Analisis Struktur Berita II Berjudul “Boed, Sang Bima dari Blitar”

D.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Boed, Sang Bima dari Blitar”

D.2.a. Struktur Sintaksis

Judul berita tersebut adalah “Boed, Sang Bima dari Blitar”. Kata “Boed” adalah panggilan akrab Boediono saat remaja. Kata “Bima” merujuk pada sosok wayang saudara kedua dari Pandhawa lima, yang digambarkan sebagai sosok perkasa, berani, dan teguh membela kebenaran. Metafora “Sang Bima” ini digunakan untuk merujuk pada Boediono yang dikonstruksikan sebagai “pahlawan” bagi keluarganya dimana berhasil mewujudkan cita-cita sang ayah untuk bersekolah ke luar negeri. Selain itu Boediono diibaratkan sebagai Bima karena sama-sama jarang bicara. Dari judul ini dapat dikonstruksikan bahwa Boediono adalah sosok yang hebat. Sedangkan kata “dari Blitar” adalah kota kecil di Jawa Timur dimana Boediono melewatkan masa kecil dan remajanya.

Lead terdiri dari dua kalimat. ”Dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, Boediono diasuh dengan cita-cita besar: sekolah tinggi di luar negeri. Ayahnya buta sejak paruh baya, telaten menemani anak-anaknya belajar.” Boediono dikonstruksikan sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang sederhana. Keluarganya (terutama sang ayah) mengasuh dan mendidiknya untuk jadi anak yang giat belajar. Ayahnya memiliki harapan besar untuknya yakni bisa sekolah tinggi dengan pendidikan “tinggi” (bagus) di luar negeri. Lead ini juga menekankan tentang ayah Boediono yang buta sejak usia 40 tahun. Walaupun buta, namun ia tetap telaten (sabar, teliti dan cermat) dalam menemani anak-anaknya belajar. Sehingga ayah Boediono berperan besar dalam pendidikan Boediono.

Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut:

Di lantai sebuah rumah tua di Blitar, Boediono melukiskan sebagian lamunan masa kanak-kanaknya. Dengan sebatang kapur di tangan, dia bergerak dari bidang ke bidang lantai, melukiskan apa yang terlintas di kepala. (Paragraf 1 Berita II Boediono)

Mula-mula Boed—begitu dia disapa—kerap mencoretkan spoor, kereta api. Beranjak remaja, obyek kegemarannya berganti ke wajah kepala suku Indian lengkap dengan mahkota berhiasan bulu. Tapi yang paling sering ia gambar adalah Bima, tokoh cerita wayang Pandawa lima bersaudara, yang perkasa, berani, dan teguh membela kebenaran. Ahmad Siswo Sardjono, ayahnya, kerap menuturkan tokoh ini kepada Boediono kecil. (Paragraf 2 Berita II Boediono)

Pendahuluan berita ini diawali dengan deskripsi tentang apa yang dilakukan Boediono di masa kanak-kananknya. Setelah paragraf kedua barulah diketahui tentang relevansi antara pembukaan dengan isi berita. Bahwa Boediono dikonstruksikan ingin menjadi “Bima” bagi keluarganya.

Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita adalah harapan keluaraga Boediono (terutama sang ayah) untuk menyekolahkan Boediono ke luar negeri. Sehingga ketika Boediono bisa bersekolah di luar negeri menjadi seperti “pahlawan” bagi keluarganya yang diibaratkan seperti Bima, tokoh wayang yang sering diceritakan oleh ayah Boediono kepadanya..

Penyataannya sumber dalam berita ini yang berkaitan dengan karakteristik Boediono antara lain pada paragraf tiga terdapat kutipan Tuti Iswari, adik Boediono “Justru karena diamnya itu. Kalau cerewet, bukan Bima lagi namanya.” Kutipan tuti ini mengonstruksikan bahwa Boediono adalah sosok yang pendiam. Dalam paragraf 21 juga terdapat kutipan Tuti yakni “Kalau Mas Boed pulang ke Blitar, Ibu akan memasak otak goreng kesukaannya.” Hal tersebut menunjukkan, karena menjadi kebanggaan dalam keluarganya, Boediono mendapat perhatian yang lebih.

Sedangkan Dibyo Prabowo, kawan Boediono, berpendapat tentang Boediono dalam paragraf 22 yakni “Pintar aljabar, keuangan, hukum dagang, pintar semuanya.” Sehingga membangun konstruksi bahwa Boediono pintar dalam banyak hal, terutama Sedangkan Dibyo Prabowo, kawan Boediono, berpendapat tentang Boediono dalam paragraf 22 yakni “Pintar aljabar, keuangan, hukum dagang, pintar semuanya.” Sehingga membangun konstruksi bahwa Boediono pintar dalam banyak hal, terutama

Dalam berita ini juga mengonstruksikan tentang bagaimana sosok ayah Boediono yang bernama Ahmad Siswo. Tuti Iswari, berpendapat tentang ayahnya pada paragraf delapan sebagai berikut ”Tuti mengenang ayahnya sebagai sosok amat intelek. Bahasa Inggris dan Belandanya istimewa. Ahmad juga pandai bermain biola.” Tuti mengonstruksikan bahwa Ayah Boediono adalah seorang yang cerdas. Bahasa Inggris dan Belanda baik serta pandai bermain biola.

Dalam memberikan pendidikan kepada Boediono, pada paragraf 14 Ahmad Siswo berujar “Kalau pintar, bisa dapat beasiswa sekolah ke luar negeri.” Dari kalimat tersebut Ahmad Siswo mengingankan Boediono bisa bersekolah ke luar negeri, itulah yang menjadi fokus interes dalam berita ini. Pelajaran yang bisa diambil Boediono dari ayahnya adalah pada parafraseya di paragraf 20 yakni “Kalian itu dari satu rahim, tapi pasti nasibnya tidak sama. Tak boleh saling iri, tak boleh benci. Harus saling membantu, tak boleh lapar, semua harus sekolah.” Dari kalimat tersebut mengonstruksikan palajaran kepada Boediono untuk saling menyayangi saudara-saudara-nya, tidak boleh hidup kekurangan dan todak boleh ada yang tidak mengenyam pendidikan.

Paragraf penutup berita ini adalah sebagai berikut: Ketika Ahmad menutup mata pada 1974, impiannya tentang “sekolah

tinggi di luar negeri” telah dipenuhi Boediono dengan patut: dia master dari Monash University, Melbourne. Dan beberapa tahun kemudian, dia meraih gelar doktor The Wharton School of the University of Pennsylvania—salah satu sekolah ekonomi terbaik di dunia. (Paragraf 22 Berita II Boediono)

Penutup berita ini merupakan kesimpulan dari berita, bahwa Boediono mampu memenuhi impian sang ayah. Dengan menyebutkannya jenjang pendidikan, gelar yang disandang serta dimana tempat ia menuntut ilmu ekonomi, konstruksi yang dibangun dari penutup ini adalah Boediono merupakan seorang yang ahli di bidang ekonomi.

D.2.b. Struktur Skrip

Unsur Who dalam berita ini ada dua, yakni Boediono dan Ahmad Siswo (ayah kandung Boediono). Ayah kandung Boediono menjadi subjek dalam berita ini karena mengajarkan banyak keteladanan bagi Boediono. Sedangkan unsur What dalam berita ini adalah kondisi keluarga dan pendidikan Boediono saat di sekolah dasar dan menengah. Hal ini untuk mengonstruksikan bagaimana kepemimpinan Boediono terbentuk.

Sedangkan unsur where dan when dalah saat Boedino lahir dan besar di sebuah rumah sederhana berukuran 200 meter persegi di Jalan Wahidin 6, Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar. Boediono bersekolah di SD Muhammadiyah Blitar.

Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana pendidikan bis menjadi hal yang penting bagi keluarga Boediono dan bagaimana Boediono bisa menjadi ”Bima” nagi leuarganya. Unsur why dalam berita ini adalah kanapa Boediono bisa menjadi kebanggan bagi keluarganya.

D.2.c. Struktur Tematik

Dari unit analisis koherensi dalam mengonstruksikan karakteristik Boediono antara lain terdapat pada paragraf 14 yakni “Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting. Setidaknya itu yang selalu dipesankan Ahmad dengan tidak bosan-bosannya.” Terdapat koherensi pembeda dalam kata “tapi” dan oherensi penjelas Dari unit analisis koherensi dalam mengonstruksikan karakteristik Boediono antara lain terdapat pada paragraf 14 yakni “Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting. Setidaknya itu yang selalu dipesankan Ahmad dengan tidak bosan-bosannya.” Terdapat koherensi pembeda dalam kata “tapi” dan oherensi penjelas

Pada Paragraf 22 terdapat koherensi pembeda tentang karakteristik Boediono yakni “Seperti ayahnya, Boediono cenderung pendiam. Tapi temannya banyak.” Koheresnsi tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono sebagai orang yang tidak banyak bicara tetapi tidak seperti orang pendiam pada umumnya yang punya sedikit teman, Boediono justru memiliki banyak teman.

Koherensi pembeda juga terdapat dalam paragraf 23 yakni “Pada masa kecil, Boediono sempat bercita-cita jadi insinyur. Namun di SMA dia memilih jurusan C atau sosial ekonomi.” Koherensi ini memperkuat konstruksi tentang pilihan Boediono untuk memilih jurusan ekonomi secara tidak sengaja dan tidak sesuai dengan piliahnnya ketika kecil.

Detail-detail yang ditonjolkan dalam berita ini adalah bagaimana ayah Boediono mendidik anak-anaknya. Detail itu terdapat pada paragraf berikut: Dan Ahmad serius betul mengawasi studi anak-anaknya. Setiap anak

mesti melaporkan ponten yang mereka dapat untuk pelajaran hari itu, terutama mencongak. Mereka belajar bersama setiap malam di meja makan. Karena tak bisa melihat, Ahmad Siswo menggunakan kemoceng (bulu ayam) untuk mengontrol apakah kepala anak-anak masih tegak menatap buku. Kalau menunduk atau tertidur, kemoceng beralih jadi “senjata”. (Paragraf 15 Berita II Boediono)

Untuk mendisiplinkan anak-anaknya, Ahmad Siswo punya cara menghukum yang khas, yakni memasukkan mereka ke almari jati besar. “Hayo, kapok enggak?” ayahnya berteriak dari luar. Kalau ada jawaban kapok, baru dia membuka pintu lemari. (Paragraf 18 Berita II Boediono)

Hal ini mengkonatrukaikan bahwa ayah Boediono sangat ketat dalam hal pendidikan.

D.2.d. Struktur Retoris

Unit analisis leksikon yang paling ditonjolkan dalam tubuh berita ini adalah peran Boediono bagi keluarga dan pentingnya pendidikan bagi keluarga Boediono. Seperti terdapat dalam paragraf 23 “Sang ayah melepasnya dengan bangga ketika ia berhasil masuk Jurusan Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Hanya setahun di situ, ia dapat beasiswa Colombo Plan untuk melanjutkan studi ke Australia dalam usia 19 tahun.” Kata “melepasnya dengan bangga” berarti menunjukkan prestasi Boediono yang bisa membanganggakan dan memenuhi harapan sang ayah. Sedangkan tentang pendidikan yang penting dikonstruksikan dalam paragraf 14 yakni “Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting.”

Dari unit analisis grafis terdapat tiga buah foto. Foto pertama dengan caption “Acara Agustusan. Boediono (berdiri paling kanan) bersama rekan-rekannya merayakan HUT RI di Perth Australia.”. Foto ini untuk mengkonstrksikan bahwa Boediono bisa bersekolah ke luar negeri sesuai dengan cita-cita sang ayah.

Foto kedua dengan caption “Ahmad Siswo Sarjono. Ayah Boediono”. Berita ini juga menceritakan tentang ayah Boediono, sehingga foto ini mendukung penonjolan tentang ayah Boediono. Foto tersebut untuk mendukung konstruksi bahwa ayah Boediono adalah seorang yang intelek. Kalimat tersebut ada di paragraf delapan yakni “... ayahnya sebagai sosok amat intelek. ... Foto ayah mereka semasa muda lebih mirip sarjana lulusan Belanda, bukan pedagang batik dari Blitar.” Foto ketiga dengan caption “Rumah Boediono di Jalan Wahidin Kota Blitar.” Hal ini untuk mendukung gambaran tentang keluarga Boediono saat tinggal di Blitar. Rumah itu terlihat sederhana untuk mengonstruksi Boediono memang lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sederhana.

Penggunaan gaya bahasa Jawa terdapat pada paragraf 16 ”Mboten kepanggih, Ndoro”. Hal tersebut digunakan untuk mendukung konstruksi bahwa keluarga Boediono Penggunaan gaya bahasa Jawa terdapat pada paragraf 16 ”Mboten kepanggih, Ndoro”. Hal tersebut digunakan untuk mendukung konstruksi bahwa keluarga Boediono

D.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Boediono di Berita II

Boediono dikonstruksikan sebagai seorang pahlawan yang membanggakan bagi keluarganya. Hal tersebut dilihat dari kemampuan Boediono memenuhi harapan keluarganya untuk bisa berkuliah ke luar negeri. Keluarga Boediono dikostrusikan sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Ayah Boediono menerapkan pendidikan dngan ketat. Ketatnya pendidikan tersebut terbawa hingga Boediono dewasa. Saat menjalani pendidikan di sekolah dasar, Boediono menjalani pendidikan di sekolah yang sederhana. Boediono sejak kecil dididik unuk menyayangi saudaranya dan telah diberi pembagian tugas agar menjadi orang yang bertanggungjawab.