5.2. Perubahan Pola Penguasaan Lahan
Di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa pemerintahan kolonial Belanda sudah dikenal tiga pola penguasaan lahan yaitu penguasaan adat, penguasaan
kaum, dan penguasaan pribadi. Meskipun secara aturan adat, wilayah desa berada dalam penguasaan dua unsur pimpinan adat Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo,
namun aturan adat juga memberikan ruang untuk penguasaan pribadi. Penguasaan adat communal property, yaitu sumberdaya yang dikuasai
oleh sekelompok masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal Bromley dalam Satria 2009. Penguasaan adat yang ada di Desa Baru
Pangkalan Jambu hingga saat ini masih diakui oleh masyarakat setempat, aturan mengenai pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya lahan diatur dalam aturan
adat. Ada dua aspek yang pokok yang diatur terkait penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu yakni aspek pengaturan hak kepemilikan dan
kewajiban membayar pungutan terhadap hasil pemanfaatan lahan tersebut. Aspek yang diatur oleh adat tidak hanya berupa pemanfaatan lahan namun juga pada
pemanfaatan sungai, sawah, serta kawasan hutan. Penguasaan kaum, yang dimaksud dengan penguasaan kaum disini adalah
bentuk penguasaan keluarga, dalam pengertian masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mengenai penguasaan kaum adalah suatu bentuk penguasaan keluarga
secara turun-menurun, artinya sumberdaya lahan tersebut tidak dimiliki oleh perorangan melainkan keluarga. Bentuk penguasaan kaum keluarga di Desa
Baru Pangkalan Jambu biasanya berbentuk sawah ataupun kebun. Bentuk penguasaan kaum ini menurut warga desa umumnya berasal dari warisan keluarga
terdahulu, yang kemudian dalam pengelolaannya dilakukan oleh ahli warisnya secara bergantian.
Penguasaan individu, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat
oleh negara selain itu juga hak kepemilikan ini bersifat temporal dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh negara Bromley
dalam Satria 2009. Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya
atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia
masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Pada umumnya penguasaan individual ini muncul disebabkan oleh: 1 pembukaan
tanah yang diikuti oleh pemanfaatannya secara intensif dalam jangka waktu yang panjang, 2 pewarisan dan 3 transaksi yang menyebakan peralihan hak secara
permanen atau temporal. Transaksi di sini umumnya meliputi jual-beli, sewa- menyewa atau bagi-hasil yang kemudian masing-masingnya diatur menurut
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu terjadi
setelah masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa dengan munculnya klaim negara terhadap kawasan hutan yang sebagian merupakan
wilayah yang dianggap masyarakat sebagai bagian dari wilayah desa. Pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari masa pemerintahan
kolonial Belanda hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pola Penguasaan Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa Pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang
MASA BELANDA 1942 SAMPAI MASA KEMERDEKAAN 1945
– 1969 MASA LOGGING 1970
– 1997 SAMPAI MASA REFORMASI 1998
– 2012 -
Penguasaan adat -
Penguasaan pribadi -
Penguasaan kaum -
Penguasaan adat -
Penguasaan pribadi -
Penguasaan kaum -
Penguasaan negara
Perubahan pola penguasaan lahan seperti diperlihatkan pada Tabel 5 dengan munculnya penguasaan negara terhadap kawasan hutan merupakan bentuk
dari pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang meredefinisi wilayah desa terbatas pada ruang kelola warga desa. Kawasan hutan yang belum
diakses oleh warga desa kemudian diklaim sebagai wilayah dalam penguasaan negara. Di sisi lain, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
terbatasnya lahan yang bisa diakses untuk dijadikan lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan milik pribadi dimana kemudian
masyarakat mengembangkan sistem bagi hasil dan pinjam. Warga desa yang tidak memiliki lahan garapan bisa meminjam lahan milik orang lain atau menggarap
lahan milik orang lain dengan cara bagi hasil. Kedua mekanisme ini berkembang
pasca masa illegal logging yaitu sekitar tahun 2000-an. Berikut akan digambarkan bagaimana perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan yang kemudian
berdampak pada hak masyarakat terhadap sumberdaya lahan.
Gambar diatas menunjukan perubahan penguasasan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu yang berbeda pada setiap masa, dimana awalnya
wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan wilayah penguasaan adat atau wilayah penguasaan marga, yang kemudian pada tahun 1979 dengan Undang
Undang No. 5 Tahun 1979 yang merubah sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi sistem Pemerintahan Desa.
Wilayah Penguasaan Pada Masa Pemerintahan Marga
Wilayah Penguasaan Pemerintahan Desa
Wilayah Penguasaan pasca ditetapkan sebagai TNKS
Teritori TNKS Teritori
Desa
Gambar 6. Perubahan Pola Penguasaan Lahan Sejak Masa Marga Sampai Saat Ini
Wilayah marga
Wilayah Desa
Pada sistem pemerintahan desa luas wilayah penguasaan tidak berubah dari sistem pemerintahan marga, namun yang berubah adalah sistem
pemerintahannya, yang mana pada masa pemerintahan marga aturan yang berlaku adalah aturan adat namun setelah berganti sistem pemerintahan berubah menjadi
aturan formal. Hal-hal yang menyangkut wilayah kekuasaan desa, aturan-aturan yang berlaku, termasuk penguasaan tanah adalah aturan-aturan negara Indonesia.
Pada masa pemerintahan desa ini, marga hanya menguasai sebagian kecil wilayah yang ada dalam Desa Baru Pangkalan Jambu, sehingga dalam hal ini hak-hak adat
terhadap sumberdaya alam semakin melemah. Terlebih lagi ketika ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS.
Pada saat Desa Baru Pangkalan Jambu ditetapkan menjadi Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1049Kpts-II1992
sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS, membawa dampak pada hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya khususnya sumberdaya hutan.
Terdapat dua teritori yang berbeda pasca ditetapkannya wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS yakni
wilayah penguasaan desa dan marga. Pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, hak-hak masyarakat desa terhadap sumberdaya alam semakin tergerus, artinya
masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu telah kehilangan hak terhadap sumberdaya alam yang ada di kawasan TNKS.
Penetapan kawasan TNKS menyebabkan hampir 50 persen wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu berubah menjadi kawasan TNKS. Perubahan status ini
membawa konsekuensi yang sangat penting bagi penduduk Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu hilangnya akses masyarakat desa terhadap sumberdaya dalam
kawasan TNKS. Dampak dari perubahan penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu
dengan adanya penguasaan kawasan hutan oleh negara menimbulkan sempitnya ruang gerak masyarakat desa. Berdasarkan informasi dari warga bahwa sejak
adanya penguasaan hutan oleh negara menyebabkan mereka tidak bisa lagi melakukan ekspansi lahan dan saat ini lahan-lahan yang tersedia di desa sudah
tidak sebanding dengan jumlah warga desa yang hampir semuanya hidup bertumpu dari aktivitas di bidang pertanian. Merujuk konsep Ostrom dan
Schlanger 1990 dalam Satria 2009 tentang hak-hak kepemilikan, maka dampak perubahan penguasaan sumberdaya lahan dapat dilihat pada tabel 6 berikut :
Tabel 6. Aktor, hak, dan status kepemilikan pada saat pemerintahan marga adat sebelum tahun 1979
Aktor Hak
akses Hak
Pemanfaatan Hak
Pengelolaan Hak
Eksklusi Hak
Pengalihan Status
Adat marga √
√ √
√ -
Proprietor kaum
√ √
√ √
- Proprietor
Individu √
√ √
√ √
Owner Desa
- -
- -
- -
Pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa hak adat, kaum dan individu pada masa pemerintahan marga. Sesuai dengan konsepnya Ostrom dan Schlanger
1990 dalam Satria 2009, maka 1 hak akses yaitu hak untuk masuk ke wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat
non ekstraktif, artinya pada masa pemerintahan marga hak akses adat, kaum dan individu terbuka terhadap sumberdaya lahan. 2 hak pemanfaatan yaitu hak untuk
memanfaatkan sumberdaya atau hak untuk berproduksi, pada masa pemerintahan marga hak pemanfaatan ini dimiliki oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu
adat, kaum, dan individu, artinya adat, kaum dan individu memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. 3 hak pengelolaan
yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya, dalam hal ini adat, kaum dan individu memiliki hak pengelolaan ini, artinya adat, kaum,
dan individu mempunyai hak untuk menentukan aturan-aturan mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada. 4 hak eksklusi yaitu hak untuk menentukan
siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain. Pada masa pemerintahan marga, masyarakat desa adat, kaum, dan
individu memiliki hak eksklusi ini, artinya adat, kaum dan individu berhak menentukan siapa yang memiliki hak akses dan bagaimana hak akses itu dialihkan
ke pihak lain. 5 hak pengalihan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif sebelumnya. Pada masa pemerintahan
marga, adat dan kaum tidak memiliki hak ini, karena pada dasarnya lahan-lahan yang menjadi penguasaan adat dan kaum tidak dibenarkan untuk diperjual
belikan. Berbeda dengan penguasaan individu, pada masa pemerintahan marga,
individu memiliki hak pengalihan artinya individu berhak memperjual belikan atau menyewakan hak nya kepada pihak lain.
Pada masa pemerintahan marga terlihat jelas kewenangan atau kekuasaan adat terhadap sumberdaya lahan, artinya adat memiliki hak penguasaan terhadap
sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Namun setelah tahun 1979, sistem pemerintahan marga berubah menjadi sistem pemerintahan baru yaitu
sistem pemerintahan desa, yang mana jika pada masa pemerintahan marga yang berlaku adalah aturan adat atau aturan informal, maka pada pemerintahan desa
yang berlaku adalah aturan negara atau aturan formal. Pada masa pemerintahan desa, terdapat dua bentuk teritori yang berbeda yaitu wilayah penguasaan desa dan
wilayah penguasaan marga. Sehingga perubahan sistem pemerintahan membawa pada perubahan hak, dalam hal ini terdapat perubahan hak adat dalam
kepemilikan sumberdaya alam. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel 7 berikut :
Tabel 7. Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim marga pada era Pemerintahan Desa
Aktor
Hak akses
Hak Pemanfaatan
Hak Pengelolaan
Hak Eksklusi
Hak Pengalihan
Status Adat marga
√ √
√ √
- Proprietor
Kaum √
√ √
√ -
Proprietor Individu
√ √
√ √
√ Owner
Desa √
√ -
- -
Authorized user
Pada masa pemerintahan desa tidak terdapat perubahan hak adat dalam penguasaan sumberdaya alam, yang mana pada sebelumnya telah dijelaskan
bahwa pada masa pemerintahan marga, adat memiliki hak terhadap sumberdaya alam seperti; hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi,
namun pasca peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa ternyata membawa dampak melemahnya otoritas marga dan berkurangnya teritori marga
terhadap penguasaan sumberdaya lahan. Pada masa pemerintahan marga aturan- aturan dalam pengelolaan sumberdaya lahan berada pada aturan adat marga
sedangkan pada masa pemerintahan desa juga menerapkan aturan-aturan formal dalam pengelolaan sumberdaya lahan, yang akhirnya jika dibandingkan pada
masa pemerintahan desa dengan aturan adat dan aturan formal aturan desa terhadap sumberdaya lahan maka aturan adat aturan informal menjadi lemah
ketika berhadapan dengan aturan formal. Hal tersebut disebabkan oleh aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah aturan negara
sedangkan aturan adat hanya berlaku pada teritori tertentu. Berdasarkan informasi yang didapat dilapangan, secara de jure pemerintahan desa berhak sepenuhnya
terhadap penguasaan sumberdaya lahan yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu, namun secara de facto masyarakat masih mengakui adanya penguasaan
marga terhadap sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Pada masa pemerintahan desa, desa hanya memiliki hak akses dan hak
pemanfaatan di dalam kawasan yang diyakini masyarakat adalah kawasan adat marga. Sedangkan pemerintahan desa tidak mempunyai hak pengelolaan,
eksklusi, dan hak pengalihan. Untuk kategori hak tersebut hanya miliki oleh adat marga.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan desa memiliki dua teritori yang berbeda, jika tabel 7 berbicara mengenai aktor, hak dan
status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim marga pada era Pemerintahan Desa, maka pada tabel 8 akan menjelaskan hak atas tanah desa
dalam hal ini tanah yang tidak lagi dikuasai marga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8 berikut :
Tabel 8. Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah desa yang tidak lagi dikuasai marga pada era Pemerintahan Desa
Aktor Hak
akses Hak
Pemanfaatan Hak
Pengelolaan Hak
Eksklusi Hak
Pengalihan Status
Desa √
√ √
√ -
Proprietor Kaum
√ √
√ √
- Proprietor
Individu √
√ √
√ √
Owner Marga Adat
√ √
- -
- Authorized
User
Pada tabel 8 di atas menunjukan hak penguasaan sumberdaya lahan oleh desa, yang mana hak-hak penguasaan desa tanah yang tidak lagi dikuasai marga
menunjukan terbatas dan tidak semua hak-hak tersebut ada, khususnya hak pengalihan hak menyewakan dan menjual tanah, artinya pemerintahan desa
tidak mempunyai hak untuk menyewakan dan menjual sebagian atau seluruh hak- hak kolektif.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sejak berubah sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan marga menjadi sistem pemerintahan desa membawa
dampak pada berkurang dan melemahnya otoritas adat marga terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan desa, marga adat hanya memiliki
hak akses dan hak pemanfaatan untuk wilayah yang telah di klaim oleh pemerintahan desa maksud wilayah tersebut adalah wilayah yang tidak lagi
dikuasai oleh adat atau marga. Pada saat ditetapkan sebagai kawasan taman nasional terdapat tiga bentuk
teritori yang berbeda yaitu wilayah penguasaan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS, wilayah penguasaan marga, dan wilayah penguasaan pemerintahan desa
serta wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional membawa pada perubahan luasan kawasan marga, dan desa yang
kemudian berdampak pada perubahan hak terhadap sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Perubahan hak tersebut dapat dilihat pada tabel 9 berikut :
Tabel 9. Aktor, hak dan status kepemilikan pada era TNKS untuk kawasan marga dan desa yang masuk dalam wilayah TNKS
Aktor Hak
akses Hak
Pemanfaatan Hak
Pengelolaan Hak
Eksklusi Hak
Pengalihan Status
Adat marga √
√ -
- -
Authorized user
Kaum √
√ -
- -
Authorized user
Individu √
√ -
- -
Authorized user
Desa √
√ -
- -
Authorized user
hak pada zona pemanfaatan tradisional
Sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS melalui surat keputusan menteri kehutanan 1049Kpts-II1992, ternyata telah
membawa perubahan pada hilangnya hak masyarakat baik hak adat, hak kaum, hak individu maupun hak desa. Jika dikaitkan pada konsepnya Ostrom dan
Schlanger 1990 dalam Satria 2009 tentang hak-hak kepemilikan, 1 hak akses, sejak masuknya rezim penguasaan negara berupa hutan maka membuat hak akses
masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adat, kaum, dan individu terhadap hutan menjadi hilang, artinya masyarakat tidak dapat lagi mengakses sumberdaya
secara optimal di wilayah desa mereka walaupun negara telah memberikan hak akses terhadap TNKS yaitu berupa zona pemanfaatan tradisional. 2 hak
pemanfaatan withdrawal right, kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
TNKS merupakan kawasan konservasi yang didalamnya banyak terdapat sesuatu yang dapat dimanfaatkan, namun saat ini masyarakat tidak mempunyai
kapasitas untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat didalam kawasan taman nasional tersebut baik berupa kayu maupun non kayu ataupun membuka lahan di
kawasan tersebut kecuali di zona pemanfaatan tradisional. 3 hak pengelolaan management right, dalam konteks ini hak pengelolaan hanya dimiliki oleh
negara, artinya masyarakat baik adat, kaum, dan individu tidak mempunyai hak menentukan aturan-aturan mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di
kawasan taman nasional, namun negara memberikan ruang pengelolaan yaitu pada zona tradisional. 4 hak eksklusi exclusion right, mengenai hak eksklusi
ini di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS sebenarnya tidak berbeda dengan hak pengelolaan, dimana hak eksklusi ini hanya dimiliki oleh negara. 5
hak pengalihan alienation right, pada temuan lapang menyebutkan bahwa sifat kepemilikan sumberdaya Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS
seluruhnya mengarah pada kepemilikan negara dan tidak memungkinkan terjadinya hak alienasi. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS telah menghilangkan hak masyarakat adat, kaum, dan keluarga terhadap sumberdaya
lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Berbicara tentang Desa Baru Pangkalan Jambu terkait erat dengan sejarah
berdirinya Marga Pangkalan Jambu, dimana Desa Baru Pangkalan Jambu sendiri berada dalam kawasan wilayah Marga Pangkalan Jambu. Pada saat sistem
pemerintahan kemargaan, masyarakat Marga Pangkalan Jambu mengakui adanya batas wilayah kemargaan tersebut. Salah satu informan yang merupakan salah
satu dari pemuka adat di desa menyatakan bahwa : “ pada saat sistem pemerintahan kemargoan yang dipimpin oleh
seorang Pasirah atau camat saat ini, punyo batas wilayah yang jelas dan diakui oleh masyarakat, batas wilayah itu berpangkal dari
sungai Segatal kemudian berujung pada di sungai Kemuru…”. Mkt, wawancara tanggal 11 Maret 2012
― pada saat sistem pemerintahan kemargaan yang dipimpin oleh seorang Pasirah atau camat saat ini, punya batas wilayah yang jelas
dan diakui oleh masyarakat, batas wilayah itu berpangkal dari sungai Segatal kemudian berujung pada di sungai Kemuru....‖
Mkt, wawancara tanggal 11 Maret 2012
Berdasarkan pernyataan tersebut, Marga Pangkalan Jambu sebelumnya telah memiliki penguasaan-penguasaan terhadap sumberdaya alam yang telah
ditetapkan berdasarkan batas-batas wilayah yang telah disepakati sebelumnya. Kemudian setelah adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 yang mengubah
sistem pemerintahan Marga menjadi pemerintahan Desa, maka terjadilah pemecahan wilayah marga tersebut. Sebagai contoh adalah Desa Baru Pangkalan
Jambu. Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS memiliki status hukum sebagai
taman nasional. Sebelumnya, dari tahun 1982 kawasan ini masih berstatus sebagai calon taman nasional setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional
Sedunia di Bali melalui keputusan Menteri Pertanian No.736MenteriX1982. Penetapan status kawasan konservasi otomatis melumpuhkan peran otoritas
lembaga Adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah hukum adat Desa Baru Pangkalan Jambu. Implikasi lebih jauh yang
ditimbulkan berupa hilangnya kewibawaan lembaga Adat di hadapan masyarakat, karena lembaga adat dinilai tidak mampu lagi melindungi kepentingan
masyarakatnya. Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menganggap TNKS sebagai
‖ancaman‖, contoh kasus yang dapat menjelaskan bentuk perlawanan yang dilakukan, yaitu: pelanggaran terhadap aturan tentang mengambil rotan atau hasil
hutan lainnya seperti madu di dalam kawasan hutan. Sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sering memunculkan arogansi pihak pemerintah. Bila
petugas menemukan anggota masyarakat yang mengambil atau membawa rotan, maka petugas jagawana serta-merta menyita dan memotong-motong rotan
tersebut. Fenomena ini menunjukkan hubungan yang disharmonis antar pihak pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi pihak pemerintah mendemonstrasikan
kekuatan represif, di sisi lain masyarakat menunjukkan sikap perlawanan dalam bentuk pelanggaran atas larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintah.
Kemudian hal seperti inilah yang dapat memicu konflik tenurial terhadap sistem pemilikan dan penguasaan yang berbasis masyarakat adat dengan yang berbasis
pemerintah di kawasan TNKS. Ketidaksetujuan akan kehadiran Taman Nasional Kerinci Seblat tersebut
dibuktikan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dengan cara tidak memperdulikan tentang kelestarian hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci
Seblat, karena TNKS telah menutup akses masyarakat terhadap hutan. Selama ini yang sering melakukan pembalakan liar adalah masyarakat luar desa bukanlah
masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, seperti penuturan salah satu informan mengenai pembalakan liar yang dilakukan oleh masyarakat luar desa :
selamo ni yang nebang-nebang kayu di wilayah TNKS tu masyarakat luar desa kami, wargo desa kami idak pernah nebang
kayu di wilayah TNKS tu, kareno kami takut, soalnyo dulu pernah wargo kami ditangkap gara-gara nebang kayu disano jadi sejak
itulah wargo kami dak pernah lagi nebang kayu diwilayah TNKS...
Ddi, wawancara tanggal 22 Maret 2012
― selama ini yang menebang-menebang kayu di wilayah TNKS itu adalah masyarakat luar desa kami, warga desa kami tidak pernah
menebang kayu di wilayah TNKS itu, karena kami takut, soalnya dulu pernah warga kami di tangkap gara-gara menebang kayu di
sana jadi sejak itulah warga kami tidak pernah lagi menebang kayu di wilayah TNKS.
Ddi, wawancara tanggal 22 Maret 2012 Selain itu juga ternyata tanggapan masyarakat Desa Baru Pangkalan
Jambu terhadap keberadaan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat pun dapat terbilang negatif, berdasarkan hasil Focuss Group Discussion FGD tanggapan
masyarakat terhadap TNKS sangatlah tidak setuju. Berdasarkan pernyataan peserta FGD terhadap Taman Nasional Kerinci Seblat adalah sebagai berikut :
“ Hampir seratus persen masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menolak keberadoan Hutan TNKS tu, kareno dinilai selamo ini dak
do nian manfaat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, jangankan nak ngambek hasil hutan rotan, madu masuk be dak
boleh. Keinginan masyarakat biaklah tetap ado TNKS tu, tapi hasil
Hutannyo biso kami manfaatin, kalo dak tu TNKS tu dikasih be ke masyarakat biak dikelola kayak Hutan Adat Desa Baru Pangkalan
Jambu...” FGD, tanggal 21 Maret 2012
― hampir seratus persen masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menolak keberadaan Hutan TNKS itu, karena dinilai selama ini tidak
ada manfaat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, jangankan mau mengambil hasil hutan rotan, madu masuk saja
tidak boleh. Keinginan masyarakat biarlah tetap ada TNKS itu, tapi hasil hutannya bisa kami manfaatkan, kalau tidak TNKS itu diberkan
saja ke masyarakat biar dikelola seperti hutan adat Desa Baru
Pangkalan Jambu...‖ FGD, tanggal 21 Maret 2012
Dari pernyataan pada saat FGD, dapat dinilai bahwa keinginan masyarakat terhadap keberadaan TNKS sendiri adalah kemanfaatan bagi
masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, namun selama ini manfaat tersebut tidaklah didapat oleh masyarakat, selain itu juga sebenarnya keinginan
masyarakat TNKS tersebut diberikan kepada masyarakat dengan pengelolaan yang sama dengan Hutan Adat yang selama ini masyarakat jaga. Keyakinan
masyarakat apabila hutan TNKS tersebut dikelola oleh masyarakat maka kelestarian hutan pun dapat terjamin, karena masyarakat sendiri telah
membuktikan dengan cara mengelola hutan adat mereka. Merujuk pada Ribot dan Peluso 2003, kekuasaan diartikan sebagai
sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya, ekonomi-politik yang terhimpun kemudian membentuk bundel kekuasaan bundle of powers dan
jaringan kepentingan web of powers yang kemudian menjadi penentu akses terhadap sumberdaya. Sejak masuknya penguasaan oleh negara berupa penetapan
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS akses masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pun semakin terbatas, artinya selama ini masyarakat memang
tidak mempunyai power atau kekuatan dalam mengakses kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS, jaringan-jaringan sosial atau relasi sosial untuk
membentuk power pun tidak dapat dilakukan.
Tindakan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam menghadapi keberadaan Taman Nasional tersebut adalah dengan lebih memperhatikan tata
batas antara wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dengan kawasan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. Berdasarkan pernyataan salah satu informan mengenai
hal tersebut adalah sebagai berikut : “ dengan adonyo TNKS di desa kami, kami idak biso buat apo-apo
lagi, sebelum adonyo TNKS kami biso ngambek hasil hutan kayu dan jugo madu ataupun nyari ikan di dalam kawasan TNKS, artinyo
dengan adonyo TNKS kami dak biso lagi kalo lah dak biso ngambek kayu samo cari madu, kami nak nyari dimano lagi trus pacak-pacak
kami dak biso makan. Di wargo kami ado jugo yang gawenyo cuma cari madu ato nyari kayu ato rotan. Nah kalo lah kayak gitu berarti
wargo kami dak biso makan garo-
garo TNKS dak boleh masuk....” Hn, wawancara tanggal 19 Maret, 2012
― dengan adanya TNKS di kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sebelum adanya TNKS kami bisa mengambil hasil hutan kayu
dan juga madu ataupun mencari ikan di dalam kawasan TNKS, artinya dengan adanya TNKS kami tidak bisa lagi kalau lah tidak
bisa mengambil kayu sama cari madu, kami mau mencari kemana lagi terus bisa-bisa kami tidak bisa makan. Di warga kami ada juga
yang bekerjanya hanya mencari madu, atau rotan. Kalau seperti ini berarti warga kami tidak bisa makan gara-gara TNKS tidak
memperbolehkan masuk.
Hn, wawancara tanggal 19 Maret, 2012
Tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu karena mereka tidak punya pilihan lain selain dengan melindungi batas-batas
wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu yang sudah ada agar tidak terjadi klaim antara batas wilayah desa dengan batas TNKS. Selain alasan di atas ternyata ada
alasan lain mengapa langkah atau tindakan tersebut di tempuh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu yaitu karena pernah terjadi pada Hutan Adat yang berada
di kawasan desa. Pada saat itu penyerahan kawasan hutan adat pada tahun 1993, dimana hutan adat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati itu masih
setengah hati, sebab tidak semua hutan adat yang diserahkan menjadi kewenangan masyarakat adat untuk mengelola dan mengawasi, yang mana dikemudian hari
kawasan hutan adat tersebut ditarik kembali oleh pemerintah. Sesuai dengan tata
batas defenitif TNKS yang dikeluarkan Juni 1995, awalnya dari luasan hutan adat adalah 792 hektar, seluas 745 hektar masuk dalam kawasan Taman Nasional dan
hanya 47 hektar berada diluar kawasan Taman Nasional. Pemancangan tata batas baru TNKS ini menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat Desa Baru
Pangkalan Jambu khususnya mengenai luas kawasan hutan adat yang menjadi berkurang disatu pihak, dipihak lain masyarakat kehilangan akses kawasan hutan
yang selama ini digunakan untuk mencari hasil hutan non kayu seperti madu, rotan dan lain-lain, yang mana pada faktanya mencari hasil hutan non kayu
tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka dimana hal itu terjadi ketika mata pencaharian utama mereka berkebun karet dan bersawah tidak mencukupi
kebutuhan hidup mereka.
5.3. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Sumberdaya Lahan