Hak Lintas Kapal Asing Di Indonesia

c. Haluan kapal, yaitu bagian kapal yang dimuka sendiri dimana sering diberi hiasan menurut kesukaan pemilik kapal, misalnya kepala ularnaga dan lain- lain. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dalam pasal 1 angka 39 UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, kapal asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia. Berbicara mengenai kapal asing di wilayah Indonesia tidak terlepas dari adanya peranan Hak Lintas Kapal Asing di Indonesia terhadap kapal-kapal asing tersebut.

1. Hak Lintas Kapal Asing Di Indonesia

Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia, maka wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut. †††††††††††††††††††† †††††††††††††††††††† Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hlm. 187. Masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terbentuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia. Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial TZMKO yang bernafaskan kebebasan di laut freedom of the seas harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan Pasal II, dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang. Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut : ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Mocthar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Jakarta ,1978. hlm.187. 1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memerlukan pengaturan tersendiri; 2. Bahwa demi kesatuan wilayah teritorial Negara Republik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat; 3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercan-tum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi de-ngan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu. Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari 1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang- Undang No.4Prp.1960 adalah sebagai berikut : §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ 1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau- pulau terluar; §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Ibid. hlm.194. 2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 3. Jalur laut wilayah laut teritorial selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini; 4. Hak lintas damai kendaraan air kapal asing melalui perairan nusantara archipelagic waters dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan meng-ganggu keamanan serta ketertibannya. Undang-undang Nomor 4 Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah low water line, menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasional International Court of Justice dalam perkara sengketa perikanan Inggris-Norwegia Anglo- Norwegian Fisheries Case tahun 1951 lihat kasusnya dalam L.C. Green, International Law through the Cases, 1978:325 dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial, dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982. Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat : 1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia; 2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut wilayah ataupun laut lepas high seas menjadi perairan pedalaman internal waters. Agar supaya perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah, maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing. Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 4Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 4Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan Indonesia. Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 4Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus kapal penelitian, kapal nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga. Undang-undang Nomor 4Prp Tahun 1960 mengalami perubahan menjadi Undang Nomor 6 Tahun 1996. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang sudah tidak sesuai lagi sebab masih dilandasi dan dijiwai oleh Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Di samping itu, juga disebabkan Undang- Undang tersebut diundangkan dalam keadaan yang memaksa sehingga substansinya tidaklah lengkap. Sudah tentu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 ini merupakan perwujudan dari negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang dalam Konvensi Hukum LAUT PBB 1982, tepatnya dalam Bab IV Pasal 46-54, negara kepulauan sudah mendapat status hukum yang pasti. Ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini, pun juga merupakan perwujudan dari ketentuan-ketentuan Konvensi, khususnya Bab IV pasal 45-54 tersebut.Pada akhirnya Indonesia memiliki suatu undang-undang kelautan Nomor 32 Tahun 2014, dengan adanya UU Kelautan menegaskan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana sesuai konvensi hukum laut international tahun 1982, Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan potensi maritim di laut lepas, selain di laut teritorial, wilayah yuridiksi maupun kawasan dasar laut. Dalam UU 32 tahun 2014 tentang kelautan ini yang sangat disorot dalam Bab IX dalam pasal 58 sampai 68 mengenai pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan di laut dengan membentuk BAKAMLA Badan Keamanan Laut sebagai realisasi dari bentuk Penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia. Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perdamaian Negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar-mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indonesia. Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahu-an atau notifikasi kepada MenteriKSAL Kepala Satuan Angkatan Laut. Kapal selam submarine harus berlayar di atas permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi negara yang merupakan negara bendera Flag State. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alur pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara. Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencurian ikan illegal fishing, kapal asing yang terlibat pada umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.

2. Pengaturan Hak lintas Kapal Asing di Indonesia