TELAAH PUSTAKA

5. Ideologi

Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengutip pendapat Raymond William dalam mendefinisi ideologi, yakni “relatively formal and articulated system of meaning, value, and belief, of a kind that can be abstracted as a ‘word view’ or a ‘class outlook’” (Shoemaker, 1996: 222). Madsud definisi yang diberikan Williams

adalah, ideologi memberikan standar baku bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari definisi yang dikemukakan William dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese juga mengutip pendapat Samuel Becker yang menguatkan definisi dari William dengan mengatakan, “ideology govern the way we percieve our world and ourself; it control What we see as ‘natural’ or ‘obvious’” (Shoemaker, 1996: 222). Ideologi mengarahkan dan memberikan parameter bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari situ dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan. Dari Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese juga mengutip pendapat Samuel Becker yang menguatkan definisi dari William dengan mengatakan, “ideology govern the way we percieve our world and ourself; it control What we see as ‘natural’ or ‘obvious’” (Shoemaker, 1996: 222). Ideologi mengarahkan dan memberikan parameter bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari situ dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan. Dari

Ideologi media tidak berdiri sendiri. Banyak faktor karena orang-orang di didalamnya berada di tangan penguasa budaya, politik, dan ekonomi masyarakat di mana informasi terpilih sering membentuk konsep ideologi yang secara berlebihan mewakili kepentingan yang berkuasa dan meminggirkan kepentingan kelompok lainnya. Dalam kaitannya dengan berita, Shoemoker dan Reese mengatakan bahwa setiap berita pada dasarnya tidak dapat lepas dari pengaruh ideologi. Analisis ideologi terhadap teks berita merupakan analisis makro dalam penelitian isi teks media, karena memperhatikan konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik (Shoemaker, 1996: 230).

Daniel Hallin dalam Eriyanto (Eriyanto, 2002: 127) membuat ilustrasi bagaimana berita ditempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang: bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis.

Skema 3. Berita dalam Peta Ideologi

Sphere of Consensus

Sphere Legitimate Controversy

Sphere of Deviance

Sumber: Erianto, 2002:127

Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa gagasan atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Dalam bidang ini akan terlihat jelas ideologi yang ada di balik sebuah berita, karena untuk mendefinisikan suatu peristiwa sebagai penyimpangan diperlukan pengetahuan akan sesuatu yang tidak menyimpang atau sesuai konsensus (Eriyanto, 2005: 127)

Berbeda dengan bidang petama yang menegaskan kesepakatan bahwa realitas dipandang menyimpang, bidang kontroversi memandang realitas masih diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus yang menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok. Peta ini dapat dipakai untuk menjelaskan realitas yang sama dapat dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangkan yang berbeda. Media disini memberi legitimasi pada realitas tertentu dan mendelegitimasi realitas lain yang dinilai menyimpang (Eriyanto, 2005: 127).

Proses kerja pembentukan dan produksi berita bukanlah suatu yang netral, melainkan ada bias ideologi yang secara sadar atau tidak tengah dipraktekkan oleh wartawan. Media dipandang sebagai agen konspiratif yang menyembunyikan atau menampilkan fakta yang dikehendaki, dan secara sadar mengelabuhi khalayak untuk kelompok dominan. Pada akhirnya pemberitaan media memang cenderung memarjinalkan kelompok yang tidak dominan dan memantapkan posisi status quo. Prosesnya berlangsung dalam suasana yang kompleks dan sering tidak disadari (Eriyanto, 2002: 136).

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur (Sobur, 2006: 30) melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa Antonio Gramsci dalam Alex Sobur (Sobur, 2006: 30) melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa

Konsep hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang ahli filsafat plitik Italia. Menurut Gramsci, hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri, melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan mebentuk alam pikiran mereka. Hegemoni berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, melainkan dengan cara yang wajar dan bisa diterima. Hegemoni bisa dilakukan oleh media dalam produksi berita. Proses itu melalui cara yang halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran oleh semua orang. Proses hegemoni itu menjadi subuah ritual yang sering tidak disadari oleh wartawan sendiri, semisal dalam keberpihakannya terhadap sesuatu (Eriyanto, 2001: 104-105)

4. Berita dan Konstruksi atas Realitas

a. Proses Produksi Berita Media Cetak

Menurut The New Grolier Webster International Dictionary, yang dikutip oleh Hikmat Kusumaningrat dalam Jurnalistik Teori dan Praktek (Kusumaningrat, 2006:

39) berita adalah : “(1) Current information about something that has taken place, or

about something not known before; (2) News is information as presented by a media such as papers, radio, or television; (3) news is anything or anyone regarded by a news media as a subject worthy of treatment.”

Artinya sebuah peristiwa layak menjadi berita ketika ia memiliki nilai yang Artinya sebuah peristiwa layak menjadi berita ketika ia memiliki nilai yang

Sementara itu Mitchel V. Charnley mendefinisikan berita sebagai the timely report of fact or opinion, that hold internal or importance, or both for a considerable number of people. Definisi itu dapat disederhanakan supaya lebih mudah dipahami, yaitu bahwa berita adalah informasi yang aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang (Kusumaningrat, 2006: 39).

Satrio Arismunandar, dalam artikelnya Teknik Reportase atau Teknik Meliput Berita di www.wikimu.com mengemukakan media massa yang sudah mapan, biasanya telah membuat semacam Standart Operational Procedure (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan. Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan, terutama berita yang akan dijadikan headline. Dalam rapat redaksi ini, para wartawan, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi wartawan, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya (Arismunandar, 2008).

Setelah selesai meliput, wartawan menulis berita dari hasil reportase kemudian melaporkan hasilnya kepada redaktur yang memberi penugasan. Berita bisa ditulis dengan format straightnews, featurenews, softnews atau indephnews. Redaktur Setelah selesai meliput, wartawan menulis berita dari hasil reportase kemudian melaporkan hasilnya kepada redaktur yang memberi penugasan. Berita bisa ditulis dengan format straightnews, featurenews, softnews atau indephnews. Redaktur

Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media antara lain berita itu mengandung nilai aktual (timelines), kedekatan (proximity), keterkenalan (prominence), dampak (consequence), besar (magnitude), dan human interest (Kusumaningrat, 2006: 61-66).

Selain mempertimbangkan kriteria kelayakan berita, Redaksi juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya. Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput (Arismunandar, 2008).

b. Bagaimana Konstruksi Berita itu Dibuat

Menulis berita tak ubahnya menceritakan kembali penggalan peristiwa. Mark Fishman memperkenalkan sebuah model yang disebut struktur fase. Struktur fase adalah tahapan-tahapan alur cerita atau kerangka berita yang disusun wartawan. Setiap wratawan memiliki alur berbeda dalam membuat berita. Lewat struktur fase, peristiwa yang kompleks, tindakan yang tidak beraturan, beragam, dan abstrak diorganisasikan sebagai peristiwa yang beraturan, logis, dan dibuat bermakna lewat skema interpretasi wartawan (Eriyanto, 2002: 92-94).

Wartawan bukanlah agen tunggal yang menafsirkan peristiwa, sebab paling tidak ada tiga pihak yang saling berhubungan: wartawan, sumber dan khalayak. Setiap pihak menafsirkan dan mengonstruksi realitas dengan penafsiran sendiri dan berusaha agar penfsirannya yang paling dominan dan menonjol. Wartawan sebagai “agen konstruksi” berusaha untuk menjadikan apa yang ia konstruksi menjadi lebih dominan. Namun, dalam mengonstruksi realitas, wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam pikiran semata, tapi ia juga harus mempertimbangkan tiga aspek yaitu (Eriyanto, 2002: 254) :

Ø Pertama, proses konstruksi itu juga melibatkan nilai sosial yang mengikat wartawan. Nilai-nilai sosial yang mengikat wartawan tersebut mempengaruhi bagaimana realitas dipahami dan dituliskan.

Ø Kedua, ketika menulis dan mengonstruksi berita wartawan bukanlah berhadapan dengan publik yang kosong, dalam artian khalayak menjadi pertibangan

wartawan dalam menyusun kata-kata. Ø Ketiga, proses konstruksi juga ditentukan oleh proses produksi yang selalu melibatkan standar kerja profesional dari wartawan, misal mentaati kode etik jurnalistik.

5. Framing sebagai Sebuah Teknis Analisis

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi relitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavoir) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004: 161).

Analisis framing sendiri dalam perspektif komunikasi, dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2001: 162).

Frame, menurut Robert M. Entmant adalah pemilihan (selection) dari penonjolan hal yang penting (salience). Lebih jauh ia menyatakan : To frame is to select some aspect of perceived reality and make them

more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the itemdescribed (Zen 2004: 93).

Todd Gitlin berpendapat bahwa framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Menurut Gitlin, frame adalah Todd Gitlin berpendapat bahwa framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Menurut Gitlin, frame adalah

Wiliam A. Gomson mendefinisikan framing sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang diterima (Eriyanto, 2002: 67)

Framing oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melakukan encoding, menafsirkan, serta memunculkan informasi yang dapat dikomunikasikan dan dihubungkan dengan kebiasaan dan konvensi pekerjaan jurnalistik. Oleh karena itu framing dapat dikaji sebagai suatu strategi untuk mengonstruksi dan merespon wacana berita (Zen, 2004: 94)

Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai framing, namun ada titik singgung utama dari berbagai definisi tersebut. Secara sederhana, analisis framing digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Realitas sosial disini dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu (Eriyanto, 2002: 3).

Eriyanto dalam buku Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, Politik Media menyebutkan ada empat model analisis framing. Pertama, model Murray Edelmen yang Eriyanto dalam buku Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, Politik Media menyebutkan ada empat model analisis framing. Pertama, model Murray Edelmen yang

dan retoris. Delia Cristina Balaban dalam Journal of Media Research menuliskan malakah berjudul The Framing or the Interpretation Frames Theory yang mengetengahkan tentang klasifikasi frame. Ia menulis :

There are also attempts to classify frames. Swiss researcher Jörg Matthes talks about two categories of mediatic-frames: formal-stylistic frames and contained frames which structure specific issues. Iyengar and Simon talk about episodic frames and theme frames. ... The multidimensionality of framing phenomenon should not be overlooked. There are: framing by selecting thematic issues, framing by internal structure, by creating relationships between different aspects of the theme and last but not least, framing through foreign contextualization by creating relationships with other topics, What we call in the field frame-bridging (Balaban: 2008: 12)

Tulisan tersebut menyebutkan Jörg Matthes, peneliti Swiss menyebutkan sekitar dua kategori dari mediatic-frames yakni formal-stylistic frames dan contained frames (yang memiliki stuktur isu spesifik). Iyengar dan Simon menyebutkan tentang episodic frames dan theme frames. Fenomena framing yang multidimensional tidak boleh diabaikan. Ada framing dengan memilih isu-isu tematik, framing oleh struktur internal, dengan menciptakan hubungan antara berbagai aspek dari tema dan terakhir, framing melalui kontekstualisasi asing dengan menciptakan hubungan dengan topik-topik lainnya, apa kita sebut dalam field frame-bridging (Cristina: 2008: 12).

Dalam proses freming ada dua aspek dilakukan yakni memilah fakta dan menuliskan fakta. Proses pemilihan fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam pemilihan fakta ini selalu terkandung Dalam proses freming ada dua aspek dilakukan yakni memilah fakta dan menuliskan fakta. Proses pemilihan fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam pemilihan fakta ini selalu terkandung

Kedua menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khlayak. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan headline di depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2002: 70).

Menurut Pan Kosicki, terdapat beberapa perbedaan jika analisis framing dibandingkan dengan analisis teks berita lainnya. Pertama, analisis framing tidak memandang teks berita sebagai sarana simbolik teratur yang akan berinteraksi dengan khalayak. Kedua, analisis framing tidak terikat oleh pendekatan stukturalis yang bebas isi terhadap semua wacana. Ketiga, validitas dari analisis framing tidak berdasar pada teks berita saja, tetapi juga pada prosedur sistematik dalam mengumpulkan data (Eriyanto, 2002: 251).

Pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif. Water Lippman menyarakan bahwa dalam proses kerjanya, bukan melihat lalu menyimpulkan dan menulis, tetapi lebih sering adalah menyimpulkan lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Wartawan tidak bia menghindari dari kemungkinan Pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif. Water Lippman menyarakan bahwa dalam proses kerjanya, bukan melihat lalu menyimpulkan dan menulis, tetapi lebih sering adalah menyimpulkan lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Wartawan tidak bia menghindari dari kemungkinan

Dari pemaparan diatas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana Tempo edisi Khusus Pemilihan Presiden memilih fakta-fatkta dalam memberitakan ketiga pasangan Capres dan Cawapres. Artinya dalam tataran praktis, bagaimana media mencitrakan karakteristik kepemimpinan mereka dimulai dari masa kanak, ketika remaja, hingga beranjak dewasa, atau ketika menempuh pendidikan tinggi.

6. Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi (KBBI, 2003: 769). Pimpin memuat dua hal pokok yaitu pemimpin sebagai subjek, dan yang dipimpin sebagai obyek. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin.

1. Teori Lahirnya Pemimpin

Beberapa teori telah dikemukakan para ahli majemen mengenai munculnya seorang pemimpin. Kartono Kartini dalam buku Pemimpin dan Kepemimpinan menyebutkan ada tiga teori mengenai munculnya kepemimpinan (Kartono, 1994: 75), yaitu teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis atau sintesis, yang akan dijelaskan berikut ini:

a. Teori Genetis

Penganut teori ini mengatakan bahwa leaders are born and not made" Penganut teori ini mengatakan bahwa leaders are born and not made"

b. Teori Sosial

Jika teori genetis merupakan kebalikan dari teori genesis yaitu "Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.

c. Teori ekologis atau sintesis

Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dimana bakat kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori- teori kepemimpinan.

2. Karakteristik Kepemimpinan

Taprifios dalam Modul 11 Pengantar Manajemen berjudul Kepemimpinan dalam Organisasi mengatakan kepemimpinan berkaitan dengan dua fungsi yaitu fungsi yang berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah dan fungsi memelihara kelompok atau sosial, seperti menengahi perselisihan dan menjaga agar individu merasa dihargai dalam kelompoknya. Pemimpin yang sangat efektif dapat Taprifios dalam Modul 11 Pengantar Manajemen berjudul Kepemimpinan dalam Organisasi mengatakan kepemimpinan berkaitan dengan dua fungsi yaitu fungsi yang berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah dan fungsi memelihara kelompok atau sosial, seperti menengahi perselisihan dan menjaga agar individu merasa dihargai dalam kelompoknya. Pemimpin yang sangat efektif dapat

Aditya & House (2002) describe the characteristic as “interpersonal acumen” ability to understand others' motives and behavior. Leaders were described by "encouraging, positive, motivational, confidence builder, dynamic, and foresight," along with team-building, communicating, and coordinating. Echoing these results, Hopkins & Hopkins (1998) found that successful diversity leaders are sensitive to all followers, patient and supportive, able to mediate fairly, and involved with their employees (Manning: 2003).

Dari apa yang ditulis oleh Tracey T Manning karakteristik kepemimpinan dinilai sebagai ”kecerdasan interpersonal”, kemampuan untuk memahami motif dan perilaku orang lain. Pemimpin yang menonjol digambarkan dengan kemampuan “mendorong, positif, memotivasi, kepercayaan diri pembina, dinamis, dan tinjauan ke masa depan”, bersama dengan pembentukan tim, berkomunikasi, dan koordinasi. Hopkins & Hopkins (1998) menemukan bahwa para pemimpin keragaman sukses sensitif terhadap semua pengikut, sabar dan mendukung, mampu menengahi secara adil, dan terlibat dengan karyawan mereka (Manning: 2003). Jika disimpulkan, karakteristik kepemimpinana yang baik menurut Tracey T Manning lebih mengarah pada hubungan yang baik dengan bawahan atau orang lain.

Sedangkan dalam buku The Toyota Ways Fieldbook karakteristik kepemimpinan yang baik itu harus mencakup enam hal yang berkaitan dengan diri pemimpin itu sendiri. Keenam hal tersebut yakni (1) kemauan dan keinginan untuk memimpin, (2) pengetahuan tentang pekerjaan yang akan ia jalani, (3) tanggungjawab terhadap pekerjaannya, (4) kemampuan perbaikan berkesinambungan, (5) kemampuan memimpin, (6) kemampuan mengajar (Liker, 2007: 236)

J. Salusu dalam buku Pegambilan Keputusan Stratejik menggolongkan karakteristik kepemimpinan sebagai berikut (Salusu, 1996:288-231):

a. Entrepeneur, sangat kompeten, individualis, egosentris, dominan, percaya pada diri sendiri, inovatis, punya kemauan keras, mempunyai dorongan untuk mencapai sesuatu yang luar biasa.

b. Corporateur, tindakannya selalu sianggap sebagai tindakan tim, ia sangat dominan, tetapi tidak suka mendominasi, sangat direktif namun masih memberi kebebasan pada karyawan. Konsultatif, tapi kurang partisipatif.

c. Developer, yang menganggap orang lain sebagai sumber kekuatan utama, itulah sebabnya ia sangat percaya pada bawahan. Memiliki ketrampilan membina hubungan kemanusiaan yang hebat, dengan itu ia mampu memenangkan loyalitas dari karyawan dan menciptakan iklim yang memberi dukungan penuh atas kepemimpinannya.

d. Craftsman, seseorang yang menginginkan pekerjaan diselesaikan dengan sempurna. Bersahabat, konservatif, dan sangat hati-hati. Percaya pada diri sendiri, berorientasi pada penugasan, langsung pada sasaran, prefeksionis, independen, selalu berfikir dan bertindak analitis.

e. Integrator, ialah seorang yang ingin membangun konsensus dan komitmen. Memiliki ketrampilan dalam membangun hubungan antar pribadi. Seorang egalitarian, suka memberi dukungan dan bantuan, serta sangat partisipatis. Ia juga seorang pelopor pembentuk tim yang kokoh, seorang yang penuh motivasi dan terampil dalam menyatukan masukan yang bervariasi. Pendeknya, ia adalah pemimpin yang brilian dan lebih menyukai, pengambilan keputusan kelompok.

f. Gamesman, seorang pemain yang ulung, selalu berprinsip kita bermain f. Gamesman, seorang pemain yang ulung, selalu berprinsip kita bermain

Dari pemaparan teori, penelitian ini menggunakan teori ekologis atau sintesis ini sebagai landasan berpijak. Peneliti berasumsi ketiga pasangan capres dan cawapres memiliki jiwa kepemimpinan sejak lahir, dimana bakat itu diasah semenjak kanak-kanak hingga dewasa sehingga karakteristik kepemimpinan mereka terbentuk.