Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dengan Penyesuaian Diri Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Diri

56 kelompok atau komunitas baru yang bukan keluarga. Anak harus berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang semuanya merupakan tuntutan yang harus dihadapi dalam proses penyesuaian diri Semium,2004. Penyesuaian diri berbeda-beda pada setiap individu dan besifat relatif, karena tidak ada orang yang mampu menyesuaikan diri secara sempurna. Setiap individu memiliki tingkat penyesuaian dirinya sendiri, penyesuaian diri biasanya ditentukan oleh kapasitas individu dalam menyesuaikan diri dan kualitas tuntutan-tuntutan Semiun,2004. Pada penelitian ini didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas santri memiliki tingkat penyesuaian diri tinggi yaitu 52,9. Angka ini menunjukkan bahwa santri baru memiliki penyesuaian diri tinggi. Hal ini sependapat dengan penelitian Khumaidah 2009 yang menyatakan bahwa tingkat penyesuaian diri pada remaja mayoritas berada pada kategori tinggi 71,15. Penelitian ini menggunakan instrumen dengan dasar teori schneiders dan menggunakan desain cross sectional. Hal ini berbeda dengan penelitian lain Syafiq 2010, menyatakan bahwa tingkat penyesuaian diri remaja mayoritas pada kategori sedang 47,1. Penelitian Syafiq 2010 menggunakan instrumen dari teori Coleman, J. C dengan desain cross sectional . Perbedaan ini dimungkinkan karena perbedaan penggunaan instrumen dari dasar teori yang berbeda. Schneiders 1984 dalam Ali dan Asrori, 2011 membagi penyesuaian diri remaja terbagi menjadi 7 karakteristik yaitu penyesuaian diri terhadap peran dan identitas, terhadap pendidikan, kehidupan seks, norma sosial, waktu luang, penggunaan uang serta penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik dan frustasi. Dalam penelitian ini, mayoritas responden menjawab skor 57 tertinggi pada 3 karakteristik penyesuaian diri yaitu penyesuaian diri terhadap pendidikan, kehidupan seks dan penggunaan waktu luang. Karakteristik tertinggi pertama yaitu penyesuaian diri terhadap pendidikan 43,1. Hal ini berarti mayoritas memiliki semangat tinggi dalam belajar, aktif bertanya, rajin mengerjakan tugas dan patuh pada gurunya. Hal ini tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren bahwa setiap santri dituntut untuk menghafal suatu pelajaran dan wajib mengerjakan tugasnya karena jika tidak hafal atau ada tugas yang tidak dikerjakan maka akan diberikan sanksi oleh ustad atau ustadzah. Jika hafalan atau tugas dikerjakan tepat waktu maka akan diberikan tambahan nilai oleh ustad atau ustadzah sehingga santri lebih termotivasi untuk belajar. Karakteristik kedua yaitu mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan seks berarti individu mampu memahami kondisi seksual diri dan lawan jenisnya serta mampu bertindak sesuai norma sosial dan agama seperti menghindari pergaulan bebas. Pada santri di dalam pondok pesanten, pergaulan dengan lawan jenis dibatasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembagian kelas, aula maupun asrama santri putra dan putri yang terpisah untuk menghindari pergaulan bebas. Bahkan jika santri ketahuan pacaran atau berduaan bukan muhrim maka sanksi yang diberikan sangat berat yaitu dikeluarkan dari pondok pesantren. Karakteristik ketiga yaitu penyesuaian terhadap waktu luang dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. Hal ini tergambar dari banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti santri baik kegiatan wajib maupun kegiatan pilihan. Kegiatan ekstrakurikuler wajib yang wajib diikuti yaitu 58 muhadoroh dan pramuka. Adapula kegiatan tidak wajib atau kegiatan pilihan seperti melukis, musik, teater, karate, seni tari dan lain-lain. Ditambah lagi dengan tersedianya fasilitas pendukung seperti perpustakaan, laboratorium, sarana kesenian dan olahraga. Sehingga waktu luang santri bisa digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler atau aktivitas lain sesuai keinginan.

2. Gambaran Frekuensi Kunjungan Keluarga

Semakin banyak frekuensi kunjungan keluarga maka semakin rendah pula tingkat stres seseorang Puji,2010. Dukungan keluarga pada anggotanya memberikan kontribusi penting dalam penyesuaian diri dan untuk mencegah stres. Keluarga merupakan sumber dukungan emosional yang bisa meningkatkan penyesuaian diri ke arah positif. Keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi koping dan penyesuaian diri pada individu Bleyer, et al,2007. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa mayoritas kunjungan keluarga yaitu tergolong sering mengunjungi sebanyak 57,5. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas santri setiap 2 minggu dikunjungi atau tergolong sering mendapat kunjungan dari keluarganya. Hal ini berbeda dengan penelitian Georgas, et al. 2006 yang menyatakan bahwa keluarga mengunjungi mahasiswa 4,22 kali dalam setahun. Perbedaan ini karena perbedaan responden yaitu mahasiswa. Pada penelitian ini frekuensi kunjungan keluarga tergolong sering karena kunjungan keluarga pada santri di pondok Pesantren Darul Muttaqien tidak dibatasi. Namun keluarga wajib melapor kepada petugas atau pengurus terlebih dahulu sebelum bertemu santri. Ketika berkunjung, keluarga biasa