Spesifikasi Model Penelitian METODE PENELITIAN
Variabel Wilayah
Statistik Deskriptif 39
Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha yaitu:
1. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2. Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan.
3. Persepsi tentang tidak ada penggusuran lahan oleh Pemda. 4. Persepsi tentang tidak ada konflik lahan.
5. Persepsi tentang keseluruhan kemudahan akses lahan usaha. Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan waktu
pengurusan sertifikat tanah antar kabupaten dan kota. Waktu pengurusan sertifikat tanah di Jawa lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk
pengurusan tanah di luar Jawa, hal ini disebabkan sudah relatif terbatasnya tanah di Jawa sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi.
Tabel 2 Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata N
Mean Std. Dev.
t p-value
Q31: Lama urus sertifikat minggu
Q34: Kemudahan dapat lahan
Q38: Tidak ada penggusuran
Q40: Tidak ada konflik lahan
Q42: Keseluruhan kemudahan akses
lahan Kab.
201 9,06
5,30 0,39
0,70 Kota
43 8,72
4,67 Luar Jawa
199 8,48
5,19 -3,35
0,00 Jawa
45 11,29
4,60 Kab.
202 69,56
18,49 5,38
0,00 Kota
43 52,70
19,55 Luar Jawa
199 66,82
19,93 0,36
0,72 Jawa
46 65,66
18,96 Kab.
202 97,96
3,05 3,48
0,00 Kota
43 94,80
5,79 Luar Jawa
199 97,37
3,83 -0,36
0,72 Jawa
46 97,59
4,02 Kab.
202 94,67
10,34 1,98
0,05 Kota
43 90,94
11,45 Luar Jawa
199 92,95
11,46 -6,41
0,00 Jawa
46 98,62
2,36 Kab.
202 95,58
6,41 3,10
0,00 Kota
43 92,04
8,40 Luar Jawa
199 94,46
7,36 -3,42
0,00 Jawa
46 97,09
3,84
Sumber: KPPOD diolah
40 Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh sertifikat tanah adalah
delapan minggu. Waktu pengurusan terlama terjadi di dua kabupaten di Papua, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sarmi. Waktu yang dibutuhkan untuk
mengurus sertifikat tanah di kedua kabupaten tersebut masing-masing hampir tujuh bulan. Kabupaten Batanghari Jambi merupakan daerah lain yang waktu
pengurusan sertifikatnya sangat lama, hampir enam bulan. Sebaliknya, pelaku usaha di Kabupaten Pulang Pisau Kalteng, Kabupaten Lebong Bengkulu, dan
Kabupaten Lembata NTT rata-rata hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk mengurus sertifikat tanah.
Berdasarkan tingkat kemudahan memperoleh lahan, Kabupaten Melawi Kalbar, Kabupaten Kolaka Utara Sultra, dan Kabupaten Mamuju Sulbar
merupakan kabupaten yang paling mudah dalam mendapatkan lahan. Sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Maluku dan Kota Surabaya Jatim adalah
kabupatenkota paling sulit untuk memperoleh lahan, masing-masing hanya dinilai mudah
oleh sekitar 8 persen dan 12 persen pelaku usaha. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan tanah di kabupaten lebih rendah daripada di kota.
Hampir setengah 47 persen pelaku usaha yang berusaha di wilayah kota mengaku kesulitan untuk memperoleh lahan, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pelaku usaha di daerah kabupaten, hanya 31 persen yang mengaku kesulitan memperoleh lahan. Walaupun perbedaannya tidak terlalu jauh tetapi
secara statistik signifikan Tabel 6. Hal ini dikarenakan luas lahan di kota sudah sangat terbatas, sehingga menjadi sulit untuk mendapatkan lahan. Berdasarkan
letak geografis tidak ada perbedaan signifikan mengenai kemudahan memperoleh lahan antara kabupatenkota di Jawa dan luar Jawa.
Resiko penggusuran tempat usaha dirasakan sangat kecil. Secara keseluruhan, hanya 3 persen pengusaha menyatakan sering terjadi penggusuran
tanah di daerahnya. Frekuensi penggusuran di kota lebih tinggi daripada di kabupaten. Penggusuran di kota lebih sering terjadi karena dengan kapasitas
lahan yang sudah relatif terbatas sehingga untuk pembangunan seringkali dilakukan dengan penggusuran. Adapun frekuensi penggusuran di Jawa dan luar
Jawa tidak ada perbedaan yang signifikan.
41
Frekuensi konflik lahan secara umum dinilai jarang terjadi, hanya sekitar 6 persen pelaku usaha yang menyatakan sering terjadi konflik lahan. Sejalan
dengan resiko penggusuran, frekuensi konflik lahan juga lebih sering terjadi di kota daripada di kabupaten. Namun, frekuensi konflik lahan lebih sering
dirasakan terjadi di luar Jawa, seperti konflik lahan perkebunan yang memang kebanyakan berlokasi di luar Jawa.