Gambar 16. Kurva absorbansi pada panjang gelombang maksimum vs konsentrasi baku bisfenol A
2. Pembuatan fase gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Rykowska and Wasiak 2006, yaitu menggunakan fase gerak asetonitril : air
dengan perbandingan 75 : 25. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi komposisi fase gerak dengan menambah dan mengurangi jumlah asetonitril untuk
mendapatkan komposisi optimum fase gerak sehingga dapat menghasilkan pemisahan yang optimum dilihat dari bentuk peak, tailing factor, resolusi, nilai
N, HETP, ∝, dan k’. Komposisi fase gerak yang dioptimasi dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel VII. Komposisi fase gerak, indeks polaritas, dan pH
Komposisi fase gerak Asetonitril : Air
P’ = Φ
a
P’
a
+ Φ
b
P’
b
Indeks polaritas
70 : 30 0,7 x 5,8 + 0,3 x 10,2
7,12 75 : 25
0,75 x 5,8 + 0,25 x 10,2 6,9
80 : 20 0,8 x 5,8 + 0,2 x 10,2
6,68
y = 0,0191x + 0,0136 r = 0,9998
0,2 0,4
0,6 0,8
1 1,2
1,4 1,6
10 20
30 40
50 60
70 80
Abs o
rba ns
i
Konsentrasi µgmL
Kurva Absorbansi pada Panjang Gelombang Maksimum vs
Konsentrasi Baku Bisfenol A
Pada KCKT fase terbalik biasanya fase gerak yang digunakan merupakan campuran air atau buffer dengan pelarut organik, yang paling sering digunakan
yaitu asetonitril atau metanol. Tidak digunakan buffer pada campuran fase gerak, karena pada semua komposisi fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki pH ± 5. Pada pH tersebut, bisfenol A yang memiliki pKa 9,78 – 10,39
pH ± 5 - 6 akan terdapat dalam bentuk molekul utuhnya. Selain itu, jika digunakan buffer dalam campuran fase gerak maka buffer tersebut akan terikat
kuat pada kolom C-18 sehingga dibutuhkan waktu elusi yang lebih lama.
Gambar 17. Bentuk bisfenol A pada berbagai pH Chemaxon, 2013
Asetonitril digunakan sebagai salah satu campuran dalam fase gerak untuk mengurangi kepolaran fase gerak agar molekul bisfenol A dapat terelusi
dari fase diam. Dipilih asetonitril sebagai organic solvent modifier karena asetonitril memiliki eluent strength yang besar pada fase diam C-18, yaitu 3,1;
sehingga dapat memperkuat kemampuan fase gerak dalam mengelusi analit.
Asetonitril dan air memiliki UV cut-off pada 190 nm. UV cut-off kedua fase gerak ini cukup jauh dari panjang gelombang yang digunakan pada penelitian ini, yaitu
278 nm, sehingga tidak akan mengganggu serapan analit. Menurut Gandjar dan Rohman 2007, nilai UV cut-off merupakan panjang gelombang di mana pada
kuvet 1 cm, pelarut akan memberikan absorbansi lebih dari 1,0 satuan absorbansi; sehingga disarankan untuk tidak menggunakan pelarut atau fase
gerak yang memiliki nilai UV cut-off yang bertepatan atau di sekitar panjang gelombang yang digunakan dalam metode ini.
Pada penyiapan fase gerak, asetonitril dan air disaring dengan kertas saring Whatman ukuran pori 0,45 µm secara terpisah untuk mencegah
kemungkinan adanya partikel yang dapat menyumbat kolom. Setelah disaring, keduanya dicampur dengan perbandingan tertentu dalam suatu wadah fase gerak,
lalu di-degassing menggunakan ulrasonicator untuk menghilangkan gelembung udara yang mungkin ada. Gelembung udara dapat mengganggu sistem KCKT
karena dapat menimbulkan rongga udara pada kolom sehingga kemungkinan ada partikel penyusun kolom yang tidak terbasahi oleh fase gerak sehingga analit yang
melewati kolom tersebut tidak dapat berinteraksi dengan fase diam. Hal ini mengakibatkan pemisahan analit tidak terjadi dengan baik. Pengaruh lainnya
adalah pada pembacaan serapan sinar UV pada detektor. Jika gelembung udara terjebak pada cell detector maka kestabilan pembacaan serapan oleh detektor
terhadap sinar yang diteruskan akan berkurang. Elusi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu elusi dengan cara isokratik
komposisi fase gerak tetap selama elusi dan elusi dengan cara bergradien
komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi. Pada proses optimasi ini dilakukan dengan metode isokratik, hal ini dikarenakan peneliti ingin melihat
perbedaan respon pemisahan yang dihasilkan oleh beberapa komposisi campuran fase gerak.
3. Pembuatan larutan kerja untuk optimasi
Baku atau standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah baku bisfenol A for synthesis dengan kemurnian 97. Pelarut yang digunakan untuk
melarutkan baku maupun sampel pada penelitian ini adalah metanol pro analysis. Digunakan metanol sebagai pelarut karena bisfenol A dapat larut dalam metanol.
Selain itu, UV cut-off metanol, yaitu 205 nm, cukup jauh dari panjang gelombang yang digunakan pada penelitian ini.
Tujuan dari pembuatan larutan baku untuk optimasi ini adalah sebagai pembanding dari ekstrak sehingga dapat dipastikan secara kualitatif bahwa di
dalam ekstrak terdapat senyawa bisfenol A yang dimaksud. Parameter yang digunakan adalah waktu retensi t
R
. Jika waktu retensi antara baku bisfenol A dan bisfenol A di dalam ekstrak sama atau hampir sama maka dapat dikatakan bahwa
dalam ekstrak tersebut terdapat senyawa bisfenol A. Dalam optimasi ini juga digunakan ekstrak air dan ekstrak botol. Sampel
botol diperoleh dari salah satu supermarket di kecamatan Maguwoharjo. Selanjutnya, botol ini diisi dengan akuabides yang berasal dari laboratorium
Kimia Analisis Instrumental Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, lalu dijemur di bawah matahari. Sampel botol dan sampel air di dalam botol kemudian
diekstraksi secara terpisah. Sampel botol diekstraksi oleh Kristiyanto in process
menggunakan diklormetan dan aseton dengan perbandingan 10 : 50 dan sampel air di-clean up oleh Pamungkas in process menggunakan metanol. Ekstraksi ini
dilakukan untuk meminimalkan campuran senyawa yang ada pada sampel. Digunakan ekstrak botol dan ekstrak air pada optimasi fase gerak dan kecepatan
alir agar pada optimasi ini diperoleh komposisi fase gerak dan kecepatan alir yang optimum untuk pemisahan bisfenol A pada sampel tersebut.
B. Optimasi Komposisi Fase Gerak dan Kecepatan Alir pada KCKT
untuk Penetapan Kadar Bisfenol A
Metode KCKT yang digunakan pada penelitian ini adalah metode KCKT fase terbalik, di mana fase gerak lebih polar daripada fase diamnya. Fase diam
yang digunakan adalah oktadesilsilan C-18 dan fase gerak yang merupakan campuran dari asetonitril dan air. Bisfenol A yang memiliki log K
ow
3,40 merupakan senyawa yang cenderung hidrofobik oleh karena itu digunakan KCKT
fase terbalik dimana fase diam lebih non polar dibandingkan dengan fase geraknya sehingga bisfenol A ini dapat berinteraksi dengan fase diam. Digunakan
fase diam C-18 yang cocok untuk menganalisis senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, dan tinggi, serta memiliki pH di antara 2,5-7,5. pH bisfenol A
adalah ± 5 – 6. Fase diam C-18 ini cocok digunakan untuk senyawa yang
memiliki log K
ow
lebih dari 2, seperti bisfenol A yang memiliki log K
ow
3,40. Interaksi pada C-18 didasarkan pada interaksi hidrofobik atau van der Waals.
Bagian cincin benzen dari bisfenol A merupakan bagian hidrofobik yang akan berinteraksi dengan fase diam. Kemudian bagian polar dari bisfenol A -OH akan
berinteraksi dengan fase gerak yang sifatnya lebih polar daripada fase diam