21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.11
Reaksi Pemutusan Ikatan Hidrogen Tropokolagen
Sumber: Martianingsih Atmaja, 2009
Gambar 2.12 Reaksi Hidrolisis Ikatan Silang Kovalen Tropokolagen
Sumber: Martianingsih Atmaja, 2009
2.5.6 Mutu Gelatin
Mutu gelatin ditentukan oleh sifat fisika, kimia, dan fungsional yang menjadikan gelatin sebagai karakter yang unik. Sifat-sifat yang dapat dijadikan
parameter dalam menentukan mutu gelatin antara lain kekuatan gel, viskositas, dan rendemen. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit
dan non-elektrolit dan bahan tambahan lainnya, sedangkan viskositas dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik, suhu, pH, dan konsentrasi Setiawati, 2009.
Menurut Farmakope Indonesia Ed.V 2014, Gelatin dapat mengandung sulfur dioksida tidak lebih dari 0,15 dan dapat mengandung natrium lauril sulfat
dengan kadar yang sesuai serta zat antimikroba yang sesuai.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Persyaratan gelatin berdasarkan FAO dan Standar mutu gelatin berdasarkan SNI 1995 dan dapat dilihat pada Tabel:
Tabel 2.4 Persyaratan Gelatin Berdasarkan FAO
Parameter Persyaratan
Kadar abu Tidak lebih dari 2
Kadar air Tidak lebih dari 18
Belerang dioksida Tidak lebih dari 40
Arsen Tidak lebih dari 1 mgkg
Logam Berat Tidak lebih dari 50 mgkg
Timah Hitam Tidak lebih dari 5 mgkg
Batas cemaran mikroba Standard plate count
E-coli Streptococci
Kurang dari 10
4
gr Kurang dari 10gr
Kurang dari 10
2
gr
Sumber: JECFA, 2003
Tabel 2.5 Standar Mutu Gelatin Menurut SNI 1995
Karakteristik Syarat
Warna Tidak Berwarna
– kuning pucat Bau, Rasa
Normal dapat diterima konsumen Kadar Air
Maksimum 16 Kadar Abu
Maksimum 3,25 Logam Berat
Maksimum 50 mgkg Arsen
Maksimum 2 mgkg Tembaga
Maksimum 30 mgkg Seng
Maksimum 100 mgkg Sulfit
Maksimum 1000 mgkg
Sumber: Setiawati, 2009
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6 Analisis Protein Metode Spektrofotometri Praira, 2008
Konsentrasi protein dapat diketahui dengan metode spektrofotometri, baik menggunakan sinar ultraviolet UV maupun sinar tampak. Metode
spektrofotometri biasanya menggunakan suatu pereaksi atau reagen pewarna yang intensitas warna yang dibentuknya sebanding dengan konsentrasi protein dalam
sampel. Metode yang umum digunakan untuk mengukur konsentrasi protein dengan teknik spektrofotometri di antaranya adalah metode Biuret, Lowry,dan
Bradford. Prinsip dasar metode spektrofotometri ini adalah pelewatan cahaya yang
memiliki panjang gelombang tertentu melalui suatu sampel. Cahaya tersebut kemudian sebagian diserap oleh sampel berwarna dan sebagian lagi diteruskan
lalu ditangkap oleh alat pendeteksipengukur cahaya yang disebut fotometer. Intensitas cahaya yang diukur oleh fotometer dikonversi menjadi satuan serapan
absorbansi dan kemudian digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel dengan persamaan Lambert-Beer.
A=log I0
I = εCl T =
I I0
A= -log T
Keterangan: A= Serapan cahaya absorbans, I
= Intensitas cahaya tanpa absorpsi, I= Intensitas cah
aya yang diteruskan oleh sampel, ε= Koefisien absorpsi molekul, l= Ketebalan lapisan larutan sampel, C= Konsentrasi, T= Transmitan.
2.6.1 Analisis Protein Metode Biuret Praira, 2008
Metode Biuret merupakan metode analisis protein yang paling sederhana dibandingkan dengan metode Lowry dan Bradford. Metode ini telah ditemukan
pada tahun 1915, kemudian dimodifikasi oleh Gornall et al. pada tahun 1949. Metode biuret yang dimodifikasi inilah yang sampai saat ini sering digunakan
dalam penentuan protein. Pereaksi Biuret terdiri atas campuran tembaga dengan kompleks natrium
yang dapat menstabilkan tembaga dalam larutan. Dalam hal ini Gornal et al 1949 menyarankan penggunaan kompleks natrium kalium tartrat.