Community managed forest as pathway to secure land tenure (case study of limited production forest, KPHP Unit XVI, Tanjung Jabung Barat District, Jambi Province)

(1)

PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT SEBAGAI

SARANA UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN TENURIAL

(Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI Kab. Tanjung Jabung

Barat, Propinsi Jambi)

PUTRA AGUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Sebagai Sarana Untuk Mendapatkan Kepastian Tenurial (Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Putra Agung NRP. E. 151080231


(4)

(5)

ABSTRACT

PUTRA AGUNG. Community Managed Forest as Pathway to Secure Land Tenure (Case Study of Limited Production Forest, KPHP Unit XVI, Tanjung Jabung Barat District, Jambi Province) Under the Supervision of Sudarsono Soedomo dan Bramasto Nugroho.

This research focuses on the impact of property rights insecurity that drives to tenure insecurity as well on deforestation and forest degradation in limited production forest (HPT) as part of KPHP Unit XVI at Tanjung Jabung Barat district, Jambi Province. Deforestation is considered as a risk management strategy: property rights insecurity reduces the present value of forest and foster forest conversion into agricultural lands in this case converted into oil palm and rubber plantation. Moreover, deforestation is the consequences of strategic interactions between local community (who has claim over land and forest) with migrant community (which is hungry for land to gain capital increment). This strategic interaction drove to the formulation of informal land market institution that significantly contributed to the deforestation over the study site area. The current situation of forest land encroachment was the result of the lack of forest governance at the site level. The research was trying to get a better understanding on how informal land market institution had been formulated and how this institution had contribute to the deforestation within the frame of legal pluralism and property rights theory.

Keywords: State forest zone, local community, land market, tenure security, property rights.


(6)

(7)

RINGKASAN

PUTRA AGUNG. PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT SEBAGAI SARANA UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN TENURIAL (Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI, Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi). Dibimbing oleh Sudarsono Soedomo dan Bramasto Nugroho.

Lahan dan hutan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia, baik yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan memiliki keterikatan dan ketergantungan yang kuat terhadap fungsi dan keberadaan hutan. Berdasarkan identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2009, tercatat bahwa dari 38.565 desa yang tercakup dalam perhitungan terdapat 9.103 desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (23,60%) sedangkan sisanya 29.462 desa (76,40%) berada diluar kawasan (Kemenhut, 2009).

Dari data tersebut diatas dapat diperkirakan seberapa besar tingkat ketergantungan masyarakat terhadap produk dan jasa lingkungan yang dihasilkan hutan. Kebutuhan masyarakat akan lahan juga pada akhirnya membuat masyarakat mau tidak mau bergerak masuk kedalam kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat dengan berbagai status dan pranata sosialnya melakukan klaim akan lahan hutan dan pada akhirnya berujung kepada konversi kawasan hutan untuk dijadikan areal pertanian/perkebunan.

Konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terus terjadi bahkan setelah era reformasi. Pada awal-awal reformasi masyarakat lebih berani untuk memberikan perlawanan dan menuntut kesetaraan hak dalam mengelola sumberdaya alam termasuk hutan. Keberanian masyarakat adat/lokal pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik dalam negeri Indonesia yang membuat semua orang merasa memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dan memperoleh hak yang sama dalam berbagai aspek tidak terlepas dalam hal penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan hutan. Akibatnya kondisi tutupan hutan semakin memburuk.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, luas total hutan di kabupaten tersebut adalah sebesar 246.601,70 ha, atau 49.2% dari luas total administratif kabupaten (500.982 ha). Dari hasil analisa terhadap data tutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2009 diwilayah HPT-KPHP Unit 16 diketahui bahwa terdapat sekitar 19 bentuk penutupan atau penggunaan lahan. Dari semua tipe/bentuk penutupan/penggunaan lahan tersebut porsi tutupan lahan berupa hutan terus menurun dari periode waktu 1990 sampai dengan 2009.


(8)

Laju deforestasi hutan pada areal HPT yang menjadi focus penelitian meningkat dari 231,3 hektar per tahun (pada periode 1990-2000) menjadi 619,3 hektar per tahun (periode 2000-2009). Sedangkan laju degradasi hutan memperlihatkan penurunan dimana pada periode 1990-2000 adalah sebesar 1.160 hektar per tahun menjadi 289.6 hektar per tahun pada rentang periode 2000-2009.

Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi yang merupakan target lokasi penempatan transmigran. Gelombang transmigrasi mulai datang ke kabupaten Tanjung Jabung Barat pada tahun 1990 dan gelombang berikutnya terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Selain pola transmigrasi, ditemui juga pola-pola migrasi swadaya yang dilakukan oleh berbagai etnis diantaranya Jawa, Batak, Palembang, Aceh, Bugis dan Banjar.

Masyarakat pendatang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup dan menambah modal berupa lahan garapan (land capital) maka secara tidak langsung berdampak kepada tekanan terhadap lahah/hutan. Masyarakat pendatang terpaksa harus membeli lahan/hutan dikarenakan statusnya sebagai pendatang sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan klaim terhadap kawasan hutan/lahan yang ada. Lahan/hutan yang diperjual belikan merupakan kawasan yang diklaim oleh individu/kelompok masyarakat lokal.

Terbentuknya institusi informal jual-beli lahan/hutan (informal land market institution) merupakan rangkaian proses interaksi antara masyarakat lokal yang memiliki klaim lahan/hutan dengan masyarakat pendatang. Masyarakat transmigran yang mulai datang pada awal tahun 1990 pada kenyataannya dengan berjalannya waktu sampai dengan saat ini sudah jauh lebih mapan secara ekonomi apabila dibandingkan dengan masyarakat lokal.

Pada kawasan HPT-KPHP Unit 16 terdapat lokasi pencadangan HTR oleh Menteri Kehutanan melalui SK No. 70/Menhut-II/2009 pada tanggak 26 Februari 2009 seluas 2.280 ha. Lokasi pencadangan HTR secara administratif masuk kedalam desa Lubuk Kambing dan Suban. Berdasarkan analisis penutupan lahan diketahui bahwa lokasi HTR tersebut sebagian besar sudah dikelola oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet. Konversi areal pencadangan HTR menjadi tanaman karet baik itu karet agroforest maupun karet monokultur marak terjadi di desa Lubuk Kambing, sedangkan konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit marak terjadi di desa Suban.

Adapun skema HTR yang ditawarkan oleh pemerintah dalam menjembatani pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan dan untuk menjaga/memulihkan kondisi tutupan hutan akan sulit untuk diterapkan mengingat hak yang ditawarkan adalah hak pengelolaan sementara tanpa dilengkapi hak untuk diperjual-belikan, dipindah-tangankan/diwariskan, dan untuk dijadikan agunan (Nugroho, 2011). Dengan tidak diberikannya hak untuk dialihkan/dipindah-tangankan, skema HTR cenderung hanya akan menemui kegagalan dalam implementasinya. Implikasi berikutnya adalah rendahnya minat masyarakat dalam berinvestasi untuk pengembangan skema HTR itu sendiri.


(9)

© Hak cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


(10)

PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT SEBAGAI

SARANA UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN TENURIAL

(Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI Kab. Tanjung Jabung

Barat, Propinsi Jambi)

PUTRA AGUNG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(11)

(12)

Judul Tesis : Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Sebagai Sarana Untuk Mendapatkan Kepastian Tenurial (Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI, Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi)

Nama : Putra Agung NRP : E. 1501080231

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS. Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(13)

(14)

Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk

Qonita, Raky dan Arkan

serta

Alm. Eva Suzana dan Alm. Sjafiq Nagib


(15)

(16)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Sebagai Sarana Untuk Mendapatkan Kepastian Tenurial (Kasus di Areal Hutan Produksi Terbatas, KPHP Unit XVI, Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi)”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat utama penyelesaian studi pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarhana Institut Pertanian Bogor (PS-IPH IPB). Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang banyak membantu penulis dalam ide, pola pikir, pemahaman, dukungan moril, dukungan finansial dan lain sebagainya.

1. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir Didik Suharjito, MS. dan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc., selaku Penguji Luar Komisi dan Penguji Perwakilan Program Studi atas saran dan masukan yang sangat berharga dalam perbaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., selaku Ketua Program Studi IPH, para dosen dan staf sekretariat IPH atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi.

4. Dr. Ir. Suyanto, M.Sc, Gamma Galudra, M.Sc., Dr. Atiek Widayati, dan Dr. Sonya Dewi atas bantuan bimbingan serta kesempatan yang diberikan untuk melakukan dan menyelesaikan penelitian ini.

5. Kepada masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai, Lampisi dan Suban atas interaksi dan informasi yang diberikan selama melakukan penelitian.

6. Rekan-rekan sejawat di International Center for Research in Agroforestry

(ICRAF) South East Asia Regional Office atas segala semangat, dukungan dan kebersamaannya.


(17)

7. Rekan-rekan IPH angkatan 2008 atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama menjalani studi di IPH-IPB.

8. Ibunda Zakiah beserta keluarga dan ayahanda Jhonny SY beserta adik-adikku atas dukungan moril dan doanya selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

9. dan, Seluruh sanak saudara, handai-tualan yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu yang telah memberikan kontribusi melalui berbagai cara dalam penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan berkatNya kepada kita semua. Amin.

Penulis mengucapkan permohonan maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini dikarenakan keterbatasan individu yang dimiliki. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juli 2012


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubuk Sikaping (propinsi Sumatera Barat) pada tanggal 18 Juni 1981 dari ayah Jhonny SY dan ibu alm. Eva Suzanna Nazar. Penulis merupakan putera pertama dari empat bersaudara.

Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMUN 2 Padang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2005 dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Semenjak tahun 2005 penulis bekerja di Forest Watch Indonesia (FWI), suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memantau perkembangan sektor kehutanan di Indonesia. Pada tahun 2005 sampai dengan 2006 penulis bekerja sebagai Geograpich Information System (GIS) specialist dan pada tahun 2007 sampai dengan 2010 lebih banyak bekerja untuk divisi riset dan kampenye publik.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH). Sejak tahun 2010 sampai dengan saat ini penulis bekerja pada sebuah lembaga penelitian kehutanan dan agrofrestry international (International Center for Research in Agroforestry / ICRAF) yang berkantor di Bogor.


(19)

(20)

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Keamanan dan Kepastian Tenurial ... 11

2.2. Migrasi, Informal Land Market dan Deforestasi ... 12

2.3. Hutan Sebagai Sumberdaya Milik Bersama (Common Property Resources) dan Open-Access Resources ... 13

2.4. Hak Kepemilikan (Property Right) Atas Sumberdaya Alam ... 16

2.5. Legal Pluralisme ... 18

2.6. Hutan Tanaman Rakyat ... 20

2.7. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ... 24

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2. Data dan Alat ... 28

3.3. Jenis dan Sumber Data/Informasi ... 28

3.4. Metode Pengumpulan Data/Informasi ... 29

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35

4.1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat... 35

4.2. KPHP Unit XVI ... 43

4.3. Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)... 44

4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Areal HPT ... 45

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1. Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sebagai Bagian KPHP Unit XVI ... 49

5.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan Pada Areal HPT-KPHP Unit 16 ... 51

5.3. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Pada Areal HPT-KPHP Unit 16 ... 54


(21)

5.4. Sejarah Desa dan Masyarakat Sekitar HPT ... 59 5.5. Pola Penguasaan Lahan/Hutan (Land/Forest Tenure Arrangement) ... 60 5.6. Migrasi dan TerbentuknyaInstitusi Informal Jual Beli-Lahan/Hutan

(Informal Land Market Institution) ... 67 5.7. Institusi Informal Jual Beli Lahan/Hutan dan Hubungannya Dengan

Laju Deforestasi Pada Areal HPT-KPHP Unit 16 ... 72 5.8. Keamanan Tenurial (Tenure Security) di Areal HPT ... 73 5.9. Pencadangan Kawasan HPT Untuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR) ... 75 5.10. Persepektif Legal Pluralisme dan Hak Kepemilikan (Property Right)

Dalam Pengelolaan Kawasan HPT ... 77 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(22)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Berbagai Definisi Keamanan Tenurial (dimodifikasi dari Arnot et al.,

2011) ... 11 Tabel 2. Tipologi Barang dan Jasa ... 14 Tabel 3. Hak Kepemilikan Berdasarkan Posisi Kelompok Pemanfaat

Sumberdaya Alam ... 17 Tabel 4. Tipe Rezim Hak Kepemilikan ... 18 Tabel 5. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam metode kuantitatif... 29 Tabel 6. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam metode kualitatif... 33 Tabel 7. Nama dan Jumlah Kecamatan dan Desa di Kabupaten Tanjung Jabung

Barat Tahun 2008 ... 36 Tabel 8. Penggunaan Lahan di Kab. Tanjung Jabung Barat Pada Tahun 2002. 40 Tabel 9. Jumlah Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Barat Pada

Tahun 2009 ... 41 Tabel 10. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2007 ... 42 Tabel 11. Kontribusi Sektor Ekonomi Dalam PDRB Kab. Tanjung Jabung Barat

Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Berlaku Periode 2003-2007 ... 43 Tabel 12. Perubahan Penutupan Lahan Secara Umum Periode Tahun

2007-2009 ... 45 Tabel 13. Luas Desa Sampel dan Bentuk Penggunaan Lahannya Secara Umum

Pada Tahun 2009 ... 46 Tabel 14. Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk Pada Tahun 2009 ... 47 Tabel 15. Migrasi/Perpindahan Penduduk Yang Terjadi Di Desa Sampel

Penelitian Pada Tahun 2009 ... 48 Tabel 16. Pembagian Kawasan Hutan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Berdasarkan Fungsi Kawasan ... 49 Tabel 17. Wilayah Kerja KPH yang Terdapat di Kabupaten

Tanjung Jabung Barat ... 50 Tabel 18. Bentuk Tutupan/Penggunaan Lahan Beserta Luasannya Pada Areal

HPT-KPHP Unitn16 ... 51 Tabel 19. Luas Tutupan Hutan di Areal HPT-KPHP Unit 16 ... 53 Tabel 20. Perubahan Tutupan/Penggunaan Hutan Pada Periode 1990-2000 ... 55 Tabel 21. Perubahan Tutupan/Penggunaan Hutan Pada Periode 2000-2009 ... 55


(23)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian ... 9 Gambar 2. Koeksistensi dan Keberadaan Beberapa Hukum/Peraturan/Norma

Yang Berlaku Pada Tataran Sosial Masyarakat ... 19 Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian ... 28 Gambar 4. Alur Kerja Pendekatan/Metode ALUCT (Analisys of Land Use

and Cover Trajectory) ... 30 Gambar 5. Peta Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Posisinya Dalam

Lingkup Propinsi Jambi ... 36 Gambar 6. Peta topografi Kawasan eks Hatma Hutani (HPT) yang Menjadi

Area Fokus Penelitian (Sumber: Universitas Jambi, 2011) ... 44 Gambar 7. Grafik Komoditi Perkebunan Unggulan Pada Desa Sampel... 47 Gambar 8. Penurunan Luas Tutupan Hutan Pada Areal HPT... 53 Gambar 9. Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan

Pada Tahun 1990-2000 ... 56 Gambar 10. Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan

Pada Tahun 2000-2009 ... 57 Gambar 11. Time Series Data Tutupan/Penggunaan Lahan Pada Areal HPT ... 58 Gambar 12. Aturan Dalam Menentukan Pembukaan Lahan Dengan

Memberikan Jeda/Spasi Antara Klaim Pertama Atas Lahan

Dengan Klaim-klaim Berikutnya. ... 62 Gambar 13. Bagan alur sederhana proses jual beli lahan/hutan ... 72 Gambar 14. Areal Pencadangan HTR di Desa Lubuk Kambing (a) dan

Suban (b) ... 76

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. SK Penunjukan Areal KPH Propinsi Jambi ... 90 Lampiran 2. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

P.55/Menhut-II/2011 ... 94 Lampiran 3. SK.70/Menhut-II/2009 Tentang Pencadangan Areal HTR di


(24)

(25)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan dan hutan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia, baik yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan memiliki keterikatan dan ketergantungan yang kuat terhadap fungsi dan keberadaan hutan. Berdasarkan identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2009, tercatat bahwa dari 38.565 desa yang tercakup dalam perhitungan terdapat 9.103 desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (23,60%) sedangkan sisanya 29.462 desa (76,40%) berada diluar kawasan (Kemenhut, 2009).

Dari data tersebut diatas dapat diperkirakan seberapa besar tingkat ketergantungan masyarakat terhadap produk dan jasa lingkungan yang dihasilkan hutan. Kebutuhan masyarakat akan lahan juga pada akhirnya membuat masyarakat mau tidak mau bergerak masuk kedalam kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat dengan berbagai status dan pranata sosialnya melakukan klaim akan lahan hutan dan pada akhirnya berujung kepada konversi kawasan hutan untuk dijadikan areal pertanian/perkebunan.

Kondisi ini diperparah oleh dampak krisis dan perubahan politik yang terjadi dalam rentang waktu 1997-1999 sampai dengan diawal pemerintahan baru setelah runtuhnya rezim Soeharto. Mulai pertengahan tahun 1997, Negara-negara di Asia terkena dampak krisis ekonomi regional yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan dari semua Negara Asia yang terkena dampak krisis ekonomi tersebut, tidak ada yang keadaannya seburuk Indonesia (Sunderlin, 2003 dalam Resosudarmo dan Colfer 2003). Situasi ini menggiring kepada suatu kondisi dimana tingkat kemiskinan keseluruhan di Indonesia naik dari 11% pada tahun 1996 menjadi 14-20% pada tahun 1998 (Poppele et al., 1999 dalam Resosudarmo dan Colfer, 2003). Dari laporan yang ditulis oleh Poppele et al., tersebut diketahui bahwa analisis mengenai penyebab utama krisis ekonomi yang begitu buruk pada saat itu


(26)

adalah fakta bahwa tingginya tingkat korupsi selama masa kepemimpinan Soeharto yang membawa hutang swasta dalam dolar berkembang dengan pengawasan dan kontrol yang minim.

Pada saat terjadinya krisis banyak pengamat ekonomi dan pengambilan kebijakan menyatakan bahwa pertanian dan sektor pemanfaatan sumberdaya alam lainnya termasuk kehutanan akan memainkan peranan penting dalam mereduksi dampak kemunduran ekonomi dan akan menjadi pelopor tren positif pemulihan kondisi ekonomi nasional. Hal ini terbukti pada tahun 1997-1998, subsector kehutanan menunjukkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat. Tentu saja pertumbuhan ini berdampak kepada kondisi tutupan hutan, terutama perubahan yang disebabkan oleh peralihan pola-pola pertanian dan perkebunan kecil masyarakat yang tinggal/menetap di sekitar dan di dalam kawasan hutan yang hidupnya semakin bergantung kepada lahan dan hutan.

Pemerintah Indonesia memberlakukan sistem zonasi hutan yang mengklasifikasikan sebagian besar pulau di luar Jawa sebagai hutan Negara pada awal tahun 1980-an (Fay dan Sirait, 2003 dalam Resosudarmo dan Colfer, 2003). Lebih lanjut Fay dan Sirait menyatakan bahwa lebih dari 65 juta orang tinggal didalam kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan seluas kurang lebih 140 juta hektar (78% dari luas daratan Indonesia). Sistem zonasi kawasan hutan ini berakibat kepada maraknya pemberian izin konsesi Hak Pengusahaaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kawasan-kawasan lindung serta areal transmigrasi yang dilaksanakan pada jutaan hektar lahan masyarakat. Pemberian izin kepada banyak sekali konsesi pada waktu itu berdampak kepada timbulnya konflik penguasaan lahan antara konsesi dengan masyarakat yang terus berlanjut sampai dengan saat sekarang ini. Namun pada kenyataannya masyarakat hanya

sebagai “penonton” dari berbagai aktivitas pemanfaatan lahan dan hutan yang dilakukan oleh konsesi pemegang izin di areal yang diklaim oleh masyarakat sebagai kawasan adat/komunal.

Konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terus terjadi bahkan setelah era reformasi. Pada awal-awal reformasi masyarakat lebih berani untuk memberikan perlawanan dan menuntut kesetaraan hak dalam mengelola


(27)

3

sumberdaya alam termasuk hutan. Keberanian masyarakat adat/lokal pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik dalam negeri Indonesia yang membuat semua orang merasa memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dan memperoleh hak yang sama dalam berbagai aspek tidak terlepas dalam hal penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan hutan. Akibatnya kondisi tutupan hutan semakin memburuk, dari data yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) diketahui bahwa laju deforestasi pada rentang waktu 1996 sampai dengan 2002 adalah sebesar 2 juta hektar pertahun, lebih besar dari pada tahun-tahun sebelumnya dan merupakan tahun-tahun dengan laju deforestasi tertinggi Indonesia.

Pada tahun-tahun tersebut diatas juga merupakan masa dimana terjadi kemunduran pengelolaan hutan oleh konsesi HPH dimana banyak areal konsesi yang ditinggal oleh pemiliknya dikarenakan imbas krisis ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya. Keadaan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat lokal yang pada masa penguasaan HPH hanya menjadi penonton kegiatan ekspolitasi hutan. Masyarakat berusaha untuk mendapatkan kembali klaim terhadap kawasan hutan baik itu yang dilakukan oleh komunitas adat/komunal, maupun individu. Kawasan hutan pada waktu itu dianggap sebagai “open-access

resources” karena kawasan tersebut tidak lagi memiliki pengelola yang jelas. Tingginya laju deforestasi dan degradsi hutan, menempatkan Indonesia sebagai Negara pengemisi terbesar ketiga didunia, walaupun pernyataan tersebut masih menjadi perdebatan banyak kalangan. Nurrochmat dan Hasan (2010) menyatakan bahwa mengurangi laju dforestasi merupakan keharusan untuk mencegah berbagai macam dampak buruk terhadap lingkungan yang mungkin dapat ditimbulkan, namun tuduhan bahwa deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu sumber emisi karbon terbesar patut dipertanyakan, apakah faktanya demikian ataukah sebenarnya tidak lebih dari semacam mitos yang kebenarannya tidak didukung oleh argument yang kuat?. Namun terlepas dari perdebatan panjang antar berbagai pihak mengenai kondtribusi deforestasi dan degradasi hutan Negara-negara berkembang, percaturan kebijakan dan politik perubahan iklim dengan berbagai macam skema mitigasinya sekiranya dapat dijadikan momentum guna menata ulang pembangunan sektor kehutanan.


(28)

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian khusus adalah bagaimana distribusi pemanfaatan sumberdaya hutan dapat memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup masyarakat lokal, sehingga masyarakat lokal mendapatkan porsi yang jelas mengenai hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan/lahan. Permasalahan ini sudah pasti mengarah kepada kepastian tenurial seperti apa yang akan diperoleh masyarakat lokal untuk dapat turut ambil bagian secara legal formal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan/lahan.

1.2. Perumusan Masalah

Maraknya konversi kawasan hutan menjadi areal peruntukan lain menyebabkan Indonesia menjadi sorotan dunia terkait dengan tingkat emisi yang dihasilkan dari alih guna kawasan hutan tersebut. Lemahnya tata kelola kehutanan ditingkat tapak menyebabkan banyak kawasan hutan Negara dianggap sebagai

“sumberdaya tidak bertuan” / “open-access resources”. Tingginya minat berbagai kalangan termasuk masyarakat lokal terhadap perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman terhadap tutupan hutan dan lahan pada areal yang dianggap sebagai open-access area tersebut. Selain itu persepsi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan terhadap kawasan hutan juga mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong melakukan klaim terhadap lahan hutan guna mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini didorong oleh kondisi dimana masyarakat lokal selama ini hanya menjadi

“penonton” eksploitasi sumberdaya hutan yang dilakukan oleh perusahaan

HPH/HTI.

Kondisi diatas mendorong kepada perambahan dan okupasi kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit dalam beberapa dekade belakangan merupakan komoditas unggulan nasional. Sektor ini terbukti mampu mengangkat pendapatan Negara dari eksport crude palm oil (CPO) ke berbagai Negara terutama Negara-negara Eropa. Tingginya permintaan terhadap minyak sawit berdampak kepada kebutuhan lahan yang besar untuk pembangunan perkebunan dan pada akhirnya sangat berdampak kepada penurunan kualitas dan kuantitas tutupan hutan. Oleh masyarakat lokal, perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan dan terbukti dapat meningkatkan


(29)

5

penghasilan dan kesejahteraan keluarga, disamping sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar.

Perkebunan kelapa sawit mulai marak diusahakan semenjak awal tahun 1990-an. Pada mulanya perkebunan kelapa sawit dibangun oleh perusahaan sekala besar yang pada umumnya berintegrasi dengan program transmigrasi untuk mendapatkan tenaga kerja. Peserta program transmigrasi pada umumnya didominasi oleh etnis Jawa yang datang ke lokasi transmigrasi dengan tenure arrangement yang relatif berbeda dengan pola yang diterapkan oleh masyarakat lokal. Sejalan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit yang semakin maju, kehidupan para transmigran pun ikut berubah menjadi lebih mapan dibandingkan dengan masyarakat lokal. Dengan kehidupan yang relatif lebih mapan, maka timbul keinginan untuk menambah kapital (dalam hal ini tanah garapan untuk perkebunan sawit). Untuk mendapatkan tanah garapan baru bukanlah hal yang mudah bagi masyarakat transmigran mengingat para transmigran adalah pendatang yang tidak memiliki klaim lahan selain lahan pembagian dari program transmigrasi yang memang khusus diperuntukan bagi peserta transmigrasi seluas kurang lebih 2 hektar per kepala keluarga.

Untuk memenuhi kebutuhan akan lahan garapan baru, masyarakat transmigran pada akirnya membeli lahan-lahan hutan yang diklaim oleh masyarakat lokal dan kejadian ini terus berulang sehingga memberikan kontribusi besar terhadap laju deforestasi pada lokasi penelitian. Jual beli lahan/hutan (land market) tidak hanya terjadi diantara masyarakat transmigran dengan masyarakat lokal saja, namun juga terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang (spontaneous migrant) yang datang ke lokasi penelitian dengan swadaya dan bukan bagian dari program transmigrasi.

Terbentuknya institusi jual beli lahan/hutan (informal land market institution) atas kawasan hutan Negara ini semakin marak terjadi di areal penelitan (Hutan Produksi Terbatas – HPT, KPHP Unit 16, Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) yang selanjutnya akan disebut sebagai HPT-KPHP Unit 16. Interaksi masyarakat migrant yang haus akan lahan dengan masyarakat lokal yang


(30)

memiliki klaim atas kawasan hutan semakin lama semakin memberikan dampak yang besar terhadap laju deforestasi hutan di areal HPT-KPHP Unit 16.

Proses jual beli lahan/hutan tidak terjadi begitu saja. Sudah pasti hal tersebut dipicu oleh kondisi atau faktor-faktor yang memungkinkan proses jual beli tersebut dapat terjadi. Ketidak jelasan status kepemilikan lahan/hutan dapat dianggap sebagai salah satu pemicu proses jual beli lahan/hutan dapat terjadi. Masyarakat lokal tidak mendapatkan kepastian kepemilikan atas penguasaan lahan/hutan Negara yang mereka lakukan sehingga menjual lahan/hutan yang mereka klaim adalah salah satu cara untuk mendapatkan manfaat dari lahan/hutan. Oleh karena itu beberapa pertanyaan penelitian yang seharusnya dapat dijawab adalah: (1) apa saja penyebab deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi pada areal penelitian dan bagaimana dinamika peruabahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan rakyat terutama perkebunan karet dan kelapa sawit? (2) bagaimana pola penguasaan lahan/hutan (land/forest tenure arrangement) masyarakat migran (spontaneous migrant dan transmigrant) berinteraksi dengan pola penguasaan lahan/hutan masyarakat lokal sehingga membentuk institusi informal jual beli lahan kawasan hutan (land market informal institution)? (3) bagaimana seharusnya masyarakat mendapatkan kepastian wilayah kelola yang legal dan legitimate serta dapat berperan aktif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkelanjutan melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sehingga proses jual beli lahan/hutan dapat ditekan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui laju deforestasi dan degradasi hutan serta dinamika perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan rakyat terutama perkebunan karet dan kelapa sawit yang terjadi pada lokasi penelitian 2. Mengetahui proses terbentuknya institusi informal jual-beli lahan/hutan

(informal land market institution), siapa saja yang berperan dalam proses jual beli lahan/hutan dan apa peran masing-masing pihak tersebut dan


(31)

7

bagaimana proses jual beli lahan/hutan ini berkontribusi terhadap tingkat deforestasi dan degradasi hutan

3. Menggali potensi dan hambatan perluasan wilayah kelola masyarakat melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada lokasi HPT-KPHP Unit 16 sehingga dapat menjamin kepastian wilayah kelola masyarakat masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dirasa dapat memberikan manfaat kepada berbagai pemangku kepentingan. Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat praktis. Harapannya hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan dimana pelibatan aktif masyarakat dapat dilakukan dengan maksimal.

2. Manfaat keilmuan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya terutama bagi penulis dan bagi pihak-pihak lainnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Hutan sebagai open access resources mendapatkan tekanan dan permasalahan yang ditimbulkan oleh berbagai hal. Meningkatnya jumlah penduduk, migrasi, mundurnya minat investasi pada sector kehutanan, perebutan klaim atas kawasan hutan, lemahnya tata kelola pada tingkat tapak dan tidak ada pelibatan/partisipatif aktif masyarakata secara penuh merupakan permasalahan dan tekanan yang timbul terhadap kawasan hutan dan lahan.

Permasalahan-permasalahan tersebut diatas berdampak kepada perambahan dan konversi kawasan hutan. Selain itu dengan tidak jelasnya status kepemilikan lahan/hutan akibat dari perebutan klaim atas kawasan hutan menjadikan lahan/hutan menjadi komoditas jual beli. Tingginya tingkat migrasi yang datang


(32)

ke wilayah desa sekitar HPT-KPHP Unit 16 membuat kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Kondisi tersebut diatas berdampak kepada meningkatnya laju deforestasi hutan dalam sepuluh tahun terakhir.

Melihat kompleksitas permasalahan yang terjadi di tingkat lapangan HPT-KPHP Unit 16 maka sangat diperlukan usaha-usaha untuk membenahi tata kelola kehutanan. Pembenahan tata kelola kehutanan yang sangat penting dilakukan adalah pembenahan tata kelola tingkat tapak yang selama ini memang tidak pernah dilakukan. Selain itu pelibatan aktif masyarakat lokal dalam usaha pengelolaan hutan perlu mendapat perhatian khusus. Namun sama halnya dengan tempat-tempat lain hampir di seluruh Indonesia, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan banyak menghadapi tantangan terutama dari aspek tenurial, kepemilikan lahan, dan bagaimana masyarakat bisa mendapatkan kepastian akan wilayah kelola mereka.

Dari pengelompokan masalah yang sudah diuraikan diatas maka skema pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam hal ini Hutan Tanaman Rakyat (HTR) mendapat tantangan dalam implementasinya mengingat bahwa skema pengelolaan hutan oleh masyarakat yang paling mungkin untuk dilakukan di areal HPT-KPHP Unit 16. Saat ini di areal tersebut terdapat pencadangan HTR oleh Menteri Kehutanan seluas 2.280 ha. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada diagram alur dibawah.


(33)

9


(34)

(35)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keamanan dan Kepastian Tenurial

Menurut Arnot et al. (2011) keamanan tenurial adalah hal yang penting bagi pembangunan ekonomi dan harus diyakini sebagai suatu hal yang sangat fundamental didalam implementasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Secara lebih jauh dalam tulisannya Arnot et al., mencoba mengidentifikasi definisi keamanan tenurial dari berbagai penelitian terdahulu yang disajikan pada table berikut: Tabel 1. Berbagai Definisi Keamanan Tenurial (dimodifikasi dari Arnot et al.,

2011)

Peneliti Definisi Keamanan/Ketidak Amanan Tenurial Feder dan Onchan (1987) Adanya pengakuan legal terhadap kepemilikan lahan

(sertifikat tanah) Feder, Onchan dan

Chalamwong (1992)

Adanya ketidakpastian atas perubahan kebijakan pemerintah

Holden dan Yohannes (2002)

Adanya kemungkinan untuk kehilangan kepemilikan atas sebagian atau bahkan keseluruhan bagian dari satu lahan

Otsuka et.al. (2001) Kemungkinan untuk mempertahankan kepemilikan lahan

Owubah (2001) Kepercayaan diri atas hak yang dimiliki Place dan Otsuka (2000,

2001, 2002)

Kemungkinan untuk kehilangan hak kepemilikan lahan

Robinson (2005) Tidak jelasnya hak atas tanah Sjaastad dan Bromley

(1997)

Persepsi atas kemungkinan akan kehilangan hak-hak tertentu

Sjaastad dan Bromley (2000)

Resiko yang akan ditimbulkan oleh kehilangan hak atas sesuatu dan persepsi terhadap resiko tersebut Smith (2004) Adanya jaminan atas hak

Dari berbagai definisi diatas banyak alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat keamanan atau bahkan ketidak amananan atas suatu hak. Diantaranya adalah (1) apakah ada kepastian atas hak (lahan) dalam bentuk sertifikat (legal title to land)? (2) apakah ada kemungkinan untuk diusir/digusur dari suatu lahan (3) bentuk tenurial yang diterapkan oleh masyarakat dan lain sebagainya.

Arnot et al. (2011) menyatakan bahwa keamanan tenurial sudah pasti akan berbeda-beda pada setiap tempat dan kondisi. Misalnya saja, tenurial yang


(36)

cenderung dianggap paling aman adalah ketika seseorang memegang sertifikat kepemilikan atas suatu lahan. Namun pada tempat lain belum tentu pengakuan legalitas kepemilikan suatu lahan melalui sertifikat menjadi alat ukur yang pasti untuk menjamin keamanan tenurial. Deacon (1994, 1997) menyatakan bahwa kepastian hak legal tidak selalu berkorelasi postif dengan keamanan tenurial. Jika kepastian hak tersebut legal, formal dan diakui oleh Negara namun apabila terjadi ketidakstabilan kondisi didalam suatu Negara bukan tidak mungkin hak kepemilikan tersebut pada ujungnya menjadi tidak aman.

Beasley (1995) dalam Arnot (2011) menyatakan bahwa peningkatan keamanan atas hak milik akan berdampak kepada peningkatan investasi terhadap lahan. Nautiyal dan Rawat (1986) dalam Arnot ( 2011) menggunakan model untuk menunujukkan bahwa “tenure security, defined as the probability of a

forest tenure being renewed for an additional terms, would lead to increase

capital investment in firms timber processing plants”.

Sebaliknya, Oliviera (2008) menyatakan bahwa sudah banyak bukti empiris dari peneltian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ketidak amanan dan ketidak jelasan hak kepemilikan atas lahan berpotensi menciptakan konflik lahan (Alston et al., 1995, 1996; Mueller et al., 1994) dan deforestasi (Casse et al., 2004; Binswanger, 1991).

2.2. Migrasi, Informal Land Market dan Deforestasi

Propinsi Jambi merupakan salah satu propinsi di pulau Sumatera yang merupakan sasaran penempatan transmigrasi dari pulau Jawa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Miyamoto (2006) bahwa pulau Sumatera merupakan pulau dengan program penempatan transmigrasi terbanyak yaitu sekitar satu pertiga dati total populasi (540.000 dari 1.650.000 kk dari tahun 1968 sampai dengan 1993), dimana untuk propinsi Jambi khususnya tercatat kurang lebih 70.000 kk transmigran (290.000 jiwa) dari tahun 19967 sampai dengan 1995.

Banyak pihak yang berpendapat bahwa kegiatan migrasi baik itu transmigrasi yang merupakan program pemerintah dan migrasi spontan berkontribusi terhadap deforestasi suatu kawasan hutan. Pertanyaan pertama yang


(37)

13

mesti dijawab dalam hal ini adalah bagaimana sebenarnya migran bisa mendapatkan akses terhadap lahan hutan melalui jual beli lahan (Koczberski et. al. 2009).

Isu jual beli lahan hutan telah menjadi pusat perhatian didalam analisis ekonomi pembangunan. Colin dan Ayouz (2006) menyatakan bahwa dalam konteks yang sering terjadi di benua Afrika, jual beli lahan hutan biasanya berkaitan dengan perubahan status tanah-tanah adat menjadi tanah-tanah pribadi/privat. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa land market pada umumnya banyak terjadi pada lahan-lahan komunal dimana pengawasan dan manajemen atas kawasan tersebut tidak tertata dengan baik, sehingga memberikan celah untuk diperjual belikan oleh kelompok atau individu tertentu (Deininger et al. 2011).

Beberapa penelitian di Indonesia juga telah banyak mendokumentasikan bahwa proses jual beli lahan/hutan kepada para petani migran adalah untuk kepentingan membangun perkebunan bebebapa komoditas unggulan seperti coklat di Sulawesi dan kelapa sawit di Sumatera (Ruff dan Yoddang, 1999; Elmhirst, 2001; Li, 2002; Potter dan Badcock, 2004 dalam Koczbersky et. al. 2009). Lebih lanjut Li (2001) dalam Koczbersky et. al. (2009) menjelaskan bahwa proses jual beli lahan-lahan klaim komunal disebabkan oleh ketidak-jelasan status legal formal dari kawasan klaim komunal itu sendiri dimana kepala desa/suku dengan otoritas pengaturan sumberdaya termasuk lahan/hutan yang dimilikinya berhasil meniadakan atau bahkan mengusir pemilik tanah-tanah adat.

2.3. Hutan Sebagai Sumberdaya Milik Bersama (Common Property Resources) dan Open-Access Resources

Penggunaan kata sumberdaya milik bersama (common-property resources) adalah terminologi yang sering digunakan untuk merujuk kepada sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah atau sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun dan terminology ini juga merujuk kepada sumberdaya yang dimiliki oleh komunitas pengguna sumberdaya tersebut (Schalager dan Ostrom, 1992). Lebih lanjut Schalager dan Ostrom (1992) menyatakan bahwa terminology sumberdaya milik bersama merujuk kepada segala bentuk sumberdaya yang dimanfaatkan oleh


(38)

individu-individu yang tanpa memperhatikan tipe hak kepemilikan (type of property rights) yang dimiliki.

Ostrom (1977) dalam Ardi (2011) menyatakan bahwa nilai dan tujuan suatu sumberdaya alam dapat interpretasikan berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai private goods, club goods, common goods

dan public goods, dimana pembagian ini akan berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk pengelolaannya.

Tabel 2. Tipologi Barang dan Jasa

(Sumber: Ostrom, 2007 dalam Ardi, 2011)

Jenis Sumberdaya Pengguna

Excludable Non-Excludable Substractable Private Goods Common Pool Goods Non-Substractable Club Goods Public Goods

Menurut Ardi (2011), dalam setiap tipologi mengandung sifat yang melekat pada barang dan jasa tersebut. Sifat tersebut merupakan atribut yang sepatutnya disertakan kedalam sifat-sifat lain dari barang dan jasa yang sedang dibicarakan. Terdapat dua faktor yang menentukan atribut tersebut:

1. Sifat rivalitas/persaingan (rivalry) atas barang dan jasa. Dalam hal ini apabila barang dan jasa dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai private goods

(misalnya air kemasan, kayu, ikan, dll) dan common pool goods (misalnya danau, sungai, hutan, dll). Sebaliknya apabila dimanfaatkan seseorang tetapi dalam jangka pendek tidak mengurangi jumlah yang terssedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai club goods (misalnhya air PDAM, dll) dan public goods (misalnya udara, keamanan, dll).

2. Sifat pengguna (excludability) barang dan jasa. Apabila pengguna barang dan jasa dipisahkan satu dari yang lain, maka private goods dan club goods termasuk didalamnya. Sedangkan apabila pengguna tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, maka common pool goods dan public goods masuk didalamnya. Dalam common pool goods, dapat terjadi fenomena open access sebagaimana dalam public goods, apabila


(39)

15

kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan (free rider).

Sejatinya semberdaya milik bersama adalah sumberdaya yang dapat dimiliki oleh masyarakat, baik sebagai pemanfaat maupun sebagai penghasil. Sumberdaya milik bersama dapat berada pada suatu lokasi yang tetap seperti hutan atau dapat pula bergerak atau berpindah-pindah seperti satwa liar.

Hutan sebagai suatu sumberdaya alam sering dikategorikan sebagai

common property dan open-access resources. Namun Ciriacy-Wantrup dan Bishop (1975) dalam Ostrom (2000) menyatakan bahwa ada tanda batas yang jelas antara rezim kepemilikan sumberdaya yang open-access dimana tidak ada satu individupun yang mempunyai hak yang legal untuk melarang individu lain untuk menggunakan sumberdaya yang sama, dengan common property, dimana anggota kelompok dengan keanggotaan yang jelas dan hak yang legal dapat melarang individu lain yang bukan anggota kelompok untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada.

Fenomena common property dan open access resources ini terjadi pada pengelolaan hutan. Dimana pada suatu kondisi hutan dapat dipandang sebagai

common property apabila ada hak-hak komunal yang melekat pada hutan tersebut, dan juga pada suatu kondisi tertentu hutan menjadi open-access resources karena tidak ada pengelola yang jelas sehingga dapat dimafaatkan oleh siapa saja.

Menurut Hardin (1968), sumberdaya milik bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya bagi semua (tragedy of the commons). Hal ini terjadi karena semua pihak yang memanfaatkan sumberdaya akan berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut semaksimal mungkin dan pada akhirnya terjadi over eksploitasi yang berdampak kepada rusaknya atau turunnya daya dukung sumberdaya yang dimanfaatkan tersebut.

Hardin (1968) berpendapat bahwa untuk menghindari tragedy of the commons maka dibutuhkan pengaturan social yang bersifat memaksa yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa (coercion) yang dimaksud disini adalah mutual coercion, yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut.


(40)

Oleh karena itu Hardin menawarkan pengalihan status sumberdaya bersama menjadi private property.

Menurut Ostrom (2000), common-pool resources dapat dimiliki oleh nasional, regional, atau pemerintah lokal; oleh kelompok-kelompok komunal; oleh individu atau korporasi;atau digunakan sebagai open-access resources oleh siapa pun dapat memperoleh akses.

2.4. Hak Kepemilikan (Property Right) Atas Sumberdaya Alam

Hak kepemilikan (property right) adalah adalah wewenang untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan domain yang spesifik (Hardin, 1986; Hardin, 1986 dalam Ostrom 1992). Bromley dan Cernea (1989) dalam Ardi (2011) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut.

Schlager dan Ostrom (1992) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan hak atas sumberdaya milik bersama, bentuk hak yang paling relevan adalah hak

access dan hak withdrawal. Seseorang dengan hak access dan withdrawal yang dimilikinya bisa saja mendapatkan hak yang lebih. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya milik bersama maka pilihan kolektif mengenai hak kepemilikan termasuk didalamnya hak management, exclusion, dan alienation.

Kelima hak tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Access (hak akses), yaitu hak untuk memasuki suatu area sumberdaya dan menikmati manfaat non ekstraktifnya;

2. Withdrawal (hak pemanfaatan), yaitu hak untuk memanfaatkan produk dari suatu sumberdaya;

3. Management (hak pengelolaan), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal atau mengubah sumberdaya dengan melakukan perbaikan-perbaikan;

4. Exclusion (hak eksklusi), yaitu hak untuk mementukan siapa yang bisa mendapatkan hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dapat dialihkan (menentukan keikutsertaan pihak-pihak lain);


(41)

17

5. Alienation (hak pengalihan), yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif diatas.

Berdasarkan bentuk hak sepertiyang telah dijelaskan diatas, Schlager dan Ostrom kemudian mendefinisikan kelompok yang mempunyai hak kepemilikan dari pemegang hak tertinggi sampai yang paling rendah, yaitu owners, proprietor, Claimant dan authorized user.

Tabel 3. Hak Kepemilikan Berdasarkan Posisi Kelompok Pemanfaat Sumberdaya Alam

(Sumber: Schlager dan Ostrom, 1992)

Owner Proprietor Claimant

Authorized User Akses dan

Pemanfaatan X X X X

Pengelolaan X X X

Eksklusi X X

Pengalihan X

Oliviera (2008) menyatakan bahwa sudah banyak bukti empiris dari peneltian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ketidak amanan dan ketidak jelasan hak kepemilikan atas lahan berpotensi menciptakan konflik lahan (Alston et al., 1995, 1996; Mueller et al., 1994) dan deforestasi (Casse et al.,

2004; Binswanger, 1991). Kemudian, Magrat (1989) dan Stevenson (1991) dalam Ardi (2011) menyatakan bahwa apabila hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas, maka tindakan pengurasan sumberdaya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong ke arah pemanfaatan yang berkelanjutan.

Studi lain juga menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang tidak jelas cenderung berakibat kepada terjadinya penebangangan hutan sebagai cara strategis untuk mengklain hak kepemilikan lahan (Anderson dan Hill, 1999, Mendelson, 1994 dalam Ardi, 2011; Angelsen, 1999).

Salah satu fokus dari banyak literatur berbagai riset sosial dengan berbagai latar belakang adalah untuk mengeksplorasi factor-faktor penting yang mempengaruhi perubahan didalam rezim hak kepemilikan (Oliviera, 2008). Factor-faktor tersebut menurut Oliviera (2008) adalah intervensi pemerintah (Engel dan Palmer, 2006), kelangkaan sumberdaya alam (Feder dan Feeny, 1991),


(42)

harga dan eksternaliti (Demsetz, 1967), kepadatan penduduk dan migrasi (Otsuka

et al., 2003; Feder dan Feeny , 1991), labour market (Nelson et al., 2001), kekuatan politik (May, 1990; Ensminger dan Rutten, 1991) dan perubahan teknologi (Libecap, 1989).

Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, Hanna et al., (1996) dalam Ardi (2011) menjelaskan empat tipe rezim kepemlikian, yaitu: (1) pemilikan individu (private property), (2) pemilikan bersama (common property), (3) pemilikan Negara (state property), (4) akses terbuka (open-access). Karakteristik masing-masing rezim tersebut dijelaskan pada table berikut.

Tabel 4. Tipe Rezim Hak Kepemilikan

(Sumber: Hanna et al., 1996 dalam Ardi, 2011)

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik Pemilikan

individu

Individual Penggunaan diterima secara sosial;

mengendalikan akses

Menghindari

penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial

Pemilikan bersama

Kolektif Mengeluarkan yang bukan pemilik

Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan Pemilikan negara Warga

negara

Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial

Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada

2.5. Legal Pluralisme

Legal pluralisme merujuk kepada koeksistensi dan interaksi dari beberapa hukum/peraturan/norma yang berlaku dalam lingkungan sosial atau bidang kehidupan sosial (Meinzen-Dick dan Pradhan, 2002) atau mekanisme hukum/peraturan/norma yang berbeda diterapkan pada satu situasi yang sama (Vanderlinder, 1989 dalam Meinzen-Dick dan Pradhan, 2002). Koeksistensi beberapa hukum/peraturan/norma tersebut didalam suatu bidang kehidupan tidak berarti hukum/peraturan/norma tersebut berada dalam posisi yang sama/sejajar satu sama lainnya (memiliki tingkat kekuatan yang berbeda-beda).

Dalam beberapa konsep, terutama dalam konsep hubungan Negara dengan masyarakat lokal, hukum Negara biasanya lebih kuat dan digunakan oleh para


(43)

19

pengambil keputusan (pejabat Negara), misalnya saja dalam menetapkan hutan sebagai state property.

Gambar 2. Koeksistensi dan Keberadaan Beberapa Hukum/Peraturan/Norma Yang Berlaku Pada Tataran Sosial Masyarakat

(Sumber: Meinzen-Dick dan Pradhan, 2002)

Meskipun sistem hukum adat biasanya dipandang lebih rendah kekuatannya apabila dibandingkan dengan hukum negara, koeksistensi sistem paralel dapat menciptakan (von Benda-Beckmann 1981 dalam Meinzen-Dick dan Pradhan, 2002), di mana aktor mencari dan menggunakan sistem hukum yang paling mendukung kepentingan mereka. Dalam pengelolaan sumberdaya alam secara khusus, juga dapat mengakibatkan apa yang disebut oleh Onibon et al.,

(1999) sebagai "dualisme steril," dimana negara memberlakukan hukum dan peraturan yang hanya tidak dapat dipraktekan dan tidak sesuai dengan kebiasaan setempat - maka aturan tersebut akan diabaikan, sementara masyarakat setempat dikriminalisasi (Benjamin, 2008).

Norma-norma yang ada pada masyarakat lokal bisa saja berbentuk hukum adat, hukum komunal, norma agama tertentu dan lain sebagainya dimana norma-norma tersebut cenderung bertentangan (terutama dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam) sehingga pada suatu waktu menimbulkan konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk lahan dan hutan (von Benda-Beckmann, 2002 dalam Meinzen-Dick dan Pradhan, 2002). Menurut Meinzen-Dick dan Pradhan (2002) dalam konteks legal pluralism, setiap individu dapat


(44)

menggunakan lebih dari satu hukum/peraturan/norma yang berlaku untuk merasionalisasi dan menglegitimasi keputusan atau tingkah laku mereka.

Pendekatan yang dilakukan oleh Wiber (1992) sebagaimana dijelaskan didalam Meinzen-Dick dan Pradhan (2002) menyatakan hak kepemilikan dapat didefinisikan sebagai klaim untuk menggunakan atau mengontrol sumber daya oleh individu atau kelompok yang diakui secara sah oleh sebuah kolektivitas yang lebih besar dan yang dilindungi melalui hukum. Individu atau kelompok (pengguna, masyarakat, korporasi, negara, dll) dapat menegaskan klaim dari berbagai jenis sumber daya seperti hak untuk menggunakan sumber daya, memperoleh penghasilan dari sumberdaya tersebut, hak untuk mengontrol menggunakan dan membuat aturan mengenai penggunaan sumber daya dan penggunanya, serta hak untuk mentransfer sumberdaya kepada pihak lain melalui penjualan, sewa, hadiah, atau warisan. Tidak cukup hanya dengan melakukan/menegaskan klaim atas suatu sumberdaya sumber daya, kecuali klaim tersebut dapat diterima oleh kolektivitas yang lebih besar atau bahkan sebaliknya, klaim tersebut tidak akan diterima dan diakui. Hal ini menjadi jelas terlihat disaat terjadi konflik yang disebabkan oleh klaim sumberdaya.

Lebih lanjut Meinzen-Dick dan Pradhan (2002) juga menyatakan hak kepemilikan tidak hanya berpengaruh kepada siapa yang boleh untuk memanfaatkan suatu sumberdaya alam tertentu, dengan cara apa pemanfaatan itu dilakukan, tapi juga mendorong masyarakat untuk berinvestasi dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya alam dari waktu ke waktu.

2.6. Hutan Tanaman Rakyat

Terdapat beberapa bentuk mekasnisme pengelolaan hutan oleh masyarakat yang ditawarkan oleh Negara seperti hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa dan hutan tanaman rakyat (HTR). Mekanisme pengelolaan kolaboratif tersebut dibuat oleh Negara sebagai bentuk untuk mengakomodasi keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Program HTR misalnya, dicanangkan oleh pemerintah pada awal tahun 2007 berdasarkan PP No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana


(45)

21

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Selanjutnya program ini juga diatur lebih detail didalam Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 Jo Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) dalam Hutan Tanaman dan Permenhut No P.55/Menhut-II/2011.

Adapun tujuan program ini adalah untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam hal: (1) memperoleh pengakuan secara hukum dalam pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; (3) memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar (Pujiastuti, 2011).

Berdasarkan peraturan yang mengaturnya, HTR dapat dilaksanakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak serta letaknya diutamakan dekat dengan industry dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal pencadangan HTR. Kemudian bupati/walikota melakukan sosialisasi alokasi lahan yang telah ditetapkan di daerahnya kepada masyarakat (pasal 2 Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 Jo Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008 dan pasal 2 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011).

Izin pemanfaatan pada areal HTR berupa IUPHHK-HTR yang diberikan kepada perorangan atau koperasi (koperasi usaha mikro, kecil, menengah yang dibangun oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan). Luas lahan yang dapat diberikan kepada individu (kepala keluarga) adalah maksimal 15 ha dan bagi koperasi luasan areal HTR akan disesuaikan dengan kemampuan usahanya. Adapun letak areal yang diajukan untuk dijadikan areal HTR harus berada pada areal yang telah dicadangkan oleh menteri sebagai areal pencadangan HTR atau bupati dapat mengusulkan areal lain yang berada di luar areal pencadangan untuk ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HTR.

Pada pasal 11 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 dinyatakan bahwa syarat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR adalah:

1. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh perorangan :

a. foto copy KTP, sesuai dengan yang diusulkan pada saat pencadangan areal;


(46)

b. b. keterangan dari Kepala Desa bahwa pemohon berdomisili di desa tersebut;

c. c. sketsa areal yang dimohon.

2. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh koperasi : a. foto copy akte pendirian;

b. keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh masyarakat desa tempatan, bukan dari masyarakat luar desa bersangkutan;

c. beberapa desa tempatan sekitar hutan dapat membentuk satu koperasi HTR;

d. dalam hal di desa sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, sudah memiliki koperasi, koperasi tersebut dapat mengajukan permohonan IUPHHK HTR;

e. peta areal yang dimohon untuk luasan di atas 15 (lima belas) hektar dengan paling kecil skala 1:10.000.

3. Pembuatan peta dan/atau sketsa areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf e, difasilitasi oleh pendamping HTR. 4. Sketsa dan/atau Peta areal yang dimohon sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf e, antara lain memuat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, koordinat dan batas-batas yang jelas, dan berada dalam areal pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh Menteri.

Jenis tanaman yang dapat ditanam pada areal HTR diatur oleh pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 sebagai berikut:

Pasal 7:

1. Budidaya tanaman HTR dilaksanakan berdasarkan kondisi tapak, sosial ekonomi dan sosial budaya setempat.

2. Jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari:

a. tanaman sejenis; atau b. tanaman berbagai jenis.


(47)

23

3. Jenis tanaman pokok sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri satu jenis (species) dan varietasnya.

4. Jenis tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi. Tanaman budidaya tahunan paling luas 40% (empat puluh persen) dari areal kerja dan tidak didominasi oleh satu jenis tanaman.

Sedangkan pasal 8 mengatur sebagai berikut:

1. Dalam hal pengembangan hutan tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), terdapat tanaman campuran atau tanaman monokultur (sawit) yang telah ada, pemegang izin wajib mengembangkan tanaman kehutanan yang bercampur dengan tanaman yang sudah ada.

2. Dalam hal terdapat tanaman sawit di atas areal HTR dan berumur rata-rata diatas 3 (tiga) tahun, pemegang izin diberikan kesempatan mengembangkan tanaman sawit tersebut sampai umur 20 (dua puluh) tahun, dengan kewajiban menanam tanaman kehutanan sebagai batas petak dan blok.

3. Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata diatas 10 (sepuluh) tahun, wajib ditanami tanaman kehutanan sebagai tanaman sela menyebar dengan jumlah 400 pohon per hektar dan/atau dengan jarak 5 (lima) x 5 (lima) meter.

4. Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata 20 (dua puluh) tahun atau lebih, tanaman sawit harus ditebang dan diganti tanaman hutan dan tanaman sela sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selanjutnya dipelihara sampai umur masak tebang sesuai dengan jenis dan tapaknya.

5. Pemanfaatan hasil hutan tanaman sejenis dan tanaman berbagai jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), serta tanaman campuran atau tanaman monokultur sebagaimana dimaksud pada ayat


(48)

(1), diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Didalam pelaksanaan HTR sudah bdarang tentu terdapat hak dan kewajiban penyelenggara HTR sebagaimana diatur didalam pasal 22 dan 23. Pemegang IUPHHK-HTR berhak untuk melakukan kegiatan sesuai izin, mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan, bimbingan dan penyuluhan teknis serta mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industry dan memperoleh fasilitasi pemasaran hasil hutan. Sedangkan pasal 23 mengatur mengenai kewajiban pemegang IUPHHK-HTR, yaitu kewajiban untuk menyusun RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR, melaksanakan pengukuran dan perpetaan areal.

2.7. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan keniscayaan karena merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Nurrochmat dan Hasan, 2010). Terlepas dari hal tersebut diatas pada kenyataannya pembentukan KPH sampai dengan saat ini masih terhambat oleh beberapa permasalahan terutama menyangkut kelembagaan,

budgeting, pembagian kewenangan pemerintah pusat-daerah, sumberdaya manusia dan lain sebagainya.

Nurrochmat dan Hasan (2010) juga manyatakan bahwa pada dasarnya pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diharapkan dapat mendukung pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dan mensejahterakan. KPH yang

didasari pada konsep “pemangkuan” diharapkan dapat menjamin dilakukannya

penanganan hutan dan kawasan hutan dengan tanggung jawab penuh.

KPH diyakini dapat membuka akses yang lebih kepada masyarakat untuk sejajar dengan para pemangku kepentingan kehutanan lainnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Namun hal tersebut tidak bisa lepas dari

political will pemerintah terutama arah politik pemanfaatan sumberdaya hutan ditingkat daerah. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi yang disesuaikan dengan kondisi social budaya


(49)

25

masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan harapan ekonomi masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya (Kartodihardjo, Nugroho dan Putro, 2011)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas dan cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, izin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin untuk dilakukan.


(50)

(51)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di areal dengan fungsi kawasan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan luas kurang lebih 41.000 hektar. Kawasan ini merupakan bagian dari wilayah kelola KPHP unit XVI kabupaten Tanjung Jabung Barat. Selain itu untuk mendapatkan data-data yang kualitatif yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini juga dilakukan di empat desa yang dijadikan sebagai desa sampel. Desa-desa tersebut adalah desa Lubuk Kambing dan desa Lampisi yang merupakan bagian dari kecamatan Renah Mendaluh. Serta desa Lubuk Bernai dan Suban yang merupakan bagian dari kecamatan Batang Asam.

Desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban dipilih guna mendapatkan keterwakilan dari desa-desa lokal yang banyak didatangi oleh migran untuk membuka perkebunan rakyat baik itu perkebunan karet maupun kelapa sawit. Sedangkan desa Lampisi dipilih guna mendapatkan persespsi dari masyarakat murni pendatang (migrant) terhadap kawasan hutan dan lahan.

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan (preliminary research) dan penelitian menyeluruh. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan February sampai dengan April 2011 sedangkan penelitian menyeluruh baru dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2011.


(52)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Data dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data tutupan lahan lokasi penelitian tahun 1990, 2000 dan 2009 yang merupakan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM +7. Selain itu juga digunakan data-data primer hasil focus group discussion (FGD), wawancara dengan informan kunci (key informan) dan data-data hasil studi pustaka. Alat analisis kuantitatif yang digunakan adalah perangkat lunak ArcGIS 9.3, dan Microsoft Excell.

3.3. Jenis dan Sumber Data/Informasi

Data dan informasi yang dikumpulkan didalam penelitian ini meliputi data-data primer yang merupakan data/informasi yang didapat langsung dari lapangan maupun data sekunder. Data dan informasi yang dikumpulkan tersebut terdiri atas data-data kualitatif dan data kuantitatif. Data primer didapat melalui pendekatan focus group discussion dan wawancara dengan beberapa informan


(53)

29

kunci yang merupakan pemuka adat, aparatur desa, petani, tokoh pemuda, pejabat Dinas Kehutanan dan Bappeda serta pengamatan terhadap obyek-obyek di lapangan yang terkait dengan topic data penelitian.

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau telaah literature, dokumen, dan data/informasi spasial. Khusus penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif pada langkah awal analisa data. Yaitu dengan menggunakan data-data spasial penutupan lahan (land cover) dengan tiga time series data yaitu penutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2009 pada lokasi penelitian yang merupakan hasil interpretasi citra Landsat ETM+7 yang dilakukan oleh International Center for Research on Agroforestry (ICRAF). Data sekunder lainnya yang digunakan adalah laporan beberapa hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh ICRAF, laporan kegiatan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Jambi.

3.4. Metode Pengumpulan Data/Informasi 3.4.1. Data Kuantitatif

Dalam hal ini dilakukan analisa spasial (spatial analysis) guna menghitung laju deforestasi hutan dengan menggunakan data tutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2009 yang sebelumnya merupakan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM +7. Metode yang digunakan adalah ALUCT (Analisys of Land Use and Cover Trajectory). Jenis data yang dikumpulkan diantaranya disajikan pada table berikut.

Tabel 5. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam metode kuantitatif Ruang Lingkup Kelompok

Data

Jenis Data Sumber Data

Laju deforestasi dan degradasi hutan

Sekunder Time series data tutupan lahan tahun 1990, 2000, dan 2009.

ICRAF

Dinamika perubahan penggunaan lahan

Sekunder Time series data tutupan lahan tahun 1990, 2000, dan 2009.


(54)

Metode ALUCT yang digunakan merupakan metode yang dikembangkan oleh ICRAF adalah suatu pendekatan ilmiah dengan tujuan untuk menyediakan data spasial mengenai tutupan lahan (land cover) yang dapat diandalkan untuk melakukan perencanaan tingkat bentang lahan/landscape (ICRAF, 2010). Dalam metode ini dilakukan beberapa tahapan sebagaimana diperlihatkan pada gambar dibawah.

Gambar 4. Alur Kerja Pendekatan/Metode ALUCT (Analisys of Land Use and Cover Trajectory)

Dalam penelitian ini, data tutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2009 akan digunakan untuk menghitung laju deforestasi pada lokasi penelitian sebagai tahapan analisa awal sebelum melangkah kepada analisa berikutnya. Selain itu data tutupan lahan tersebut juga akan digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada tahun 1990 ke tahun 2000 dan dari tahun 2000 ke tahun 2009. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran preferensi penggunaan lahan yang dilakukan oleh petani dalam rentang waktu tersebut. Apabila merujuk kepada metoda atau pendekatan ALUCT maka proses analisa yang akan dilakukan berada pada langkah post-processing dimana hanya akan dilakukan penghitungan terhadap perubahan penggunaan lahan dan mencari


(55)

31

dinamika perubahan lahan yang terjadi (land-use/cover change and trajectories analysis).

3.4.2. Data Kualitatif

Secara umum penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Menurut Irawan (2006) penelitian kualitatif memiliki makna yang sangat kaya, dimana penelitian kualitatif sering disebut sebagai verstehen (pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas. Selain itu penelitian kualitatif juga disebut sebagai participant-observation

karena peneliti itu sendiri yang harus menjadi instrument utama dalam pengumpulan data dengan cara melakukan observasi langsung objek yang ditelitinya.

Lebih lanjut Irawan juga menyatakan bahwa penelitian kualitatif sertingkali disebut sebagai studi kasus karena objek penelitiannya seringkali bersifat unik, kasuistis, dan tidak ada duanya. Hal serupa juga dinyatakan oleh Sitorus (1998) dalam Ardi (2011) dimana studi kasus adalah strategi penelitian yang bersifat multi metode yang memadukan metode pengamatan, wawancara dan analisis dokumen.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka pelaksanaan penelitian ini bersifat eksploratif-deskriptif, maksudnya adalah mengeksplorasi penemuan fakta lapangan berdasarkan potensi maupun gejala faktual yang ada pada lokasi penelitian (Ardi, 2011). Irawan (2006) juga menyatakan bahwa penelitian kualitatif lebih tertarik kepada proses yaitu bagaimana mengkonstruksi cara berpikir, berbuat dan proses terjadinya suatu peristiwa. Dalam hal ini Irawan lebih lanjut menegaskan bahwa dalam peneltian kualitatif, proses lebih diutamakan daripada hasil.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara dan telaah dokumen. Menurut Sitorus (1998) dalam Ardi (2011) dengan memadukan sedikitnya tiga metode, misalnya pengamatan, wawancara, dan analisa dokumen maka satu dan lain metode akan menutupi kelemahan sehingga tangkapan atas


(56)

realitas social menjadi lebih valid. Dengan kata lain penggunaan teknik observasi, wawancara dan telaah dokumen sebagai teknik untuk mengumpulkan data juga sebagai sarana yang dapat digunakan untuk validasi data yang dihasilkan.

Menurut Ardi (2011), untuk mendapatkan data dan informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka dilakukan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan sebagai berikut:

1. Wawancara terstruktur (interview), dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi dari kelompok sasaran yang telah ditetapkan. Menurut Irianto et al., (2006) dalam Ardi (2011), wawancara terstruktur adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (yang menjawab pertanyaan).

2. Wawancara mendalam (in-depth interview), dimaksudkan untuk mengetahui aspek-aspek kualitatif secara lebih mendalam dan komprehensif. Menurut Sudikan (2007) dalam Ardi (2011) wawancara mendalam bersifat terbuka. Pelaksanaan wawancara tidak hanya satu kali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Untuk itu sasaran wawancara mendalam ini adalah informan kunci (key informan) yang memiliki kompetensi dengan kajian yang tengah ditelaah. Penentuan informan kunci menurut Sudikan (2006) dalam Ardi (2011) harus melalui beberapa pertimbangan, diantaranya: 1) orang yang bersangkutan memliki pengalaman pribadi yang seusia dengan permasalahan yang diteliti; 2) orang yang bersangkutan memliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti. Data dan informasi yang dikumpulkan melaui pendekatan ini berkenaan dengan keseluruhan aspek kajian yang ditelaah, dimana data dan informasi yang dikumpulkan bersifat kualitatif.

3. Observasi lapangan (field observation), dimaksudkan untuk melihat langsung fenomena dan gejala perilaku objek penelitian, serta keberadaan dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Hasil kegiatan observasi ini bisa


(1)

Lampiran 1 (lanjutan)

Jenis tanah

Kedalaman lapisan 4 (mm)

BD lapisan 4

AWC lapisan 4

CBN lapisan 4

K lapisan 4

% Liat lapisan 4

% Debu lapisan 4

% Pasir lapisan 4

%batuan lapisan 4

ALB lapisan 4

USLE_K lapisan 4

1 -

- -

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

2 -

- -

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

3 -

- -

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

4 -

- -

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

5 1400 1,13

0,10

0,28

26,2

78,1

16,5

5,4 0 0,17

0,15

6 1400 1,13

0,10

0,28

26,2

78,1

16,5

5,4 0 0,17

0,15

7 1450 1,13

0,10

0,35

26,2

60,4

34,2

5,4 0 0,17

0,17

8 1030 1,13

0,17

1,43

26,2

15

26 59 0 0,17

0,37

9 -

- -

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

10 -

-

-

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

-

‐ 

6

8


(2)

Lampiran 1 (lanjutan)

Jenis tanah

Kedalaman lapisan 5 (mm)

BD lapisan 5

AWC lapisan 5

CBN lapisan 5

K lapisan 5

% Liat lapisan 5

% Debu lapisan 5

% Pasir lapisan 5

%batuan lapisan 5

ALB lapisan 5

USLE_K lapisan 5

1 - -

- - -

-

- - - - -

2 - -

- - -

-

- - - - -

3 - -

- - -

-

- - - - -

4 - -

- - -

-

- - - - -

5 1700 1,13

0,10 0,25

26,2

74,4

18,8 6,8 0 0,17 0,16

6 1700 1,13

0,10 0,25

26,2

74,4

18,8 6,8 0 0,17 0,16

7 1600 1,13

0,10 0,28

26,2

55,1

37,3 7,6 0 0,17 0,21

8 - -

- - -

-

- - - - -

9 - -

- - -

-

- - - - -

10 - -

- - -

-

- - - - -


(3)

Lampiran 2 Input parameter iklim

No Parameter

Januari

Februari

Maret

April Mei Juni Juli

Agustus September Oktober Nopember Desember

1 TMPMX

24,79 25,42 25,66 26,34

26,62 26,42

26,39 26,67 27,07 26,98 26,29

25,46

2 TMPMN

18,20 18,34 18,53 18,71

18,66 18,08

17,44 17,22 17,40 17,90 18,32

18,68

3 TMPSTDMX 2,00 1,91 1,27 1,13 1,12 1,07 0,92 0,99

1,18

1,34

1,34

1,41

4 TMPSTDMN 0,74 0,71 0,63 0,72 0,91 0,94 0,98 1,04

0,94

0,99

0,88

0,90

5 PCPMM

470,37 535,87 358,25 269,43 206,10 126,17

48,42 86,77 121,55 254,30

308,85 359,80

6 PCPSTD

21,62 28,52 15,76 13,50

11,58 12,11

6,45 8,89

9,28

14,25 16,29

15,45

7 PCPSKW

2,28 4,02 2,06 2,24 2,55 6,04 7,22 4,79

3,59

2,46

2,78

2,46

8 PR_W1

0,47 0,57 0,70 0,59 0,42 0,31 0,16 0,16

0,28

0,44

0,68

0,78

9 PR_W2

0,85 0,92 0,83 0,71 0,71 0,56 0,48 0,56

0,59

0,66

0,81

0,80

10 PCPD

23,83 24,33 24,83 21,00

18,67 12,00

7,67

8,00

12,17

17,00

23,17

25,67

11 RAINHHMX

125

125

125

125

125

125

125

125

125

125

125

125

12 SOLARAV

13,67 12,94 14,41 14,98

14,62 15,00

15,94 17,44

18,59

17,99

14,90

13,07

13 DEWPT

17,79 18,23 17,95 18,14

18,03 17,33

16,61 16,43

16,65

17,42

18,15

18,20

14 WNDAV

1,73

1,57

1,68 1,61 1,56 1,59 1,73

1,67

1,77

1,66

1,48

1,45

Keterangan: suhu maksimum rata – rata harian pada satu bulan tertentu selama n tahun (TMPMX ),suhu minimum rata – rata pada satu bulan tertentu selama n tahun (TMPMN), standar deviasi suhu maksimum harian (TMPSTDMX ), standar deviasi suhu minimum harian (TMPSTDMN), curah hujan rata – rata (PCPMM), standar deviasi untuk curah hujan harian (PCPSTD), koefisien skew untuk curah hujan harian dalam satu bulan (PCPSKW), perbandingan kemungkinan hari basah ke hari kering dalam satu bulan dengan jumlah hari kering dalam satu bulan (PR_W1), perbandingan kemungkinan hari basah ke hari basah dengan jumlah hari basah selama satu bulan (PR-W2), jumlah hujan rata – rata pada bulan tertentu selama n tahun (PCPD), curah hujan maksimum 0,5 jam selama 1 bulan (RAINHHMX), radiasi surya (SOLARAV), titik beku (DEWPT), kecepatan angin (WNDAV)

70


(4)

Lampiran 3 Luas sub sub DAS Ciliwung Hulu hasil delineasi model

No DAS

Nama Sub DAS

Luas (Ha)

% DAS

1 Katulampa

1.167,75

8,15

2 Ciesek

1

366,30

2,56

3 Ciesek

2

962,19

6,72

4 Ciesek

3

1.055,34

7,37

5 Ciseuseupan

1

212,49

1,48

6 Ciseuseupan

2

119,70

0,84

7 Ciseuseupan

3

103,41

0,72

8 Ciseuseupan

4

376,83

2,63

9 Cisarua

1

1302,48

9,09

10 Cisarua

2

320,13

2,23

11 Cisarua

3

328,95

2,30

12 Cisarua

4

298,44

2,08

13 Cisarua

5

423,27

2,95

14 Ciseuseupan

5

704,52

4,92

15 Cisukabirus

1

45,90

0,32

16 Tugu1

742,05

5,18

17 Cisukabirus

2

333,99

2,33

18 Cisukabirus

3

400,41

2,80

19 Tugu

2

525,85

5,67

20 Cibogo

1

972,99

6,79

21 Cisukabirus

4

352,35

2,46

22 Tugu

3

647,64

4,52

23 Cibogo

2

328,32

2,29

24 Cisukabirus

5

310,05

2,16

25 Cibogo

3

344,52

2,40

26 Cisukabirus

6

600,21

4,19

27 Cibogo

4

289,17

2,02

28 Cibogo

5

404,46

2,82


(5)

Lampiran 4.

Overland flow

(aliran permukan langsung) tiap sub sub DAS Ciliwung Hulu

No Sub sub DAS

Penggunaan Lahan Luas (ha) Aliran Permukaan (mm)

2008 2009 2011

1 Kebun campuran 1.167,75 2.490,83 2.260,93 1.771,78 2 Teh 366,30 1.950,61 1.709,22 1.293,51 3 Hutan sekunder, teh 962,19 1.938,01 2.384,43 1.252,20 4 Kebun campuran 1.055,34 2.510,71 2.269,18 1.782,60 5 Kebun campuran, Tegalan/Ladang 212,49 2.513,86 2.264,93 1.783,50 6 Kebun campuran, Tegalan/Ladang 119,70 2.495,60 2.255,15 1.772,71 7 Permukiman, Tegalan/Ladang 103,41 2.020,49 1.751,96 1.393,52 8 Kebun campuran 376,83 2.472,20 2.251,86 1.761,23 9 Permukiman, Tegalan/Ladang 1302,48 1.849,14 1.960,69 1.295,64 10 Hutan sekunder, teh 320,13 1.927,48 2.379,14 1.244,39 11 Hutan sekunder, teh 328,95 1.935,17 2.384,41 1.250,30 12 Kebun campuran, teh 298,44 1.943,15 2.374,69 1.295,83 13 Kebun campuran 423,27 1.798,51 2.213,46 1.140,31 14 Kebun campuran 704,52 2.456,96 2.243,70 1.752,04 15 Kebun campuran 45,90 2.147,26 2.308,15 1.506,76 16 Teh 742,05 1.931,33 2.360,69 1.238,52 17 Kebun campuran, Tegalan/Ladang 333,99 1.544,24 1.658,06 1.029,83 18 Kebun campuran, Tegalan/Ladang 400,41 1.586,55 1.704,43 1.063,19 19 Hutan sekunder, teh 525,85 1.560,93 1.930,00 985,03 20 Kebun campuran 972,99 1.832,32 1.969,75 1.256,63 21 Kebun campuran, Tegalan/Ladang 352,35 1.513,70 1.628,46 1.005,71 22 Hutan sekunder, Tegalan/Ladang 647,64 1.268,45 1.594,22 774,09 23 Hutan primer, Tegalan/Ladang 328,32 1.306,01 1.394,72 862,33 24 Hutan sekunder, Tegalan/Ladang 310,05 1.000,50 1.090,52 643,18 25 Hutan sekunder, Tegalan/Ladang 344,52 1.130,24 1.223,59 734,72 26 Hutan sekunder, Tegalan/Ladang 600,21 1.065,39 1.156,93 688,80 27 Hutan sekunder 289,17 820,03 907,69 514,50 28 Hutan sekunder 404,46 1.039,86 1.333,49 614,07


(6)

Lampiran 5. Aliran permukaan setelah aplikasi teknik konservasi tanah

No Sub sub DAS

Aliran permukaan tahun 2008 (mm) Aliran permukaan tahun 2009 (mm) Aliran permukaan tahun 2011(mm) Teras

bangku Kontur

Penanaman strip

Agroforestri Teras bangku Kontur

Penanaman strip

Agroforestri Teras bangku Kontur

Penanaman strip

Agroforestri 1 773.67 1.015,85 890,12 506,86 734,98 615,44 414,97 583,98 595,38

2 1.015,09 746,69 576,66 3 1.310,75 1.644,20 810,69 4 771,88 1.010,59 886.71 504,26 729,77 611,11 412,22 579,62 491,64

5 775,98 1.071,24 892,02 506,99 733,92 614,50 416,87 585,28 496,78 6 766,61 1.009,49 882,89 498,97 725,95 606,57 412,04 580,23 491,76 7 1.154,77 1.279,65 1.214,92 884,73 1002,57 940,59 715,31 802,77 756,92 8 740,42 980,17 854,68 477,38 700,37 582,96 393,94 558,94 471,87 9 755,35 900,70 824,57 827,20 979,73 899,78 518,04 608,69 561,01

10 1.353,57 1.700,43 842,29 11 1.337,86 1.679,74 829,26 12 869,66 997,94 931,12 1.102,04 1.252,89 1.174,29 524,10 599,92 559,69

13 642,33 892,34 762,27 831,88 1.127,83 973,69 366,11 512,26 434,66 14 728,07 968,10 842,15 466,46 688,38 571,60 386,47 550,47 463,85 15 469,85 680,28 569,82 531,79 755,90 638,72 315,78 446,57 377,59

16 945,60 1.198,06 543,79 17 474,58 686,78 575,77 532,47 756,63 639,48 318,99 449,59 380,92

18 487,66 702,90 590,46 546,76 774,26 655,46 326,75 459,50 389,77

19 1.334,43 1.661,95 828,75 20 475,28 1.201,55 576,00 535,89 1.504,60 642,90 318,51 724,34 380,37

21 481,89 695,28 583,52 540,93 766,90 648,49 323,32 454,88 385,51