berdirinya bangunan masjid, dimana berdirinya bangunan masjid tersebut berawal dari ide masyarakat. Ide tersebut menyebutkan bahwa mendirikan masjid dapat
dilakukan dengan cara menjual sebagian kecil kayu-kayu dikawasan Hutan adat dengan mempertimbangkan kebutuhan yang diperlukan saja, artinya masyarakat
memperkirakan seberapa kebutuhan akan kayu sehingga terbentuknya masjid tersebut. Berdasarkan pernyataan salah satu informan yang merupakan pencetus
ide tersebut menyebutkan : “ pada waktu itu di Desa Baru pangkalan Jambu belum ado masjid,
jadi sayo berpikir kayak mano supayo ado masjid didesa kami, akhirnyo sayo kasih ide ke masyarakat kayak mano kalo
pembangunan masjid ni ngambek dananyo dari kayu-kayu Hutan Adat, tapi kami itung dulu seberapo perlunyo kayu tu kalo dijual
biso buat masjid sehinggo kami dak perlu minta sumbangan lagi
dari warga, warga cukuplah sumbang tenago bae...” Mkt, wawancara tanggal 20 Maret 2012
“ pada waktu itu di Desa Baru Pangkalan Jambu belum ada masjid, jadi saya bagaimana suapaya ada masjid di desa kami, akhirnya
saya berikan ide ke masyarakat, bagaimana kalau pembangunan masjid ini mengambil dananya dari kayu-kayu hutan adat, tapi kami
hitung dulu seberapa perlunya kayu itu kalau dijual bisa buat masjid sehingga kami tidak perlu minta sumbangan lagi dari warga, warga
cukup sumbang tenaga saja....” Mkt, wawancara tanggal 20 Maret 2012
5.4. Ikhtisar
Selama masa Kolonial Belanda sampai dengan masa kemerdekaan Desa Baru Pangkalan Jambu sudah mengenal penguasaan sumberdaya lahan, selama
masa tersebut terdapat tiga rejim penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu penguasaan adat, penguasaan pribadi dan penguasaan
kaum. Namun setelah pasca masa kemerdekaan terdapat perubahan rejim penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan masuknya
rejim penguasaan sumberdaya lahan oleh Negara.
Pada masa pemerintahan marga sebelum masuknya rejim penguasaan negara, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dikuasai oleh dua unsur pimpinan
adat yaitu Rio Niti dan Datuk Bendaharo kayo. Kedua unsur inilah yang mengatur pendistribusian lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yang kemudian apabila
masyarakat ingin membuka lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu terlebih dahulu harus mendapatkan izin dan persetujuan dari Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo,
karena hal tersebut tertuang dalam aturan adat yaitu : “setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan
pimpinan adat yang berkuasa di atas wilayah Desa Baru Pangkalan
Jambu maka akan diakui hak kepemilikannya” Kemudian tidak sampai disitu saja, jika penguasaan negara mempunyai
aturan atau pajak mengenai kawasan penguasaannya, maka pada aturan adat juga berlaku mengenai aturan atas pungutan pemanfaatan lahan, sungai, serta kawasan
hutan, dimana aturan tersebut berbunyi : “ Ke darat bebungo kayu, ke ayik bebungo pasir, ke sawah ke
ladang bebungo emping “ Artinya tiap-tiap warga berkewajiban membayar pungutan hasil panen
yang diperoleh dari mengambil hasil hutan dan sungai serta tiap-tiap melakukan aktivitas bersawah dan berladang maka diwajibkan membayar pungutan cukai
ke pasirah marga sesuai dengan hasil yang diperoleh.
Pada masa Pemerintahan Marga, aspek penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu lebih terpusat pada aturan adat, artinya adatlah yang
menentukan atas penguasaan sumberdaya lahan. Untuk saat ini aturan-aturan tersebut masih diakui dan ditaati oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu
untuk wilayah yang masih berada dalam penguasaan marga, seperti hutan adat, sawah. Hal ini terlihat pada struktur pengelolaan hutan dimana pengelolaan hutan
adat harus dijabat oleh Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo karena pada dasarnya kawasan hutan adat tersebut berada dalam wilayah kekuasaan kedua pimpinan
adat tersebut. Terdapat beberapa fase perubahan penguasaan sumberdaya lahan di Desa
Baru Pangkalan Jambu, yaitu : 1 Perubahan dari masa pemerintahan marga menjadi pemerintahan Desa. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca perubahan
sistem pemerintahan yaitu teritori marga adat dan teritori desa. Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi pemerintahan desa berdampak
pada melemahnya otoritas dan berkurangnya wilayah adat marga terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan marga, penguasaan sumberdaya alam
sepenuhnya berada pada penguasaan marga adat. Hampir seluruh hak dimiliki oleh marga adat terhadap sumberdaya alam kecuali hak pengalihan, sehingga
pada masa pemerintahan marga status kepemilikan marga adalah sebagai proprietor. Hak-hak yang dimiliki oleh marga adat tersebut, yaitu : hak akses,
hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi. Kemudian pada masa pemerintahan desa, hak adat marga tersebut tetap ada namun untuk wilayah
yang masih berada dalam klaim adat marga, sedangkan untuk diluar wilayah tersebut adat marga tidak mempunyai hak lagi. 2 Perubahan sejak ditetapkan
sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS. Terdapat tiga teritori yang berbeda pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, yakni : wilayah
penguasaan marga, wilayah penguasaan desa, dan wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan TNKS berdampak pada hilangnya hak
masyarakat, baik hak adat, hak kaum, hak individu, maupun hak desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan TNKS. Hak-hak yang hilang tersebut
seperti hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan, sedangkan hak akses dan hak pemanfaatan tetap ada namun hanya untuk zona pemanfaatan tradisional
saja. Pada masa pemerintahan desa dan pemerintahan marga, status kepemilikan adat marga dan desa terhadap sumberdaya alam adalah sebagai proprietor.
Sedangkan sejak ditetapkan sebagai TNKS status kepemilikan adat marga dan desa pun berubah menjadi authorized user.
Dampak dari perubahan penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan adanya penguasaan sumberdaya oleh negara maka dapat
mempersempit ruang gerak masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam pemanfaatan sumberdaya lahan itu sendiri, yang mana masyarakat desa masih
bertumpu pada pemanfaatan hasil hutan seperti hasil hutan non kayu rotan, damar, serta madu hutan.
Sejak adanya penguasaan sumberdaya oleh negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS akses masyarakat Desa Baru
Pangkalan Jambu pun makin terbatas, artinya bahwa penguasaan sumberdaya yang awalnya berada dalam pengawasan adat kemudian hal tersebut sedikit
banyak telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu.
Berbagai macam tanggapan masyarakat terhadap keberadaan TNKS di wilayah desa, dimana tanggapan-tanggapan tersebut umumnya bersifat negatif,
salah satunya adalah masyarakat beranggapan bahwa sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi TNKS diwilayah desa Baru Pangkalan Jambu tidak
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa, artinya bahwa TNKS tersebut telah menutup akses masyarakat terhadap hasil hutan yang terkandung
didalamnya.
VI. DINAMIKA POLA NAFKAH
6.1. Awal Mula Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu