Kebijakan Infrastruktur Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

PanjangjalanKm 65 desentralisasi proporsi jalan kualitas mantap relatif tidak berubah, bahkan mengalami penurunan dari 64,98 persen pada tahun 2001 menjadi 61,61 persen pada tahun 2010 Gambar 7. Panjang jalan kualitas tidak mantap perlu mendapatkan perhatian dengan pengalokasian dana pemeliharaan secara memadai karena jalan dengan kualitas tidak mantap justru akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut, sehingga menjadi ekonomi biaya tinggi. Meningkatnya panjang jalan kualitas tidak mantap bisa dikarenakan bencana maupun tidak memadainya biaya pemeliharaan jalan. Berdasarkan realisasi APBN kabupatenkota tahun 2010, rata-rata alokasi dana untuk sektor pekerjaan umum hanya mencapai 14 persen. Menurut Analisis Anggaran daerah tahun 2007-2010 di 40 kabupatenkota, khusus untuk program-program jalan dan jembatan, rata-rata dana yang dialokasikan hanyalah Rp 52 juta per kilometer jalan, atau sekitar seperempat dari dana yang dibutuhkan untuk pemeliharaan berkala saja. 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 Kualitas mantap Kualitas tidak mantap 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS diolah Gambar 7 Perkembangan panjang jalan kabupatenkota menurut kualitasnya periode 2001-2010 Aksesibilitas jalan dapat ditunjukkan dengan nilai rasio panjang jalan kabupatenkota kualitas mantap per luas wilayah. Aksesibilitas jalan menunjukkan tingkat ketersediaan jalan di suatu kabupatenkota. Berdasarkan aksesibilitas jalan menurut kabupatenkota pada tahun 2010, secara umum masih terlihat adanya ketimpangan, baik berdasarkan wilayah administrasi kabupaten-kota maupun letak geografis Jawa-luar Jawa Gambar 8. Akses jalan tertinggi adalah Kota Wilayah Statistik Deskriptif 66 Kupang, yaitu 44 m per km 2 , sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Teluk Wondama, yaitu panjang jalannya kurang dari 1 m untuk setiap 1 km 2 luas wilayahnya. N Akses Jalan mkm2 0 - 60 60 - 180 180 - 340 340 - 830 830 - 44430 Sumber: BPS diolah Gambar 8 Peta aksesibilitas jalan menurut kabupatenkota tahun 2010 Pembangunan pada masa orde baru yang dinilai timpang memberikan keuntungan tersendiri bagi wilayah kota dan Jawa, yaitu mempunyai nilai awal aksesibilitas jalan lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten dan luar Jawa. Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian kewenangan penyediaan infrastruktur jalan ternyata belum mampu mendorong wilayah kabupaten dan luar Jawa untuk mensejajarkan aksesibilitas jalannya dengan wilayah kota dan Jawa. Tabel 10 Perbandingan akses jalan kabupatenkota kualitas mantap menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 Uji beda rata-rata N Mean Median Std. Dev. t p-value Kabupaten 399 0,31 0,17 0,78 -5,80 0,00 Kota 98 3,28 2,01 5,05 Luar Jawa 379 0,64 0,16 2,60 -4,07 0,00 Jawa 118 1,73 0,58 2,53 Sumber: BPS diolah Pada tahun 2010, rata-rata aksesibilitas jalan kota lebih tinggi dibandingkan dengan aksesibilitas jalan kabupaten, aksesibilitas jalan kota mencapai 3,28 m per km 2 luas wilayah, sedangkan aksesibilitas jalan kabupaten tidak mencapai 0,5 m per km 2 luas wilayah. Begitu pun aksesibilitas jalan kabupatenkota di Jawa Ta rg et M D G s R u mah tangg a 67 lebih tinggi tiga kali dibandingkan dengan aksesibilitas jalan kabupatenkota di luar Jawa. Hasil uji beda rata-rata mendukung kesimpulan tersebut Tabel 10.

4.2.2 Infrastruktur Air Bersih

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih Nugroho 2003. 80,00 68,87 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber: BPS diolah Gambar 9 Persentase rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak 1993-2010 Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015 mencapai 68,87