Perbedaan Tuturan dan Bahasa

12 Penelitian-penelitian tersebut belum sampai menggali tentang peranan tuturan-tuturan bahasa dalam upacara pengusiran roh jahat. Penelitian ini lebih terfokus pada tuturan bahasa yang digunakan pada saat upacara kerasukan roh jahat. Tuturan bahasa dilakukan ketika melangar tempat keramat, sehingga penting untuk melakukan penelitian pada bagian ini.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Perbedaan Tuturan dan Bahasa

Menurut Ferdinand de Saussure dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina 2004: 30-34 dibedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam Bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah yaitu Bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama- sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak. Barangkali istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa. 13 Istilah kedua dari Ferdinand de Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Barangkali dapat dipandankan dengan kata bahasa dalam kalimat, “Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage yang bersifat abstrak , langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah satu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan. Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam jenis tindak tutur ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole di sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat. “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken ”. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris. Perlu dicatat yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa? Karena parole inilah yang dapat diobservasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak, padahal setiap penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu. 14 Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue, dan parole di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam Bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda. Beban konsep atau makna yang ditanggung kata bahasa itu, memang sangat berat, karena selain menanggung konsep istilah langage, langue, dan parole itu juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan penggunaan kata bahasa dalam kalimat-kalimat berikut a Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan. b Bahasa militer tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan di sana. c Nyatakanlah rasa cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti lebih baik. d Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa sang permaisuri telah tiada. e Agak sukar juga berbicara dengan orang yang gila-gila bahasa itu. Kelima kata bahasa di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage , langue, maupun parole. Yang pertama berarti „kebijakan, pandangan‟; yang kedua berarti „cara‟; yang ketiga berarti „alat komunikasi‟; yang keempat berarti „bahwa‟; dan yang kelima berarti „agak‟. Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. 15 Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti mutual intelligible barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan di lereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya. Adanya saling mengerti antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya kesamaan sistem dan subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan- kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan- kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Banyumas tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole- parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. 16 Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Sunda di Garut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas. Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ada ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berBahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan Bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah Bahasa Indonesia. Kasus serupa terjadi di Swedia, Norwegia, dan Skandinavia. Secara linguistik bahasa yang digunakan oleh penduduk di tiga negara itu adalah satu bahasa; tetapi secara politis penduduk di tiga negara itu mengaku memiliki bahasa masing-masing. Kasus yang agak 17 berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa- bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Mengikuti peristilahan De Saussure 1961 setiap huruf melambangkan signifie, meskipun signifiannya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English. Di atas sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga temp at tersebut. Jadi, di dalam “Perbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh di atas kita menemukan bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri 18 dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda. Stephen Uliman dalam Kinayati Djojosuroto 2007: 52-54 menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut: a Bahasa adalah wahana komunikasi untuk semua orang dalam suatu masyarakat, dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi kode sedangkan tutur adalah penyandian enkode, yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan ditafsirkan maknannya oleh pendengar. b Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial berupa daya yang tersembunyi, merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak memory kita, yang siap diaktualisasikan diwujudkan dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain. c Tutur adalah penggunaan bahasa oleh satu orang dalam situasi yang khas spesifik, suatu tindakan individual. Sebaliknya bahasa menguasai individu karena bahasa menjadi milik dan kelengkapan masyarakat secara luas. Bahasa 19 dapat bertindak sebagai alat komunikasi hanya jika bahasa itu secara mendasar sama bagi semua penutur. Bahasa adalah lembaga sosial. d Sejalan dengan itu, perbedaan lainnya menyangkut sikap tiap penutur terhadap bahasa dan tutur. Seorang penutur adalah majikan dari tuturnya sendiri. Tutur bergantung kepada penuturnya: apakah ia ingin mengatakannya atau tidak, apa yang hendak dikatakannya, bagaimana ia hendak mengatakannya. Namun, dalam soal bahasa, dia sebenarnya hanyalah seorang penerima recipient yang pasif. Ia mengasimilasikan menguasai, berbaur dengan bahasanya pada masa awal kanak-kanaknya, dan sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya. e Tutur adalah tindak tunggal yang sama sekali terbatas oleh waktu. Tutur yang panjang berlalu dalam hitungan menit, bahkan detik. Begitu sebuah kata keluar dari mulut, maka dia tidak dapat disedot kembali. Sebaliknya, bahasa bergerak lamban sehingga kadang-kadang tampak mandek. Perubahan sedikit demi sedikit, kalau ada, memerlukan waktu panjang, bahkan berabad-abad untuk perubahan bunyi dan tata bahasa. Bahasa adalah gejala sosial yang paling mampu bertahan dibandingkan gejala sosial yang lain. Lebih mudah membunuhnya daripada memecah-mecahkan jenis tindak tutur individualnya Sapir, 1921. f Tutur itu mempunyai dua segi wajah, yaitu segi fisik dan psikologi. Bunyi- bunyi tutur yang diujarkan dan kita dengar adalah peristiwa fisik berupa gelombang-gelombang bunyi, sedangkan makna yang dibawa atau terkandung oleh bunyi itu merupakan gejala psikologi. Tetapi bahasa murni 20 bersifat psikologi. Bahasa terjenis tindak tutur dari kesan-kesan bunyi, kata, dan unsur-unsur tata bahasa yang tersimpan dalam benak kita dan tetap tinggal di sana.

2.2.2 Tuturan

Dokumen yang terkait

EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 3 15

PENDAHULUAN EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 3 21

TINJAUAN PUSTAKA EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 2 33

EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 2 15

PENDAHULUAN EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 3 21

TINJAUAN PUSTAKA EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 3 33

PENUTUP EKSISTENSI PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH HAK ULAYAT SUKU MEE DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DI DISTRIK KAPIRAYA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA.

0 4 11

PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA

0 0 21

Tuturan dalam bahasa mantra pada upacara pengusiran roh jahat Suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua - USD Repository

0 2 181

Peta Orientasi Kabupaten Deiyai terhadap Provinsi Papua

0 0 30