Analisis Struktur Berita II Berjudul “Kenangan si Ento”

C.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Kenangan si Ento”

C.2.a. Struktur Sintaksis

Judul berita ini adalah “Kenangan si Ento”. Kata “kenangan” bermakna ingatan tentang masa lalu. Sedangkakan “si Ento” adalah panggilan ketika Wiranto masih remaja. Sehingga dari judul tersebut menekankan tentang bagaimana masa lalu Wiranto saat remaja. Jika dikaitkan dengan isi berita, Wiranto yang kini sukses mengenang banyak pelajaran hidup yang ia dapatkan sewaktu remaja dari kehidupannya yang serba kekurangan.

Lead terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama “Wiranto remaja tukang loper koran dan jual ban sepeda untuk uang sekolah”. Kalimat tersebut mengonstruksikan kehidupan remaja Wiranto yang sulit. Untuk biaya sekolah saja ia menjadi tukang loper koran dan jual ban sepeda. Kata “tukang” menunjukkan pekerjaan yang rendah. Kalimat kedua “Mengimbangi ketat Rudi Hartono pada kejuaraan junior bulu tangkis di Malang”. Wiranto dikonstruksikan sebagai remaja yang jago dalam bermain bulu tangkis. Sehingga pertandingannya melawan Rudi Hartono yang memenangkan kejuaraan All England ditonjolkan dalam lead.

Memasuki isi berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut:

Rumah berdinding gedek berukuran 8 x 7 meter itu tak banyak berubah. “Saya inget, tempat buat tidur pun tidak cukup. Kami tidur di mana-mana, kadang di atas meja, atau tidur dengan tiker di luar rumah. (Paragraf 1 Berita II Wiranto)

Wiranto, kini 62 tahun, tidak mungkin lupa bagaimana ia dan delapan saudaranya, kedua orang tuanya, serta neneknya, hidup bersama di dalam rumah kecil di atas tanah seluas 300 meter persegi itu. Rumah tradisional Jawa, dengan kamar-kamar yang hanya dipisahkan oleh sekat. Di sebelah timur rumah ada sebuah sumur tempat Wiranto biasa mengguyur tubuhnya yang kecil dengan seember air. (Paragraf 2 Berita II Wiranto)

Dari pembukaan ini langsung pada latar informasi yang menggiring Tempo dalam mengonstruksi berita ini. Kehidupan remaja Wiranto yang serba kekurangan, dengan mengonstruksikan tentang ketidaklayakan tempat tidur, kondisi rumah, dan banyaknya tanggungan keluarga Wiranto saat itu.

Dalam mengonstruksi karakter Wiranto mengambil beberapa kutipan narasumber. Yang pertama adalah Parafrase dari ibu Wiranto, yang terdapat dalam paragraf berikut ini :

Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta ... ia ingin membangun kembali rumah bambu itu demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu. Namun ia tercengang dengan penolakan spontan sang ibu. ”Kalau kamu bangun dan berpagar tinggi, saya tak bisa bersosialisasi, tetangga pasti takut masuk rumah kita,” tutur Wiranto, menirukan ucapan ibunya. (Paragraf 4 Berita II Wiranto)

Dari situ Wiranto memetik pelajaran berharga tentang kehidupan sosial. Akhirnya, ”Rumah itu saya pugar setelah Ibu wafat, untuk melanjutkan keinginan ibu agar rumah itu berguna bagi orang banyak,” tutur (Wiranto). Pendopo rumah itu kini dipakai penduduk sekitar untuk acara hajatan, arisan, pengajian, rapat partai, atau acara lain yang membutuhkan ruangan cukup besar. ”Silakan, itu anggap saja sebagai amal almarhumah ibu saya,” ujarnya. (Paragraf 5 Berita II Wiranto)

Sang ibu memang tak pernah berhenti memberikan keteladanan … Ibunya juga pernah menolak pemberian mobil dari putranya dengan alasan bersahaja tapi begitu mengena. … ”O, enggak usah kalau kamu kasih mobil. Tukang becak yang menjadi langganan saya bertahun-tahun nanti hidupnya bagaimana?” Sampai sang ibu meninggal pada 1997, Wiranto tidak bisa membelikan mobil untuk ibunya. (Paragraf 5 Berita II Wiranto)

Kata ”Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta” mengonstruksikan bahwa Wiranto telah menjadi orang sukses. Kata “demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu” mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah anak yang berbakti terhadap orang Kata ”Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta” mengonstruksikan bahwa Wiranto telah menjadi orang sukses. Kata “demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu” mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah anak yang berbakti terhadap orang

Kutipan lain yang mengonstruksikan tentang kepemimpinan Wiranto terdapat dalam paragraf berikut ini: Wiranto tumbuh menjadi anak yang berdisiplin, dengan kegemarannya

dan kemampuannya yang menonjol pada olahraga, khususnya bulu tangkis dan sepak bola. … ”Sejak kecil Ento sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan. Hal itu tampak saat menjadi kapten tim sepak bola Condromowo. Orangnya disiplin dan tertib. Bahkan, jika waktunya belajar tiba, dia langsung berhenti bermain dan masuk rumah langsung belajar,” kata Wisnu Sunarno, salah satu teman main Wiranto saat tinggal di Surakarta. (Paragraf 10 Berita II Wiranto)

… Sedangkan di bidang bulu tangkis, Ento terkenal jago sekampung, menurut Wisnu, dan sering menjadi juara di lomba tujuh belasan. (Paragraf 12 Berita II Wiranto)

Konstruksi yang dibangun oleh Wisnu Sunarno bahwa Wiranto memiliki karakter disiplin dan tertib. Menurut Wisnu, kepemimpinan Wiranto telah nampak sejak kecil dengan menjadi kapten tim sepak bola di kampungnya. Wiranto juga dikonstruksikan hebat dalam olahraga (sepak bola dan bulu tangkis). Khusus untuk bulu tangkis, Tempo mengonstruksikan kehebatan Wiranto dalam paragraf berikut :

Hobi yang satu ini sempat mempertemukannya dengan Rudi Hartono, juara All England delapan kali, pada suatu kejuaraan junior tingkat sekolah lanjutan atas di Malang, Jawa Timur. Bahkan, menurut pengakuannya, Ento mampu menahan lajunya angka jago Jawa Timur itu. ”Skornya kejar-kejaran, saya kalah, tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15. Waktu itu namanya masih Rudi Nio,” katanya. (Paragraf 13 Berita II Wiranto)

Tempo ingin mengetengahkan sisi lain dari Wiranto yakni prestasinya di bidang olah raga. Kata ”tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15” dari kutipan Wiranto mengonstruksikan walau ia mengakui kekalahannya, tetapi ingin meonjolkan kehebatannya.

Dalam berita tentang Wiranto sama sekali tidak dijelaskan tentang keluarga Wiranto sendiri (bagaimana istri dan anak-anaknya). Wiranto hanya dikonstruksikan Dalam berita tentang Wiranto sama sekali tidak dijelaskan tentang keluarga Wiranto sendiri (bagaimana istri dan anak-anaknya). Wiranto hanya dikonstruksikan

Walau tekun belajar, jago berbagai macam olahraga, Wiranto tak mulus saat berhubungan dengan lawan jenisnya. Saat di SMA, menurut Sri, ada teman perempuan satu sekolah yang mengejar-ngejarnya, sering bertandang ke rumah. ”Tapi dasarnya pemalu, Wiranto justru sembunyi setiap didatangi,” ujarnya. (Paragraf 13 Berita II Wiranto)

Dari kutipan Sri mengonstruksikan bahwa Wiranto pemalu terhadap lawan jenis. Tetapi Wiranto oleh Sri di konstruksikan sebagai anak yang tidak malu bekerja keras demi perekonomian keluarganya, seperti terdapat dalam paragraf berikut:

Banyak cara dilakukan oleh lelaki kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini untuk menutupi kekurangan yang dialaminya sekeluarga. ”Saya kumpulkan kertas, majalah bekas, koran bekas di rumah, lalu dijual ke Pasar Legi. Hasilnya saya belikan ketela untuk makan,” kata lulusan siswa Sekolah Dasar Ketelan, Solo, ini. (Paragraf 9 Berita II Wiranto)

Si Ento juga sempat menjadi pengantar langganan koran dari rumah ke rumah, dan menjajakan ban sepeda untuk tambahan jajan dan uang sekolah. ”Saat masih SMP, ia sering berbelanja ke pasar jalan kaki; dia tidak malu. Lalu uang ongkos becak bisa diiritnya buat ibu,” ujar Sri, kakak Wiranto yang usianya berselisih sepuluh tahun dengannya. (Paragraf 11 Berita II Wiranto)

Paragraf tersebut menggambarkan tentang kondisi ekonomi keluarga Wiranto yang serba kekurangan, sampai-sampai mengumpulkan kertas dan menjualnya untuk membeli makan. Wiranto dikonstruksikan peduli terhadap ibu dan kondisi keuangan keluarga, sehingga dia mau dan tidak malu melakukan pekerjaan yang sekiranya akan membuat malu kaum laki-laki.

Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Wiranto memang bukan guru, tapi ia selalu ingat satu pelajaran tentang

kejujuran setiap kali keluarga guru itu makan. Di rumah sudah ada piring masing-masing. Tiap hari mereka dapat satu potong tempe dengan setumpuk nasi. Meski sekolahnya berbeda waktu, masing-masing sudah terlatih. “Walaupun laparnya bukan main, ndak ada niat mengambil tempe atau mengurangi nasi yang lain. Di situlah ada tanggung jawab. Kalau saya kurangi punya orang lain, saudara saya yang lain juga akan kelaparan,” ujar Wiranto.

Paragraf penutup ini adalah mengonstruksikan watak Wiranto yang jujur, bertanggungjawab dan perduli terhadap orang lain. Ia tak ingin mengambil jatah orang Paragraf penutup ini adalah mengonstruksikan watak Wiranto yang jujur, bertanggungjawab dan perduli terhadap orang lain. Ia tak ingin mengambil jatah orang

C.2.b. Struktur Skrip

Unsur who dalam berita ini adalah Wiranto dan keluarganya (terutama Suwarsijah, Ibu Wiranto), karena dalam berita ini (unsur what-nya) menyoroti tentang kehidupan masa lalu Wiranto dan keluarganya yang hidup kurang berkecukupan.

Unsur where dan when yang ditonjolkan dalam berita ini yang berkaitan dengan Wiranto adalah. Wiranto lahir di Yogyakarta 4 April 1947. Sejak kecil ia tinggal di daerah Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Bersekolah di SMP Negeri 2 Surakarta dan SMA Negeri 4 Surakarta. Saat di SMA ia mengikuti kejuaraan bulu tangkis junior tingkat sekolah lanjutan atas di Malang, Jawa Timur.

Unsur unsur why yang ditonjolkan dalam berita ini adalah alasan kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan. Untuk itu dalam unsur how yang ditekankan dalam berita ini adalah bagaimana Wiranto manjalani kehidupan di tengah keluarg ayang kurang berada itu, mulai jadi loper koran, jual ban, berjalan kaki ke pasar, memilih sekolah yang tidakm memgeluarkan biaya, baktinya kepada ibu, dan prestasi dalam hal olah raga (sepak bola dan bulu tangkis).

C.2.c. Struktur Tematik

Koherensi antarkata, antar kalimat, tentang karakteristik Wiranto telah banyak yang telah masuk dalam elemen sintaksis. Dari unit analisis detail, banyak ditonjolkan detail tentang tentang pelajaran apa yang Wiranto dapat dan detail tentang ibu Wiranto.

Namun ada yang lebih dari sekadar nostalgia dari rumah di Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta, itu. Di sanalah sang ibu, Suwarsijah, Namun ada yang lebih dari sekadar nostalgia dari rumah di Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta, itu. Di sanalah sang ibu, Suwarsijah,

Suwarsijah memang menyerupai gambaran seorang superwoman sekarang ini. Suaminya R.S. Wirowijoto, seorang guru sekolah dasar di Boyolali, kota kecil di dekat Solo, yang setiap hari pulang menjelang magrib. “Dalam situasi sesulit apa pun, Ibu bertanggung jawab pada keluarga, mengusahakan untuk tetap makan, uang sekolah agar tetap dibayar, pakaian yang pantes. Itu tidak mudah dengan gaji ayah seorang guru sekolah dasar, punya sembilan anak. Saya bisa merasakan luar biasa beratnya,” tutur Wiranto. (Paragraf 7 Berita II Wiranto)

Detail pelajaran yang didapat dari ibu Wiranto adalah keteladanan akan keuletan, kesabaran, dan kesederhanaan. Dan detai tentang Ibu Wiranto adalah bawa ia adalah ibu yang bertanggungjawab terhadapkeluarganya. Detail lain tentang keluarga Wiranto adalah sebagai berikut:

Masuknya Wiranto menjadi taruna memecah tradisi profesi keluarganya, menjadi guru. “Semua kakak saya menjadi guru. Namun, sejak saya ke akademi militer, adik di bawah saya mengikuti. Satu menjadi polisi, seorang lagi insinyur teknik sipil,” ujarnya. (Paragraf 16 Berita II Wiranto)

Kata “memecah tradisi profesi keluarganya” mengonstruksikan bahwa Wiranto merupakan salah satu anak yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan saudara- saudaranya yang menjadi guru.

Unit analisis kata ganti menggunkan kata “Si ento” yang merupakan panggilan ketika Wiranto masih remaja, kata ganti itu digunakan dalam judul, paragraf enam, sepuluh, dan 11. Kata ganti ini relefan dengan konteks “kenangan” yang dimaksudkan dalam judul, karena mengandung unsur masa lalu dari Wiranto. Kata ganti kedua terdapat di paragraf 4 yakni “sosok yang sudah jadi orang di Jakarta”. Konstruksi yg dibangun sumber dari kata ganti ini adalah dahulunya Wiranto hidup susah, namun sekarang ia telah sukses hidup di Jakarta. Kata ganti ketiga terdapat pada paragraf lima yakni “calon wakil presiden pasangan Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2009” yang menekankan posisi Wiranto saat berita itu diterbitkan. Kata ganti keempat pada paragraf 19 yakni “lelaki kelahiran Yogyakarta 4 April 1947” menekankan tempat tanggal lahir Wiranto.

C.2.d. Struktur Retoris

Kata-kata yang dipilih Tempo dalam mengonstruksikan keluarga Wiranto menunjukkan bahwa mereka memang dari kalangan keluarga dari ekonmi yang kurang mampu. Semisal pendiskripsian tentang rumah Wiranto, dan pendeskripsian tetang hal yang wiranto lakukan untuk mendapatkan uang tambahan.

Dari unit grafis terdapat satu ilustrasi dan satu insert tulisan. Ilustrasi yang ada dalam berita itu menggambarkan dua orang sedang bertanding bulu tangkis ditonton banyak orang. Hal ini untuk melukiskan bahwa Wiranto jago bermain bulu tangkis. Konstruksi kehebatan Wiranto bermain bulu tangkis itu didukung dengan insert tulisan dari kutipan wiranto yakni “Skornya kejar-kejaran, saya kalah, tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15. Waktu itu namanya masih Rudi Nio,” (sudah dijelaskan dalam elemen sintaksis)

Paragraf 4 terdapat kalimat “Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta— saat itu kedudukannya Panglima Angkatan Bersenjata—ia ingin membangun kembali rumah bambu itu demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu”. Kalimat ini mengandung gaya pleonasme yakni menambahkan keterangan untuk menguatkan

Pengandaian pertama terdapat pada paragraf delapan yang munsul dari kutipan Wiranto yakni “Mungkin, kalau sekarang disensus, keluarga saya pada waktu itu termasuk yang dapat beras jatah orang miskin dan bantuan langsung tunai, karena memang berat sekali kehidupan.” Pengandaian itu mengonstruksikan masa lalu Wiranto yang sangat sulit. Pengandaian kedua terdapat pada paragraf 15 yakni juga dari kutipan Wiranto “Kalau ada dana barangkali saya sudah masuk jurusan arsitektur, jadi insinyur”. Hal ini juga mengonstruksikan masa lalu Wiranto yang sangat sulit, sehingga tidak bisa mewujudkan cita-citanya yang ingin jadi insinyur.

C.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Wiranto di Berita II

Wiranto sejak kecil hingga remaja hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Hingga ia sejak kecil dididik oleh orang tuanya untuk hidup sederhana, tidak malu dalam bekerja keras, dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Pelajaran itu kebanyakan diajarkan oleh sang ibu. Sang ibu juga memberi pelajaran kepada Wiranto untuk mau bersosialisasi dengan tetangga dan peduli terhadap orang lain. Wiranto anak yang berbakti kepada orang tua. Kepemimpinan Wiranto sejak kecil tampak pada saat menjadi kapten tim sepak bola Condromowo. Wiranto memiliki watak disiplin dan tertib. Wiranto mengubur impiannya menjadi arsitek dan memilih menjadi tentara karena ketiadaan biaya untuk sekolah lebih tinggi.