g. Penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi;
h. Pencegahan peraturan perundang-undangan bea-cukai fiskal imigrasi
dan kesehatansaniter negara pantai.
†††††††††††††††
4. Peraturan yang Berlaku bagi Kapal Perang dan Kapal Pemerintah yang
Dioperasikan untuk Tujuan Non Komersial
Sub Bagian C Pasal 29-32 yang berkenaan dengan peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan
non-komersial. pertama-tama menegaskan tentang pengertian kapal perang dalam Pasal 29, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang
menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando
seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar
serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada displin angkatan bersenjata regular.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pengertian kapal perang ini tidak ada di dalam Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan 1958. Hanya disebutkan kapal perang saja, tanpa
mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan kapal perang. Dengan definisi ini, terutama dalam konteks Konvensi, maka sudah terdapat pengertian dan
kriteria yang sama tentang kapal perang. Apabila kapal perang asing yang berlayar di laut teritorial berdasarkan hak lintas damai ternyata tidak menaati
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai pelayaranlintas di laut teritorial, serta mengabaikan permintaan Negara pantai
supaya kapal perang itu menaati peraturan perundang-undangan Negara pantai, maka Negara pantai dapat meminta supaya kapal perang itu segera meninggalkan
laut teritorialnya sesuai dengan Pasal 30.
†††††††††††††††
Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Pasal 21 Ayat 1.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid. Pasal 29.
Melalui Pasal 30, kepada Negara pantai diberikan kebebasan apakah akan meminta supaya kapal perang asing itu meninggalkan laut teritorialnya ataukah
membiarkannya saja pelanggaran yang dilakukkan oleh kapal asing tersebut. Ini tampak dari kata “dapat meminta” may require dalam Pasal 30 tersebut.
Ketentuan Pasal 30 ini cukup realistis, mengingat kekuatan angkatan bersenjata Negara-negara di dunia sangat bervariasi yang dalam banyak hal berhubungan
erat dengan tingkat kemajuan dari Negara yang bersangkutan. Apakah Negara itu merupakan Negara adidaya atau adikuasa, apakah Negara kecil atau Negara yang
angkatan bersenjatanya lemah, dan lain-lain. Jika kapal perang itu merupakan kapal perang sebuah Negara adikuasa, ada keseganan dari Negara pantai yang
lebih lemah untuk mengusir ke luar kapal perang tersebut. Sebaliknya, jika kapal perang itu adalah kapal perang dari Negara yang relatif lebih lemah dari Negara
pantai, maka Negara pantai relatif lebih mudah memaksa atau mengusirnya ke luar dari laut teritorialnya.
§§§§§§§§§§§§§§§
Pasal 30 hanya menyebutkan “kapal perang” warships saja, tanpa menyebutkan “kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-
komersial” other government ships operated non-commercial purposes. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah jika kapal dalam kategori kedua ini juga
tidak bersedia menaati peraturan perundang-undangan Negara pantai? Apakah Negara pantai akan mengenakan tindakan hukum yang lebih tegas sesuai dengan
hukum nasionalnya terhadap kapal tersebut ataukah hanya akan meminta kapal tersebut meninggalkan laut teritorialnya atau dengan kata lain, memperlakukan
secara sama seperti kapal perang? Ketiadaan pengaturan di dalam Pasal 30, dapat
§§§§§§§§§§§§§§§
I Wayan Parthiana, Op.cit, hlm.116.
diartikan bahwa masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada Negara pantai yang bersangkutan. Sudah tentu tindakan yang diambil oleh Negara pantai tersebut
harus tetap menghormati ketentuan Konvensi ataupun peraturan-peraturan hukum internasional lainnya. Kapal perang ataupun kapal pemerintah yang dioperasikan
untuk tujuan non-komersial, yang tidak menaati peraturan perundang-undangan Negara pantai atau ketentuan Konvensi ataupun peraturan perundang-undangan
hukum internasional lainnya, ketika menikmati hak lintas damai di laut teritorialnya, kadang-kadang yang menimbulkan kerugian terhadap Negara pantai
yang bersangkutan. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh Negara pantai? Pasal 31 membebankan tanggung jawab ini kepada “Negara bendera”.
Pasal 31 menyatakan sebagai berikut : Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap
kerugian atau kerusakan yang diderita Negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai
pelayaranlintas melalui laut territorial atau ketentuan Konvensi ataupun peraturan-peraturan hukum internasional lainnya oleh suatu kapal perang
atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non- komersial.
Pembebanan tanggung jawab kepada Negara ini adalah sudah sewajarnya, mengingat kapal perang dan kapal pemerintah berada di bawah tanggung jawab
dari Negara bendera. Apalagi kapal pemerintah dioperasikan untuk tujuan non- komersial. Oleh karena menjadi tanggung jawab Negara, maka masalahnya
menjadi masalah antarnegara dan penyelesaiannya dilakukan melalui saluran diplomatik. Tentang bagaimana konkretnya penyelesaian melalui saluran
diplomatik itu, sepenuhnya terpulang kepada kedua pihak.
††††††††††††††††
Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Pasal 31.
††††††††††††††††
I Wayan Parthiana, Op.cit, hlm. 117.
Akhirnya, Pasal 32 menegaskan tentang kekebalan immunities dari kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial.
Sesuai dengan hukum kebiasaan internasional yang sudah berlaku umum, bahwa kapal perang ataupun kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-
komersial memiliki kekebalan immunities. Pengertian “kekebalan” dalam hal ini adalah kekebalan dari hukum Negara pantai. Tegasnya, hukum Negara pantai
tidak dapat diterapkan terhadap kapal tersebut. Namun dalam hubungan ini, kekebalan tersebut dikecualikan dari ketentuan dalam Sub Bagian A Peraturan
yang Berlaku bagi Semua Kapal dan Pasal 30 dan 31.
BAB III PENGATURAN ATAS EKSPLOITASI SUMBER DAYA PERIKANAN DI
WILAYAH LAUT ZEE OLEH KAPAL ASING MENURUT HUKUM NASIONAL
A. Pengaturan Sumber Daya Perikanan menurut Hukum Nasional
Sumber Daya Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari maximum
sustainable yield MSY sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan allowable catch
sebesar 80 dari Maximum Sustainable Yield yaitu 5,12 juta ton pertahun.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 1 Ayat 1.