Pengertian Rawa Lebak TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Rawa Lebak

Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau tanah rendah‘ Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007. Sedangkan kata lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam Alwi et al., 2003. Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai levee atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga dengan rawa pedalaman Noor, 2007. Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak, misalnya di Jambi, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan disebut baruh dan watun; Kalimantan Timur disebut rapak atau kelam. Sedangkan Mac Kinnon et al. 2000 menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya dan selalu mendapatkan luapan air banjir dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung stagnant dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa lebak pada musim hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa swamps dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut tidal swamps dan rawa lebak atau rawa pedalaman non tidal swamps. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64PRT1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu 1 rawa pasang surut, 2 rawa pantai, dan 3 rawa pedalaman atau rawa lebak. Sedangkan menurut Subagjo 2006 tipologi rawa lebak didasarkan pada ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan Lama genangan Ketinggian genangan cm 50 50 - 100 100 3 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak tengahan 3 – 6 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak dalam 6 bulan Lebak dangkal Lebak dalam Lebak dalam Sumber: Subagjo 2006 Menurut Noor 2007, klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu 1 rawa lebak dataran tinggi dan 2 rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggipegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah lowland sebagian besar tersebar di Kalimantan. Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun arti lahan rawa lebak, yaitu watun I, II, III dan IV Anwarham, 1989; Ar-Riza, 2000. Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut: Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul 1 depa = 1,7 meter, dengan hidrotopografinya relatif paling tinggi. Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa =510 m menjorok masuk dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun I. Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa =510 m menjorok masuk dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun II. Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah. Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung deepwater land. Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu 1 lebak sungai, 2 lebak terkurung, dan 3 lebak setengah terkurung Kosman dan Jumberi, 1996 dalam Noor 2007. Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut. Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai. Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan air rembesan seepage dari sekitarnya. Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya.

2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak