Kebun Pattern of Land Resources Tenure and Livelihoods Adaptation Strategies Around Community Forest. (A Case Study: Baru Pangkalan Jambu Village Merangin District Jambi Province).

selama dua kali musim tanam dan maksimal tiga kali musim tanam. Menurut mereka ketika memasuki tahun ketiga karet atau kayu manis dan kopi sudah mulai besar dan kalau juga tetap ditanami padi atau tanaman pangan lain hasilnya tidak akan bagus seperti pada musim tanam pertama atau kedua. Setelah melewati tahun ketiga ladang lantas ditinggalkan dan rata-rata warga tidak melakukan perawatan terhadap komoditi perkebunan yang diusahakan. Hasil ladang, rata-rata hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri selama beberapa bulan dan umumnya tidak sampai untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun. Persoalan yang dihadapi dalam aktivitas perladangan di Desa Baru Pangkalan Jambu adalah kesulitan dalam mengatasi serangan hama, seperti babi dan simpai. Kesulitan ini berpangkal dari pola aktivitas perladangan yang dilakukan secara individual sehingga ketika tanaman pangan sudah mulai menghasilkan ladang harus dijaga selama dua puluh empat jam. Kendatipun demikian tradisi berladang di Desa Baru Pangkalan Jambu masih tetap dijalankan oleh masyarakat sebagai satu-satunya pola yang mereka pahami ketika akan membuka kebun baru atau bagi mereka yang tidak memiliki sawah. Dari informasi yang diperoleh bahwa di Desa Baru Pangkalan Jambu tidak terdapat satu areal khusus yang diperuntukkan sebagai areal perladangan.

c. Kebun

Di Desa Baru Pangkalan Jambu tercatat areal perkebunan rakyat yang cukup luas mencapai 746 ha yang terdiri dari perkebunan karet, kayu manis, dan kopi. Jenis komoditi perkebunan yang dominan diusahakan oleh warga adalah karet. Di Desa Baru Pangkalan Jambu dulunya juga cukup berkembang komoditi kayu manis dan kopi namun belakangan kedua jenis komoditi ini sudah ditinggalkan oleh warga karena mengalami persoalan harga dimana harga kayu manis dan kopi dinilai warga sangat rendah dan tidak menguntungkan jika tetap dipertahankan. Pengelolaan kebun di Desa Baru Pangkalan Jambu masih tergolong tradisional yang dilakukan secara turun-temurun. Umumnya warga menanam jenis bibit karet lokal dan sebagian sudah menanam jenis anakan unggul. Karet merupakan satu-satunya komoditi andalan dan sebagai sumber penghidupan utama bagi warga, baik yang mengelola kebun sendiri maupun bagi mereka yang menggarap kebun milik orang lain buruh sadap karet. Saat ini, dominan kebutuhan hidup sehari-hari dipenuhi dari hasil menyadap karet, di samping ditopang dari jenis mata pencaharian lain seperti bekayu dan menambang emas. Artinya penghasilan dari menyadap karet dialokasikan untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, baik kebutuhan bertahan hidup 9 maupun kebutuhan pengembangan daya hidup 10 . Sementara bagi warga yang masih memiliki kebun kayu manis berusaha untuk tidak memanen kebunnya karena harga kulit manis saat ini sedang anjlok, kecuali jika ada kebutuhan mendesak yang tidak mampu dipenuhi dari sumber mata pencaharian lain. Tidak semua warga Desa Baru Pangkalan Jambu yang memiliki kebun. Oleh sebab itu cukup banyak juga warga yang menjadi buruh sadap di kebun karet milik warga lain dalam desa. Bagi warga yang tidak memiliki kebun karet dia dapat menyadap kebun orang lain dengan pola bagi hasil. Aturan pembagian hasil sadapan sudah baku dimana perbandingannya adalah 1 : 3 yaitu 13 untuk pemilik kebun dan 23 untuk penyadap dimana semua kebutuhan dalam proses penyadapan ditanggung oleh penyadap. Pengolahan karet di tingkat petani pada umumnya masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat cetak sederhana yang dibuat sendiri dari bahan papan. Dalam proses pengolahan karet, ada beberapa tahapan, dimulai dari penyadapan, pengangkutan, dan pencetakan. Banyaknya jumlah lateks yang mampu dihasilkan oleh warga dari hasil sadapannya selama seminggu berkisar 4 –5 hari sadap sangat bervariasi mulai dari 30 kg sampai mencapai 100 kg bergantung pada luasan kebun dan jumlah pohon karet yang disadap. Secara umum, bagi petani karet di Jambi, jenis lateks yang dihasilkan terdiri dari dua macam yaitu lateks tahu dan lateks tatal. Di Desa Baru Pangkalan Jambu, petani lebih memilih mencetak lateks tatal karena menurut mereka lebih 9 Kebutuhan bertahan hidup atau sering disebut dengan istilah kebutuhan survival mencakup kebutuhan yang di dalam istilah ilmu ekonomi termasuk kebutuhan primer, terdiri kebutuhan akan pangan, sandang dan papan perumahan. 10 Kebutuhan pengembangan daya hidup merupakan kebutuhan yang menunjang peningkatan kesejahteraan hidup seperti pendidikan, informasi, transportasi, dan sebagainya. menguntungkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari toke yang berkecimpung dalam perdagangan karet disebutkan bahwa lateks yang dihasilkan oleh umumnya petani karet di Desa Baru Pangkalan Jambu memiliki kadar air pada kisaran 50 – 60 . Hal ini pulalah menurut toke tersebut yang menyebabkan harga karet rendah karena pedagang di Bangko maupun di Jambi menstandardkan jenis lateks tatal memiliki kualitas rendah. Lateks merupakan getah karet yang sudah dibekukan dengan menggunakan asam cuka sebagai bahan baku industri ban dan industri yang memproduk barang-barang dari bahan baku karet. Menurut keterangan yang diperoleh bahwa jenis lateks yang memiliki kualitas tinggi adalah jenis lateks tahu non tatal dengan kadar air 0 – 10 . Dengan melihat kondisi di lapangan, jenis lateks yang mampu dihasilkan oleh warga karet di Desa Baru Pangkalan Jambu sangat jauh untuk mencapai kualitas dimaksud karena dalam proses penyimpanan lateks yang dihasilkan, warga cenderung merendamnya di sungai sehingga lateks tersebut memiliki kadar air yang sangat tinggi. Di Desa Baru Pangkalan Jambu, warga menjual lateks ke toke-toke lokal yang sudah terpola melalui pola ketergantungan. Artinya, setiap petani sudah memiliki toke yang tetap dalam penjualan lateks yang dihasilkan. Pola ketergantungan ini terbentuk karena adanya unsur yang mengikat warga ke toke yaitu berupa keterikatan dalam bentuk hutang. Para toke dengan leluasa memberikan hutang ke warga baik dalam bentuk barang kebutuhan hidup sehari- hari maupun berupa uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak dengan syarat warga harus menjual lateks yang diproduksinya ke toke. Jika warga tersebut sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, pada beberapa kasus warga menyerahkan kebunnya kepada toke. Dengan melihat kondisi demikian, ada argumen yang kuat untuk menyebutkan bahwa petani karet di Desa Baru Pangkalan Jambu tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan harga jual lateks, berapapun harga yang ditetapkan oleh toke maka warga terpaksa menjualnya ke toke tersebut meskipun ada toke lain yang mampu membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Di lain pihak, dalam hubungan perdagangan lateks antara warga dengan toke, warga justru menyebut pola hubungan tersebut sebagai pola hubungan patronase, artinya warga menganggap toke merupakan pelindung bagi mereka dalam krisis subsistensi terutama pada masa-masa paceklik. Dalam hubungan patronase ini, apapun kesulitan yang dihadapi oleh warga selalu mendapat pertolongan dari toke, disadari atau tidak pola ini sudah membangun pola ketergantungan warga kepada toke yang dalam proses selanjutnya wargapun tidak pernah lepas dari hutang. Pada kenyataannya muncul istilah di kalangan warga bahwa hasil menyadap seminggu hanya cukup untuk melunasi hutang seminggu dan seringkali malah kurang. Hutang-hutang tersebut tidak memungkinkan untuk dilunasi warga ketika warga tidak menyadap, misalnya pada saat sakit atau ketika musim hujan tiba yang mengurangi frekuensi aktivitas menyadap bagi warga. Berdasarkan data terakhir, harga lateks di tingkat toke di Desa Baru Pangkalan Jambu berkisar Rp. 12.000,- per kg. Menurut rumus ekonomi yang dipahami petani bahwa keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran tercapai ketika harga lateks sama dengan harga beras. Pada kenyataannya harga beras yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat berkisar pada harga Rp. 5.000,- kg. Dengan melihat angka-angka ini maka jelas harga lateks jauh lebih tinggi dari harga beras dan hal ini terus mendorong untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat produsen lateks di Desa Baru Pangkalan Jambu yang sumber penghidupan satu- satunya diperoleh dari hasil lateks yang mampu mereka jual. Namun dengan harga tersebut jika dibandingkan dengan desa di luar Desa Baru Pangkalan Jambu maka, harga yang didapat dari penjualan produksi lateks sangatlah rendah, karena untuk masyarakat desa luar Desa Baru Pangkalan Jambu dapat menerima lebih dari 12.000kg bahkan mereka bisa mendapatkan 19.000kg dengan catatan bahwa lateks yang diproduksi tanpa tatal atau lateks murni. Dalam memasarkan lateks, warga cenderung menjualnya langsung dalam bentuk lateks bertatal tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Beberapa warga di daerah lain, sebelum lateks dipasarkan terlebih dahulu dilakukan pengolahan terutama untuk mengurangi kadar air dengan menggunakan alat press seperti yang banyak terdapat di perusahaan crumb rubber. Namun untuk warga Desa Baru Pangkalan Jambu, proses pengolahan untuk mengurangi kadar air ini tidak dilakukan. Mereka cenderung menjual lateks yang dihasilkan langsung kepada toke dalam bentuk lateks bertatal yang sudah mengalami proses perendaman selama beberapa hari. Berdasarkan informasi yang diperoleh, ada dua bentuk sistem pemasaran lateks yang dijumpai di Desa Baru Pangkalan Jambu yang ditunjukkan oleh mata rantai tataniaganya, yaitu : 1. Warga – Toke di Desa pengumpul 1 – Toke di Sungai Manau pengumpul2 - Toke di Jambi pengumpul 3 2. Warga – Toke di Desa pengumpul 1 – Toke di Bangko pengumpul 2 – Toke di Jambi pengumpul 3 Dari data dan informasi yang dikumpulkan tidak dijumpai adanya warga yang langsung memasarkan lateksnya ke toke di Sungai Manau atau di Bangko maupun toke di Jambi. Diketahui harga lateks di tingkat toke di Bangko lebih tinggi dibandingkan dengan harga di tingkat toke desa. Sehingga dalam hal ini menunjukkan tidak efisiennya sistem pemasaran lateks yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu yang disebabkan oleh jalur tata niaga yang sangat panjang sehingga margin yang diterimapun sangatlah tinggi.

d. Budidaya Ikan Kolam