Perizinan Usaha Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

48 1. Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2. Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3. Promosi produk lokal kepada investor melalui exhibition, trade fair promosi perdaganganinvestasipotensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4. Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5. Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi Usaha Kecil Menengah UKM untuk mengatasi salah satu hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur. Terlihat di sini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di Kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemda campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif. Aspek program pengembangan usaha swasta dinilai dari lima variabel, yaitu: Variabel Wilayah Statistik Deskriptif 49 1. Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha. 2. Tingkat partisipasi program pengembangan usaha. 3. Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha. 4. Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan. Terdapat beberapa program pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti: pelatihan menejemen bisnis, pelatihan tenaga kerja, promosi produk lokal, menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang-besar, pelatihan aplikasi kredit bagi UKM, dan pertemuan mitra bisnis. Secara umum hanya sekitar 68 persen pelaku usaha yang mengetahui bahwa Pemda setempat mempunyai program pengembangan usaha, dan dari pelaku usaha yang mengetahui hanya 63 persen diantaranya yang berpartisipasi Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan variabel-variabel program pengembangan usaha swasta menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 Uji beda rata-rata N Mean Std. Dev. t p-value Q79R1: Pengetahuan keberadaan PPUS Q79R2: Partisipasi PPUS Kab. 202 69,34 37,68 0,96 0,34 Kota 43 63,19 40,13 Luar Jawa 199 67,04 38,54 -1,04 0,30 Jawa 46 73,52 36,14 Kab. 202 58,80 38,13 -1,21 0,23 Kota 43 66,52 37,28 Luar Jawa 199 56,99 38,72 -3,09 0,00 Jawa 46 73,78 31,73 Q79R3: Manfaat PPUS Kab. 189 90,30 17,57 -1,52 0,13 Kota 43 93,29 9,74 Luar Jawa 186 91,87 16,09 1,90 0,06 Jawa 46 86,77 17,31 Q64R2: Dampak terhadap kinerja usaha Kab. 202 11,57 10,78 -4,99 0,00 Kota 42 21,02 12,90 Luar Jawa 199 13,77 11,99 1,79 0,08 Jawa 45 10,68 10,06 Sumber: KPPOD diolah Secara umum pengetahuan pelaku usaha mengenai PPUS berbanding lurus dengan skala usahanya. Hal ini berlaku untuk seluruh kegiatan PPUS. Pelatihan tenaga kerja, misalnya, diketahui oleh 51 persen pelaku usaha skala besar. Tetapi kegiatan ini hanya diketahui oleh 29 persen usaha skala menengah, 20 persen 50 skala kecil, dan 5 persen skala mikro. Pelatihan manajemen bisnis juga diketahui oleh 35 persen pelaku usaha skala besar, sementara program tersebut hanya diketahui oleh 5 persen skala mikro. Hal ini menandakan Pemda belum terlalu berhasil untuk mensosialisasikan PPUS kepada para pelaku usaha, terutama usaha kecil dan mikro. Tidak terdapat perbedaan pengetahuan pelaku usaha terhadap PPUS, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Namun, tingkat partisipasi pelaku usaha di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa.

4.1.5 Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah

Kinerja pemerintahan, selain dipengaruhi oleh sistem kelembagaan, juga tergantung pada pejabat pemerintah yang menjalankannya. Suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik dapat memberikan batas dan rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisasi penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran kepala daerah bupatiwalikota dalam tata kelola pemerintahan. Hasil studi JPIP tahun 2007 di Jawa Timur menemukan bahwa pengambil keputusan utama lahirnya inovasi daerah berada di tangan kepala daerah hingga mencapai 73 persen KPPOD 2011. KPPOD 2007, menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun, di sisi lain publik mencatat banyaknya pejabat negara maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Melalui sejumlah peraturan perundang-undangan, pemerintah telah menegaskan political will untuk memerangi korupsi. Pemerintah mengesahkan UU No. 281999 tentang ―Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme , UU No. 311999 yang diubah dengan UU No. 202001 mengenai ―Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memerangi korupsi. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan pelembagaan KPK Komisi 51 Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 302002 tentang ―Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing-masing. Dalam hal Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Aspek kapasitas dan integritas kepala daerah terdiri dari lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1. Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2. Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3. Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4. Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5. Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha. Secara umum, tingkat kepercayaan pelaku usaha terhadap kepala daerahnya cukup tinggi. Sekitar 64 persen pelaku usaha percaya bahwa bupatiwalikota punya pemahaman yang baik mengenai persoalan dunia usaha. Proporsi yang sama juga berlaku untuk penempatan aparat Pemda, 64 persen pelaku usaha menilai bahwa birokrasi telah ditempatkan secara profesional. Secara keseluruhan kapasitas dan integritas bupatiwalikota bukanlah kendala yang berarti bagi kinerja pelaku usaha di daerah. Hanya 5 persen pelaku usaha yang merasa terhambat kinerja perusahaannya akibat kapasitas dan integritas kepala daerah. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar kepala daerah yang ada di daerah yang diteliti untuk studi kali ini merupakan kepala daerah yang cukup mendukung kinerja pelaku usaha di daerah. Namun ada yang menarik yaitu bahwa kepala daerah yang tegas terhadap tindakan korupsi tidak secara otomatis tidak melakukan tindakan korupsi. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha bahwa kepala daerah tidak melakukan korupsi hanya setengah dibandingkan persepsi bahwa kepala daerah merupakan pemimpin yang tegas terhadap tindakan pemberantasan korupsi. Sehingga Variabel Wilayah Statistik Deskriptif 52 ketegasan terhadap tindakan korupsi lebih terlihat sebagai pencitraan saja. Hal ini diduga terkait dengan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah, sehingga kepala daerah terpilih harus mengembalikan modal politiknya dengan melakukan tidakan korupsi karena gaji yang diterima sebagai kepala daerah tidak mencukupi. Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara karakteristik kapasitas dan integritas kepala daerah antar wilayah administrasi dan geografis. Hanya variabel keseluruhan kapasitas dan integritas kepala daerah yang berbeda, yaitu kapasitas dan integritas kepala daerah di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Tabel 6 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 Uji beda rata-rata N Mean Std. Dev. t p-value Q79R1: Kepala daerah paham persoalan pelaku usaha Q79R2: Pejabat ditunjuk Kab. 202 62,63 21,36 -1,40 0,17 Kota 43 66,88 17,36 Luar Jawa 199 64,13 20,60 1,19 0,23 Jawa 46 60,09 21,28 Kab. 202 63,47 23,14 -0,53 0,60 berdasar keterampilan yang Kota 43 65,09 17,01 relevan Luar Jawa 199 64,13 22,30 0,55 0,59 Jawa 46 62,15 21,75 Q79R3: Kepala daerah tegas terhadap tindakan pemberantasan korupsi Q79R4: Kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi Q79R5: Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat Q64R2: Keseluruhan kapasitas dan integritas kepala daerah Kab. 202 65,93 23,51 -0,07 0,95 Kota 43 66,16 18,93 Luar Jawa 199 65,15 22,75 -1,18 0,24 Jawa 46 69,52 22,57 Kab. 202 34,04 23,92 -0,91 0,37 Kota 43 36,80 16,63 Luar Jawa 199 34,76 22,69 0,33 0,74 Jawa 46 33,52 23,48 Kab. 202 75,32 20,00 -0,77 0,44 Kota 43 77,28 13,81 Luar Jawa 199 75,23 19,22 -0,74 0,46 Jawa 46 77,54 18,40 Kab. 202 94,57 9,34 -0,74 0,46 Kota 43 95,34 5,22 Luar Jawa 199 94,20 9,46 -2,99 0,00 Jawa 46 96,88 4,01 Sumber: KPPOD diolah