Analisis Struktur Berita I Berjudul “Anak Revolusi di Kali Code”

A.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Anak Revolusi di Kali Code”

A.1.a. Struktur Sintaksis

Judul berita ini adalah “Anak Revolusi di Kali Code”. Kata “anak revolusi” merupakan metafora bagi Megawati. Metafora tersebut mengacu pada saat Megawati lahir dan menjalani masa kanak-kanak, kondisi negara sedang genting oleh agresi militer Belanda. Mega yang belum genap setahun diboyong kesana kemari oleh orang tuanya untuk menghindari agresi. Karena lahir dan tumbuh dalam suasana pergolakan bangsa melawan penjajah, Megawati di juluki oleh Tempo sebagai anak revolusi. Maka Megawati dikonstruksikan sebagai putri presiden yang istimewa, karena lahir dan tumbuh saat terjadinya revolusi di Indonesia.

Sedangkan kata “di Kali Code” adalah nama daerah di Provinsi Yogyakarta dimana Megawati tinggal sampai usia dua tahun. Maka Tempo ingin menekankan pada judul berita ini bahwa Yogyakarta, khususnya kali code merupakan tempat yang istimewa bagi Megawati. Pada masa itu Ibukota Negara dialihkan dari Jakarta ke Yogyakarta. “Ia satu-satunya anak Bung Karno-Fatmawati yang lahir di Yogyakarta. Kakaknya, Guntur, serta adik-adiknya, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh, lahir di Jakarta” (Paragraf 6 Berita I Mega).

Lead berita ini terdiri dari dua kalimat yakni “Mega lahir dan tumbuh dalam tekanan. Pendiam tapi mulai membuka diri.” Kata “dalam tekanan” pada kalimat pertama bermakna kondisi saat Mega lahir dan tumbuh dalam situasi genting dan penuh dengan ancaman. Ancama kepada dirinya dan keluarganya tersebut datang dari Belanda dan lawan politik ayahnya. Kalimat kedua yakni “Pendiam tapi mulai membuka diri”. Dari kalimat tersebut Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik pendiam. Kata

“pendiam” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yg tidak banyak bicara. Orang yang pendiam memiliki kecenderungan menjadi seorang yang “introvert”

atau tertutup (Barata, 2004: 160). Tetapi Tempo menegasikannya dengan kata selanjutnya yakni “tapi mulai membuka diri”, dalam artian membuka diri untuk hal-hal yang selama ini ia tutupi oleh sifat pendiam dan introvert-nya. Berarti Tempo mengonstruksikan Mega walaupun memiliki karakteristik pendiam dan introvert namun Mega mau mencoba membuka diri untuk hal-hal baru baginya.

Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan pendahuluan sebagai berikut: Ingatannya berusaha menerawang ke zaman 60 tahun silam, ketika

masih berusia dua tahun dan tinggal di Kali Code, Yogyakarta. Tapi ingatannya terbatas. Megawati Soekarnoputri tak cukup punya cerita tentang masa lalu itu. Ketika itu Soekarno, ayah Megawati, dibuang Belanda ke Bangka pada Februari 1949. Bersama ibunya, Fatmawati, Mega tinggal di rumah sempit dengan pintu dan jendela rusak. “Saya cari rumah itu sampai sekarang enggak ketemu,” kata Megawati kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. (Paragraf 1 Berita I Mega)

Pembukaan berita ini mengantarkan pembaca menuju poin yang ditekankan dalam judul berita ini yakni ketika Mega tumbuh dan lahir di Kali Code pada saat terjadi revolusi. Kata “Mega tinggal di rumah sempit dengan pintu dan jendela rusak” mengonstruksikan tentang kehidupan yang kurang layak pada masa itu. Konstruksi tersebut diperkuat dalam paragraf selanjutnya:

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri memang lahir dalam kondisi prihatin. Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakyat menceritakan kelahiran anak keduanya dengan dramatis. Ketika beduk tanda magrib ditabuh,

23 Januari, 62 tahun lalu, halilintar di Yogyakarta seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam. Atap kamar runtuh. Awan gelap jatuh menjadi hujan deras. Megawati lahir hanya dengan cahaya lilin. (Paragraf 2 Berita I Mega)

Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita terletak pada kalimat pertama paragraf tersebut yakni “(Mega) memang lahir dalam kondisi prihatin”. Tempo mengutip tulisan Bung Karno (ayah Mega) guna menguatkan konstruksi bagaimana situasi saat kelahiran Mega. Pada awal-awal berita ini menceritakan Mega saat masih kecil.

… Mega kecil diboyong ke sana-kemari karena agresi militer Belanda I. Si jabang bayi menjalani masa persembunyian di perkebunan kopi di daerah pegunungan Madiun, Jawa Timur. … (Paragraf 3 Berita I Mega)

Pengalaman pahit bersama keluarganya terus berlanjut ketika Belanda kembali melancarkan agresinya pada akhir 1948. Bung Karno dibuang ke Bangka. Di sinilah Mega singgah di Kali Code. … (Paragraf 4 Berita I Mega)

… Desing peluru menjadi santapan setiap malam.Tentara Belanda juga selalu mengawasi rumah itu karena sering dikunjungi pengawal proklamator yang menjadi gerilyawan. “Rumah kami sering menjadi sasaran peluru,” tulis Fatmawati. (Paragraf 5 Berita I Mega)

Awal kelahiran serta pengalaman di pelarian itu membuat Mega sering disebut sebagai “anak revolusi”. Megawati mengatakan pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar. ... “Ibu pernah bilang saya mempunyai lambaran nyawa,” kata Mega. (Paragraf 6 Berita I Mega)

Paragraf tiga sampai lima menjadi latar informasi tentang masa kecil yang dialani Mega sehingga Mega bisa disebut sebagai anak revolusi. Kata “pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar” mengonstruksikan bahwa Mega memiliki karakteristik pemimpin yang tegar. Kata “mempunyai lambaran nyawa” mengandung makna Mega mempunyai jiwa yang kuat.

Dalam mengonstruksikan karakteristik Mega, terdapat dalam beberapa penggalan paragraf berikut: ... Paling tidak ada 23 upaya pembunuhan Bung Karno. Megawati

mengatakan, rentetan peristiwa yang menimpa ayahnya itu membuatnya menjadi lebih waspada dan tabah menerima tekanan. “Kami tergodok secara alami,” kata Mega. (Paragraf 13 Berita I Mega)

Kondisi yang dialaminya membuat watak Mega waspada dan tabah menerima tekanan. Mega mengonstruksikan dirinya memiliki watak seperti itu karena telah “tergodok secara alami” atau menjalaninya sendiri yang mengasah naluri.

Meski tergolong aktif, Mega termasuk pendiam, sedikit bicara, dan banyak senyum. Pada 1993 Tempo pernah menulis pengakuan Eyang Citro. “Dari kecil dulu sampai sekarang ia memang begitu. Lembut dan keibuan,” kata Eyang Citro. Adis suka menanam bunga dan padi. (Paragraf 15 Berita I Mega)

Kecenderungan Mega yang pendiam itu diakui adiknya, Rachmawati. Mega sering menghabiskan waktu di taman istana sambil menyiram bunga. Rachmawati mengatakan sifat kakaknya itu sudah muncul sejak kecil. “Saya mulai menari sejak empat tahun,” kata Rachmawati, “tapi Mega baru tujuh tahun.” (Paragraf 16 Berita I Mega)

Dari kalimat pertama paragraf 15, Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik pendiam. Dari kutipan Eyang Citro, Mega dikonstrukiskan memiliki sifat lembut yang berarti tidak suka berlaku kasar, dan keibuan berarti penyayang. Tempo mengutip penyataan Rachmawati (adik Mega), karena sifat pendiam Mega membuat ia asyik dengan dirinya sendiri sehingga kurang bersosialisasi dan kurang sigap. Konstruksi lain tentang karakteristik kepemimpinan Mega terletak pada paragraf berikut:

Di Bandung, Mega menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, organisasi onderbouw Partai Nasionalis Indonesia. Dua tahun di kampus, Mega dipaksa keluar karena tak mau menandatangani kontrak politik dari rektor Sanusi Harjawinata. Isinya berupa pernyataan bahwa Mega masuk gerakan mahasiswa yang berkiblat pada Partai Nasionalis kelompok Osa Maliki- Usep Ranuwidjaja, atau lebih dikenal kelompok sayap kanan. (Paragraf 22 Berita

I Mega) Mega memutuskan berhenti kuliah. Situasi di Jakarta juga genting. Bung Karno dikucilkan di Bogor. Mega meninggalkan Istana pada 1967 dan tinggal bersama Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta. “Kami kembali seperti rakyat biasa,” kata Mega. (Paragraf 23 Berita I Mega)

Pada paragraf 22 mengonstruksikan bahwa Mega memiliki karakteristik berani menolak sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian Megawati memilih berhenti kuliah. Kutipan Mega pada paragraf 23 mengonstruksikan ia saat di istana tidak seperti rakyat biasa, dan saat ia meninggalkan istana ia kembali seperti rakyat biasa yang tidak mendapatkan perhatian lebih seperti saat menjadi putri presiden.

Sepeninggal Bung Karno, Guntur bersaudara ingin menjauhi ingar- bingar politik. Pada 1978, mereka membuat kesepakatan tak memasuki politik praktis selama Orde Baru masih berkuasa. Pada masa menjelang Pemilu 1982, kesepakatan itu diperbarui. Namun garis tangan berkata lain: menjelang Pemilu 1987, Mega bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia. (Paragraf 26 Berita I Mega)

Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa saudara-saudara Mega (anak-anak mantan presiden Soekarno) tak ingin memasuki dunia politik selama Orde Baru berkuasa. Orde Baru adalah pihak yang melengserkan kekuasaan ayah mereka. Kata “garis tangan berkata lain” mengonstruksikan bahwa Mega seolah-olah mengingkari kesepakatan yang telah dibuat yakni mereka tidak ingin memasuki politik. Namun Tempo menghilangkan Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa saudara-saudara Mega (anak-anak mantan presiden Soekarno) tak ingin memasuki dunia politik selama Orde Baru berkuasa. Orde Baru adalah pihak yang melengserkan kekuasaan ayah mereka. Kata “garis tangan berkata lain” mengonstruksikan bahwa Mega seolah-olah mengingkari kesepakatan yang telah dibuat yakni mereka tidak ingin memasuki politik. Namun Tempo menghilangkan

Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Erros Djarot, yang mendampingi Mega selama Orde Baru, mengatakan

politik diam Mega sengaja dimunculkan. “Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius,” katanya. Erros, yang semula menjadi simpatisan PDIP, belakangan mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, dan kini bergabung dalam koalisi Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. (Paragraf 29 Berita I Mega)

Kata “politik diam” mengandung makna bahwa Mega cenderung tidak banyak bicara menanggapi segala situasi saat ia menjabat sebagai ketua PDI P. Kata “tak bisa dijamah” mengandung makna tak bisa dijangkau oleh khalayak atau bisa bermakna tak bisa dimengerti dikarenakan Mega saat itu tidak bereaksi terhadap tekanan politik yang dilancarkan padanya. Kata “semakin misterius” mengandung makna sakral, tidak lazim, sehingga membuat orang penasaran dan ingin tahu.

A.1.b. Struktur Skrip

Unsur who dalam berita ini fokus kepada Megawati. Sedangkan unsur what-nya adalah kehidupan megawati saat lahir, kanak-kanak dan remaja. Unsur where dan when yang paling menonjol adalah Kali Code dimana Mega tinggal disana sampai usia dua tahun (tahun 1947-1949), Kota Yogyakarta sebagai kota kelahiran Mega. Mega kemudian tinggal Istana Negara Jakarta (1949-1967) setelah itu Mega tinggal bersama Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta. Mega bersekolah di Perguruan Cikini Jakarta mulai SD hingga SMA. Ia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok di Beograd, Yugoslavia (1961). Mega juga pernah mendapat tugas sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (17 Agustus 1964). Unur when yang ditonjolkan lagi adalah saat Mega memimpin Partai

Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1993, dan 1998 saat mendirikan PDI Perjuangan yang mengantarnya menjadi wakil presiden pada 1999 dan tahun 2001 menjadi Presiden.

Unsur how dalam berita ini adalah bagaiaman Mega menjalani kehidupan masa kanak-kanak hingga remaja. Sedangkan unsur why-nya Mengapa Mega bisa dijuluki sebagai anak Revolusi.

A.1.c. Struktur Tematik

Dari unit analisis koherensi, terdapat beberapa koherensi antarkata atau antarkalimat yang mengonstruksikan karakteristik Mega. Pada lead terdapat koherensi pembeda yakni pada kata “Pendiam tapi mulai membuka diri” (telah di jelaskan saat membahas lead). Koherensi pembeda juga terdapat pada paragraf 11 yakni “Namun hidup dalam tembok Istana sebagai putri presiden membuat ruang geraknya terbatas.” Kalimat tersebut mengonstruksikan Mega tidak bisa bergaul bebas seperti anak-anak yang lain karena terikat peraturan kepresidenan, sehingga ia kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungan di luar Istana. Koherensi pembeda terdapat lagi pada paragraf 15 “Meski tergolong aktif, Mega termasuk pendiam, sedikit bicara, dan banyak senyum.” Kalimat ini mengandung kekontrasan kata “aktif” dibandingkan dengan “pendiam”.

Koherensi penyebab terdapat pada paragraf 22 “Dua tahun di kampus, Mega dipaksa keluar karena tak mau menandatangani kontrak politik dari rektor Sanusi Harjawinata.” Menandakan ia teguh pada keyakinannya sehingga tidak mau dipaksa untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan pemikirannya

Dari unit analisis kata ganti terdapat pada paragraf tiga yakni ganti yakni “Si jabang bayi menjalani masa persembunyian di perkebunan kopi di daerah pegunungan Madiun”. Kata “si jabang bayi” merujuk pada Mega yang digunakan untuk menekankan bahwa Mega yang basih bayi sudah harus hidup dalam persembunyian. Pada paragraf 11

Mega digantikan sebagai “putri Presiden” untuk menekankan kedudukannya saat itu, sehingga ia merupakan orang terpandang keturunan presiden.

A.1.d. Struktur Retoris

Dari unit analisis leksikon, beberapa kata dipilih Tempo dalam menekankan makna tertentu antara lain terdapat dalam paragraf berikut: “Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri memang lahir dalam kondisi prihatin” (Pargaraf 2 Berita I Mega). Kata “kondisi prihatin” menandakan Mega lahir pada kondisi menyedihkan dan pada saat keadaan serba sulit dalam hal apapun.

Pada paragraf 6 terdapat kalimat “Megawati mengatakan pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar. ”Ibu pernah bilang saya mempunyai lambaran nyawa,” kata Mega.” Kata ”menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar” serta ”mempunyai lambaran nyawa” mengonstuksikan bahwa Mega menjadi pemimpin yang tegar karena sejak bayi telah mengalami banyak cobaan hidup dan memiliki nyawa yang kuat.

Mega terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat setelah pemilu. Posisinya sebagai anak Bung Karno menjadi “nilai jual” Megawati sehingga memimpin Partai Demokrasi Indonesia pada 1993. Ia semakin meroket ketika partai berlambang banteng ini pecah pada 1998. Mega mendirikan PDI Perjuangan, yang mengantarnya menjadi wakil presiden pada 1999. Dua tahun kemudian dia menjadi orang nomor satu ketika menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, yang mandatnya dicabut Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kata “nilai jual” adalah menjadi daya tarik, nilai lebih yang bisa mempermudahnya untuk mendapatkan sesuatu. Tetapi kemampuan Mega yang lain tidak ditampilkan oleh Tempo, hanya menampilkan unsur prominance dari Mega saja.

Dari unit analisis grafis terdapat satu ilustrasi, dua buah foto dan satu insert tulisan. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah Megawati yang berbaju kebaya merah dengan mimik wajah sendu duduk diatas kerbau. Ia menganggat kepal tangan kanannya.

Mengonstruksikan bahwa Mega dalam konsdisi tertekan (dilihat dari ekspresi wajah) tetapi ingin berjuang (dilihat dari gesture tangan).

Foro pertama dengan captoin “Presiden Soekarno bersama istri dan anak- anaknya. Megawati paling kanan”. Foto kedua dengan caption “Megawati dan adik- adiknya bermain piano di Istana Negara, Mei 1964”. Kedua foto tersebut digunakan

untuk mendukung isi berita yakni saat Mega tingga di Istana Negara. Foto tersebut mengonstruksikan bahwa Mega seperti hidup layak dan nyaman di Istana, bisa berkumpul bersama keluarga dan bermain bersama adik-adiknya. Penonjolan ketika Mega “hidup susah” tidak dilakukan oleh Tempo.

Insert tulisan diambil dari kutipan Erros Djarot “...politik diam Mega sengaja dimunculkan. ”Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius” (penjelasan lihat poin sintaksis). Insert tulisan ini untuk menekankan karakteristik Mega yang pendiam, namun dibalik sifatnya yang pendiam mengandung sikap politik tertentu.

Terdapat unit analasis gaya bahasa yang digunakan dalam paragraf dua diambil dari cerita Bung Karno yakni: Ketika beduk tanda magrib ditabuh, 23 Januari, 62 tahun lalu, halilintar

di Yogyakarta seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam. Atap kamar runtuh. Awan gelap jatuh menjadi hujan deras. Megawati lahir hanya dengan cahaya lilin.

Hal ini untuk melukiskan bagaimana detail kelahiran Mega dengan bahasa yang lebih puitis. Menggnunakan unit analisis metafora yakni frase “Anak Revolusi” yang merujuk pada Megawati (telah dijelaskan di poin judul). Terdapat pula unit analisis pengandaian yang berkaitan dengan Mega yakni kutipan Erros Djarot “Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius” (telah dijelaskan pada poin sintaksis)

A.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Mega di Berita I

Karakter kepemimpinan Mega dikonstruksikan sudah terbentuk sejak bayi. Saat itu, ia menjani masa-masa sulit saat terjadi revolusi di Indonesia, sehingga ia dijuluki sebagai anak revolusi. Dari pengalamannya itu, Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik waspada, tegar, dan memiliki jiwa yang kuat. Mega dikonstruksikan sebagai orang yang memiliki karakteristik pendiam, introvert, kurang bergaul dengan lingkungan di sekitarnya, dan kurang sigap. Ia dikonstruksikan bisa memimpin partai atau duduk di birokrasi karena ia adalah anak presiden, bukan dari kemampuan kepemimpinannya.