yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha,
maupun kolonialisasi.
2.6. Gambaran Pola Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat
Pengelolaan sumberdaya alam yang didasarkan pada peradigma mekanistis-reduksionis bermuara pada terjadinya tragedi of common. Secara
filofis terjadinya tragedy of common disebabkan oleh pola dan cara berfikir mekanistis, sehingga manusia tercerabut dari alam dan dari sesama manusianya.
Dengan menggunakan logika dominasi, manusia lebih diutamakan dan dianggap bernilai pada dirinya sendiri, sementara alam hanya dilihat sebagai obyek dan alat
bagi kepentingan manusia untuk dieksploitasi. Pendek kata ―manusia menjadi tuan dan penguasa alam‖. Berbeda dengan paradigma mekanistik reduksionis,
maka paradigma ekologis memandang manusia tidak terpisah dari dan berada di atas alam, tetapi sebagai bagian integral dan menyatu dengan alam. Dalam
hubungannya dengan sumberdaya alam, pendekatan ekologi lebih multidimensi, tidak hanya memperhitungkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi juga berbagai
aspek dan dimensi selain manfaat ekonomi. Pendekatan ekologi telah merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh
berbagai komunitas-etnis di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh etnis Pakpak dalam kegiatan perladangan. Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan dan
menjadi praktek kehidupan pada komunitas adat-lokal Pakpak di Dairi Sumatera Utara didasarkan atas kearifan tradisional, dengan karakteristik: pengetahuannnya
merupakan milik bersama komunitas, dikelola secara holistik, moralis, praksis dan ekologis. Pengelolaan sumberdaya berdasarkan kearifan tradisonal mampu
menjamin keberlanjutan ekologi dan pembangunan berkelanjutan. Susilowati dan Suryani 1996 serta Suhartini dan Mintoro 1996 juga
mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor
produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan
walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan
gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola
pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani RTP.
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelembagaanpenguasaan lahan makkalice dan mabbali pada Desa Timpuseng sudah tidak diberlakukan lagi
oleh masyarakat melalui peraturan desa disebabkan seringnya terjadi pencurian kemiri dan juga disebabkan luas pemilikan lahan lahan masyarakat sudah sangat
terbatas rata-rata 0,5 ha. Sedangkan pada petani di Desa Mariopulana, masyarakat masih memberlakukan sistem mabbali dan makkalice dikarenakan
lahan penduduk masih luas, yaitu rata-rata lahan wanatani kemiri monokulturnya di atas 1, 5 ha.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yaya Sumarya tahun 2002 bahwa luas lahan usahatani yang dikuasai, baik di Kecamatan Ciampea maupun di
Kecamatan Nanggung, mempunyai nilai yang sangat strategis mengingat pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan keluarga, sekalipun pengaruh ini
bersifat searah karena penguasaan lahan bukan satu-satunya penentu tingkat pendapatan dalam hal ini adalah tingkat kemiskinan. Sehingga semakin besar
hasil usahatani yang diperoleh mengakibatkan semakin tinggi pendapatan, demikian sebaliknya. Oleh kerana itu, kemiskinan di pedesaan erat kaitannya
dengan distribusi penguasaan lahan usahatani. Selain itu juga status penguasaan lahan seperti di maksud adalah mencakup lahan milik sendiri, lahan sewa maupun
lahan sakap. Lahan sewa menunjukan kecenderungan lebih produktir dibandingan dengan lahan milik sendiri maupun sakap. Dilihat dari sisi penggarap, penguasaan
lahan secara sakap yang dilakukan oleh petani golongan kecil justru tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap tingkat pendapatannya. Hal ini bisa
terjadi karena lemahnya posisi tawar bargaining power petani kecil sebagai client dan pemilik lahan sebagai majikan patron.
Dalam kesimpulannya, White dan Martin 2002a, hal 22 menyatakan bahwa
‗pengakuan hak tradisional dan penguasaan lahan masyarakat – serta
rasionalisasi penguasaan lahan hutan publik dalam skala yang lebih luas –
memberi kesempatan kepada berbagai negara untuk secara dramatis memperbaiki kehidupan berjuta
manusia yang tinggal dekat hutan‘. Sebuah laporan lainnya menyajikan daftar unsur-unsur kepastian penguasaan lahan. Yang paling penting
adalah kelembagaan masyarakat yang efektif temasuk aturan-aturan yang jelas dan dilaksanakan, serta batas-batas sumberdaya hutan. Upaya-upaya hukum
memperkuat klaim masyarakat, yang disertai pemetaan sumberdaya, pendidikan masyarakat dan lobi merupakan strategi-strategi yang penting.
2.7. Kerangka Pemikiran