Ener gi
li st
rik MW
74 Berdasarkan jenis pelanggan listrik PLN, rumah tangga merupakan
pelanggan terbanyak, yaitu pada tahun 2010 mencapai 92 persen atau lebih dari 37 juta pelanggan, disusul oleh pelanggan bisnis 5, sosial 2, serta industri
dan publik masing-masing kurang dari 1 persen. Jika dilihat berdasarkan jumlah energi terjual menurut jenis pelanggan, sejak tahun 2006 rumah tangga
merupakan pelanggan dengan konsumsi listrik terbanyak Gambar 16.
160.000.000 Sosial
Rumah Tangga 140.000.000
120.000.000 Bisnis
Industri Publik
100.000.000 80.000.000
60.000.000 40.000.000
20.000.000 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Sumber: BPS diolah
Gambar 16 Perkembangan energi listrik terjual menurut jenis pelanggan PT. PLN periode 2000-2009
Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2010 sebesar 147,3 juta MW, meningkat 9,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok pelanggan
industri mengkonsumsi 51,0 juta MW 35, rumah tangga 59,8 juta MW 41, bisnis 27,2 juta MW 18, dan lainnya sosial, gedung pemerintah dan
penerangan jalan umum 9,3 juta MW 6. Penjualan energi listrik untuk semua jenis kelompok pelanggan yaitu industri, rumah tangga, bisnis dan lainnya
mengalami peningkatan masing-masing sebesar 10 persen, 9 persen, 9 persen dan 8 persen.
Salah satu ukuran untuk menilai kualitas akses listrik adalah nilai rasio energi terjual oleh PLN terhadap jumlah penduduk atau rata-rata konsumsi listrik
per kapita. Berdasarkan nilai akses listrik PLN per kabupatenkota, rata-rata konsumsi listrik masih bervariasi antar kabupatenkota sebagaimana terlihat pada
Gambar 14. Rata-rata konsumsi listrik tertinggi di Kota Jakarta Barat, yaitu
Wilayah Statistik Deskriptif
75
mencapai 3.500 kWh per kapita per tahun, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Lombok Tengah, yaitu kurang dari 1 kWh per kapita per tahun.
N
Akses Listrik Kwhpenduduk 0 - 96.61
96.61 - 246.32 246.32 - 425.63
425.63 - 685.2 685.2 - 989.67
Sumber: BPS diolah
Gambar 17 Peta aksesibilitas listrik menurut kabupatenkota tahun 2010 Gambar
17 menunjukkan
sebaran aksesibilitas
listrik menurut
kabupatenkota tahun 2010. Rata-rata aksesibilitas listrik pada tahun 2010 di kota empat lebih tinggi dibandingkan dengan aksesibilitas listrik di kabupaten, rata-
rata konsumsi listrik penduduk kota per tahunnya mencapai 962,28 kWh, sedangkan rata-rata konsumsi listrik penduduk kabupaten hanya sekitar 233,70
kWh per tahun. Begitu pun aksesibilitas listrik kabupatenkota di Jawa juga lebih tinggi dibandingkan dengan aksesibilitas listrik kabupatenkota di luar Jawa,
yaitu sekitar tiga kalinya, dengan konsumsi listrik masing-masing adalah 777,26 kWh per kapita per tahun dan 252,86 kWh per kapita per tahun. Hasil uji beda
rata-rata mendukung kesimpulan tersebut, yaitu bahwa konsumsi listrik perkaipta berbeda secara nyata pada taraf 1 persen baik antara kabupaten-kota maupun
Jawa-luar Jawa Tabel 12. Tabel 12 Perbandingan akses listrik kabupatenkota menurut wilayah administrasi
dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata N
Mean Median
Std. Dev. t
p-value Kabupaten
399 233,70
173,09 275,89
-8,28 0,00
Kota 98
962,28 717,77
860,26 Luar Jawa
379 252,86
170,65 283,35
-6,44 0,00
Jawa 118
777,26 436,29
870,95
Sumber: BPS diolah
76
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI
INDONESIA
5.1 Hubungan
Tata Kelola
Pemerintahan dengan
Penyediaan Infrastruktur di Indonesia
Hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan penyediaan infrastruktur pada bagian ini dieksplorasi dengan korelasi pearson. Ada tiga aspek tata kelola
pemerintahan yang diduga terkait dengan penyediaan infrastruktur, yaitu: interaksi Pemda dengan pelaku usaha, kapasitas dan integritas kepala daerah, dan
kebijakan infrastruktur. Hambatan yang paling banyak dikeluhkan oleh para pelaku usaha adalah
mengenai kondisi infrastruktur. Untuk itu dimensi interaksi Pemda dengan pelaku usaha menggambarkan bagaimana dari interaksi yang terjalin tersebut
Pemda merespon dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Masalah penyediaan infrastruktur sangat terkait dengan birokrasi dan
keberpihakan. Untuk itu dengan kapasitas dan integritas kepala daerah diduga akan berpengaruh terhadap penyediaan infrastruktur melalui kebijakan dan
tindakan yang bebas korupsi mengingat penyediaan infrastruktur sangat rawan terhadap terjadinya korupsi.
Aspek kebijakan infrastruktur diharapkan menjadi pelengkap untuk memberikan gambaran terhadap penyediaan infrastruktur selama ini. Aspek ini
merupakan potret penilaian pelaku usaha terhadap kondisi infrastruktur yang ada.
Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha
Berdasarkan nilai korelasi pearson pada Tabel 13, terlihat bahwa dari sembilan variabel hanya ada tiga variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha
yang berhubungan signifikan dengan infrastruktur jalan, yaitu adanya pengertian Pemda mengenai kebutuhan pelaku usaha, adanya diskusi permasalahan yang
dihadapi oleh pelaku usaha, dan adanya penyediaan fasilitas pendukung oleh Pemda. Adapun infrastruktur air bersih dan listrik hanya berkorelasi secara
signifikan dengan pengetahuan pelaku usaha mengenai keberadaan forum komunikasi.
78 Tabel 13 Nilai korelasi infrastruktur jalan dengan variabel interaksi Pemda dengan
pelaku usaha tahun 2010
Variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha Infrastruktur
Jalan Air
Listrik Q61: Keberadaan forum komunikasi
0,094 0,189
0,172 Q62R1: Kepala daerah memberi solusi
0,057 0,037
0,056 Q62R2: Solusi sesuai dengan harapan
0,041 0,037
0,005 Q62R3: Institusi terkait menindaklanjuti
0,068 0,042
-0,005 Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan
0,106 0,040
0,082 Q64R2: Mendiskusikan kebijakan publik
0,080 0,043
0,072 Q64R3: Mendiskusikan permasalahan
0,116 0,049
0,034 Q64R5: Penyediaan fasilitas pendukung
0,118 0,088
0,094 Q71: Hambatan keseluruhan isu interaksi Pemda
-0,028 -0,170
-0,016 dengan pelaku usaha
Keterangan: , dan masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10 dan 1. Sumber: Data olahan
Adanya pengertian Pemda akan kebutuhan pelaku usaha diharapkan akan meningkatkan respon Pemda dengan mengeluarkan kebijakan yang mendukung
dunia usaha. Sedangkan adanya diskusi akan permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha juga diharapkan akan dapat dicarikan solusi bersama untuk
mengatasinya sehingga kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Pemberian fasilitas dari Pemda yang mendukung dunia usaha, maka akan
meningkatkan kinerja perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan output dan PDRB per kapita meningkat. Ketentuan mengenai fasilitas dukungan terhadap
dunia usaha diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,
sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun
2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan perubahan kedua melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun
2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur. Menurut peraturan presiden tersebut, terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan, yaitu: i Dana Tanah the Land Funds merupakan dana
yang dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan pengadaan tanah dan untuk mengatasi masalah ketidakpastian harga tanah., ii Pembiayaan