Oleh sebab itu, kegiatan gotong royong secara umum sudah tidak terlihat lagi pada komunitas nelayan karena kepentingan para nelayan terhadap
pekerjaannya sebagai nelayan yang penuh dengan ketidakpastian serta semakin terbatasnya waktu mereka di darat karena harus sesering mungkin melaut untuk
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dan saat didarat mereka
memerlukan banyak waktu istirahat. Dapat disimpulkan kelembagaan pertukaran sudah sangat sedikit dilakukan oleh komunitas nelayan di
Kelurahan Cilacap sebagai konsekuensi mata pencaharian mereka sebagai nelayan yang penuh dengan ketidakpastian
misalnya kegiatan penangkapan ikan di laut dengan waktu yang berbeda-beda antara nelayan satu dengan nelayan
lainnya. Hal tersebut membuat para nelayan enggan untuk mengadakan kegiatan gotong royong dalam bentuk apapun secara bersama-sama.
6.2.2 Kelembagaan Bagi Hasil
Aktivitas nafkah berupa penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan dalam kehidupannya banyak mengalami ketidakpastian. Hal itulah yang
menyebabkan perlunya kelembagaan yang mengatur pembagian hasil penjualan tangkapan ikan dari kegiatan melaut. Mengacu pada salah satu penjelasan Putnam
1995 yang menyatakan bahwa modal sosial adalah norma -norma yang
memungkinkan sekelompok warga dapat bekerja sama secara efektif dan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Maka bagi hasil merupakan norma atau aturan yang telah berkembang menjadi kelembagaan yang
berfungsi mengatur hubungan antara juragan dengan pandega dalam hal pembagian hasil tangkapan dari melaut yang mereka lakukan.
Kelembagaan
ini merupakan asset sosial yang terdapat dalam suatu komunitas dan pada khususnya dalam hubungan juragan dan pandega dalam aktivitas produksi.
Komunitas nelayan mengembangkan kelembagaan produksi yang menjamin keamanan nafkah bagi setiap nelayan yang terlibat di dalamnya
. Kelembagaan produksi ini mengembangkan suatu mekanisme pembagian hasil
nafkah berupa kelembagaan bagi hasil. Sistem bagi hasil dan pelaksanaannya ditentukan oleh kedua belah pihak yaitu antara juragan dan pandega. Namun yang
terjadi saat ini adalah para pandega hanya dapat menerima peraturan bagi hasil yang telah ditetapkan oleh juragan mereka. Hal ini yang menjadi pusat perhatian
karena dalam kelembagaan bagi hasil ini, para pandega banyak mengalami
ketidakadilan atau peneliti sebut sebagai ketimpangan kelembagaan bagi hasil.
Seringkali para pandega harus menerima keputusan pembagian hasil yang kurang adil. Para pandega tidak banyak yang menuntut karena mereka sudah merasa
senang apabila tenaga mereka masih dibutuhkan dan tidak diganti oleh pandega atau buruh yang lain. Kondisi inilah yang menyebabkan pihak juragan maupun
tekong dapat bertindak apapun selama tidak ada pandega yang menyangkal namun sekadar bergumam dengan sesama pandega.
Sistem bagi hasil yang umumnya terdapat di Kelurahan Cilacap ini adalah hasil penerimaan bersih dibagi menjadi dua yaitu 50 untuk pemilik perahu dan
50 bagian pandega. Bagi hasil ini diperoleh dari penerimaan kotor yang telah dikurangi dengan retribusi, biaya operasi dan perawatan mesin antara lain bahan
bakar, rokok, dan bekal makanan. Bagian pandega 50 dibagi lagi sesuai dengan jumlah anak buah kapal yang turut melaut. Namun dalam hubungan kerja pada
sebuah penangkapan, pandega yang berperan sebagai tekong dalam kegiatan
penangkapan mendapat bagian lebih besar dari pandega lainnya. Karena bagi hasil ditentukan oleh banyaknya pandega yang berperan
maka pendapatan yang diterima pandega juga tergantung dari jumlah tenaga kerja yang digunakan.
Sehingga semakin banyak ABK yang terdapat dalam setiap penangkapan maka
pendapatan yang diperoleh pandega juga semakin kecil. Sedangkan bagi hasil yang diterima oleh juragan tetap 50 berapapun jumlah pandega yang ikut
dalam operasi penangkapan .
Kelembagaan bagi hasil ini sudah ada sejak dahulu dan tidak ada yang tahu siapa yang pertama menentukan sehingga menjadi sebuah aturan yang telah
melembaga dalam suatu komunitas nelayan. Saat ini, pelaksanaan kelembagaan bagi hasil ini juga masih dilaksanakan oleh seluruh nelayan di Kelurahan Cilacap.
Namun dalam pelaksanaannya, biasanya seorang juragan akan memberikan beberapa ekor ikan kepada para pandeganya bila hasil tangkapan sedang
banyak . Apabila hasil penangkapan sangat sedikit sehingga sulit untuk dijual,
biasanya ikan-ikan tersebut dibagi bersama sebagai pengganti bagi hasil. Terkadang seorang pandega mengalami keterpurukan karena ketimpangan bagi
hasil tersebut. Pada beberapa pandega ada yang mengalami nasib lebih baik dengan
kebaikan beberapa juragan yang lebih berbesar hati menambah upah bagi hasil dengan tambahan beberapa ekor ikan yang dapat dikonsumsi sendiri maupun
dijual kembali. Sehingga bagi hasil yang telah ditentukan, pada beberapa juragan bersifat lebih fleksibel dan sedikit mengangkat posisi pandega
. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat pergeseran modal sosial pada sistem
kelembagaan bagi hasil yang pada beberapa kasus lebih menguntungkan
pandega yang sudah termarginalkan dalam sistem bagi hasil sebelumnya.
6.2.3 Kelembagaan Ekonomi 6.2.3.1 Bank Keliling