Salah satu unsur hara yang penting dan harus tersedia bagi tanaman adalah nitrogen. Menurut Vergara et al. 1988 pemberian N meningkatkan hasil padi sistem ratun. Setiap varietas mempunyai respon yang berbeda terhadap pupuk nitrogen Balasubramanian et al., 1970. Kebutuhan N untuk padi sawah adalah 90-120 kg N ha-1Taslim et al., 1989. Evatt dan Beachell 1960 menyebutkan bahwa kebutuhan pupuk padi sistem ratun hanya 75 dari tanaman utama. Menurut De Datta dan Bernasor 1988 kebutuhan N optimal untuk padi sistem ratun 60 kg N per ha. Di China, pemberian 0-69 kg meningkatkan jumlah anakan varietas Aiyou 2. Di Columbia vide De Datta 1988 pemberian 25-50 kg N per ha memperoleh hasil sistem ratun 3,8 ton per ha pada varietas CICA-4. Balasubramanian et al 1970 melaporkan bahwa pemberian nitrogen 125 kg per ha segera setelah panen utama, hasil padi sistem ratun berupa hasil gabah kering, hasil jerami dan produktivitas anakan nyata lebih tinggi dari pada pemberian 75 kg N per ha. Hasil penelitian Evatt dan Beachell 1960 juga Chaterjee et al. 1982 menyebutkan bahwa pemberian P dan K tidak berpengaruh nyata terhadap hasil ratun. Selanjutnya De Datta dan Bernasor 1988, melaporkan bahwa pupuk P dan K tidak perlu diberikan bila sudah diberikan pada tanaman padi utama Sutisna, 2006. Keunggulan ratun, selain memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, juga hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam Ambili dan Rosamma, 2002; Santos et al., 2003. Fenomena ratun tersebut telah menjadi pemikiran banyak ahli Aswidinnoor et al., 2008. Vergara et al. 1988 mendeskripsikan beberapa karakter agronomi yang merupakan prasyarat tanaman ratun, antara lain vigoritas sistem perakaran tanaman utama dan konsentrasi karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman utama. Oleh karena itu, kemampuan padi menghasilkan ratun akan menjadi nilai tambah dalam peningkatan produksi per musim tanam. Umur tanaman ratun yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama, erat hubungannya dengan pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benih atau bibit. Pada tanaman utama terdapat tiga fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Namun untuk tanaman ratun yang sejak keluar anakan sering diikuti juga keluarnya bunga, hanya mengalami dua fase pertumbuhan, yaitu fase reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung sama pada semua genotipe padi, yaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan sehingga umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari saja Vergara, 1995. Secara morfologi anakan ratun dapat muncul dari setiap buku sehingga jumlah anakan ratun dapat melebihi tanaman utama, namun besar kecilnya batang atau anakan yang dihasilkan sangat tergantung pada cadangan karbohidrat yang tersisa pada tanaman utama setelah panen Mahadevappa dan Yogeesha, 1988. Jumlah gabah total per malai sebagai kumulatif dari jumlah gabah isi dan gabah hampa berkisar antara 122,7-389,0 butir, hasil ini berbeda nyata antar kelompok genotipe. Jumlah gabah isi tanaman utama berkisar antara 65,3-266,3 butir. Terdapat sebagian kecil genotipe yang memenuhi kriteria sebagai padi ideal seperti yang dikemukakan oleh Zhengjin et al. 2005, yaitu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih dari 160 butir. Genotipe tersebut adalah varietas Ciapus, dan galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1. Fenomena lain yang tampak dari hasil pengamatan adalah tingginya persentase gabah hampa, yang berkisar antara 21,6-60,1. Tanaman ratun memiliki ukuran malai yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama kecuali genotipe Fatmawati, IPB106-F-8-1, BP205D-KN-78- 1-8 dan B9833C-KA-14 yang hampir sama dengan panjang malai tanaman utama. Hal tersebut sejalan dengan tampilan tanaman ratun pada genotipe- genotipe tersebut yang relatif lebih vigor dibandingkan dengan genotipe lain. Jumlah gabah total tanaman ratun pada sebagian besar genotipe lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Namun demikian beberapa genotipe mampu menghasilkan jumlah gabah tanaman ratun yang setara dengan tanaman utama yaitu genotipe BP138F-KN-23, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66 dan B9858D-KA-55. Keempat genotipe tersebut mampu menghasilkan jumlah gabah total tanaman ratun yang sama atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Tanaman ratun beberapa galur padi tipe baru sawah dan varietas padi tipe baru secara rata-rata mampu menghasilkan gabah yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe-genotipe yang mampu menghasilkan ratun dengan jumlah gabah tinggi atau setara dengan tanaman utama, ternyata memiliki persen gabah hampa yang cukup tinggi, walau lebih rendah dibandingkan kehampaan pada tanaman utama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor pembatas produktivitas dalam pengisian biji tanaman ratun mirip dengan faktor pembatas pengisian biji pada tanaman utama. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pada tanaman ratun dapat didekati dengan cara meningkatkan produktivitas pada tanaman utama. Mengacu dari berbagai informasi yang telah diuraikan di atas, dan kondisi faktual di lapangan, rekomendasi pola tanam yang dapat diusulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 75. Tabel 75 Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal Pola Tanam Jenis Tanaman Waktu Tanam I Padi lokal – ratun AgustusSeptember –Februari II Padi lokal – ratun – padi unggul AgustusSeptember –Februari - AprilMei III Padi lokal – padi unggul AgustusSeptember – Februari dan April - Juli IV Padi lokal – palawija AgustusSeptember – Februari dan April - Juli V Padi lokal – padi ratun – palawija AgustusSeptember – Februari dan Februari – Maret dan April - Juli Sumber: Hasil olahan 2. Pemeliharaan dan pemupukan Di dalam rangka pemupukan tanaman yang diusahakan praktek pertanian terpadu dapat memanfaatkan pupuk kandang. Pupuk kandang yang diberikan, dapat diperoleh dari hasil usaha ternak yang dipelihara secara bersama-sama dalam sistem pertanian terpadu. Dalam praktek usahatani di rawa lebak petani di kedua lokasi penelitian mengalokasikan anggaran untuk pembelian pupuk NPK masing-masing mencapai 37,20 di Desa Sungai Ambangah dan 22,56 di Pasak Piang dari total biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam untuk padi dan setiap tahun untuk tanaman karet dan kelapa sawit. Dengan memanfaakan kotoran ternak yang ada, hal itu dapat mengurangi biaya produksi dalam kegiatan usahatani. Demikian pula sebaliknya ternak yang dipelihara dalam sistem pertanian terpadu dapat memanfaatkan jerami, tanaman jagung biji dan batang sebagai pakan ternak. 3. Ketersediaan modal usahatani Sumber modal dalam kegiatan UTLRL dapat dihimpun melalui sumber pembiayaan partisipatif berupa iuaran yang secara teknis dapat dibuat kesepakatan lebih lanjut tentang jumlah yang harus dikeluarkandibebankan kepada setiap petani. Modal ini dikumpulkan pada setiap kali panen. Selain pengumpulan modal melalui partisipatif di atas, dapat pula berupa sumber pembiayaan pendukung yang berbentuk bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsikabupaten atau dari sumber lain. Selain sumber pembiayaan yang telah disebutkan sebelumnya alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan yang ada seperti perbankan. Mekanisme untuk mendapatkan pinjaman ini dapat melibatkan pihak perguruan tinggi atau lembaga lain yang dapat berperan untuk membantu dalam hal perhitungan-perhitungan kalayakannya. Mekanisme pengumpulan dana dari berbagai sumber dan pengelolaan lebih lanjut serta mekanisme pembiayaan atau kredit bantuan kepada petani untuk modal usahatani diserahkan kepada lembaga keuangan mikro petani rawa lebak LKMPRL. 4. Petani dan kelompok tani Setiap petani dalam mengusahakan sistem pertanian terpadu, harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh petani. Pemberdayaan kelompok tani dapat dilakukan dengan cara membentuk kelompok yang baru atau memberdayakan dan memaksimalkan kelompok yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar supaya terjadi efesiensi dan efektifitas usaha khususnya dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan kegiatan lain seperti pemasaran hasil usahatani. 5. Ketersediaan lembaga keuangan mikro. Lembaga ini merupakan bagian dari sistem pertanian terpadu yang perlu dibentuk dan diberdayakan. Karena salah satu persoalan yang dihadapi oleh petani rawa lebak saat ini adalah keterbatasan modal dalam penyediaan input produksi. Hal ini apabila tidak dicarikan jalan keluarnya, maka pola penerapan sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan ternak akan menjadi beban baru terhadap petani rawa lebak. Pembentukan LKMPRL menjadi hal yang tidak terpisahkan, karena sistem perkreditan pertanian yang ada masih kurang berpihak pada petani secara penuh. Dengan kehadiran LKMPRL diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang kegiatan usahatani. Hal ini mengingat LKMPRL yang berskala kecil bersifat lebih lentur sesuai karakteristik masyarakat petani setempat, karena LKMPRL dibentuk dari dan untuk mereka. Untuk mengisi kebutuhan LKMPRL, dapat ditempuh berbagai cara yaitu 1 menciptakan lembaga baru, 2 memberi tugas baru atau menitipkan program pada lembaga yang telah ada, dan 3 menyempurnakan lembaga yang telah ada. Pemilihan alternatif sebaiknya dilakukan dengan indikator besarnya beban ekonomi program maupun kecepatan berhasilnya program. 6. Peran aktif lembaga penyuluh pertanian Dalam kegiatan usahatani khususnya pertanian rakyat, keterlibatan lembaga penyuluh pertanian merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam memberikan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani. Keterbatasan partisipasi lembaga ini dapat disiasati dengan cara membangun kreativitas petani, baik sebagai individu maupun dalam bentuk kelompok tani. Petani dalam hal ini, untuk mendapatkan dan mengetahui informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani yang baik, seperti teknis pemupukan, pemberantasan hama penyakit tanaman dan ternak, pemangkasan, panen dan pascapanen, pemasaran produk usahatani serta teknis pemeliharaan ternak dapat dilakukan melalui tukar menukar informasi antar petani atau kelompok tani. 7. Dukungan lembaga riset dan PT Perguruan Tinggi, BPTP dan BPP merupakan institusi pendukung yang dapat berperan dalam hal transfer inovasi teknologi dan juga berperan dalam pendampingan terhadap petani dalam memberikan advokasi dan bimbingan dalam mengatasi pernasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani. Selain itu, petani dan usahataninya dapat dijadikan sebagai wahana untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan riset lebih lanjut. 8. Pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil Produk hasil usahatani dalam proses lebih lanjut yang dikenal dengan pasca panen termasuk pemasaran hasil. Fungsi pengolahan hasil dan pemasaran merupakan salah satu faktor penting dalam memecahkan masalah penghambat bagi pembangunan pertanian selama ini Soetrisno, 1988. Untuk perlu diterapkan adalah sistem pemasaran produk pertanian yang efesien untuk diproses oleh industri. Seperti diketahui, sistem pemasaran produk pertanian umumnya kurang efisien sehingga menyebabkan besarnya kehilangan, kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga harga produk bahan mentah untuk industri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah. Produk usahatani pada tahap lebih lanjut, juga dapat dikelola menjadi produk lain yang dapat berkontribusi dalam rangka memberikan nilai tambah usaha. Nilai tambah ini dapat diartikan sebagai peningkatan manfaat dari produk pertanian. Yang dimaksud adalah nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah adalah merupakan sejumlah nilai jasa return terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, dan ketrampilan menejemen pengelolaan Wright, 1987. Dalam rangka mengelola produk pertanian untuk memperoleh nilai tambah, hendaknya didekati dengan kajian yang lebih mendasar. Kajian untuk memperoleh nilai tambah produk hasil pertanian dapat pula dilakukan dengan melibatkan lembaga riset, perguruan tinggi dan BPTP. Dalam hal peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produksi pertanian. Peningkatan produksi diharapkan dapat memberikan jaminan pendapatan petani. Meningkatnya pendapatan petani diharapkan dapat menciptakan surplus keuangan yang selanjutnya dapat diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan daya beli petani khususnya pada produk lain yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani.

7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak UTLRL