Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu

V. POLA PENGUASAAN LAHAN

5.1. Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu

Menurut Bromley dalam Satria 2009 setidaknya terdapat empat bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam : 1 milik umum open access, 2 milik negara state, 3 milik pribadi atau perorangan private dan milik bersama communal. Masing-masing bentuk penguasaan sering terjadi tumpang tindih dalam bentuk pengaturannya, dikarenakan masing-masing bentuk penguasaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut pandangan masyarakat adat, hukum adat merupakan satu-satunya yang dipahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa. Sedangkan pandangan negara, bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori negara berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara dengan menerapkan aturan-aturan formal aturan-aturan negara. Penjelasan tersebut memperlihatkan pluralisme hukum yang ada di Indonesia. Pluralisme hukum legal pluralism merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih sistem hukum saling berkaitan. Kawasan Indonesia yang terbentang dari ujung wilayah Sabang di barat hingga wilayah Merauke di timur memungkinkan masyarakatnya terdiri dari etnik yang majemuk. Isu pluralisme hukum berkembang sebagai counter terhadap sentralisasi hukum legal centralism yang pada umumnya terjadi di negara-negara kolonial dan pasca kolonial. Counter pluralisme hukum terjadi ketika paham sentralisasi hukum hukum negara yang dianut oleh suatu negara berbenturan dengan hukum-hukum adat yang telah tumbuh berurat dan berakar dalam komunitas-komunitas pra- negara. Persoalan yang sering terjadi adalah terbitnya kebijakan negara terhadap pemanfaatan suatu kawasan yang menurut perspektif masyarakat adat masuk dalam wilayah ulayatnya. Realita ini menimbulkan sengketa agraria struktural yang melibatkan pengambilan tanah-tanah dan sumber-sumber agraria yang secara hukum adat merupakan hak masyarakat. Sengketa ini berakar pada penggunaan sistem hukum yang berbeda dan tidak dapat berdampingan secara damai. Masyarakat desa sekitar hutan yang bertumpu pada hukum adat yang ada dalam komunitasnya dan dipelajari secara turun-menurun serta berkembang secara dinamis, sementara dipihak penguasa tanah, seperti hutan negara baik itu dalam bentuk Taman Nasional maupun yang dikelola oleh swasta HPH berpedoman pada hukum agraria nasional. Masalah pluralisme hukum ternyata merupakan suatu bentuk ketidakpastian status kawasan hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Ketidakpastian status kawasan hutan dalam manajemen HPHHPHTI telah menjadi potensi konflik yang besar. Tanah sebuah kawasan merupakan bagian dari ekosistem kehidupan semua mahluk yang menempati suatu posisi dengan sifatnya sebagai benda yang tidak dapat digantikan, tidak dapat dipindahkan, tidak dapat diperbaruhi serta tidak dapat direproduksi kembali. Perubahan terhadap tanah atau kawasan berarti perubahan pada ekosistem. Aktor perubah utama adalah manusia. Semenjak kapitalisme baru mengglobal melalui kolonialisme, kawasan hutan di Jawa dan Sumatera berubah drastis yang disebabkan oleh tekanan pertumbuhan populasi penduduk dan aktivitas manusia atas tanah. Upaya penyeragaman sistem hukum adat yang berkembang di tengah masyarakat berdampak pada praktek-praktek penguasaan sumberdaya, dimana tujuan pemerintah adalah menciptakan ketertiban hukum dengan membuat generalisasi hukum dalam bingkai negara kesatuan yang akhirnya berakibat pada masyarakat yang menganut hukum adat kehilangan kekuatan, artinya sistem hukum adat yang tadinya digunakan oleh masyarakat desa sekitar hutan sebagai pedoman hidup dan perilaku yang diperoleh melalui proses belajar secara turun- menurun lambat laun ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh 1 tindakan tegas yang dilakukan pemerintah negara sebagai penguasa negara bagi pelanggar hukum nasional, hal ini terjadi ketika terdapat tumpang tindih antara aturan hukum negara dengan hukum adat. Terkadang ada aturan hukum negara yang dilarang oleh hukum adat dan sebaliknya aturan hukum adat yang dilarang oleh hukum negara. Realita ini berakibat pada hukum adat yang semakin termarginalisasi, sebab kurangnya dukungan tenaga keamanan dan kelembagaan. Hukum negara mendapatkan keleluasaan untuk memancangkan kebijakan menerapkan aturannya, sehingga hanya hukum negara saja yang diakui, 2 konstruksi standar hukum yang layak adalah hukum negara, 3 peran aktif aparatur negara berupa kelembagaan-kelembagaan pemerintahan desa, dimana aparat pemerintahan desa lebih diperhatikan oleh negara ketimbang dengan aparat pemerintahan adat, hal tersebut tercermin ketika diterbitkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Akibat dari penyeragaman tersebut berdampak pada menghilangnya sendi-sendi kearifan pemerintahan adat pada masyarakat sekitar hutan yang berbasis pada sistem dan tata nilai lokal. Pada masa pemerintahan marga, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dikuasai oleh dua unsur pimpinan adat yaitu Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo dalam pengertian masyarakat, bahwa Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo adalah gelar atau jabatan adat. Kedua unsur inilah yang mengatur pendistribusian lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Setiap orang yang akan membuka lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu harus meminta izin dan persetujuan kepada Rio Niti jika membuka wilayah kekuasaan Rio Niti dan meminta izin dan persetujuan kepada Datuk Bendaharo Kayo jika membuka wilayah kekuasaan Datuk Bendaharo Kayo. Secara adat kemudian diatur bahwa setiap orang yang membuka hutan atas persetujuan kedua pimpinan adat tersebut maka akan diakui kepemilikannya. Pada masa pemerintahan marga, aspek penguasaan lahan lebih terpusat pada aturan adat, artinya, adatlah yang menentukan atas penguasaan lahan karena wilayah dikuasai oleh adat, namun saat ini aturan-aturan tersebut berlaku untuk wilayah yang masih dalam penguasaan adat marga. Hal ini terlihat dari struktur pengelolaan hutan dimana pimpinan pengelola hutan adat harus dijabat oleh Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo karena kawasan hutan adat 4 berada dalam wilayah kekuasaan kedua pimpinan adat tersebut. Kendatipun demikian, mekanisme pengelolaannya diatur secara bersama dan dikukuhkan melalui peraturan desa. Pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu umumnya merupakan kepemilikan lahan komunal. Lahan pertanian maupun hutan yang 4 Bromley dalam Satria 2009 menyebutkan empat kelompok bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam yaitu milik umum open acces, milik negara state, milik peroranganpribadi private dan milik bersama communal menjadi penjamin nafkah hidup masyarakat merupakan lahan milik adat. Berdasarkan informasi yang didapat hanya sedikit yang merupakan milik individual. Pemilikan individual terutama berupa lahan-lahan yang berasal dari pengalihan hak seperti : pewarisan ataupun dari transaksi jual beli. Selain itu juga hak milik individual ini pada umumnya secara formal dibuktikan dengan sertifikasi terhadap kepemilikan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada pemilikan individual dikenal beberapa pola penguasaan lahan yaitu : 1. Meminjam, bagi warga yang tidak memiliki lahan dapat menggarap lahan milik orang tuanya atau kerabat lainnya. Umumnya untuk kasus meminjam biasanya lebih dominan untuk kegiatan bersawah, sedangkan untuk kegiatan berkebun tidak pernah dilakukan. 2. Menyewa, warga yang tidak memiliki lahan ataupun memiliki sawah dengan luasan yang tidak memadai bisa menggarap lahan milik orang lain dengan sistem sewa. Besarnya biaya sewa ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penggarap dengan pemilik dan belum ada ketentuan yang baku di desa yang menetapkan besarnya jumlah sewa untuk sebidang lahan yang dihitung dari luasannya. Hampir sama dengan pola meminjam, pola menyewa ini biasanya digunakan untuk kegiatan bersawah dan dilakukan pada saat musim tanam saja. 3. Bagi hasil, warga yang tidak memiliki lahan ataupun memiliki lahan dengan luasan yang tidak memadai bisa pula menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Berdasarkan informasi dari informan bahwa biasanya untuk bagi hasil digunakan untuk kegiatan bersawah dan berkebun, untuk bersawah biasanya bagi hasil yang terapkan dengan besarnya adalah 1 : 3, dimana 13 bagi pemilik dan 23 untuk penggarap dengan ketentuan semua sarana produksi ditanggung oleh penggarap. Sedangkan untuk berkebun hampir sama dengan bersawah, dimana aturan pembagian hasil sadapan sudah baku dengan pembandingannya adalah 1 : 3 yaitu 13 untuk pemilik kebun dan 23 untuk penyadap namun untuk semua kebutuhan dalam proses penyadapan ditanggung oleh penyadap artinya pemilik kebun tidak mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan untuk proses penyadapan. Saat ini hutan yang bisa dibuka yang menjadi bagian dari wilayah desa untuk dijadikan lahan pertanian sudah tidak ada. Dengan demikian aturan adat yang mengatur tentang penguasaan atas lahan bukaan baru sudah tidak lagi dijalankan. Hutan yang tersisa di sekitar wilayah desa semuanya berstatus hutan milik negara yang terdiri dari kawasan TNKS dan kawasan hutan produksi eks HPH PT. Sarestra II. Hutan adat yang dipertahankan masyarakat tidak hanya diperuntukkan sebagai kawasan pencadangan lahan bagi anak cucu mereka melainkan sejak awal memang dikelola sebagai kawasan proteksi untuk perlindungan sumberdaya air yang menjadi sumber pengairan sawah-sawah yang dikelola warga desa. Di samping itu, hutan adat ini juga dapat menyediakan kebutuhan bahan-bahan obat tradisional bagi warga. Dalam aturan adat Desa Baru Pangkalan Jambu terkait dengan penguasaan lahan, ada dua aspek pokok yang diatur, diantaranya pengaturan hak kepemilikan dan kewajiban membayar pungutan terhadap hasil dari pemanfaatan lahan, sungai, dan kawasan hutan. Mengenai hak kepemilikan, aturan adat menyebutkan bahwa Setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan adat yang berkuasa atas wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu akan diakui hak kepemilikannya. Mengenai pungutan atas pemanfaatan lahan, sungai, dan kawasan hutan, aturan adat menyebutkan bahwa : Ke darat bebungo, kayu ke ayik bebungo pasir, ke sawah ke ladang beungo emping. Artinya tiap-tiap warga berkewajiban membayar pungutan hasil panen yang diperoleh dari mengambil hasil hutan dan sungai serta tiap-tiap melakukan aktivitas bersawah dan berladang maka diwajibkan membayar pungutan cukai ke pasirah marga sesuai dengan hasil yang diperoleh. Sedangkan pada waktu pemerintahan marga, kebun karet tidak dikenakan pungutan karena pada waktu itu kebun karet berada dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda yang memberlakukan sistem kupon untuk memotivasi warga dalam meningkatkan hasil produksnya. Setiap kebun warga yang terawat dengan baik akan diberikan kupon oleh pemerintah Belanda yang nantinya dapat ditukarkan dengan uang sebagai bonus di luar hasil penjualan lateks hasil sadapan. Saat ini sistem kupon tersebut tidak berlaku lagi, saat ini pada umumnya masyarakat langsung menjual hasil produksi karetnya langsung kepada tengkulak yang ada di desa. Aturan di atas menegaskan bahwa pada masa Pemerintahan Marga, sumberdaya lahan pada dasarnya berada dalam penguasaan adat. Namun setelah memasuki masa illegal logging sekitar tahun 1970-an yang berawal sejak kehadiran perusahaan pemegang izin konsesi HPH yang beroperasi di wilayah desa, aturan adat tersebut tidak lagi bisa ditegakkan. Hal ini disebabkan warga desa menjadikan perusahaan sebagai referensi dimana perusahaan yang mengakses hasil hutan dalam wilayah kekuasaan adat sama sekali tidak membayar pungutan kepada pemangku adat sehingga warga juga melakukan hal yang sama. Bahkan pada waktu itu, warga juga mulai mengembangkan mekanisme penguasaan pohon di hutan dengan cara mengklaim pohon tersebut melalui penggunaan simbol-simbol tertentu 5 . Hal ini didasari atas kesepakatan dan kebiasaan yang terbangun dari kalangan warga yang memanfaatkan sumberdaya hutan dan terlepas dari mekanisme aturan adat yang ada sebelumnya. Hal ini menjelaskan bahwa melemahnya aturan adat dalam pengaturan penguasaan lahan dan pohon erat kaitannya dengan penguasaan kawasan hutan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan oleh negara. Di tingkat desa dalam pengertian wilayah di luar klaim negara, keberadaan pemangku adat masih dipatuhi. Mekanisme pengaturan adat masih berjalan dengan baik karena warga memandang bahwa aturan adat lebih mampu mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di desa karena aturan adat tersosialisasi dengan baik. Warga juga memandang bahwa aturan-aturan formal yang ada bertentangan dengan aturan adat dimana wilayah klaim adat tidak diakui bahkan diserahkan kepada perusahaan untuk pemanfaatannya. Hal ini juga mendorong warga untuk tidak mematuhi aturan formal yang ada pada masa-masa illegal logging dulu dimana warga juga ikut serta mengeksploitasi sumberdaya kayu yang berada dalam kawasan hutan produksi. 5 Simbol-simbol yang dimaksud adalah dengan cara memberikan tanda berupa silang pada batang pohon yang kemudian di klaim bahwa lahan yang berada di sekitar pohon tersebut adalah miliknya ataupun dengan cara menanam pohon durian atau pohon buah-buahan lainnya.

5.2. Perubahan Pola Penguasaan Lahan