Perang Aceh Perlawanan-Perlawanan Rakyat

Kolonialisme Barat di Indonesia 83 takhta tersebut. Belanda menginginkan Pangeran Tamjid Ullah menjadi sultan karena Belanda meng harapkan izinnya untuk menguasai daerah pertambangan batu bara yang berada di wilayah kekuasaan Pangeran Tamjid Ullah. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Tamjid Ullah sebagai sultan dan Pangeran Hidayat diangkat sebagai mangkubumi. Oleh karena itu, timbullah keresahan dan pemberontakan di kalangan rakyat daerah pedalaman karena rakyat menghendaki Pangeran Hidayat yang menjadi sultan. Pada akhirnya, kekuasaan di Kasultanan Banjar diambil alih pemerintah Belanda, setelah menurunkan Pangeran Tamjid Ullah dari takhta kesultanan. Pangeran Antasari, seorang bangsawan yang sudah lama hidup di kalangan rakyat yang berusaha mempersatukan kaum pemberontak. Pada April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Pada Maret 1860, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1278 Hijriah, para alim ulama dan para pemimpin rakyat menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amirudin Kalifatul Mukminin , atau pemimpin tertinggi agama. Pada akhir 1860, kedudukan pasukan Pangeran Antasari semakin terjepit dan melakukan perang gerilya. Ketika wabah penyakit melanda daerah pedalaman, Ia wafat pada 11 Oktober 1862 di Kampung Bayam Bengkok. Akan tetapi, per lawan an terhadap Belanda tetap dilanjutkan oleh putranya Pangeran Muhammad Seman dan adiknya, Muhammad Said. Perjuangan dilanjutkan oleh putrinya yang bernama Sulaiha.

e. Perang Aceh

1873–1912 Sebelum 1871, keamanan Aceh terjamin oleh Traktat London 1842. Perjanjian tersebut berisi bahwa Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Akan tetapi, pada 2 November 1871, diadakan perjanjian yang disebut Traktat Sumatra. Isinya menyatakan bahwa Inggris tidak berkeberatan jika Belanda meluaskan kekuasaannya di seluruh Pulau Sumatra. Pada 22 Maret 1873, pemerintah Belanda meminta Aceh agar mengakui kedaulatannya. Akan tetapi, Sultan Mahmudsyah menolak. Pada 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh dan mengirim pasukan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler. Sumber: Ensiklopedi Populer Anak, 1998 a b Gambar 4.21 a Cut Nyak Dien dan b Teuku Umar Sumber: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2002 Gambar 4.20 Pangeran Antasari, pejuang asal Banjarmasin. Di unduh dari : Bukupaket.com Jelajah Cakrawala Sosial untuk Kelas VIII 84 Namun dalam serangan tersebut, Mayor Jenderal Kohler tewas dan pasukan Belanda dipukul mundur. Serangan tentara Belanda yang kedua kalinya di bawah pimpinan Letnan Jenderal van Swieten berhasil menguasai masjid dan istana Kutaraja. Pada 1881, seorang ulama yang terkemuka, Tengku Cik Di Tiro, mengobarkan semangat perang jihad untuk menghancurkan Belanda. Umat Islam Aceh bersedia mati untuk membela agama dari ancaman Belanda yang dicap sebagai orang kape kafir. Pasukan Aceh di bawah pimpinan Tengku Cik Di Tiro dan Panglima Polim melakukan serangan terus-menerus terhadap benteng- benteng pertahanan Belanda. Selain kedua pejuang itu, dikenal juga Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien seorang pejuang wanita Aceh. Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan pasukan gerilya Aceh. Oleh karena terdesak oleh pasukan gerilya Aceh, pada 1884 Belanda melakukan siasat baru, yaitu siasat pemusatan atau disebut Stelsel Konsentrasi. Pos-pos militer Belanda yang tersebar di daerah luas dihapuskan. Semua tentara ditarik dan dipusatkan di Kutaraja yang dilengkapi benteng-benteng pertahanan yang dihubungkan dengan jalan-jalan kereta api. Siasat pemusatan atau konsentrasi itu mendapat kecaman dari Dr. Snouck Hurgronye dan Van Heutsz. Dr. Snouck Hurgronye adalah seorang ahli kajian Islam. Ia diberi tugas oleh pemerintah kolonial, untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan mengenai strategi menguasai rakyat Aceh. Hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronye dimuat dalam buku De Atjehers Orang Aceh yang dijadikan dasar siasat Belanda untuk menunduk kan orang- orang Aceh. Siasat tersebut, yaitu melakukan politik adu domba dan penyerangan kepada para pemimpin Aceh. Untuk melancarkan siasat tersebut, Van Heutsz membentuk pasukan gerak cepat yang dilatih dengan latihan anti-gerilya. Pasukan itu disebut Marsose. Tujuannya menyerang kubu-kubu pertahanan gerilya Aceh di gunung-gunung dan hutan-hutan secara terus menerus dan tidak memberikan waktu istirahat. Dengan siasat inilah, pejuang Aceh satu persatu gugur. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Kemudian, menyusul Sultan Aceh Tuanku Mohammad Dawot dan Panglima Polim menyerah pada Sumber: Ensiklopedi Populer Anak, 1998 Gambar 4.22 Dr. Snouck Hurgronje Gambar 4.23 Pasukan tentara Marsose di Aceh. Sumber: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2002 Di unduh dari : Bukupaket.com Kolonialisme Barat di Indonesia 85 1903. Cut Nyak Dien juga ditangkap Belanda, beliau diasingkan ke Sumedang dan wafat dalam pengasingan pada 6 November 1908. Pada 1904, Van Heutsz mengeluarkan Plakat Pendek. Perjanjian ini menanda kan bahwa Aceh tunduk kepada Belanda. Isi pernyataan dalam Plakat Pendek itu, yaitu: 1 mengaku dan tunduk kepada Belanda, 2 patuh kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda, 3 tidak akan berhubungan dengan negara lain selain dengan Belanda. Perang Aceh secara resmi dianggap berakhir pada 1912, tetapi serangan-serangan terhadap Belanda masih berlangsung, seperti pada 1927 terjadi per tempuran hebat di Bakongan.

f. Perjuangan Rakyat Batak 1878–1907