I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Ada dua jenis sumberdaya alam yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Salah satu contoh sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumberdaya lahan. Secara sederhana
sumberdaya resources dapat diartikan sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didaya-gunakan. Selain itu juga sumberdaya dapat diartikan
sebagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu produksi. Menurut Tim penyusun Neraca Sumber Daya Alam NSDA, 1990 sumberdaya dapat
digolongkan berdasarkan wujud fisiknya, wujud fisik tersebut diantaranya adalah 1 sumberdaya lahan, 2 sumberdaya hutan, 3 sumberdaya mineral, dan 4
sumberdaya air. Sumberdaya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan
manusia. Sumberdaya alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya
alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia
tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam. Lahan merupakan bagian yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim,
topografirelief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Bertahun-tahun
masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya dan lahan adalah bagian penting di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi
tempat bergantung bagi masyarakat petani miskin. Di Indonesia, budaya dan aturan sosial juga mengatur pengelolaan sumberdaya dan distribusi manfaatnya.
Mewariskan lahan kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun. Jika berbicara soal agraria atau tanah maka didalamnya terkandung makna
kehidupan, karena sebagian besar masyarakat sekitar hutan sumber penghidupannya berasal dari tanah seperti kebun, atau sawah. Kerusakan
sumberdaya hutan dan meluasnya lahan yang tidak produktif atau kritis membawa masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan dikarenakan sumber pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan semakin menurun, hal ini disebabkan konsensi-konsensi yang ditetapkan pemerintah hanya berpihak pada pengusaha
padat modal dalam menjalankan praktek-praktek kehutanan. Konsensi-konsensi tersebut secara langsung membuat sempit ruang gerak serta memutus akses
masyarakat terhadap sumberdaya hutan Sardjono, 2004. Hutan adalah salah satu sumberdaya alam yang penting baik bagi negara
maupun bagi masyarakat. Bagi negara, hutan merupakan salah satu sumber devisa non migas yang telah banyak memberikan kontribusi bagi pelaksanaan
pembangunan nasional. Sedangkan bagi masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan hutan, hutan merupakan cadangan lahan bagi perluasan areal
pertanian dan penyuplai kebutuhan kayu dan non kayu. Menurut Indriyanto 2006, hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di
sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupun obat-obatan. Tindakan
mengelola kawasan hutan yang hanya terpusat mengambil nilai kemanfaatannya dan tidak memperhatikan keberlanjutan kawasan itu sendiri untuk memberi
kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan telah menyebabkan perubahan yang fundamental terhadap keberadaan kawasan hutan, baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Dewasa ini, kondisi kawasan hutan yang masih tersisa telah mengalami banyak kerusakan sehingga fungsi hutan mengalami penurunan.
Menurut Ponting 1991:251 negara-negara dunia ketiga menghadapi dua hal pokok. Pertama, akibat penguasaan politik oleh Eropa, luas lahan yang
diperuntukan untuk tanaman-tanaman ekspor terus meningkat. Kedua, ketimpangan distribusi penguasaan lahan. Sebagai konsekuensi dari masalah ini
dan pertumbuhan penduduk yang cepat adalah kemiskinan, deforestasi, dan degradasi lingkungan. Di Jawa, ketimpangan distribusi penguasaan lahan
pertanian sudah terjadi sebelum merdeka dan kondisi ini cenderung semakin timpang sejak revolusi hijau pada lahan sawah. Sedangkan lahan-lahan kering
upland semakin intensif diolah. Di luar Jawa konversi hutan untuk perkebunan, pertanian, dan pemukiman terus meningkat.
Secara umum tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas
adat mengenal
adanya beragam
status penguasaan
dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam menurut
Bromley, dalam Satria 2009 dapat dibedakan atas empat kelompok : 1 milik umum open accses, 2 milik negara state, 3 milik pribadi atau perorangan
private dan 4 milik bersama communal. Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumberdaya alam tersebut
memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumberdaya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh
manfaat. Berbeda dengan sumberdaya alam milik bersama, maka sumberdaya milik pribadi merupakan sumberdaya yang secara tegas dimiliki oleh orang-
perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumberdaya milik kelompok komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh
suatu kelompok komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumberdaya tersebut tanpa izin kelompok yang
menguasainya. Pada sumberdaya milik negara merupakan sumberdaya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumberdaya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya
terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumberdaya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia,
tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumberdaya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik.
Hukum adat adalah satu-satunya produk hukum yang difahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim
desa yang sudah mengakar sejak awal desa terbentuk pada awalnya masih berupa kampung. Ada tiga hal pokok yang diatur oleh hukum adat berkenaan dengan
penguasaan lahan, yaitu pengakuan hak, kewajiban pengguna lahan, serta pola pemanfaatan ruang. Terkait dengan pengakuan hak, hukum adat menyebutkan
bahwa setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan
adat kampung maka diakui hak kepemilikannya terhadap orang yang membuka tersebut. Aturan ini bermakna bahwa sejak dulu hukum adat telah memberikan
ruang kepada warga untuk menguasai lahan garapan secara pribadi dan setiap orang boleh menguasai lahan secara pribadi. Hak kepemilikan lahan ini bisa gugur
ketika lahan bukaan tersebut tidak digarap hingga menjadi hutan kembali dan sudah tidak terlihat tanda-tanda bahwa lahan-lahan tersebut pernah dibuka. Untuk
mengantisipasi kehilangan hak tersebut, warga sejak dulu menerapkan cara dimana lahan yang dibuka selalu diberi tanda dengan cara menanam pohon. Jenis-
jenis pohon yang umum ditanam di lahan bukaan baru adalah durian, duku, kelapa, mangga, dan sebagainya.
Sebelum kehadiran hukum-hukum formal, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan dan pohon di wilayah desa diatur sepenuhnya oleh hukum
adat. Menurut keterangan warga, hukum-hukum pemerintah kolonial dulunya tidak menyentuh aspek pengaturan di tingkat desa, demikian pula halnya pada
masa Kesultanan Jambi dimana hukum-hukum adat tetap diakui keberadaannya terutama dalam pengaturan pemanfaatan ruang. Pemerintah kolonial Belanda
maupun Kesultanan Jambi menyerahkan pengaturan di tingkat kampung kepada pimpinan adat dengan berlandaskan pada hukum-hukum adat. Hal ini terjadi
karena pada dasarnya mandat hak penguasaan wilayah pada waktu itu diberikan pada pimpinan adat marga dan kampung dan unsur inilah yang kemudian
mengatur pendistribusian dan pola pemanfaatannya melalui hukum-hukum adat yang disepakati. Hal ini berlangsung hingga terjadinya masa peralihan sistem
pemerintahan dari marga ke desa yang dilandasi oleh pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Esensi pemberlakuan
sistem pemerintahan baru ini meliputi dua aspek, yaitu meredefinisi desa dan merestrukturisasi pola penguasaan sumberdaya alam.
Pasca masa peralihan sistem pemerintahan tersebut, wilayah desa kemudian didefinisikan terbatas hanya meliputi ruang pemukiman dan kelola masyarakat
sedangkan sumberdaya alam khususnya kawasan hutan yang belum terjamah pada proses selanjutnya berada dalam penguasaan negara. Oleh negara, kawasan
hutan tersebut ditata sedemikian rupa menurut fungsinya yang mencakup hutan proteksi, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain.
Sebagian wilayah desa menurut batas-batas yang dipahami warga pada masa kemargaan dulu yang masih berupa kawasan hutan juga menjadi bagian dari
penguasaan negara. Pola produksi desa yang bertumpu pada aktivitas pertanian masih dominan
berbasis terhadap ketersediaan sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun diakses dari kawasan hutan. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa membuka hutan tidak hanya memiliki makna sebagai upaya ekspansi lahan melainkan juga bermakna sebagai klaim lahan.
Karena dengan cara membuka hutanlah warga mampu meningkatkan produksi pertanian mereka dan menambah luasan lahan yang mereka miliki. Akibatnya,
ketika di desa sudah tidak tersedia lahan-lahan yang memungkinkan untuk dibuka maka kawasan hutan negara kemudian menjadi sasaran ekspansi lahan bagi warga
desa. Beberapa masyarakat desa menunjukkan sejak dulu mereka memiliki
sistem norma yang mengendalikan aspek pemanfaatan sumberdaya hutan yang kenyataannya juga saat ini sudah banyak yang ditinggalkan oleh konstituennya.
Di samping itu, di beberapa desa juga dijumpai adanya inisiatif-inisiatif lokal untuk mempertahankan sumberdaya hutan melalui sistem proteksi yang mereka
sebut hutan adat ataupun hutan desa. Inipun kemudian diragukan mengenai keberlanjutannya karena masih sulit untuk diyakini kemungkinan kearifan-
kearifan semacam itu bisa bertahan di tengah kondisi keterdesakan secara ekonomi dan tekanan-tekanan yang bersumber dari luar. Kalaupun negara
memberikan dukungan terhadap kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal, itupun hanya sebatas pemberian hak kelola dan bukan hak menguasai. Jika
sewaktu-waktu negara berkepentingan terhadap wilayah kelola masyarakat tersebut, hak kelola tersebut bisa saja dicabut. Ini berarti, posisi masyarakat dalam
mempertahankan klaim sumberdaya alam yang dianggap sebagai bagian dari wilayah desanya masih sangat lemah.
Uraian di atas menunjukan bahwa studi mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan terutama di Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi penting
untuk terus dikembangkan mengingat hal tersebut telah menjadi bagian dari masalah pokok di desa. Desa yang masyarakatnya sebagaian besar hidup dari pola
agraris, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan menjadi sangat penting. Hal ini terutama terkait dengan pola produksi di desa yang peningkatannya masih
berorientasi terhadap penambahan luas lahan garapan. Di sisi lain, ketatnya kontrol negara terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan tekanan kebijakan
daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu juga Sesuatu yang mengkhawatirkan adalah rendahnya penguasaan sumber daya alam oleh
masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai tamu di rumahnya sendiri.
Studi ini mencoba untuk mengeksplorasi berbagai dimensi yang terkait dengan aspek penguasaan dan pemanfaatan lahan serta dinamika pola nafkah
masyarakat di Desa Baru Pangkalan Jambu.
1.2. Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian