Kondisi Hidrologi 1. Hidrologi Permukaan Sungai

81 banyak dijumpai mata air yang muncul baik sebagai rembesan seepage maupun contact spring atau topographic spring. Gambar 10 Peta aliran air tanah DAS Babon. 82

4.2.3.4. Kualitas Air

Diskripsi tentang kondisi kualitas air juga sangat diperlukan dalam hubungannya dengan peruntukan air Sungai Babon. Selama ini Sungai Babon dimanfaatkan selain sebagai pengendali banjir melalui saluran banjir Kanal Timur, juga digunakan untuk irigasi, mandi cuci kakus MCK, industri, dan penambangan bahan galian golongan C. Dengan demikian sumber-sumber pencemaran air Sungai Babon adalah bersumber dari kegiatan-kegiatan penduduk MCK, pertanian penggunaan pupuk, pestisida, dan insektisida, penambangan, perikanan, dan industri. Keenam usaha industri yang potensial menimbulkan pencemaran di Sungai Babon dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18, serta peta mengenai kualitas air DAS Babon pada Gambar 11. Tabel 17 Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon No Nama Perusahaan Jenis Kegiatan Polutan 1 PT. Bintang Buana sakti Penyamakan Kulit BOD, COD, DS, Chrom, Sulfida, Phenol, Amoniak, Minyak dan Lemak 2 PT. Condro Purnomo Cipto Sda Sda 3 PT. Puspita Abadi Sda Sda 4 PT. Rodeo Tekstil BOD, COD, TDS, Chrom, Amoniak, Sulfida 5 CV. Sumber Baru Pulp dan Kertas BOD, COD, TDS, Amoniak, Sulfida 6 Puskud Mina Baruna Cold Storage BOD, COD, TDS, Amoniak, Bebas Sumber : Bappedalda Semarang 19961997 Tabel 18 Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon kgtahun No Parameter Tahun Target Diperbolehkan 19951996 19961997 1 BOD 5 194 337.78 86 666.63 76 923.75 2 COD 609 607.89 242 679.52 167 167.50 3 TSS 220 401.19 54 040.14 72 027.75 4 Sulfida H 2 S 1 615.62 126 133.30 299.68 5 Amoniak NH 3 5 922.30 246.49 3 001.25 6 Chrom Total 710.96 185.67 20.19 7 Minyak 11.39 Tidak teramati 1 811.13 Sumber : Bappedalda Semarang 19961997 83 Gambar 11 Peta kualitas air DAS Babon. Berdasarkan pada Surat Keputusan Walikota Semarang No.660.29921994 tentang peruntukan Sungai Babon, bahwa ruas Sungai Babon bagian hilir adalah untuk perikanan golongan B atau kelas 2, yang menyatakan bahwa nilai ambang 84 batas untuk kadar Cr = 0.0 – 0.05 ppm dan Pb = 0.0 – 0.03 ppm, sementara hasil penelitian Kartikasari 2002 di muara Sungai Babon terdapat kandungan Cr = 58.6 – 96.4 ppm dan Pb = 23 – 24.5 ppm. Dengan demikian kualitas air Sungai Babon masih sangat jelek untuk perikanan. Pada umumnya kualitas air Sungai Babon mempunyai pH antara 7.3 – 8.1 termasuk netral, tetapi nilai oksigen terlarut dalam air dissolved oxygen ada yang masih di bawah angka netral untuk hidup biota air sekitar 5-6 ppm dan yang paling rendah mencapai 1.4 ppm yaitu di Banjir Kanal Timur dan muara Sungai Babon. Nilai BOD, COD masih aman untuk berbagai peruntukan, hanya kadar bakteri Coliform ada yang mencapai 460 MPN100 ml yaitu didekat permukiman padat di Jatingaleh.

4.2.3.5. Cekungan Air Tanah

Air tanah di Kota Semarang terdapat pada 2 dua lapisan pembawa air aquifer, yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal unconfined aquifer, dan air tanah dalam atau air tanah tertekan confined aquifer. Keberadaan kedua lapisan pembawa air tanah tersebut berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air adalah cekungan air tanah CAT. Berdasarkan pasal 1 ayat 12 CAT adalah: suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah Kota Semarang berdasarkan Permen ESDM No. 13 Tahun 2009 berada pada CAT Semarang – Demak, dan CAT Ungaran. Untuk jenis air tanah pertama yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air aquifer, dimana bagian atasnya tidak tertutup oleh lapisan kedap air, tetapi bagian bawahnya dilapisi oleh lapisan tanah yang kedap air, sehingga permukaan air tanah bebas muka air tanah ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk Kota Semarang yang berada di dataran rendah, banyak memanfaatkan air tanah ini dengan membuat sumur-sumur gali dangkal dengan kedalaman rata-rata 3 - 18 m. Sedangkan untuk peduduk di dataran tinggi hanya dapat memanfaatkan sumur gali pada musim penghujan dengan kedalaman berkisar antara 20 - 40 m. 85 Kedudukan muka air tanah dangkal bebas di Kota Semarang bervariasi antara 0 meter sampai 20 meter di bawah muka laut, ke arah Utara atau ke arah laut kedudukan muka air tanahnya makin dalam yaitu ± 20 meter, dan makin ke arah atas atau daerah perbukitan muka air tanah mat makin tinggi. Untuk lebih jelasnya kedudukan muka air tanah dangkal bebas disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang, Demak, dan Ungaran. Air tanah tertekan adalah air yang terkandung di dalam suatu lapisan pembawa air yang berada diantara 2 lapisan batuan kedap air, sehingga debitnya hampir selalu tetap. Disamping itu, kualitasnya juga memenuhi syarat sebagai air bersih. Debit air tanah dalam tertekan ini sedikit sekali dipengaruhi oleh musim dan keadaan di sekelilingnya. Untuk daerah Semarang bawah lapisan aquifer di dapat dari endapan alluvial dan delta Sungai Garang. Kedalaman lapisan aquifer ini berkisar antara 50 - 90 meter, terletak di ujung Timur Laut Kota dan pada mulut Sungai Garang lama yang terletak di pertemuan antara lembah Sungai 86 Garang dengan dataran pantai. Kelompok aquifer delta Garang ini disebut pula kelompok aquifer utama karena merupakan sumber air tanah yang potensial dan bersifat tawar. Untuk daerah Semarang yang berbatasan dengan kaki perbukitan terdapat air tanah artesis yang terletak pada endapan pasir dan konglomerat formasi damar yang mulai diketemukan pada kedalaman antara 50 - 90 m. Pada daerah perbukitan kondisi artesis masih mungkin ditemukan karena adanya formasi damar yang permeable dan sering mengandung sisipan-sisipan batuan lanau atau batu lempung. Pengambilan air tanah baik air tanah bebas maupun air tanah tertekandalam di Kota Semarang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengambilan air diakibatkan oleh: 1. Bagi penduduk: PDAM Tirta Moedal tidak mampu melayani kebutuhan air minum penduduk. Jangkauan pelayanan PDAM hanya mampu melayani 56.1 2. Bagi industri: a. Pajak pengambilan air tanah dalam lebih murah dibandingkan dengan tarif PDAM SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003 yaitu sebesar Rp 161m 3 . b. Monitoring dari pihak yang berwajib Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah kurang ketat. Terbukti dengan inkonsistensi data tentang pengguna air tanah dari industri maupun hotel per bulan. Berdasarkan fenomena tersebut, maka jumlah sumur bor dalam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada periode tahun 1996 jumlah sumur bor sebanyak 230 buah, dan meningkat cukup tajam pada tahun 2003, jumlah sumur bor mencapai 540 buah dengan volume pengambilan mencapai 15.31 x 10 6 m 3 tahun, dan terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2005 yaitu sebesar 8 315 sumur bor. Namun jumlah pengambilan air tanahnya malah turun yaitu 8.5 x 10 6 m 3 tahun. Setelah periode tersebut yaitu mulai periode tahun 2006 hingga tahun 2008, tercatat pada tahun 2008 jumlah sumur dalam sebanyak 544 buah dan volume pengambilan sebesar 9.6 x 10 6 m 3 tahun. Perkembangan jumlah sumur dan pengambilan air tanah di Kota Semarang disajikan dalam Tabel 19 dan Gambar 13. 87 Tabel 19 Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilan di Kota Semarang No. Tahun Jumlah Sumur Volume yang Diambil m 3 NPA Rp 1. 1996 230 - - 2. 2003 543 15 310 000 - 3. 2004 3 111 6 198 635 6 670 280 595 4. 2005 8 315 8 539 940 24 022 100 840 5. 2006 5 409 12 115 193 22 951 798 869 6. 2007 449 7 137 555 17 753 863 855 7. 2008 544 9 617 198 26 412 586 708 Sumber: Dinas ESDM Jawa Tengah, 2009 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Volume Yang Diambil 1000 m³th Jumlah Sumur unit Gambar 13 Grafik volume pengambilan air tanah dengan jumlah sumur. Pengambilan air tanah yang terus meningkat tanpa memperhatikan aspek daya dukungnya dalam hal ini adalah safe yield nya, maka akan mengakibatkan resiko lingkungan yaitu penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah dapat terjadi karena pengambilan air tanah yang jauh melebihi kapasitas akuifernya, maka terjadilah penurunan muka air tanah yang mencapai 15 hingga 22 m dbpts 1996. Penurunan muka air tanah akan menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besarnya tegangan efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya maka tanah akan mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada daerah konsolidasi normal. Amblesan 88 tanah yang terjadi di dataran pantai Semarang diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu: a penurunan muka air tanah akibat pemompaan dan b peningkatan beban karena pengurugan tanah. Penimbunan tanah urug untuk reklamasi daerah pantai di daerah penelitian dimulai pada tahun 1980, yaitu meliputi kompleks PRPP, Tanah Mas, Bandarharjo, Pelabuhan Tanjung Mas dan Tambaklorog yang diikuti oleh daerah- daerah lainnya secara tersebar pada tahun 1996. Ketebalan timbunan tanah tersebut berkisar antara 1-5 m, dan diikuti pembangunan perkantoran atau kompleks perumahan. Daerah-daerah yang mengalami penurunan muka air tanah disajikan dalam Gambar 14. Sumber: Direktorat Tata Lingkungan Geologi Kawasan Pertambangan, Departemen ESDM, 2004 Gambar 14 Laju penurunan permukaan tanah Kota Semarang periode 2001- 2003. 4.2.4. Geologi dan Geomorfologi Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh Pannekoek 1949, secara umum geomorfologi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 tiga zona, yaitu: zona utara, tengah, dan selatan. Jika ditinjau dari konsepsi tersebut, maka DAS Babon termasuk dalam zona utara dan tengah dari Pulau Jawa, yang dimulai dari gisik beach dan dataran aluvial pesisir coastal alluvial plain bagian Utara ke arah Selatan meliputi perbukitan struktural lipatan folded hills hingga deretan perbukitan-pegunungan bergunung api volcanic di bagian selatan wilayah studi yang merupakan bagian dari zona tengah Pulau Jawa. 89 Menurut Peta Geologi lembar Semarang skala 1:100.000 tahun 1989 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, maka secara geologis wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 dua kelompok atau satuan, yaitu: a. Bagian Utara DAS Babon Hilir dan tengah DAS Babon Tengah wilayah studi merupakan dataran aluvial pantai Semarang dan Demak serta dataran aluvial yang tersusun oleh material endapan cekungan berupa lempung dan pasiran yang terbentuk zaman Holosen dan Pleistosen Bawah. b. Bagian Selatan wilayah studi DAS Babon Hulu berupa deretan perbukitan hingga pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 Perbukitan rendah struktural lipatan yang merupakan bagian dari ujung-ujung Barat Perbukitan Kendeng, tersusun oleh material batugamping dengan sisipan lempung tufaan dan konglomerat yang terbentuk sejak zaman Pleistosen Bawah; 2 Bukit-bukit sisa dan perbukitan denudasional di bagian hulu DAS Babon tersusun oleh material sedimen berupa batu pasir tufaan, konglomerat dan breksi tufaan yang terbentuk pada zaman Pliosen, serta di beberapa tempat dijumpai pula singkapan batuan dari Formasi Damar; dan 3 Deretan pegunungan volkanik bagian dari Gunung Api Ungaran, yang tersusun oleh material piroklastik berupa aliran lahar, pasir, kerikil, dan kerakal. Secara geomorfologis, keseluruhan wilayah studi terdiri atas 9 sembilan satuan bentuk lahan landform yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 tiga bagian DAS yang terdiri atas: a. DAS Babon Hilir, meliputi: dataran pasang-surut, dataran aluvial dan tanggul alam. b. DAS Babon Tengah, meliputi: satuan bentuk lahan dataran aluvial bekas rawa dan ledok antar perbukitan. c. DAS Babon Hulu, meliputi: deretan perbukitan-pegunungan volkanik terdenudasi, dan igir-igir struktural lipatan Formasi Kendeng hogback. Satuan dataran pasang surut tidal flat merupakan dataran pantai yang masih dipengaruhi oleh aktivitas pasang tertinggi dan surut terendah air laut. Satuan ini terdapat di bagian paling bawah di sekitar muara-muara sungai dengan 90 kemiringan lereng 0-3, tersusun oleh material sedimen lempung darat dan pasir halus fluvio-marine. Material penyusun yang berukuran halus berlumpur dan sering tergenang air laut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mangrove, seperti Rhyzopora sp. bakau dan Avicennia sp. api-api, sehingga satuan ini lebih spesifik disebut sebagai rawa garaman salt marsh. Sebagian besar muara-muara sungai tertutup oleh sedimentasi dari darat lumpur dan lebih diperparah lagi khususnya di muara Banjir Kanal Timur oleh bertumpuknya sampah-sampah domestik, sehingga terjadi penyempitan muara sungai. Akibat penyempitan muara dan debit aliran mengecil khususnya di musim kemarau, menyebabkan intrusi air laut melalui permukaan jauh ke dalam, dan proses erosi pantai di sekitar muara banyak terjadi. Satuan yang terdapat di kanan-kiri aliran Sungai Babon dan sering mengalami penggenangan adalah satuan dataran banjir flood plain, yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan tambak. Pada beberapa tempat yang lebih tinggi akibat penimbunan sedimen sungai secara alami dan dimanfaatkan sebagai lahan permukiman penduduk disebut sebagai tanggul alam levee. Kedua satuan ini mempunyai penyebaran yang sempit, dan tersusun oleh perselingan material antara lempung, pasir, dan kerikil. Dua satuan bentuk lahan yang terdapat di bagian tengah DAS Babon adalah satuan dataran aluvial bekas rawa swamp-alluvial plain dan cekungan antar perbukitan intermountain basin. Ditinjau dari aspek morfologi, kedua satuan ini mempunyai kenampakan sama, yaitu berupa dataran dengan lereng datar 0-3 membentuk suatu cekungan. Perbedaan keduanya terletak pada genesis dan material penyusunnya. Dataran aluvial bekas rawa merupakan dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi secara intensif pada daerah yang dulunya berupa rawa-rawa, dengan material penyusun lebih didominasi oleh lempung rawa, sedikit pasir hasil sedimentasi sungai yang mengalir melalui rawa tersebut, dan masih banyak dijumpai cangkang siput rawa, serta pada beberapa tempat juga dijumpai lapisan lempung laut abu-abu yang diperkirakan bagian dari Formasi Kalibeng, zona lipatan sinklinorium Kendeng. Satuan ini terdapat di daerah Rawasari, bagian tengah Sungai Pengkol ke arah Timur, dan banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian subur. Sementara satuan cekungan antar perbukitan 91 berupa suatu dataran aluvial yang dikelilingi oleh jajaran perbukitan-pegunungan volkanik di bagian Barat wilayah studi. Satuan ini tersusun oleh material lempung-berpasir hasil sedimentasi fluvial dari sungai-sungai yang berhulu di puncak-puncak gunung di sekitarnya. Satuan ini merupakan konsentrasi air permukaan dan air tanah dengan permeabilitas material yang baik, sehingga termasuk dalam tipe akuifer yang baik pula. Satuan ini terdapat di sekitar daerah Srondol dan Ngembak, yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian irigasi dan permukiman. Dua satuan lain berupa deretan perbukitan-pegunungan volkanik dan igir- igir struktural lipatan terdapat di DAS Babon bagian hulu. Satuan-satuan ini pada umumnya mempunyai lereng miring 8-15 hingga curam 15-30, dan hanya pada igir-igir pegunungan saja yang mempunyai lereng sangat curam 30-45, yang mempunyai luasan yang relatif sempit dan lokal-lokal. Pada satuan perbukitan rendah dan bukit-bukit sisa di bagian tengah, banyak terjadi proses erosi alur riil erosion dan erosi parit gully erosion, akibat banyak lahan yang gundul dengan lapisan tanah tipis, serta pada lereng-lereng yang curam telah banyak dijumpai singkapan batuan outcrop. Lahan-lahan gundul dengan lereng 15-30 terjadi akibat konversi lahan yang seharusnya sebagai kawasan penyangga dan daerah tangkapan hujan diubah ke lahan-lahan permukiman mewah real estate dan pusat-pusat pelayanan fasilitas, seperti yang terdapat di sekitar Bukit Gombel Jatingaleh dan Ngesrep, dan di sekitar Meteseh dan kawasan Universitas Diponegoro. Permasalahan alih fungsi lahan inilah yang berpotensi menciptakan erosi dan longsor lahan di daerah perbukitan, serta sedimentasi dan penyempitan aliran-aliran sungai di bagian muara di seluruh DAS Babon. Sementara pada satuan perbukitan-pegunungan volkanik di bagian selatan dan igir-igir struktural lipatan hogback dengan lereng 30 pada umumnya masih banyak dimanfaatkan sebagai kawasan hutan, baik berfungsi lindung maupun penyangga. Alih fungsi lahan ke peruntukan lainnya belum nampak terjadi di satuan ini, dan anya pada beberapa tempat dengan lereng curam, seperti di belokan jalan yang memotong dinding tebing dan pada tebing-tebing sungai, masih dijumpai adanya proses longsor lahan landslide khususnya pada saat musim penghujan. Satuan-satuan ini umumnya tersusun oleh material batupasir 92 tufaan, konglomerat, dan breksi tufaan, kecuali pada igir struktural lipatan yang tersusun oleh batu gamping dengan sisipan lempung dan berselang-seling dengan batupasir tufaan dan konglomerat. Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009 Gambar 15 Peta geologi DAS Babon. 93 4.2.5. Kondisi dan Permasalahan Lingkungan 4.2.5.1. DAS Babon Bagian Hulu Wilayah DAS babon Hulu secara hidrologis meliputi Sub DAS Gung dan Sub DAS Pengkol yang luasnya mencapai hampir 50 dari luas total DAS Babon, oleh karena itu kawasan hulu ini perlu mendapatkan prioritas penanganan dari berbagai aspek lingkungan. Bagian hulu DAS Babon secara geomorfologis termasuk ke dalam wilayah yang tingkat bahaya erosinya berat hingga sangat berat. Hal ini sesuai dengan peta yang dihasilkan oleh Departemen Kehutanan Pola RLKT DAS Babon 1991. Untuk wilayah Sub DAS Gung yang wilayahnya meliputi Kabupaten Semarang, Kota Semarang bagian Selatan Desa Banyumanik, Kramas, Pudakpayung, Pedalangan, Kedawangan, dan Jabungan. Menurut perkiraan BRLKT 1991 tingkat erosi yang paling berat mencapai angka di atas 500 tonhatahun atau sekitar 15 mmtahun yaitu pada kawasan hutan rakyat berupa tegalan, pada kemiringan lereng klas IV 15-40 bentuk wilayah perbukitan dan sebagian besar jenis tanahnya regosol dengan ketebalan solum tanah sekitar 75 cm. Menurut hasil penelitian sebagian besar Sub DAS Gung didominasi oleh satuan lahan D IV Re Tg perbukitan denudasional, lereng 15-30, jenis tanah regosol dan penggunaan lahan tegalan yang menurut Peta Tingkat Bahaya Erosi termasuk sangat berat SB. Untuk wilayah Sub DAS Pengkol hampir mirip dengan kondisi Sub DAS Gung, perbedaannya terletak pada jenis tanahnya yang sebagian besar didominasi tanah latosol, dan sedikit tanah regosol di bagian hilirnya. Satuan lahan didominasi oleh perbukitan denudasional, kemiringan lereng klas II dan III antara 3-8 dan 8-15. Perkiraan tingkat bahaya erosi bervariasi dari ringan, berat, hingga sangat berat. Tingkat bahaya erosi sangat berat terutama terjadi pada kawasan hutan rakyat atau tegalan, pada lereng klas III dengan perkiraan erosi mencapai angka 500 tonhatahun atau sekitar 15 mmtahun. Tekanan penduduk terhadap lahan juga sangat tinggi terutama pada Desa-desa Banyumanik, Kramas, dan Srondol. Besarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian ini telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Salah satu indikator menurunnya daya dukung lingkungan antara lain meningkatnya laju erosi tanah, 94 wilayahnya rentan terhadap kekeringan beberapa mata air telah menyusut debitnya sangat tajam terutama pada musim kemarau, dan berkembangnya erosi lembar menjadi erosi parit, bahkan kemungkinan dapat berkembang menjadi erosi jurang gulley erosion. Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009 Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Babon. Selain itu, proses perubahan konversi penggunaan lahan dari tegalanlahan kering menjadi kawasan permukiman elit di kawasan Srondol, Banyumanik, dan 95 sekitarnya telah menyebabkan menurunnya biodiversitas baik jenis floravegetasi dan fauna daratnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan biodiversitas akibat hilangnya habitat satwa darat, burung, dan sebagainya. Meningkatnya kawasan terbangun di daerah hulu menyebabkan pula menurunnya kawasan fungsi resapan air hujan, sehingga meningkat pula koefisien aliran direct run off. Gejala ini dapat dilihat pada kenampakan-kenampakan berkembangnya erosi permukaan di lahan-lahan tegalan, kebun campuran, dan lahan kosong yang tidak terpelihara terlantar. 4.2.5.2. DAS Babon Bagian Tengah Bagian tengah dari DAS Babon adalah Sub DAS Pengkol yang luasnya sekitar 3 438 hektar. Sebagian besar bentuk penggunaan tanahnya berupa lahan tegalan, permukiman, dan lahan terbuka dengan vegetasi yang jarang; sedangkan pada lahan pekarangan, perkebunan, dan hutan rakyat relatif masih baik penutupan lahannya. Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol ini merupakan salah satu penyumbang sedimen yang terbesar. Hasil perkiraan Departemen Kehutanan Tahun 1991 menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol memiliki potensi erosi mencapai ± 911 379.42 tontahun atau 265 tonhatahun 22 mmtahun tanah yang hilang, jauh lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Gung yang mencapai sekitar ± 630 tontahun 149.77 tonhatahun atau sekitar 12 mmtahun, dan Sub DAS Babon hilir sebesar ± 118 tontahun 17.59 tonhatahun atau sekitar 1.47 mmtahun. Bila dibandingkan dengan Sub DAS Gung, maka Sub DAS Pengkol mempunyai tekanan penduduk yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai angka 30- 55, artinya dalam luas wilayah 1 hektar harus mampu menopang sekitar 30-55 jiwa. Pola ini mengalami peningkatan yang sangat tinggi, karena pada tahun 1991 BRLKT Departemen Kehutanan justru menadapatkan nilai tekanan penduduk tinggi, sekitar 30 di Sub DAS Babon Hilir. Hal ini berarti ada perkembangan permukinan yang sangat cepat di daerah Sub DAS Pengkol atau DAS Babon Tengah. Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat menonjol antara lain terjadinya alih fungsi lahan dari tegalan menjadi lahan terbangun untuk kawasan permukiman, terutama pada lereng-lereng perbukitan antara 8-15 bahkan di 96 beberapa tempat pada lereng sekitar 25. Akibat dari tidak terkendalinya lahan permukiman tersebut sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan fungsi kawasan resapan air bagi Kota Semarang di bagian hilirnya. Erosi tebing sungai dan meningkatnya sedimentasi pada Sungai Pengkol turut menyumbang proses banjir yang terjadi di Kota Semarang. Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009 Gambar 17 Tingkat bahaya erosi DAS Babon. 97 Penggunaan lahan tegalan juga sangat dominan pada kawasan tengah DAS Babon ini. Tegalan termasuk kebun campuran sebenarnya merupakan lahan yang subur yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan produktif. Namun kenyataannya masih banyak lahan serupa yang terlantar dan kondisinya kurang terpelihara. Di lereng perbukitan Semarang Selatan misalnya pada hulu Sungai Penggung pepohonan di lahan tegalan sangat jarang dan bahkan terlihat gundul karena dipenuhi semak-semak dan rerumputan.

4.2.5.3. DAS Babon Bagian Hilir

Berbeda dengan Sub DAS Pengkol maupun Sub DAS Gung yang berada di wilayah DAS Babon hulu, maka Sub DAS Babon hilir hampir seluruhnya terletak pada zone dataran fluvial F, dan dataran aluvial marin Fm pada lereng datar hingga landai kemiringan lahan 0-3. Jenis tanah yang dominan adalah latosol di bagian atas dan tanah aluvial di bagian hilirnya. Sebagian besar mencakup wilayah Kota Semarang dan sedikit Kabupaten Demak di wilayah Kecamatan Sayung. Masalah utama yang sejak dahulu terjadi di wilayah hilir ini antara lain masalah-masalah lingkungan seperti: 1 Pencemaran air sungai baik oleh limbah domestik, limbah industri, maupun limbah pabrik skala “home industry”, 2 Pendangkalan atau sedimentasi pada Sungai Babon yang menyebabkan aliran air sungai tidak lancar dan menimbulkan banjir, dan 3 Gangguan sampah yang dibuang di sepanjang Kali Banjir Kanal Timur terutama pada daerah permukiman padat di perkotaan Semarang dan wilayah dekat muara Kali Banjir Kanal Timur. Berdasarkan topografi, DAS Babon memiliki ketinggian bervariasi, mulai dari dataran rendah di bagian Utara yang merupakan muara DAS di wilayah Kecamatan Genuk dan dataran tinggi atau pegunungan di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Ketinggian DAS Babon di daerah muara sekitar 2 meter dari permukaan laut di bagian Utara, dan mencapai ketinggian 382 meter di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Dataran rendah tersebut merupakan daerah lahan permukiman penduduk, pertanian dan tambak, sedangkan dataran tinggi sendiri merupakan kawasan hutan dan pegunungan kecil. Kondisi kemiringan lahan di DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 18. 98 Tabel 20 Luasan kemiringan lereng DAS Babon No Kemiringan Lereng Luas ha Proporsi 1. Datar 0 - 3 11 917.79 63.44 2. Landai 3 - 8 2 179.15 11.60 3. Agak miring 8 - 15 1 474.41 7.84 4. Miring 15 - 30 3 213.37 17.10 J u m l a h 18 784.71 100.00 Sumber: BPDAS Pemali-Jratun, 2009 Sumber: BP DAS Pemali - Jratun, 2009 Gambar 18 Peta kemiringan lereng DAS Babon 99 4.3. Kependudukan dan Sosial Ekonomi 4.3.1. Jumlah Penduduk Aspek kependudukan yang perlu diperhatikan antara lain menyangkut jumlah penduduk. Jumlah penduduk pada suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa Podes Tahun 2008 yang diperoleh dari BP DAS Pemali-Jratun, Departemen Kehutanan. Dari jumlah penduduk pada setiap desa selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu kelas I desa dengan jumlah penduduk tinggi, kelas II desa dengan jumlah penduduk sedang, dan kelas III desa dengan jumlah penduduk rendah. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah DAS Babon mencapai 1 219 382 jiwa yang tersebar di 82 desa. Dari data Podes 2008, diketahui bahwa ada 21 desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi yaitu di atas 10 000 jiwa, dimana jumlah penduduk terbanyak berada di Desa Tlogosari Kulon, Kecamatan Gayamsari. Desa yang termasuk pada klasifikasi rendah memiliki jumlah penduduk kurang dari 4.000 jiwa seperti Desa Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur sebagai desa berpenduduk rendah yaitu sebesar 254 jiwa.

4.3.2. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah merupakan cerminan besarnya tekanan penduduk terhadap lahan, semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Kepadatan penduduk tertinggi di wilayah DAS Babon mencapai 184 jiwaha yaitu pada Desa Lamper Lor. Desa yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Desa Terboyo Kulon yang hanya memiliki kepadatan penduduk sebesar 2 jiwaha. Hasil perhitungan data diketahui bahwa ada 26 desa yang memiliki kepadatan penduduk yang termasuk dalam kategori tinggi dengan kepadatan penduduk di atas 83 jiwaha. Desa-desa dengan kepadatan rendah, hanya dihuni oleh kurang dari 32 jiwaha. Dalam rangka pengelolaan DAS, perlu adanya perhatian khusus pada 26 desa tersebut di mana di daerah itu terjadi tekanan penduduk yang lebih besar terhadap lahan. Aktivitas manusia yang membutuhkan lahan bukan tidak mungkin akan mengganggu 100 keseimbangan ekosistem DAS. Distribusi penduduk DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 19 dan Tabel 21. Sumber: Studi Kualitas Air oleh GTZ Gambar 19 Peta distribusi penduduk di DAS Babon.