59
bertemu anak di tempat tertentu atau bisa juga berkunjung ke kamar asrama untuk melihat langsung keadaan anaknya. Jika keluarga ingin membawa santri
keluar dari area pesantren, maka terlebih dahulu izin kepada ustad atau ustazah. Kunjungan keluarga merupakan bentuk interaksi keluarga yang hidup
berjauhan melalui pertemuan informal dengan bertatap muka secara langsung Kelly,2007. Pada santri baru, keluarga di awal bisa sering mengunjungi anak
di pondok pesantren. Setelah anak merasa sudah jauh lebih baik maka interval mengunjungi bisa dikurangi sehingga anak mandiri atau tidak terlalu
tergantung pada orang tua Azizah, 2013.
3. Gambaran Kecerdasan Emosional
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional santri mayoritas tergolong tinggi yaitu 50,6. Angka ini menunjukkan bahwa santri
baru Pondok Pesantren Darul Muttaqien memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini sependapat dengan penelitian Khalifah 2009, yang menyatakan
mayoritas kecerdasan emosional santri tergolong tinggi 37. Hal ini berbeda dengan Latifah 2010 yang melakukan penelitian pada siswa sekolah biasa
yang menyatakan mayoritas kecerdasan emosional siswa tergolong sedang 64. Firmansyah 2010 juga menyatakan mayoritas kecerdasan emosional
siswa tergolong sedang 44,44. Penelitian tersebut berbeda karena perbedaan pada responden, pada penelitian dengan mayoritas kecerdasan
emosional tinggi menggunakan responden santri sedangkan mayoritas kecerdasan emosional sedang menggunakan responden siswa sekolah umum.
60
Menurut Goleman 2004, Keterampilan Kecerdasan emosional seseorang dipengaruhi oleh 5 aspek utama yaitu kemampuan untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain empati dan keterampilan dalam hubungan sosial. Dalam penelitian
ini, mayoritas responden menjawab skor tertinggi pada 3 aspek teratas yaitu aspek motivasi, kemampuan mengelola emosi dan membina hubungan. Aspek
tertinggi pertama yang mayoritas dijawab responden yaitu pada aspek motivasi 44,6. Hal ini berarti mayoritas responden memiliki motivasi tinggi.
Motivasi terbagi dua yaitu motivasi internal atau dari diri sendiri dan eksternal atau dari luar. Motivasi internal seperti keinginan untuk menjadi pribadi lebih
baik, mencoba hal-hal baru, mampu menyesuaikan dengan tujuan kelompok dan senang menghadapi tantangan. Motivasi eksternal seperti adanya kegiatan
yang wajib diikuti seluruh santri dan banyaknya kegiatan baru di pondok pesantren tidak ada di sekolah umum seperti pidato, ceramah, marawis, dan
lain-lain. Selain itu, kegiatan-kegaiatan ini ditunjang oleh berbagai fasilitas pendukung yang memadai.
Aspek kedua adalah memiliki kemampuan dalam mengelola emosi yaitu mampu menahan emosi, jujur, menjaga integritas, memiliki rasa
keingintahuan dan tanggung jawab tinggi, serta senang terhadap perubahan positif. Salah satu kemampuan aspek mengelola emosi adalah memiliki
tanggung jawab yang tinggi. Hal ini dibuktikan bahwa setiap santri dibiasakan untuk bertanggung jawab dengan diberikan tugas-tugas yang wajib dilakukan
seperti tugas hafalan Al- Qur‟an, jika tidak menghafal maka akan diberi sanksi.
Dan jika tekun menghafal maka akan diberikan nilai tambahan atau diikutan
61
jika ada lomba-lomba hafalan. Pemberian tanggung jawab juga terdapat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara berkala dan bergilir yaitu pada
kegiatan muhadaroh dan pidato. Pada kegiatan muhadaroh, para santri secara bergilir bertanggung jawab menjadi panitia setiap diadakannya acara ini.
Sedangkan pada acara pidato atau ceramah, santri yang ditunjuk bertanggungjawab merangkai naskah pidatonya sendiri dan berpidato di depan
teman-temannya sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Selain melatih untuk bertanggung jawab, kegiatan pidato juga melatih santri untuk mengelola
emosinya supaya lebih tenang dan mampu berbicara di depan umum. Aspek ketiga yaitu kemampuan membina hubungan sosial yaitu mampu
menerima kritikan, memberikan gagasan, menyelesaikan dan meyakinkan suatu pendapat, memiliki semangat kepemimpinan dan mampu bekerjasama
dalam suatu kelompok. Hal ini dapat dilihat di lingkungan pesantren, dalam 1 kamar diisi beberapa orang santri yang diacak dan kamar ditukar secara berkala
untuk membiasakan santri bisa bersosialisasi dengan orang yang berbeda-beda. Selain itu, Santri juga dibiasakan berorganisasi dan menjadi pemimpin seperti
diamanahkan menjadi pengurus pesantren maupun pengurus kelas, sedangkan ustad atau ustazah sebagai pembimbing.
C. Analisa Bivariat
1. Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dengan Penyesuaian Diri
Analisa bivariat pada penelitian ini didapatkan P value 0,612 berarti 0,05. Dengan demikian hipotesis pada penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dengan penyesuaian
62
diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Indikator variabel frekuensi kunjungan keluarga yang diuji pada penelitian ini adalah hanya
jumlah atau seberapa sering kunjungan keluarga. Analisa statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga
dan penyesuaian diri pada santri baru. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan frekuensi
kunjungan keluarga dengan penyesuaian diri. Hal ini bisa disebabkan bahwa pada remaja dukungan teman sebaya menjadi lebih penting daripada dukungan
keluarga atau orang tua. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan santri yang mukim di asrama dan terpisah dari keluarga membuat santri lebih mandiri atau tidak
sepenuhnya tergantung dari orang tua. Santri yang bermukim lebih banyak berinteraksi dengan teman sebaya sehingga dukungan teman sebaya lebih
berarti bagi mereka. Dukungan sosial secara umum diperoleh dari lingkungan sosial yaitu
orang-orang terdekat, termasuk didalamnya adalah keluarga dan teman sebaya. Selain dukungan keluarga, dukungan teman sebaya tidak diteliti pada
penelitian ini. Padahal dukungan teman sebaya menjadi sangat penting pada remaja. Hal ini disebabkan pada saat anak sudah menginjak masa remaja,
hubungan dengan orang tuanya mulai berpindah ke teman sebayanya Gunarsa, 2004. Penelitian terkait dukungan sosial oleh Kumalasari Ahyani 2012,
menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja. Namun pada penelitian Rosidina 2011 menyatakan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan penyesuaian diri remaja santri. Anak yang sudah menginjak usia remaja