Pattern of Land Resources Tenure and Livelihoods Adaptation Strategies Around Community Forest. (A Case Study: Baru Pangkalan Jambu Village Merangin District Jambi Province).

(1)

POLA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN

DAN DINAMIKA POLA NAFKAH

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

(Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi)

DENI KUSUMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan Dan Strategi Adaptasi Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (studi kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Deni Kusuma NRP. I 353100081


(3)

ABSTRACT

DENI KUSUMA. Pattern of Land Resources Tenure and Livelihoods Adaptation Strategies Around Community Forest. (A Case Study: Baru Pangkalan Jambu Village Merangin District Jambi Province). Under the Supervision of Rilus A. Kinseng and Fredian Tonny.

This study aims to analyze the changing pattern of land resources tenure in the Baru Pangkalan Jambu Village. The results showed that, related to land tenure system in the Baru Pangkalan Jambu Village, generally include four types, namely the tenure of ‖adat‖, the tenure of ‖kaum‖, the tenure of individual, and the tenure of state. The change of land tenure in the village is caused by the change of rule system from ―Marga‖ to village that help to restructure the pattern of natural resources tenure with the inclusion of the forest area tenure element by state. Land tenure change in Desa Baru Pangkalan Jambu Village as forest area tenure by state lead to a constriction of the village community acces space. There are several phases of change in land resources tenure that impact on change of Desa Pangkalan Jambu Villagers‘ right about natural resources, that is: Transformation from ―Marga‖ reign to Village reign. There are two different territory after the transformation of reign, namely: (1) Marga (Adat) territorial and Village territorial. The change of reign system from ―Marga‖ reign to ―Village‖ reign result in authority weakened and reduction in ―Adat‖ (―Marga‖) area about natural resources. In the reign of ―Marga‖, natural resources tenure are completely under ―Marga‖ (―Adat‖) control. Almost all of the rights about natural resources (access right, use right, management right, and exclusion right) are owned by ―Marga‖ (―Adat‖), except diversion right, so that the ―Marga‖ ownership status is as proprietor. Then during the Village reign, ―Adat‖ (―Marga‖) right is still there, but for the area that is still in the ―Adat‖ (―Marga‖) claims, while for the outside of area, the ―Adat‖ (―Marga‖) does not have the right anymore. (2) The change since the area be designated as National Park Kerinci Seblat (TNKS-Taman Nasional Kerinci Seblat). There are three different territorial areas which is designated as TNKS area, that are: ―Marga‖ tenure area, Village tenure area, and TNKS tenure area. Since the area be defined as TNKS area, it has an impact on disappearance of community‘s right, either ―Adat‖ right, ―Kaum‖ right, Individual right, or Village right towards the existing resources in the TNKS area. The rights such as management right, exclusion right, and diversion right are disappear, while access right and use right still exist but only for traditional use zone only. Thus, since the area be designated as TNKS, ―Adat‖ (―Marga‖) and Village ownership status was turned into authorized user. In this research also found that changes in the livelihoods of Baru Pangkalan Jambu Village done for the survival from increasing of life necessities, adaptation to livelihood that is by looking for alternatives to a new source of income, There are three factors the occurrence of changing patterns of living in New Village Pangkalan Jambu, ie consideration of price, availability of resources and state regulations.


(4)

RINGKASAN

DENI KUSUMA. Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan dan Strategi Adaptasi Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi). Dibawah Komisi Pembimbing Rilus A. Kinseng dan Fredian Tonny.

Sebelum kehadiran hukum-hukum formal, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah desa diatur sepenuhnya oleh hukum adat. Hukum adat adalah satu-satunya produk hukum yang dipahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa yang sudah mengakar sejak awal desa terbentuk (pada awalnya masih berupa kampung). Ada tiga hal pokok yang diatur oleh hukum adat berkenaan dengan penguasaan lahan, yaitu pengakuan hak, kewajiban pengguna lahan, serta pola pemanfaatan ruang. Hal ini terjadi karena pada dasarnya mandat hak penguasaan wilayah pada waktu itu diberikan pada pimpinan adat (marga dan kampung) dan unsur inilah yang kemudian mengatur pendistribusian dan pola pemanfaatannya melalui hukum-hukum adat yang disepakati. Hal ini berlangsung hingga terjadinya masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang dilandasi oleh pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pasca masa peralihan sistem pemerintahan tersebut, wilayah desa kemudian didefinisikan terbatas hanya meliputi ruang pemukiman dan kelola masyarakat sedangkan sumberdaya alam (khususnya kawasan hutan) yang belum terjamah pada proses selanjutnya berada dalam penguasaan negara. Fenomena di atas menunjukan bahwa studi mengenai penguasaan lahan dan pola nafkah masyarakat terutama di Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi penting untuk terus dikembangkan mengingat hal tersebut telah menjadi bagian dari masalah pokok di desa. Desa yang masyarakatnya sebagaian besar hidup dari pola agraris.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data/informasi yang dijadikan bahan analisis merupakan data/informasi kualitatif yang diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam (in-dept interview) yang melibatkan sejumlah informan, Focus Group Discussion (FGD) guna untuk verifikasi data/informasi yang diperoleh dari informan serta untuk melengkapi data/informasi yang dibutuhkan, kemudian penelitian ini juga dari studi literatur yang berkaitan dengan penelitian. Data/informasi dianalisis dengan menggunakan model Spradley yang membagi analisis data dalam penelitian kualitatif berdasarkan tahapan dalam penelitian kualitatif, antara lain; analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema struktural.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terkait dengan sistem penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu secara umum mencakup empat tipe, yaitu penguasaan adat, penguasaan kaum, penguasaan individu, dan penguasaan negara. Perubahaan penguasaan lahan di desa disebabkan oleh perubahan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang turut merestrukturisasi pola penguasaan sumberdaya alam dengan masuknya unsur penguasaan kawasan hutan oleh negara. Perubahan penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan adanya penguasaan kawasan hutan oleh negara menimbulkan situasi


(5)

menyempitnya ruang akses masyarakat Desa. Terdapat beberapa fase perubahan penguasaan sumberdaya lahan yang berdampak pada perubahan hak masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap sumberdaya alam, yaitu : Perubahan dari masa pemerintahan marga menjadi pemerintahan Desa. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca perubahan sistem pemerintahan yaitu (1) teritori marga (adat) dan teritori desa. Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi pemerintahan desa berdampak pada melemahnya otoritas dan berkurangnya wilayah adat (marga) terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan marga, penguasaan sumberdaya alam sepenuhnya berada pada penguasaan marga (adat). Hampir seluruh hak (hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi) dimiliki oleh marga (adat) terhadap sumberdaya alam kecuali hak pengalihan, sehingga status kepemilikan marga adalah sebagai proprietor. Kemudian pada masa pemerintahan desa, hak adat (marga) tersebut tetap ada namun untuk wilayah yang masih berada dalam klaim adat (marga), sedangkan untuk diluar wilayah tersebut adat (marga) tidak mempunyai hak lagi. (2) Perubahan sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat tiga teritori yang berbeda pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, yakni : wilayah penguasaan marga, wilayah penguasaan desa, dan wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan TNKS berdampak pada hilangnya hak masyarakat, baik hak adat, hak kaum, hak individu, maupun hak desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan TNKS. Hak-hak yang hilang tersebut seperti hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan, sedangkan hak akses dan hak pemanfaatan tetap ada namun hanya untuk zona pemanfaatan tradisional saja. Dengan demikian, sejak ditetapkan sebagai TNKS status kepemilikan adat (marga) dan desa pun berubah menjadi authorized user.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa dinamika pola nafkah yang terjadi pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dilakukan demi bertahannya hidup masyarakat dari kebutuhan hidup yang semakin lama semakin meningkat. Adaptasi sumber nafkah yang dilakukan yaitu dengan cara mencari alternatif - alternatif sumber nafkah yang baru. Pada masa Belanda, sumber nafkah masyarakat adalah sebagai menambang emas dan sawah. Sementara itu pada masa Jepang terdapat perubahan, sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, yakni menambang emas, sawah, ladang, dan kebun kopi. Pada masa awal Kemerdekaan terjadi juga perubahan, sumber nafkah masyarakat, yakni menambang emas, sawah, ladang, kebun kopi, dan kebun kulit manis. Lalu pada masa Logging (tahun 1970-an), sumber nafkah masyarakat pada saat itu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, bebalok (istilah lokal). Dan pada masa reformasi sampai saat ini sumber nafkah yang menjadi pilihan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, tukang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), membuka warung, dan supir. Terdapat beberapa faktor terjadinya perubahan pola nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu : (1) Perubahan yang disebabkan oleh pertimbangan soal harga. Pada masa kemerdekaan sumber nafkah yang menjadi jaminan hidup masyarakat adalah dari sektor perkebunan kulit manis. Saat ini yang menjadi jaminan hidup adalah dari perkebunan karet, karena harga karet saat ini cukup menjadikan sebagai jaminan hidup masyarakat. (2) Perubahan yang disebabkan oleh kebijakan negara. Pada tahun 1970-an sumber nafkah bebalok (istilah lokal) merupakan salah satu sumber nafkah yang utama saat itu. Namun hal itu tidak bisa bertahan untuk selamanya,


(6)

karena Undang Undang tentang pelarangan illegal logging, selain itu juga ketersediaan kayu yang semakin susah didapat. (3) Perubahan sumber nafkah yang terjadi di Desa Baru Pangkalan Jambu juga disebabkan oleh regulasi negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penepatan kawasan TNKS berdampak pada tereksklusinya sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap manfaat hasil hutan non kayu yang ada di kawasan TNKS. (4) Selain faktor-faktor tersebut, pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sangat ditentukan oleh karakteristik sumberdaya alamnya, artinya ketersediaan sumberdaya alam menjadi faktor perubahan pola nafkah.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

POLA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN

DAN DINAMIKA POLA NAFKAH

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

(Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi)

DENI KUSUMA

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Terima kasih kepada Dr. Satyawan Sunito, Ph.D


(10)

Judul Tesis : Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan dan Dinamika Pola Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi)

Nama : Deni Kusuma

NRP : I353100081

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui:

Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

PRAKATA

Alhamdulilahirobbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Saya bersyukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan berlajar di Pasca Sarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik ini.

Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2010, para sahabat dan keluarga yang langsung maupun tidak menjadi spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah;

1. Bapak Dr. Ir. A Rilus Kinseng, MA dan Ir. Fredian Tonny MS, selaku pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan proses penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Dr. Arya Hadi Darmawan, MSc, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku Wakil Program Studi, yang selalu menyemangati dan mendukung penyelesaian studi para mahasiswa.

3. Bapak Drs. Satyawan Sunito, Ph.D, selaku dosen penguji Luar Komisi. Terima kasih atas inspirasi, kritikan dan motivasinya.

4. Bupati Kabupaten Merangin serta Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat yang telah memberikan izin penelitian.

5. Pemerintah Propinsi Jambi yang telah beasiswa pendidikan melalui program Jambi Emas kepada penulis.

6. Kepala Desa Baru Pangkalan dan Sekretaris Desa Baru Pangkalan Jambu atas penerimaan dan dampingannya selama penulis di lapangan.

7. Warga Desa Baru Pangkalan Jambu yang telah membantu dan berpartisipasi selama pengumpulan data/informasi di lapangan.

8. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2010; Moch. Ali Mauludin, Yosfialdi, Sukma Taroniarta, Rinto Andhi Suncoko, A. Tarmiji, Susianah, Sri Agustina, Deni, dan Yanu E. Prasetyo, terima kasih atas kehangatan persahabatannya.

9. Tesis ini kupersembahkan untuk orang tuaku tercinta; Bapak Kusnadi dan Ibu Nurmawati, Bapak Suyono dan Ibu Sriyana Rostati, semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup mereka dunia - akherat. Amien. Tak lupa, terima kasih untuk kakak-kakakku; Idris Sardi, Elwa Mendri, Fuad Muchlis atas dukungan dan doa mereka telah memudahkan penyelesaian tesis ini.

Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan dukungan keluarga, untuk itu tesis ini juga penulis persembahkan buat adindaku tercinta Yossi Ivada atas kesabaran, ketabahan dan senyum itu telah membuatku tetap semangat sampai terselesaikannya tesis ini.


(12)

Akhirul kata, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan berbagai masukan dan kritikan guna penyempurnaan tesis ini. Terima kasih.

Bogor, Maret 2013


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jambi pada tanggal 16 Juli 1984 dari ayah Kusnadi dan ibu Nurmawati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMK Taruna Padang dan pada tahun 2004 penulis menempuh jenjang Strata Satu di Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi dengan lulus pada tahun 2009.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2006-2007, pada tahun 2006-2008 penulis menjadi pengurus Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI), kemudian pada tahun 2007 penulis masuk organisasi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jambi.

Pada tahun 2010, penulis berkesempatan melanjutkan studi akademik S2 di Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Beasiswa Jambi Emas Pemerintah Propinsi Jambi pada tahun 2011.


(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Rumusan masalah ... 6

1.3. Tujuan penelitian ... 7

1.4. Manfaat penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Teori Hak Kepemilikan... 9

2.2. Teori Eksklusi Sosial ... 14

2.3. Pola dan Strategi Nafkah ... 16

2.5. Pengertian Masyarakat Desa Hutan ... 19

2.6. Konsep Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (Community Forest Management) ... 21

2.7. Gambaran Pola Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat... 23

2.8. Kerangka Berpikir ... 25

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

3.1. Paradigma dan Strategi Penelitian ... 28

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3. Unit Analisis ... 29

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4. Teknik Analisis Data ... 32

IV. PROFIL DAN SEJARAH DESA BARU PANGKALAN JAMBU ... 36

4.1. Kebijakan Kehutanan Kabupaten Merangin ... 36

4.2. Kondisi Umum Wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu ... 38

4.3. Kependudukan ... 40

4.3. Sejarah Singkat Berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu ... 41

4.3.1. Asal Nama Marga ―Pangkalan Jambu‖ serta terbentuknya Desa Baru Pangkalan Jambu ... 42

4.4. Struktur Pemerintahan Desa Baru Pangkalan Jambu ... 44


(15)

5.1. Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu ... 48

5.2. Perubahan Pola Penguasaan Lahan ... 54

5.3. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Sumberdaya Lahan Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu ... 67

5.3.1. Institusi Pengelolaan Hutan Adat ... 69

5.3.2. Aturan-Aturan Dalam Pengelolaan Hutan Adat ... 71

5.5. Ikhtisar ... 74

VI DINAMIKA POLA NAFKAH ... 78

6.1. Awal Mula Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu ... 78

6.2. Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Saat Ini .. 79

6.3. Perubahan Pola Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu.... 96

6.4. Ikhtisar ... 104

VII DINAMIKA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN POLA NAFKAH ... 107

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

6.1.Kesimpulan ... 111

6.2. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kumpulan Hak Kepemilikan dan Status Posisi Aktor... 10 2 Luas Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Penggunaannya

Tahun 2012 ... 39

3 Jumlah dan Persentase Penduduk di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Kelompok Umur Tahun 2012 ... 40 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat di Desa Baru

Pangkalan Jambu Tahun 2012 ... 41 5 Pola Penguasaan Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa

Pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang... 55 6 Aktor, hak, dan status kepemilikan pada saat pemerintahan marga (adat)

(sebelum tahun 1979) ... 58 7 Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim

marga (pada era Pemerintahan Desa) ... 59 8 Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah desa yang tidak lagi dikuasai

marga (pada era Pemerintahan Desa) ... 60 9 Aktor, hak dan status kepemilikan pada era TNKS untuk kawasan marga

dan desa yang masuk dalam wilayah TNKS ... 61 10 Perubahan Pola Sumber Nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 26

2. Bagan Alur Analisis Data Kualitatif (Spardley, 1980) ... 34

3 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Merangin ... 37

4 Model Struktur Organisasi Pengelola Desa... 44

5 Struktur Adat di Desa Baru Pangkalan Jambu... 45

6 Perubahan Pola Penguasaan Lahan Sejak Masa Marga Sampai Saat Ini ... 56

7 Peta Kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ... 68

8 Struktur Organisasi Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ... 70

9 Masyarakat Sedang Mencari Spot Emas ... 91

10 Masyarakat Mendulang Emas ... 91


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Ada dua jenis sumberdaya alam yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Salah satu contoh sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumberdaya lahan. Secara sederhana sumberdaya (resources) dapat diartikan sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didaya-gunakan. Selain itu juga sumberdaya dapat diartikan sebagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu produksi. Menurut Tim penyusun Neraca Sumber Daya Alam (NSDA, 1990) sumberdaya dapat digolongkan berdasarkan wujud fisiknya, wujud fisik tersebut diantaranya adalah (1) sumberdaya lahan, (2) sumberdaya hutan, (3) sumberdaya mineral, dan (4) sumberdaya air.

Sumberdaya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam.

Lahan merupakan bagian yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Bertahun-tahun masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya dan lahan adalah bagian penting di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi tempat bergantung bagi masyarakat petani miskin. Di Indonesia, budaya dan aturan sosial juga mengatur pengelolaan sumberdaya dan distribusi manfaatnya. Mewariskan lahan kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun.

Jika berbicara soal agraria atau tanah maka didalamnya terkandung makna kehidupan, karena sebagian besar masyarakat sekitar hutan sumber penghidupannya berasal dari tanah (seperti kebun, atau sawah). Kerusakan


(19)

sumberdaya hutan dan meluasnya lahan yang tidak produktif atau kritis membawa masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan dikarenakan sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan semakin menurun, hal ini disebabkan konsensi-konsensi yang ditetapkan pemerintah hanya berpihak pada pengusaha padat modal dalam menjalankan praktek-praktek kehutanan. Konsensi-konsensi tersebut secara langsung membuat sempit ruang gerak serta memutus akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Sardjono, 2004).

Hutan adalah salah satu sumberdaya alam yang penting baik bagi negara maupun bagi masyarakat. Bagi negara, hutan merupakan salah satu sumber devisa non migas yang telah banyak memberikan kontribusi bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Sedangkan bagi masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan hutan, hutan merupakan cadangan lahan bagi perluasan areal pertanian dan penyuplai kebutuhan kayu dan non kayu. Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupun obat-obatan. Tindakan mengelola kawasan hutan yang hanya terpusat mengambil nilai kemanfaatannya dan tidak memperhatikan keberlanjutan kawasan itu sendiri untuk memberi kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan telah menyebabkan perubahan yang fundamental terhadap keberadaan kawasan hutan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dewasa ini, kondisi kawasan hutan yang masih tersisa telah mengalami banyak kerusakan sehingga fungsi hutan mengalami penurunan.

Menurut Ponting (1991:251) negara-negara dunia ketiga menghadapi dua hal pokok. Pertama, akibat penguasaan politik oleh Eropa, luas lahan yang diperuntukan untuk tanaman-tanaman ekspor terus meningkat. Kedua, ketimpangan distribusi penguasaan lahan. Sebagai konsekuensi dari masalah ini dan pertumbuhan penduduk yang cepat adalah kemiskinan, deforestasi, dan degradasi lingkungan. Di Jawa, ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian sudah terjadi sebelum merdeka dan kondisi ini cenderung semakin timpang sejak revolusi hijau pada lahan sawah. Sedangkan lahan-lahan kering


(20)

(upland) semakin intensif diolah. Di luar Jawa konversi hutan untuk perkebunan, pertanian, dan pemukiman terus meningkat.

Secara umum tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam menurut Bromley, dalam Satria (2009) dapat dibedakan atas empat kelompok : (1) milik umum (open accses), (2) milik negara (state), (3) milik pribadi atau perorangan (private) dan (4) milik bersama (communal).

Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumberdaya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumberdaya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumberdaya alam milik bersama, maka sumberdaya milik pribadi merupakan sumberdaya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumberdaya milik kelompok /komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok /komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumberdaya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya. Pada sumberdaya milik negara merupakan sumberdaya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.

Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumberdaya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumberdaya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumberdaya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik.

Hukum adat adalah satu-satunya produk hukum yang difahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa yang sudah mengakar sejak awal desa terbentuk (pada awalnya masih berupa kampung). Ada tiga hal pokok yang diatur oleh hukum adat berkenaan dengan penguasaan lahan, yaitu pengakuan hak, kewajiban pengguna lahan, serta pola pemanfaatan ruang. Terkait dengan pengakuan hak, hukum adat menyebutkan bahwa setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan


(21)

adat (kampung) maka diakui hak kepemilikannya terhadap orang yang membuka tersebut. Aturan ini bermakna bahwa sejak dulu hukum adat telah memberikan ruang kepada warga untuk menguasai lahan garapan secara pribadi dan setiap orang boleh menguasai lahan secara pribadi. Hak kepemilikan lahan ini bisa gugur ketika lahan bukaan tersebut tidak digarap hingga menjadi hutan kembali dan sudah tidak terlihat tanda-tanda bahwa lahan-lahan tersebut pernah dibuka. Untuk mengantisipasi kehilangan hak tersebut, warga sejak dulu menerapkan cara dimana lahan yang dibuka selalu diberi tanda dengan cara menanam pohon. Jenis-jenis pohon yang umum ditanam di lahan bukaan baru adalah durian, duku, kelapa, mangga, dan sebagainya.

Sebelum kehadiran hukum-hukum formal, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan dan pohon di wilayah desa diatur sepenuhnya oleh hukum adat. Menurut keterangan warga, hukum-hukum pemerintah kolonial dulunya tidak menyentuh aspek pengaturan di tingkat desa, demikian pula halnya pada masa Kesultanan Jambi dimana hukum-hukum adat tetap diakui keberadaannya terutama dalam pengaturan pemanfaatan ruang. Pemerintah kolonial Belanda maupun Kesultanan Jambi menyerahkan pengaturan di tingkat kampung kepada pimpinan adat dengan berlandaskan pada hukum-hukum adat. Hal ini terjadi karena pada dasarnya mandat hak penguasaan wilayah pada waktu itu diberikan pada pimpinan adat (marga dan kampung) dan unsur inilah yang kemudian mengatur pendistribusian dan pola pemanfaatannya melalui hukum-hukum adat yang disepakati. Hal ini berlangsung hingga terjadinya masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang dilandasi oleh pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Esensi pemberlakuan sistem pemerintahan baru ini meliputi dua aspek, yaitu meredefinisi desa dan merestrukturisasi pola penguasaan sumberdaya alam.

Pasca masa peralihan sistem pemerintahan tersebut, wilayah desa kemudian didefinisikan terbatas hanya meliputi ruang pemukiman dan kelola masyarakat sedangkan sumberdaya alam (khususnya kawasan hutan) yang belum terjamah pada proses selanjutnya berada dalam penguasaan negara. Oleh negara, kawasan hutan tersebut ditata sedemikian rupa menurut fungsinya yang mencakup hutan proteksi, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain.


(22)

Sebagian wilayah desa menurut batas-batas yang dipahami warga pada masa kemargaan dulu yang masih berupa kawasan hutan juga menjadi bagian dari penguasaan negara.

Pola produksi desa yang bertumpu pada aktivitas pertanian masih dominan berbasis terhadap ketersediaan sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun diakses dari kawasan hutan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa membuka hutan tidak hanya memiliki makna sebagai upaya ekspansi lahan melainkan juga bermakna sebagai klaim lahan. Karena dengan cara membuka hutanlah warga mampu meningkatkan produksi pertanian mereka dan menambah luasan lahan yang mereka miliki. Akibatnya, ketika di desa sudah tidak tersedia lahan-lahan yang memungkinkan untuk dibuka maka kawasan hutan negara kemudian menjadi sasaran ekspansi lahan bagi warga desa.

Beberapa masyarakat desa menunjukkan sejak dulu mereka memiliki sistem norma yang mengendalikan aspek pemanfaatan sumberdaya hutan yang kenyataannya juga saat ini sudah banyak yang ditinggalkan oleh konstituennya. Di samping itu, di beberapa desa juga dijumpai adanya inisiatif-inisiatif lokal untuk mempertahankan sumberdaya hutan melalui sistem proteksi yang mereka sebut hutan adat ataupun hutan desa. Inipun kemudian diragukan mengenai keberlanjutannya karena masih sulit untuk diyakini kemungkinan kearifan-kearifan semacam itu bisa bertahan di tengah kondisi keterdesakan secara ekonomi dan tekanan-tekanan yang bersumber dari luar. Kalaupun negara memberikan dukungan terhadap kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal, itupun hanya sebatas pemberian hak kelola dan bukan hak menguasai. Jika sewaktu-waktu negara berkepentingan terhadap wilayah kelola masyarakat tersebut, hak kelola tersebut bisa saja dicabut. Ini berarti, posisi masyarakat dalam mempertahankan klaim sumberdaya alam yang dianggap sebagai bagian dari wilayah desanya masih sangat lemah.

Uraian di atas menunjukan bahwa studi mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan terutama di Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi penting untuk terus dikembangkan mengingat hal tersebut telah menjadi bagian dari masalah pokok di desa. Desa yang masyarakatnya sebagaian besar hidup dari pola


(23)

agraris, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan menjadi sangat penting. Hal ini terutama terkait dengan pola produksi di desa yang peningkatannya masih berorientasi terhadap penambahan luas lahan garapan. Di sisi lain, ketatnya kontrol negara terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan tekanan kebijakan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu juga Sesuatu yang mengkhawatirkan adalah rendahnya penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai tamu di rumahnya sendiri.

Studi ini mencoba untuk mengeksplorasi berbagai dimensi yang terkait dengan aspek penguasaan dan pemanfaatan lahan serta dinamika pola nafkah masyarakat di Desa Baru Pangkalan Jambu.

1.2.Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan salah satu Desa di Propinsi Jambi yang di dalamnya berada Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sebagian besar masyarakat desa secara turun menurun memanfaatkan sumberdaya lahan sebagai sumber penghidupan mereka, dimana pemanfaatan sumberdaya lahan tersebut digunakan dalam bentuk kebun karet masyarakat.

Hutan dalam kehidupan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu memegang peranan penting dikarenakan pohon yang tumbuh di hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebagian besar kawasan Desa Baru Pangkalan Jambu adalah hutan dan di dalamnya terhadap hutan Negara (TNKS). Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sudah selayaknya memanfaatkan sumberdaya alam yang di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena masyarakat tersebut sudah puluhan tahun hidup dengan bersandar pada sumberdaya lahan.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa kebutuhan masyarakat akan lahan sangat lah tinggi. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sehubungan dengan perubahan peruntukan lahan tersebut adalah terjadinya krisis sumberdaya lahan dimana masyarakat semakin sulit untuk melakukan ekspansi lahan pertanian. Masyarakat sejak dulu hidup berbasis


(24)

sumberdaya alam khususnya sumberdaya lahan dan sudah terbiasa melakukan aktivitas pertanian dengan cara membuka hutan.

Dengan kompleksitasnya permasalahan tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Bertitik tolak dari penjelasan di atas maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa kolonial hingga masa reformasi sekarang ini?

2. Bagaimana dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu di tengah hadirnya penguasaan sumberdaya alam oleh negara?

1.3.Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menjelaskan sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Secara lebih khusus tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa kolonial hingga masa reformasi sekarang ini.

2. Menganalisis dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu di tengah hadirnya penguasaan sumberdaya alam oleh negara.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam hal bagaimana sistem penguasaan sumberdaya alam serta dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin. Sehingga dalam hal ini pemerintah kabupaten bahkan propinsi dapat menentukan atau menyusun kebijakan yang berkaitan dengan sistem penguasaan


(25)

sumberdaya alam serta strategi adaptasi nafkah masyarakat sekitar hutan. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan bagaimana bagaimana distribusi pemanfaatan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat.


(26)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teori Hak Kepemilikan

Ostrom dan Schlager (1996) dalam artikelnya yang berjudul ―The Formation Of Property Rights‖ mengemukakan bahwa hak kepemilikan sumberdaya dicirikan menjadi (1) hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam, seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya. (3) hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) hak eksklusi (exclusion right) adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. (5) Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual, menyewakan atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya.

Lebih lanjut Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa hak akses dan hak pemanfaatan digolongkan pada hak tingkat operasional (operasional level), sedangkan hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan digolongkan pada tingkat pilihan bersama (collective-choice level).

Secara umum hak kepemilikan sumberdaya dan status aktor terhadap sumberdaya juga dikemukakan oleh Ostrom dan Schlager (1996) yang kemudian diringkas oleh Satria (2009), adapun hal tersebut disajikan pada tabel 1 berikut :


(27)

Tabel 1. Kumpulan Hak Kepemilikan dan Status Posisi Aktor

Tipe hak Owner Proprietor Claimant Authorized User

Authorized Entrant

Access X X X X X

withdrawal X X X X

Management X X X

Exclusion X X

Alienation X Sumber : Satria, 2009

Dari tabel di atas menunjukan bahwa pihak yang hanya mendapatkan hak akses, maka status posisi aktor hanyalah sebagai authorized entrant. Sementara itu, jika hanya memiliki hak akses dan hak pemanfaatan, maka status aktor tersebut adalah sebagai authorized user. Apabila pihak yang hanya memiliki hak akses, hak pemanfaatan, dan hak pengelolaan maka status aktor tersebut adalah sebagai claimant. Sedangkan pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan dan hak eksklusi maka status aktor tersebut adalah sebagai proprietor, dan jika pihak memiliki semua kategori hak maka status aktor tersebut adalah owner. Menurut Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009), bahwa status posisi aktor tersebut dapat berubah-berubah setiap waktu karena sifat status tersebut adalah dinamis.

Bromley dalam Satria (2009) menyebutkan bahwa setidak ada empat rezim dalam kepemilikan sumberdaya, yaitu :

(1) Akses terbuka (open access) adalah dalam konteks akses terbuka tidak ada pengaturan tentang apa, dimana, siapa, dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan serta bagaimana terjadinya persaingan bebas sumberdaya. Dalam open acces sumber daya alam dipandang tidak dimiliki oleh siapa pun. Oleh karena itu, masyarakat merdeka melakukan pemanfaatan dengan caranya sendiri. Sebagian masyarakat memanfaatkannya secara arif. Namun lebih banyak lagi yang memanfaatkannya secara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hardin (ahli biologi dan ekologi manusia), ketidak-arifan dalam pengelolaan sumber daya tersebut menghasilkan suatu ―tragedy of the


(28)

commons”, yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya akibat adanya pendayagunaan yang berlebihan. Tragedi menurut terminologi Hardin itu ―hanya terjadi‖ jika tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan sumber daya alam, sehingga setiap anggota masyarakat berpacu untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui pendayagunaan sumber daya alam tanpa memperhatikan kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya-dukung sumber daya yang bersangkutan karena sumber daya alam dianggap sebagai milik bersama (common property).

(2) Negara (state property) adalah pemanfaatan sumberdaya yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, namun pada rezim ini biaya pengelolaan sumberdaya menjadi tinggi terutama pada tahap pelaksanaan, pemantaua, dan pengawasan karena sulitnya melaksanakan aturan dan penegakan hukum. Aturan-aturan yang dibuat seringkali berbenturan dan tidak sesuai dengan kondisi lapang. Setidaknya terdapat dua distorsi berkaitan dengan state property: Pertama, konsep negara sebagai ―penguasa‖ (aspek publik) didistorsi menjadi negara sebagai ―pemilik‖ (aspek private); Kedua, ―Negara‖ direpresentasikan menjadi ―Pemerintah,‖ sehingga pemerintah lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, pengurus dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan kebanyakan hak-hak privat lahir sebagai hak berian dari negara atau pemerintah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak-hak pengelolaan baik yang diberikan kepada masyarakat atau berkolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Distorsi tersebut membuat state property bukan menjadi milik umum, melainkan menjadi milik pribadi buatan atau milik kelembagaan yang disebut Pemerintah.

(3) Swasta (private property) dimana biasanya dalam rezim kepemilikan swasta ini merupakan hak yang bersifat temporal, dikarenakan izin yang diberikan oleh pemerintah. Namun pada rezim kepemilikan swasta ini sumberdaya menjadi hancur dikarenakan eksploitasi yang sangat besar terhadap sumberdaya tanpa melihat sisi kelestarian


(29)

sumberdaya tersebut. Sehingga dalam hal ini sering terjadinya konflik dengan masyarakat setempat. Private property sebagai kepemilikan pribadi (individual atau korporasi) adalah jenis hak yang terkuat karena memiliki empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak lainnya, yaitu: (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap, (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara ekslusif pemegang hak, (c) transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain baik secara penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai), dan (d) enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan. Oleh karena empat alasan itu maka private property dianggap sebagai hak yang paling efisien dan mendekati sempurna. Dorongan kesempurnaan hak yang memiliki empat sifat tadi berorientasi pada kepastian dan efisiensi dalam industrialisasi.

(4) Masyarakat (communal property) dimana rezim kepemilikan masyarakat ini bersifat turun-menurun, lokal, dan spesifik. Regulasi yang dibuat dalam rezim ini pun bersifat pengetahuan lokal sehingga dalam hal ini regulasi yang diterapkan sangatlah efektif.

Peluso dan Ribot (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Formulasi ini memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang mendesak dan memungkinkan orang untuk menguntungkan dari sumber daya tanpa menfoukuskan diri pada hubungan properti semata. Peluso dan Ribot melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses. Perhatian mereka memetakan perubahan proses dan hubungan akses dengan sumber daya. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Akses secara empirik menfokuskan diri pada siap yang mendapatkan apa, dalam cara apa, dan kapan. Menfokuskan pada sumber daya alam sebagai sesuatu dalam pertanyaan, telah


(30)

mengeksplor jarak kekuatan yang berefek pada kemampuan orang-orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya. Kekuatan ini terdiri atas material, kebudayaan, dan ekonomi-politik dengan ikatan dan jarigan kekuasaan yang menyusun akses sumber daya. Analisa akses juga membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, apakah atau tidak mereka mempunyai kepemilikan barang pada mereka.

Studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja. kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003), diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‗bundel kekuasaan‖ (bundle of powers) dan ―jaringan kepentingan‖ (―web of powers‖) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya.

Macpherson juga menambahkan studi akses juga membantu memahami keanekaragaman jalan orang yang berasal dari keuntungan sumber daya, termasuk diantaranya hubungan properti. Teori akses: menempatkan properti pada tempatnya Peluso dan Ribot membedakan teori akses dan teori properti. Akses lebih kepada kemampuan sedangkan kepemilikan ada pada properti. Kemampuan sama dengan kekuasaan, yang mereka batasi dalam dua hal, pertama kapasitas beberapa aktor yang mempengaruhi praktis dan ide yang lain.

Banyak dimensi akses yang akan diakses yang termasuk diantaranya mengitari definisi yang digunakan dalam studi properti. Properti berhubungan dengan literature dan dalam pengunaan sehari-hari terhadap kepemilikan sendiri atau dibatasi oleh hukum, adat atau konvensi. Walaupun dengan konsep hubungan property dan tenure bisa dilihat dalam hubungan kepemilikan sendiri sumber daya dan sanksi penegndalian dalam institusi. Oleh krena itu, analisa akses


(31)

membutuhkan perhatian pada properti sebagaimana tindakan terlarang, hubungan produksi, hubungan pemberian judul dan sejarah dari semua itu.

Peluso melihat akses, seperti halnya properti, selalu berubah, tergantung pada posisi individu dan kelompok serta keuasaan dengan variasi hubungan sosial. Peluso mengutip pendapat para ahli mengenai properti, seperti Ghani yang berpendapat bahwa properti seharusnya direpresentasikan sebagai ikatan kekuasaan. Menempatkan analisa ekonomi-politik dalam melihat akses terhadap sumberdaya akan membantu dalam memahami identifikasi dasar dengan beberapa orang yang bisa mengmabil keuntungan dari sebagian suumber daya sementara yang lain tidak. Pengendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kuasaan untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontolan merupakan dua hal yang saling melengkapi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mencoba menggunakan konsep teori akses dan hak kepemilikan sebagai pisau analisis dalam melihat strategi adaptasi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Selain itu pentingnya teori akses dan hak pemilikan ini di jadikan pisau analisis, karena ingin melihat sejauh mana akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu? Sedangkan terkait dengan hak kepemilikan, peneliti berusaha mengungkapkan bagaimana status penguasaan dan hak kepemilikan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu?

2.2.Teori Eksklusi Sosial

Buku yang ditulis oleh Hall et.al (2011), Powers of exclusion. Land Dillemmas In Southeast Asia, adalah mengeksplorasi kekuasaan eksklusi di ranah Agraria Asia Tenggara. Dalam powers of exclusion yang dilihat adalah siapa yang terekslusi dalam konsteks agraria dan sumber daya alam. Pendekatan ini digunakan sebagai cara baru untuk mengamati dinamika perubahan agraria yang


(32)

sedang berlangsung. Powers of exclusion itu dapat dijelaskan dengan rumus 4 x 6. Powers of exclusion terjadi karena ada 4 faktor dalam 6 proses. Empat faktor pokok tersebut yang saling berintegrasi didalam beroperasinya konsep ekslusi yakni, regulasi (regulation), pasar (market), paksaan (force) dan legitimasi (legitimation). Berikut penjelasan lebih jauh tentang ke empat kekuatan tersebut:

Pertama, peraturan (regulation) menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan orang tersingkir untuk memiliki atau mendapatkan manfaat atas tanah. Peraturan yang dimaksud baik berupa peraturan formal maupun peraturan informal. Peraturan formal adalah apa saja peraturan yang dibuat oleh lembaga formal dalam hal ini yang merepresentasikan negara. Sedangkan peraturan informal merupakan peraturan yang dibuat atau berkembang oleh otoritas di luar negara, misalkan hukum adat maupun kebiasaan yang diterapkan masyarakat dalam mengatur pembagian dan penggunaan sumber daya alam.

Kedua, Legitimasi (legitimacy) berkaitan dengan pola relasi di dalam komunitas dan juga dengan institusi adat maupun institusi lainya yang memberikan kekuasaan di dalam masyarakat. Membicarakan legitimasi berarti juga menyangkut representasi dan pola pengambilan keputusan di dalam koumintas.

Ketiga, pasar (market) yang bekerja sebagai pengontrol aktivitas ekonomi yang dilakukan terhadap tanah dan manusia. Intervensi pasar tidak hanya terbatas pada distribusi, melainkan juga mempengaruhi bagaimana dan dimana produksi kebutuhan pasar akan dilakukan. Tekanan inilah yang menentukan siapa yang akan terseingkir dalam pertanian.

Keempat, paksaan (force) tentu saja bisa menyingkirkan. Oleh karena itu, paksaan atau kekuatan yang dilakukan terhadap petani akan membuat mereka tersingkir dari tanah yang mereka hidupi. Kekerasaan bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang berebut dalam konflik tanah.

Ekslusi tersebut berlangsung dalam enam proses antara lain: (1) regularisasi hak atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi dan perdamaian; (2) Ekspansi ruang dan intensifikasi dengan mendorong konservasi hutan dengan menekan aktivitas pertanian: (3) ―New Boom Crop‖ berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi lahan


(33)

besar-besaran; (4) konversi tanah setelah penggunaan untuk pertanian; (5) proses-proses yang timbul dari formasi agraria di dalam desa secara ―intimate‖; (6) mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah.

Proses eksklusi bisa terjadi karena aturan-aturan telah berpusat pada negara dan formalisasi untuk hak mengekslusi orang atas akses tanah. Juga, dinamika eksklusi berlangsung perubahan cara menggunakan tanah sebagai cadangan untuk beberapa aktor dan menyangkal untuk pihak yang lain. Selain itu, perlu diingat bahwa kekuasaan eksklusi senantiasa pisau bermata dua (double edge). Eksklusi senantiasa menciptakan keamanan dan ketidakamanan. Misalkan hutan yang dijadikan konservasi taman nasional tidak diperbolehkan untuk diakses oleh petani.

Eksklusi sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh. Proses ini terutama sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat (Pierson, 2002).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka teori eksklusi sosial digunakan sebagai pisau analisis untuk menjelaskan bagaimana terjadinya eksklusi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam mengakses sumberdaya lahan yang disebabkan oleh keberadaan kebijakan negara yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

2.3. Strategi dan Pola Nafkah

Pengertian nafkah (livelihood) hidup seringkali digunakan dalam menganalisis tentang kemiskinan dan pembangunan. Kemudian Chamber dan


(34)

Conway (1991) memberikan pengertian mengenai pola nafkah adalah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Dimana akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia dalam hal memiliki, mengendalikan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum demi memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu juga definisi dari strategi nafkah dikemukakan juga oleh Ellis (2000), dimana Ellis (2000) mengemukakan bahwa pola nafkah tersusun atas

(1) Aset, dimana pengertian aset diartikan sebagai modal alamiah, fisik, manusia, finansial, serta sosialnya.

(2) Aktivitas nafkah, dimana pengertian aktivitas nafkah disini diartikan sebagai sejumlah kegiatan individu atau rumah tangga dalam menggunakan sumberdaya modal yang tersedia demi menyokong kehidupannya.

(3) Akses, dimana dalam konteks akses disini diartikan sebagai suatu kemampuan individu atau rumah tangga untuk memperoleh fasilitas sosial dan pelayanan yang telah disediakan oleh negara.

Lebih lanjut lagi Ellis menggambarkan strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis, dalam konteks krisis disini diartikan sebagai kondisi yang krisis seperti wabah penyakit, bencana alam, perang dan kondisi krisis lainnya. Sehingga terdapat perbedaan dalam hal strategi adaptasi yang dilakukan dalam kondisi krisis dengan kondisi biasa (normal).

Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas dari pada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata-pencaharian semata-mata. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar ―aktivitas mencari nafkah belaka‖, sebagai strategi pembangunan sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi


(35)

yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Strategi nafkah dalam pandangan Coleman (1994) adalah merupakan serangkaian tindakan rasional yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya. Namun jika merujuk pada pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi nafkah adalah tindakan rasional individu untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya.

Analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di Kuningan adalah lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan. Konsep strategi nafkah yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumah tangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya, yang kemudian hasil penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan secara material dan spriritual.

Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006) menyebutkan bahwa strategi rumah tangga penduduk Desa Padabeunghar terbentuk dari ketersediaan sumberdaya yang digunakan sebagai sumber nafkah, pengaruh perubahan ketersediaan modal alami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan pengaruh hubungan dengan komunitas di luar Desa Padabeunghar. Delapan tipe strategi nafkah yaitu ―ekstensifikasi‖, ―orientasi‖, ―investasi‖, integrasi, asuransi, basis remittance, basis modal sosial, dan basis pekerjaan dalam desa. Sehingga semua tersebut menunjukan pada pilihan rasional rumah tangga dalam menghadapi perubahan nilai-nilai masyarakat dan ketersediaan sumberdaya dalam rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian Widodo (2009) menjelaskan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri dari strategi ekonomi dan strategi sosial. Dimana strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan untuk strategi social dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai peranan penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila dilihat dari basis nafkah yang dilakukan, rumah tangga miskin melakukan


(36)

upaya diversifikasi nafkah pada semua sektor baik on farm, off farm maupun non farm.

Menurut Geertz (1981), perubahan pola nafkah yang terjadi di Pedesaan Jawa pada Masa Kolonial Belanda diakibatkan oleh pertambahan penduduk dan sumberdaya alam yang terbatas. Sehingga masyarakat Pedesaan Jawa menerapkan teknik padat tenaga (buruh tani).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan strategi nafkah sebagai pisau analisis dikarenakan peneliti ingin mengungkapkan dinamika pola nafkah yang terjadi pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam bertahan hidup?

2.4. Pengertian Masyarakat Desa Hutan

Masyarakat desa hutan sebagai satu kesatuan hidup manusia mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan komunitas lain. Adapun perbedaan tersebut antara lain : jenis lingkungan tempat tinggal, sistem kemasyarakatan, dan sistem kebudayaan. Masyarakat desa hutan sesuai dengan julukannya tinggal dilingkungan sekitar dan dalam hutan. Masyarakat desa hutan relatif masih bersifat tertutup, terisolasi, dan terpencil dengan kehidupan komunitas luar yang disebabkan sifat hutan tropis yang melingkupi. Sistem kemasyarakat yang ada di masyarakat desa hutan terintegrasi secara kuat diantara sesama warganya (in group) dengan tingkat solidaritas dan toleransi yang sangat tinggi berbeda dengan solidaritas dan toleransi terhadap masyarakat asing di luar komunitasnya sangat rendah. Sistem mata pencaharian masyarakat desa hutan kini telah mengalami pergeseran. Pertama, dari segi diversitasnya mata pencaharian masyarakat tidak hanya bertumpu pada hasil kegiatan bercocok tanam, berburu, meramu dan menangkap ikan. Masyarakat desa hutan kini memiliki mata pencaharian yang heterogen, mulai dari pertanian, peternakan, pedagang, karyawan perusahaan hingga pegawai pemerintah. Kedua, praktek pertanian berladang berpindah yang masih diterapkan masyarakat desa hutan – dimana dulu dianggap merupakan praktek pertanian yang adaptif dan rasional – kini justru disinyalir tidak lagi adaptif dan rasional terhadap kelestarian ekosistem sumberdaya hutan. Ketiga, secara ekonomis pertanian ladang berpindah semakin


(37)

lama semakin tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang mengusahakannya (Nugroho, 2005).

Lebih jauh Nugroho (2005) mengatakan bahwa sistem pengetahuan masyarakat desa hutan saat ini pun mengalami perkembangan. Kini, pengetahuan masyarakat desa hutan tidak hanya sebatas pengetahuan tentang lingkungan sekitar, namun telah bergeser ke dalam lingkungan nasional maupun internasional, dimana hal tersebut diakibatkan adanya ekspansi budaya globalisasi dan modernisasi.

Hutan dalam kehidupan masyarakat memegang peran penting bagi masyarakat sekitar hutan karena pohon yang tumbuh serta sumberdaya lainnya yang berada di dalam kawasan hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sebagian besar kawasan Desa Baru Pangkalan Jambu adalah hutan dan juga di dalamnya terdapat hutan negara yaitu Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Menurut Awang (1993) dalam Sardjono (2004) berdasarkan pengalamannya berpendapat bahwa pada dasarnya seluruh masyarakat lokal di dalam atau di sekitar areal hutan di luar Jawa berbasis pada pertanian dan ladang atau sering disebut pertanian ―gilir-balik‖. Ini berarti bahwa forest dwellers dan forest surrounding villagers dalam perkembangannya pada dasarnya memiliki kegiatan yang kurang lebih sama. Oleh karena itu Awang (1993) lebih memilih mengelompokkan masyarakat menjadi tiga beserta karakteristiknya dengan mendasarkan pada perkembangan sosial-ekonomi (termasuk mata pencahariannya) kelompok masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Masyarakat terisolir, yaitu mereka yang tinggal di wilayah terisolir (remote areas) yang biasanya seperti wilayah geografis perbukitan, lembah-lembah atau tepi sungai, merupakan kelompok masyarakat adat yang berada di tempat asalnya hingga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan (termasuk tanah adat yang dihormati bersama).

b. Masyarakat baru yang transisi, yaitu mereka yang mencoba merubah kehidupan dan penghidupannya ke arah yang lebih baik dengan datang


(38)

atau tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti tepi jalan atau pusat kegiatan (basecamp) HPH.

c. Masyarakat yang menetap, yaitu yang telah tinggal pada suatu kampung (termasuk kampung tua yang dibentuk nenek moyang), pada wilayah-wilayah yang memiliki akses lebih luas terhadap kehidupan diluar dan oleh karenanya lebih berkembang dibandingkan kelompok masyarakat terisolir dan transisi.

2.5. Konsep Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (Community Forest Management)

Konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat telah diterima dan diakui sejak dua dekade yang lalu, sebagai salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian hutan. Pendekatan tersebut difokuskan terhadap upaya-upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dalam rangka mempertahankan konservasi sumberdaya hutan. Pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfataan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Keberhasilan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tergantung pada tingkat keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya hutan. Keeratan hubungan dapat dibangun melalui kejelasan hak milik (proverty right) dan aturan-aturan lokal yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Bromley, 1989).

Kajian-kajian mengenai masyarakat lokal menjadi penting untuk dibahas tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal memperlakukan sumberdaya alam di sekitarnya, namun tidak hanya memperlakukan tapi juga memanfaatkan berbagai hal yang positif demi kepentingan generasi mendatang. Disamping itu, pola-pola interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan, yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasikan rencana pengelolaan sumberdaya hutan,


(39)

dengan menempatkan peran aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan teknik-teknik modern (Sardjono, 2004).

Aspek penting lainnya terkait dengan eksistensi masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan adalah fenomena pengetahuan indegenous (indigenous knowledge). Secara umum pengetahuan indegenous diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus. Istilah ini sering digunakan dalam pembangunan yang berkelanjutan, pengetahuan lingkungan tradisional, pengetahuan pedesaan, dan pengetahuan lokal. Pengetahuan indegenous dalam sudut pandang yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai kebudayaan, yang melibatkan aspek sosial, politik, ekonomi, dan spiritual dalam tata cara kehidupan masyarakat lokal. Sistem-sistem pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak selamanya berasal dari tradisi atau pengetahuan tradisional yang dimiliki, namun dapat pula berasal dari respon-respon adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Berkes, 2004).

Dalam kasus lain dijelaskan bahwa pengetahuan indegenous yang telah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam kondisi tertentu menjadi tidak sesuai lagi dibawah kondisi lingkungan yang terdegradasi. Meskipun pada dasarnya pengetahuan indegenous memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, maka pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan memperparah kerusakan lingkungan (Roslinda, 2008).

Masyarakat indigenous mampu dan telah mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan pemahaman yang dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup selaras dengan alam. Pandangan ekologi-sentris ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004).

Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002) menjelaskan bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous menyebabkan perubahan


(40)

yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi.

2.6. Gambaran Pola Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya alam yang didasarkan pada peradigma mekanistis-reduksionis bermuara pada terjadinya tragedi of common. Secara filofis terjadinya tragedy of common disebabkan oleh pola dan cara berfikir mekanistis, sehingga manusia tercerabut dari alam dan dari sesama manusianya. Dengan menggunakan logika dominasi, manusia lebih diutamakan dan dianggap bernilai pada dirinya sendiri, sementara alam hanya dilihat sebagai obyek dan alat bagi kepentingan manusia untuk dieksploitasi. Pendek kata ―manusia menjadi tuan dan penguasa alam‖. Berbeda dengan paradigma mekanistik reduksionis, maka paradigma ekologis memandang manusia tidak terpisah dari dan berada di atas alam, tetapi sebagai bagian integral dan menyatu dengan alam. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, pendekatan ekologi lebih multidimensi, tidak hanya memperhitungkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi selain manfaat ekonomi. Pendekatan ekologi telah merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh berbagai komunitas-etnis di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh etnis Pakpak dalam kegiatan perladangan. Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan dan menjadi praktek kehidupan pada komunitas adat-lokal Pakpak di Dairi Sumatera Utara didasarkan atas kearifan tradisional, dengan karakteristik: pengetahuannnya merupakan milik bersama komunitas, dikelola secara holistik, moralis, praksis dan ekologis. Pengelolaan sumberdaya berdasarkan kearifan tradisonal mampu menjamin keberlanjutan ekologi dan pembangunan berkelanjutan.

Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan


(41)

walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP).

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelembagaanpenguasaan lahan makkalice dan mabbali pada Desa Timpuseng sudah tidak diberlakukan lagi oleh masyarakat melalui peraturan desa disebabkan seringnya terjadi pencurian kemiri dan juga disebabkan luas pemilikan lahan lahan masyarakat sudah sangat terbatas (rata-rata 0,5 ha). Sedangkan pada petani di Desa Mariopulana, masyarakat masih memberlakukan sistem mabbali dan makkalice dikarenakan lahan penduduk masih luas, yaitu rata-rata lahan wanatani kemiri monokulturnya di atas 1, 5 ha.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yaya Sumarya tahun 2002 bahwa luas lahan usahatani yang dikuasai, baik di Kecamatan Ciampea maupun di Kecamatan Nanggung, mempunyai nilai yang sangat strategis mengingat pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan keluarga, sekalipun pengaruh ini bersifat searah karena penguasaan lahan bukan satu-satunya penentu tingkat pendapatan (dalam hal ini adalah tingkat kemiskinan). Sehingga semakin besar hasil usahatani yang diperoleh mengakibatkan semakin tinggi pendapatan, demikian sebaliknya. Oleh kerana itu, kemiskinan di pedesaan erat kaitannya dengan distribusi penguasaan lahan usahatani. Selain itu juga status penguasaan lahan seperti di maksud adalah mencakup lahan milik sendiri, lahan sewa maupun lahan sakap. Lahan sewa menunjukan kecenderungan lebih produktir dibandingan dengan lahan milik sendiri maupun sakap. Dilihat dari sisi penggarap, penguasaan lahan secara sakap yang dilakukan oleh petani golongan kecil justru tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap tingkat pendapatannya. Hal ini bisa terjadi karena lemahnya posisi tawar (bargaining power) petani kecil sebagai client dan pemilik lahan sebagai majikan (patron).

Dalam kesimpulannya, White dan Martin (2002a, hal 22) menyatakan bahwa ‗pengakuan hak tradisional dan penguasaan lahan masyarakat – serta


(42)

rasionalisasi penguasaan lahan hutan publik dalam skala yang lebih luas– memberi kesempatan kepada berbagai negara untuk secara dramatis memperbaiki kehidupan berjuta manusia yang tinggal dekat hutan‘. Sebuah laporan lainnya menyajikan daftar unsur-unsur kepastian penguasaan lahan. Yang paling penting adalah kelembagaan masyarakat yang efektif (temasuk aturan-aturan yang jelas dan dilaksanakan, serta batas-batas sumberdaya hutan). Upaya-upaya hukum memperkuat klaim masyarakat, yang disertai pemetaan sumberdaya, pendidikan masyarakat dan lobi merupakan strategi-strategi yang penting.

2.7.Kerangka Pemikiran

Sejak pemberlakuan UU No.5/1979, penguasaan sumberdaya alam didominasi oleh negara yang kemudian berdampak terhadap hilangnya ruang bagi pemberlakuan hukum adat dalam pengaturan sistem tenurial karena pada prinsipnya hukum tegak di atas teritorial tertentu yang diakui secara legal keberadaannya. Desa pecahan marga belum memiliki batas-batas yang diakui secara legal oleh negara sehingga desa berada pada posisi yang lemah untuk mempertahankan wilayah klaimnya. Hukum-hukum adat yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam juga menjadi lemah ketika berhadapan dengan hukum formal. Warga desa tidak dapat mencegah kehadiran perusahaan yang memperoleh izin resmi dari negara yang melakukan eksploitasi terhadap ruang yang menjadi klaim desa.

Kebijakan daerah yang mendorong pengelolaan hutan desa yang sebagian merupakan kawasan hutan adat yang dikelola secara turun-temurun oleh warga desa merupakan sisi lain yang dipandang sebagai bentuk penghapusan hak-hak penguasaan adat. Mentransformasi hutan adat ke dalam bentuk hutan desa sama artinya mentransformasikan hak penguasaan adat ke dalam penguasaan negara karena dalam pengelolaan hutan desa hanya ada hak kelola yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, nampak jelas bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) lambat laun telah mendorong penurunan kemampuan warga


(43)

sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Maka pada konteks ini lah peneliti mencoba membangun sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN

Masyarakat Negara

Hak Penguasaan Adat Hak Penguasaan Negara

Aturan informal (adat) Aturan Formal

Perubahan Sumber Nafkah

Hutan Adat Sebagai Bentuk penguasaan Sumberdaya lahan


(44)

Berangkat dari pemahamam di atas, peneliti mencoba mengkaji pola penguasaan sumberdaya lahan yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu, serta perubahan-perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan yang terjadi, yang kemudian di benturkan dengan pendekatan Bromley dalam Satria (2009), yang mengatakan setidaknya terdapat empat rezim penguasaan sumberdaya alam. Selain itu juga peneliti memasukan bentuk penguasaan adat yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu. Lebih lanjut peneliti mencoba melihat perubahan-perubahan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.


(45)

III.

METODOLOGI

3.1. Paradigma dan Strategi Penelitian

Paradigma penelitian terbagi atas empat alternatif, yaitu paradigma positivisme, post-positivisme, teori kritis dan kontruktivisme (Guba dan Lincoln, dalam Salim, 2001). Mengacu atas rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigm teori kritis. Paradigma teori kritis ini dapat digunakan untuk membahas masalah intervensi kebijakan negara dalam sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (qualitative Approach), menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum, studi kasus memberikan akses dan peluang yang kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus juga dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu juga studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar belakang permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam. (Yin 1997).

Data kualitatif diperoleh dari informasi informan. Metode kualitatif diambil dengan cara mempelajari sebuah fenomena yang spesifik secara mendalam dan rinci (Marshall dan Rossman, 1989). Untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat dilakukan tiga tahap, yaitu a) pemilihan informan awal yang terkait dengan penelitian, b) pemilihan informan lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan c) menghentikan pemilihan informan lanjutan apabila dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode secara snowball sampling. Dalam penelitian ini subyek penelitian tidak tergantung kepada jumlah subyek penelitian, melainkan potensi kasus yang menggambarkan kedalaman subyek penelitian yang mengalami gejala sosial.


(46)

Informan dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu informan untuk wawancara mendalam dan informan untuk peserta focus group discussion

(FGD) Informan untuk wawancara mendalam terdiri dari orang-orang yang dinilai mampu memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian Karakteristik Informan. Informan untuk peserta focus group discussion (FGD) terdiri dari orang-orang yang dinilai representatif untuk mewakili masyarakat atau kelompok yang dianggap menguasai data/informasi yang dibutuhkan.

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif yakni pada masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu Propinsi Jambi. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Baru Pangkalan Jambu memiliki keragaman sistem penguasaan lahan dan keragaman sumber penghidupan masyarakat. Adapun waktu penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yang dimulai dari bulan Maret sampai dengan Mei 2012.

3.3.Unit Analisis

Pemilihan unit analisis didasarkan pada persoalan yang hendak diteliti, unit analisis suatu penelitian dapat berupa benda, individu, kelompok, wilayah dan waktu tertentu sesuai dengan fokus penelitiannya. Dalam penelitian ini digunakan unit analisis yaitu komunitas dan individu. Untuk mengkaji perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, maka subyek penelitian yang dipilih adalah individu sebagai bagian dari masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, serta para individu sebagai pihak-pihak yang dianggap mengerti dan paham mengenai kondisi desa sehingga mendapatkan gambaran menyeluruh tentang topik penelitian. Pihak-pihak tersebut meliputi lembaga pemerintah, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sejumlah pertimbangan mengapa individu dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini.


(47)

Pertama, sebagai konsekuensi atas pilihan paradigma yang telah diletakkan dalam penelitian ini, yang melihat realitas sosial atau gejala sosial itu ada pada individu atau internalized dalam individu, sehingga satuan analisisnya adalah tingkah laku individu dan kolektivitas hanya sebagai hasil teratur dari perbuatan-perbuatan individu (Veerger, 1993). Dalam terminologi sosiologi dikenal dengan group behaviour (behavioral pattern).

Kedua, realitas sosial yang dikonstruksikan oleh individu yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan saling berbagi makna, dan keberadaan realitas sosial tersebut tidak dapat dipisahkan dari individu. Individu-individu merupakan realitas konkrit dan obyektif dan masyarakat hanya merupakan nama yang merujuk pada asosiasi diantara mereka. Jadi tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam rangka memahami fenomena sosial (Nugroho, 2001).

Ketiga, para aktor—seperti lembaga adat, pemerintahan desa, pengelola hutan adat, dan individu adalah merupakan individu-individu yang berada dalam suatu jaringan sosial personal tertentu, regulasi tertentu, ―kode etik‖ tertentu dan dalam bentuk pertukaran tertentu. Artinya dalam penelitian ini, individu dilihat sebagai anggota kelompok (group) sehingga penelitian ini dapat mengungkap dan mengkonstruksi ”groupbehaviour” (behavioral pattern).

3.4.Metode Pengumpulan Data

Untuk memenuhi kebutuhan analisis, ada dua macam data/informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu data/informasi primer dan data/informasi sekunder. Data/informasi primer adalah data/informasi yang diperoleh secara langsung dari informan melalui wawancara mendalam (in-depth interview), focus group discussion (FGD), dan observasi.

In-depth interview dilakukan untuk memperoleh data/informasi dari informan mengenai sejarah penguasaan lahan yang bersubstansi pada adaptasi masyarakat desa Pangkalan Jambu, untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat dilakukan tiga tahap, yakni (a) pemilihan informan awal yang terkait dengan fokus penelitian, (b) pemilihan informan lanjutan guna


(1)

Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia- Bogor: Pusata Penelitian Biologi LIPI.

Sajogyo. 1991. Struktur Agraria Di Pedesaan Jawa. Yayasan Agro ekonomi. Bogor.

Sumarya, Yaya. 2002. Hubungan antara distribusi penguasaan lahan usahatani dengan kemiskinan di pedesaan (studi kasus di Kecamatan Ciampea dan Nanggung Kabupaten Bogor). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ritzer, G. dan Goodman, D.J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana Prenada Media Group Jakarta.

Roslinda E. 2008. Hutan Kemasyarakatan Buku Ajar Mata Kuliah. Bandung: ALFABETA.

Salim. Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial : dari Denzin Guba dan Penerapannya. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta

Sardjono. M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta.

Satria. Arif. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Kampus IPB Dramaga Bogor.

Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif - Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonnomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi suatu pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soerjani. Moh., Ahmad. Rofiq., Munir. Rozy., 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Sugiyanto. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif – Kualitatif Dan R&D. Alfabeta

Bandung.

Susilowati SH, Suryani E. 1996. Struktur Penguasaan Lahan di Perdesaan Jawa Tengah. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 3 : 1-18.


(2)

Somerville, Peter. 1998. Explanations of social exclusion: where does housing fit in?‖ Housing Study, Vol. 13, No. 6: 761-780.

Suhendang. Endang. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). IPB. Bogor.

Tauchid, Moch. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN.

Tjondronegoro. S. M. P. 1999. Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih.

Yayasan AKATIGA. Bandung.

Tjondronegoro, SMP dan Wiradi, Gunawan (Peny). 2008. “Dua Abad

Penguasaan Tanah; Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari

Masa ke Masa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Turnbull CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation. Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 94002-3098 USA.

White, A. dan Martin, A. 2002. Who Owns the Worlds Forests? Forest Tenure and Public Forests and Transition. Forest Trends and Center for International Environmental Law, Washington, DC.

Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Di Daerah Pesisir Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur. Tesis. Program pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Wiradi, Gunawan. 2005. ”Reforma Agraria Untuk Pemula”, Jakarta: Bina Desa. Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Selesai,

STPN Press, Yogyakarta

Winkel W.S. 1994. Psikologi Pengajaran. PT. Grainedia, Jakarta.

Yin, Robert K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT. Ra Grafindo Persada. Jakarta.

(YPM) Yayasan Prakarsa Madani. 2003a. Konstruksi Pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin Propinsi Jambi. Kerjasama Yayasan Prakarsa Madani Jambi – Yayasan Kemala Jakarta.


(3)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Penguasaan Sumberdaya di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa Pemerintahan Belanda sampai saat ini

Wilayah Penguasaan Pada Masa Pemerintahan Marga

Wilayah Penguasaan Pemerintahan Desa

Wilayah Penguasaan saat ditetapkan sebagai TNKS

Teritori TNKS Teritori

Desa

Wilayah Marga


(4)

Lampiran 2. Foto Sebagian Gambaran Pemukiman Desa Baru Pangkalan Jambu . (foto, 2011)

Lampiran 3. Sungai Merupakan Batas Alam Antara Hutan Adat dan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), (Foto, 2011)


(5)

Lampiran 4. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Adat Terhadap Sumberdaya Hutan


(6)

Lampiran 6. Contoh hari pertama daftar kehadiran peserta Focus Group Discussion (FGD)