Extraction and Characteristic of Collagen and Nanoparticle Collagen from the Skin of Stingray Fish (Pastinachus solocirostris) as Ingredient of Cosmetics.

(1)

SIFAT ANTIJAMUR EKSTRAK METANOL KULIT BATANG Litsea tomentosa Blume.

NOVITRI HASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

Antifungal Properties of Methankol Extract from Bark of Litsea tomentosa Blume By:

Noviitri Hastuti, Wasrin Syafii, Philippe Geradin ABSTRACT

The bark is a waste that produced from harvesting activity and wood processing that have not been utilized efficiently. The bark volume is about 10-20% of whole stem volume depend on stem diameter. The bark utilization also has been grow to extract utilization for medical purpose, anti-fungi, anti-bacteria, and insecticides. The bark powder of L.tomentosa with size 40-60 mesh as much as 170 g was extracted using soxhlet with the methanol solvent. Rough methanol extract was tested to the brown rot fungi Poria placenta and Gloeophyllum trabeum. Meanwhile, Coriolus versicolor was used for white rot fungi. Anti-fungi index of methanol extract are 66.7% for Poria placenta, 54% for Coriolus versicolor and 100.0 % for Gloeophyllum trabeum, respectively. The concentrated methanol extract of L. tomentosa stem bark then separated using column chromatography. The results of LCMS and NMR analysis show that the extract contained alcaloid compound of brucine and 17 oxulapanine

Key word : bark, anti-fungi, alcaloid, brucine, 17-oxolupanine .


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sifat Antijamur Ekstrak Metanol Kulit Batang Litsea tomentosa Blume. adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Novitri Hastuti


(4)

RINGKASAN

NOVITRI HASTUTI. Sifat Antijamur Ekstrak Metanol Kulit Batang Litsea

tomentosa Blume. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan PHILIPPE

GERARDIN

Kulit batang merupakan limbah dari kegiatan pemanenan maupun pengolahan kayu yang belum dimanfaatkan secara efisien. Volume kulit batang berkisar 10-20% dari volume batang tergantung pada diameter batang. Meskipun kecenderungan pemanfaatannya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pemanfaatan kayunya, namun perhatian pemanfaatan kulit batang mulai tumbuh ketika isu pemanfaatan biomassa hutan berkembang. Banyak studi tentang potensi penggunaan kulit batang telah dicapai. Hasil studi tersebut menunjukkan hasil positif dari penggunaan kulit batang sebagai bahan baku untuk menghasilkan panas maupun bahan baku perekat. Pemanfaatan kulit batang berkembang pada pemanfaatan ekstraknya untuk berbagai tujuan pengobatan, antijamur, antibakteri dan insektisida.

Litsea tomentosa Blume diketahui memiliki jenis alkaloid boldin, predisentrin, launobin dan laurolitsin pada ekstrak kayu batangnya. Keempat alkaloid ini diketahui memiliki sifat antitumor. Kulit batang L. tomentosa sendiri telah digunakan oleh masyarakat tradisional Kupang sebagai bahan untuk menyembuhkan penyakit malaria. Informasi mengenai senyawa yang terkandung pada kulit batang L.tomentosa sendiri masih belum diketahui. Untuk itu penelitian ini dilakukan guna mendapatkan informasi senyawa yang terdapat pada kulit batang L.tomentosa.

Serbuk kulit batang L.tomentosa ukuran 40-60 mesh sebanyak 170 g diekstraksi menggunakan Soxhlet dengan pelarut metanol. Ekstrak kasar metanol diujikan pada jamur pembusuk cokelat (brown rot fungi) Poria placenta dan

Gloeophyllum trabeum. Untuk jamur pembusuk putih (white rot fungi) menggunakan Coriolus versicolor. Indeks antijamur ekstrak metanol untuk masing-masing jamur adalah 66.7 % untuk Poria placenta , 54. untuk %,

Coriolus versicolor dan 100.0 % untuk Gloeophyllum trabeum.

Ekstrak metanol kulit batang L.tomentosa yang dipekatkan kemudian dipisahkan menggunakan kromatografi kolom. Analisis menggunakan LCMS dan NMR menunjukkan bahwa ekstrak mengandung senyawa alkaloid brusin dan 17-oxolupanin.


(5)

SUMMARY

NOVITRI HASTUTI. Antifungal Properties of Methnol Extract form Bark of Litsea tomentosa Blume; Supervised by WASRIN SYAFII and PHILIPPE GERARDIN

The bark is a waste that produced from harvesting activity and wood processing that have not been utilized efficiently. The bark volume is about 10-20% of whole stem volume depend on stem diameter. Even though the trend of the utilization is still lower than the wood utilization, the attention of utilization of stem bark has been grow since the issue of biomass utilization was developed. There are many study shown the potency of stem bark utilization obtained. Those study positively prove that the stem bark can be used as raw material to produce heat and as raw material of adhesive. The bark utilization also has been grow to extract utilization for medical purpose, anti-fungi, anti-bacteria, and insecticides.

Litsea tomentosa Blume was known have some alcaloids in the stem bark, they are : boldin, predisentrin, launobin, and laurolitsin. Those alcaloids known as anti-tumor agent. The bark of L. tomentosa have been utilized by traditional society in Kupang as medicine for malaria medication. The information about the compound contained in L. tomentosa stem bark is still unknown. For that reason, this research objective is to get the information about the compound contained in

L. tomentosa stem bark.

The bark powder of L.tomentosa with size 40-60 mesh as much as 170 g was extracted using soxhlet with the methanol solvent. Rough methanol extract was tested to the brown rot fungi Poria placenta and Gloeophyllum trabeum.

Meanwhile, Coriolus versicolor was used for white rot fungi. Anti-fungi index of methanol extract are 66.7% for Poria placenta, 54% for Coriolus versicolor and 100.0 % for Gloeophyllum trabeum, respectively.

The concentrated methanol extract of L. tomentosa stem bark then separated using column chromatography. The results of LCMS and NMR analysis show that the extract contained alcaloid compound of brucine and 17 oxulapanine. Key word : bark, anti-fungi, alcaloid, brucine, 17-oxolupanine

.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

(8)

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SIFAT ANTIJAMUR EKSTRAK METANOL KULIT

BATANG

Litsea tomentosa

Blume

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(10)

Judul Tesis : Sifat Antijamur Ekstrak Metanol Kulit Batang Litsea tomentosa

Blume

Nama : Novitri Hastuti

NIM : E251100071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafi’i, M. Agr Ketua

Dr. Philippe Gerardin Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Hutan

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan M. Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 29 Oktober 2012


(11)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis. Objek penelitian yang dipilih penulis adalah sifat antijamur ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. Hal ini didorong oleh informasi yang diperoleh di tempat pengambilan sampel tanaman yang menyebutkan tanaman banyak dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit.

Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing di Indonesia yaitu Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii, MSc., atas kesediaanya memberikan pengarahan melalui lisan maupun tulisan. Di samping itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih pula kepada Kadep Departemen Teknologi Hasil Hutan (DHH), Prof. Dr. Ir. Wayan Darmawan yang banyak membantu penulis untuk mendapatkan kesempatan program master gelar ganda di IPB. Penghargaan yang juga ingin penulis sampaikan kepada suami tercinta Imam Budiman, S.Hut, MA, ME atas dukungan penuhnya selama studi, kepada Ibu tercinta dan keluarga besar alm. Sutiyono atas doa dan kasihnya, serta sahabat penulis dan rekan-rekan mahasiswa S2 maupun S3 DHH yang banyak memberikan inspirasi dan masukan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 30 November 1983 dari ayah bernama Sutiyono (alm) dan ibu bernama Endang Susilowati. Penulis merupakan putri bungsu dari 3 (tiga) bersaudara.

Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi mahasiswi di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan kakak seniornya di fakultas yang bernama Imam Budiman. Tahun 2008 penulis dikaruniai seorang putri yang bernama Syahida Azka Auliya. Pada tahun yang sama pula penulis memulai karirnya sebagai pegawai negeri sipil di Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Pada tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S2 di Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kesempatan ini diperoleh setelah penulis menjadi salah satu penerima Beasiswa Unggulan (BU) dari Biro Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, program double degree Indonesia-Perancis. Sejak September 2011 hingga Juli 2012 penulis menyelesaikan studi dan penelitiannya di LERMAB, Université de Lorraine, Nancy, Perancis. Penulis melakukan penelitian pada bidang kimia hasil hutan, khususnya mengenai bioaktivitas ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume.


(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Hipotesis ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA 5 Kulit Batang ... 5

Zat Ekstraktif ... 6

Alkaloid ... 8

Litsea tomentosa Blume ... 9

Pemanfaatan Kulit Batang ... 10

Jamur ... 11

METODOLOGI PENELITIAN 13 Waktu dan Tempat Penelitian... 13

Bahan dan Alat... 13

Bahan... 13

Alat... 14

Metode Penelitian ... 14

Ekstraksi Pendahuluan ... 14

Ekstraksi Menggunakan Metanol ... 15

Penetapan Kadar Air ... 15

Analisis Infra Merah (FTIR) ... 16

Analisis GCMS ... 16

Analisis LCMS... 17

Analisis NMR ... 18

Analisis sakarida ... 18

Kromatografi Kolom ... 18

Kromatografi Lapis Tipis ... 19

Uji Bioaktifitas Ekstrak ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN... 21

Ekstraksi Pendahuluan ... 21

Karakterisasi Infra Merah (FTIR)... 22

Karakterisasi GCMS ... 26

Karakterisasi LCMS ... 28

Optimisasi Proses ... 30


(14)

ii

Karakterisasi menggunakan NMR ... 32

Analisis Sakarida (Gula) ... 33

Uji Bioaktivitas Ekstrak Metanol ... 34

Kromatografi Kolom ... 38

Fraksi 1 ... 38

Fraksi 2 ... 39

Fraksi 3 ... 41

Fraksi 4 ... 41

SIMPULAN DAN SARAN... 43

Simpulan... 43

Saran... 43


(15)

iii

Halaman 1.

2. 3. 4. 5. 6.

Persentasi ekstrak pada ekstraksi pendahuluan ... ... Karakteristik senyawa hasil ekstraksi dari berbagai macam pelarut... Identifikasi ekstrak aseton dengan GCMS ... ... Karakterisasi NMR (1H) ekstrak metanol ... ... Jenis dan kadar sakarida pada ekstrak metanol ... ... Rataan pertumbuhan diameter mycelium jamur setelah 7 hari inkubasi...

21 21 27 33 34 36


(16)

iv

1. Struktur anatomi kulit batang pohon ... 2. Batang pohon (kiri) dan kulit batang Litsea tomentosa Blume (kanan) ... 3. Jenis alkaloid yang teridentifikasi pada kayu teras Litsea tomentosa Blume ... 4. Struktur molekul litsomentol ... 5. Peta lokasi pengambilan bahan (A) dan proses pengambilan kulit batang Litsea tomentosa Blume (B) ... 6. Skema ekstraksi suksesif ... 7. Skema metode kerja penelitian ... 8. Spektrum FTIR ekstrak diklorometan ... 9. Spektrum FTIR ekstrak aseton ... 10. Spektrum FTIR ekstrak toluen-etanol ... 11. Spektrum FTIR ekstrak air destilasi ... 12. Kromatogram ekstrak aseton ; (B) Kromatogram diperbesar pada waktu retensi 35.97 menit; (C) Spektrometri massa eksperimental pada 35.97 menit; (D) Spektrometri massa brusin pada database GCMS ... 13. Kromatogram ekstrak toluen-etanol (2:1) ... 14. (A) Kromatogram ion total ekstrak aseton; (B) Kromatogram pada

berat molekul 395 (m/z ); (C) Spektrometri massa eksperimental ... 15. (A) Kromatogram pada 335 (m/z); (B) Spektrometri massa eksperimental ... 16. (A) Kromatogram ion total ekstrak toluen-etanol; (B)

Kromatogram pada m/z 395; (C) Kromatogram pada m/z 335... 17. (A) Kromatogram ion total ekstrak metanol; (B) kromatogram

pada m/z 395; (C) kromatogram pada m/z 335 ... 6 10 10 10 13 15 20 22 23 24 24 26 28 28 29 30 31


(17)

v

20. Struktur molekul brusin ... 21. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Poria placenta : (1)

Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak ... 22. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Coriolus versicolor: (1)

Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak ... 23. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Gloeophyllum trabeum:

(1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH; (3) ditambahkan ekstrak... 24. Diagram batang nilai indeks antijamur ekstrak metanol ... 25. (A) Kromatogram ion total fraksi 2; (B) Kromatogram pada m/z 395; (C) Kromatogram pada m/z 263... 26. Spektrometri massa fraksi 2 pada waktu retensi 10.76 menit mode

positif (atas) dan spektrometri massa pada mode negatif (bawah) ... 27. Spektrum NMR (1H) fraksi 2 ... 28. Struktur molekul 17-oxolupanine ... 29. Kromatogram pada m/z 395 (atas) dan spektrometri massa

eksperimental (bawah) ... 33 35 35

35 37 39

40 40 41 42


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kulit batang merupakan limbah dari kegiatan pemanenan maupun pengolahan kayu yang belum dimanfaatkan secara efisien. Volume kulit batang berkisar 10-20 % dari volume batang tergantung pada diameter batang. Meskipun kecenderungan pemanfaatannya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pemanfaatan kayunya, namun perhatian pemanfaatan kulit batang mulai tumbuh ketika isu pemanfaatan biomassa hutan berkembang. Saat ini kulit batang pohon banyak digunakan di industri perkayuan untuk menghasilkan panas dan memberikan manfaat seperti sumber daya listrik. Kulit batang diketahui mengandung ekstraktif maupun mineral yang relatif tinggi. Kulit batang yang sering dianggap sebagai limbah itu, kini mulai diperhatikan untuk diolah dan dimanfaatkan dengan adanya studi dan teknologi yang mendukung pengembangan metode untuk memanfaatkan kulit batang sehingga memiliki nilai ekonomi.

Banyak studi tentang potensi penggunaan kulit batang telah dicapai. Hasil studi tersebut menunjukkan hasil positif dari penggunaan kulit batang sebagai bahan baku untuk menghasilkan panas maupun bahan baku perekat. Sebagai contoh, kecenderungan pemanfataan tanin yang diekstrak dari kulit batang Acacia

mangium sebagai perekat. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan angka

rata-rata kadar ekstrak kulit akasia berdasarkan berat kering oven serbuk adalah 10.44%, dan rata-rata kadar tanin adalah 78.64% (berdasarkan berat ekstrak) (Risnasari, 2002). Hampir semua jenis tumbuhan mengandung tanin. Namun hanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki kandungan tanin yang dominan pada kulit batangnya seperti : kulit Acacia sp, kulit pohon bakau, kulit pasang, kulit mahoni dan kulit sengon (Prayitno dalam Syafii, 2000). Berdasarkan kelas komponen kimia kayu Indonesia kandungan zat ekstraktif kulit Acacia sp. termasuk dalam kelas komponen tinggi. Ekstrak tanin dari kulit Acacia mangium

ini juga diketahui memiliki sifat inhibitor korosi logam (Lestari et al., 2011). Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa ekstrak tanin yang diperoleh dari kulit batang kayu bakau diketahui mampu menggantikan gugus fenol dari resin fenol formaldehida (Danarto et al., 2011).


(19)

Pemanfaatan kulit batang berkembang pada pemanfaatan ekstraknya untuk berbagai tujuan pengobatan, antijamur, antibakteri dan insektisida. Pemanfataan kulit batang sebagai bahan obat umumnya diperoleh dari tradisi lokal masyarakat maupun warisan leluhur yang diajarkan secara turun temurun. Tingginya harga obat serta adanya efek samping bahan kimia dari obat sintetis yang beredar di pasaran, turut mendukung pengembangan obat tradisional yang memanfaatkan kulit batang pohon. Ekstrak kulit batang salam diketahui memiliki sifat antidiare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ekstrak kulit batang salam sebesar 80 mg/kg berat badan memiliki efek antidiare yang kuat (Enda, 2009). Hasil studi lainnya menunjukkan ekstrak kulit batang Garcinia smeathmannii Oliver memiliki sifat anti mikroba. Pengujian terhadap 13 jenis bakteri gram negatif, 7 jenis bakteri gram positif serta 3 jenis jamur yang berbeda menunjukkan adanya sifat inhibit (penghambat) terhadap pertumbuhan bakteri dan jamur.(Kuete et al., 2007). Pemanfaatan ekstrak kayu maupun kulit batang pun berkembang sebagai bahan pengawet alami kayu. Hal ini didukung oleh hasil studi yang menunjukkan bahwa beberapa ekstrak kulit batang memiliki sifat antijamur. Tingginya resiko serangan jamur pembusuk kayu seperti brown rot fungi (jamur pembusuk cokelat)

dan white rot fungi (jamur pembusuk putih) di Indonesia, mendorong

pemanfataan bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Pengawet sintetis yang tersedia sekarang ini memiliki beberapa kelemahan antara lain: resiko yang berbahaya bagi kesehatan akibat kandungan bahan kimia serta harga pengawet sintetis yang cenderung mahal. Ekstrak metanol kayu teras

Juniperus virginiana diketahui memiliki aktivitas antijamur terhadap jamur

Trametes versicolor dan Gloeophyllum trabeum pada konsentrasi 2.5 mg/mL (Mun dan Prewitt, 2011). Ekstrak kulit batang Laban (Vitex pubescens Vahl.) juga mampu menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans namun tidak menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger. Hasil studi lain menunjukkan ekstrak kulit batang manggis hutan (Garcinia rigida Miq.) memiliki sifat antibakteri dengan adanya aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri

Salmonella typhosa ATCC 14028, Staphylococcus aureus ATCC 29213 dan

Bacillus subtilis ATCC 6633. Volume kulit batang yang melimpah pada proses pengolahan kayu dan sering dianggap sebagai limbah kini mulai diperhitungkan


(20)

secara ekonomis, mengingat hasil studi yang menunjukkan potensi pemanfaatan ekstrak kulit batang.

Kulit batang Litsea tomentosa Blume diketahui digunakan oleh masyarakat lokal di Kupang, Nusa Tenggara Timur sebagai bahan obat penyembuh luka maupun antimalaria. Penelitian kandungan bahan aktif pada jenis ini telah dilakukan pada kayu batangnya. Ekstrak kayu batang L.tomentosa diketahui mengandung 4 jenis alkaloid yaitu : boldin, predisentrin, laurolitsin dan launobin. Keempat alkaloid ini diketahui memiliki sifat antitumor (Novianti et al., 2006).

Penelitian ini dilakukan untuk mendukung penelitian sebelumnya mengenai ekstrak kayu batang L. tomentosa. Eksplorasi senyawa yang terdapat pada ekstrak kulit batang L.tomentosa dilakukan untuk mengetahui jenis senyawa yang terdapat didalam ekstrak. Identifikasi jenis senyawa yang terdapat pada ekstrak kulit batang diperlukan untuk mengetahui macam senyawa yang terkandung didalamnya. Untuk menguji bioaktifitas ekstrak, perlu dilakukan uji antijamur terhadap ekstrak kulit batang.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak kulit batang L. tomentosa memiliki sifat antijamur?

2. Senyawa apakah yang terdapat pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa

Blume?

3. Bagaimanakah karakteristik senyawa yang terdapat dalam ekstrak tersebut? Hipotesis

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jenis yang berasal dari famili Lauraceae dikenal memiliki kandungan alkaloid. Salah satu anggota famili Lauraceae yaitu L. tomentosa telah diteliti kandungan ekstrak kayu batangnya dan ditemukan 4 jenis alkaloid didalamnya. Berdasarkan hal tersebut diduga ekstrak kulit batang L. tomentosa mengandung alkaloid.


(21)

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Menguji aktivitas antijamur ekstrak kulit batang L. tomentosa.

2. Mengkarakterisasi senyawa yang terdapat pada ekstrak kulit batang L. tomentosa.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi mengenai sifat bioaktivitas dari ekstrak kulit batang L. tomentosa sehingga diperoleh data ilmiah yang lebih lengkap mengenai senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kulit batang L.tomentosa.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada uji bioaktivitas ekstrak kulit batang L. tomentosa


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Batang

Secara umum kulit batang dapat diklasifikasikan menjadi kulit luar (outer bark) dan kulit dalam (inner bark). Kulit luar berfungsi sebagai pelindung pohon dari kondisi di luar. Kulit luar ini dapat mencegah kelembaban disaat hujan dan membantu pohon untuk tidak kehilangan kelembabannya di saat kekeringan. Bagian ini diperbaharui secara terus menerus dari dalam dan merupakan bagian yang tahan terhadap dingin dan panas serta melindungi pohon dari serangan serangga. Kulit dalam merupakan bagian kulit yang hidup namun kemudian mati untuk menjadi jaringan gabus yang akan membentuk kulit luar yang protektif.

Kulit batang merupakan bagian terluar dari kayu maupun cabang. Secara anatomi kulit batang merupakan jaringan tumbuhan yang berada diluar kambium. Pembentukan kulit diawali oleh pertumbuhan sel kambium. Pertumbuhan sel ini kearah interior membentuk xylem (jaringan kayu) dan phloem, sedangkan ke arah eksterior membentuk jaringan primer kulit kayu. Struktur kulit kayu menjadi lebih rumit dengan adanya dua lapisan kambial yang sering disebut kambium gabus atau phellogen. Phloem yang dihasilkan oleh kambium vaskuler hanya menyusun bagian dalam lapisan kulit, sedangkan lapisan kulit luar yang cenderung kasar merupakan hasil kegiatan kambium kedua yang dikenal dengan phellogen

(felogen), yang terbentuk sesudah dan di bagian luar kambium vaskuler sejati (Haygreen dan Bowyer, 1982). Jaringan gabus (cork) yang lebih dikenal dengan istilah periderm berkontribusi pada pembentukan jaringan luar kulit kayu (outer bark). Jaringan tambahan lainnya yang dapat dijumpai pada kulit kayu antara lain jaringan sklerenkim yang mengalami lignifikasi serta jaringan parenkim ( Harkin dan Rowe, 1971).


(23)

Sumber : www.google.co.id

Gambar 1. Struktur anatomi kulit batang pohon Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif yang terdapat didalam kayu dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kelompok (Sjostrom, 1993):

1. Senyawa terpena dan terpenoid, didalamnya termasuk terpentin yang terdiri dari monoterpenoid dan seskuiterpenoid yang mudah menguap, resin dan campuran asam-asam resin. Terpentin telah digunakan secara tradisional sebagai pelarut pernis dan cat dan digunakan untuk berbagai tujuan seperti pembuatan perekat.

2. Senyawa lilin dan lemak. Kelompok ini terdiri atas senyawa ester alkohol alifatik campuran, dan asam lemak. Senyawa lilin dan steroid dapat digunakan sebagai pengikat atau pengganti lilin karbon. Suberin dan steroid juga digolongkan pada kelompok lilin dan steroid.

3. Senyawa fenol, didalamnya terdiri dari senyawa monomer, oligo maupun polimer fenol yang dapat ditemui pada kayu teras, kulit, daun, buah dan akar dalam jumlah yang cukup besar. Penyusun senyawa fenol yang penting adalah kelompok flavonoid. Senyawa fenol ada yang berasal dari asam shikimat atau jalur shikimat dan senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat-malonat.

Ekstraktif dapat dikeluarkan menggunakan berbagai macam pelarut polar dan non polar, seperti kloroform, aseton dan air. Secara umum zat ekstraktif mampu larut dalam pelarut netral. Kandungan dan jumlah zat ekstraktif pada setiap jenis pohon dapat berbeda-beda. Hal ini karena kandungan maupun jumlah zat ekstraktif dipengaruhi oleh faktor biofisik tempat tumbuh pohon sendiri.


(24)

Faktor biofisik yang dimaksud seperti : iklim, kesuburan tanah, serta curah hujan. Zat ekstraktif dapat bervariasi jumlahnya didalam pohon itu sendiri maupun antar spesies. Kandungan zat ekstraktif antara kayu teras dan kayu gubal berbeda. Sebagai contoh kandungan zat ekstraktif pada kayu Pinus banksiana yang menunjukkan kandungan zat ekstraktif pada kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal. Zat ekstraktif merupakan substansi organik yang terbentuk saat terjadinya perubahan kayu gubal menjadi kayu teras. Oleh karena itu pada umumnya kayu teras memiliki keawetan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu gubal (Pandit dan Ramdan, 2000). Meskipun jmlah zat ekstraktif tergolong kecil pada struktur kayu dan merupakan komponen tambahan pada dinding sel kayu, namun keberadaan zat ekstraktif sering kali menjadi faktor penentu dalam hal keawetan kayu dan teknik pengolahan kayu. Kandungan zat ekstraktif dapat berubah selama pengeringan kayu terutama senyawa tak jenuh, lemak dan asam lemak terdegradasi. Ekstraktif juga sangat berpengaruh pada produksi pulp. Kandungan ekstraktif pada kayu segar dapat menyebabkan noda kuning/penguningan pulp. Ekstraktif juga mempengaruhi kekuatan pulp, perekatan dan pengerjaan akhir kayu.

Studi mengenai potensi zat ekstraktif dilakukan dalam berbagai aspek. Studi yang dilakukan antara lain penelitian mengenai potensi senyawa bioaktif dari ekstrak akar, kulit batang maupun daun yang dapat digunakan sebagai bahan obat, kosmetika maupun bahan pengawet. Studi alkaloid sebagai bahan obat contohnya seperti potensi senyawa alkaloid dari Albertisia papuana Becc. yang memiliki sifat anti plasmodium secara in vitro sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat malaria (Lusiana, 2009). Studi lainnya meneliti bioaktivitas zat ekstraktif kayu manggis (Garcinia mangostana L) terhadap rayap tanah Captotermes curvignathus Holmgren (Syahidah, 2008). Ekstrak organik pada kayu teras

Juniperus virginiana diketahui memiliki sifat inhibitor terhadap pertumbuhan jamur pembusuk kayu seperti Trametes versicolor dan Gloeophyllum trabeum


(25)

Alkaloid

Alkaloid awalnya terbentuk dari kata alkali yang berarti basa dan oid yang berarti menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa (Fessenden dan Fessenden, 1997). Alkaloid merupakan molekul organik yang sedikitnya memiliki 1 atom nitrogen dan memiliki struktur cincin heterosiklik. Adanya gugus tambahan pada struktur alkaloid seperti gugus metil radikal memberikan sifat yang unik pada alkaloid. Pada tumbuhan liar alkaloid umumnya bersifat toksik (racun). Alkaloid cenderung mudah untuk diekstrak menggunakan pelarut organik seperti metanol, kloroform, dietil-eter. Alkaloid yang terlarut dapat diidentifikasi menggunakan metode instrumental standar seperti kromatografi gas (GC), kombinasi kromatografi gas dengan spektrometri massa (GCMS) atau menggunakan LCMS dan HPLC. Alkaloid umumnya memiliki pengaruh biologis pada tubuh maupun pikiran manusia, karena dapat bertindak seperti narkotika, stimulan dan menyebabkan halusinasi. Oleh sebab itu alkaloid pada tumbuhan banyak dieksploitasi secara luas sebagai bahan obat maupun bahan psiko-aktif. Alkaloid termasuk salah satu senyawa yang relatif kecil pada kelompok senyawa organik. Berat atomnya berkisar antara 100 hingga 300. Alkaloid memiliki rasa yang pahit sebagai bentuk evolusi pada tumbuhan vaskular maupun jamur sebagai bentuk mekanisme pertahanan biologis.

Salah satu jenis alkaloid yang telah digunakan sejak dahulu dan berkembang hingga saat ini adalah alkaloid jenis kafein; Jenis alkaloid ini dapat dengan mudah ditemukan pada Caffea arabica dan Theobroma cacao ( Rafferty, 2007).

Qiu et al. (2008) melaporkan bahwa jenis alkaloid brusin dan striknin sering digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional untuk mengobati penyakit sistem saraf pusat dan nyeri arthritis traumatis. Brusin dan striknin dikenal bersifat racun dan membunuh dan terkandung di dalam biji Strychnos nux-vomica L. Reaksi asam-basa menyebabkan brusin terprotonisasi di atom N(2). Brusin bersama senyawa induk striknin sering digunakan secara bersama-sama dalam pemisahan asam rasemik. Brusin memiliki rumus molekul C23H26N2O4. Titik leleh brusin

adalah 178ºC dan titik didihnya adalah 470ºC. Brucine kurang larut dalam air, tetapi larut dengan baik dalam alkohol. Brucine merupakan alkaloid yang paling


(26)

umum digunakan dalam resolusi asam optik aktif. Oleh karena itu, brusin dapat dimurnikan dan digunakan berulang.

Litsea tomentosa Blume.

L. tomentosa merupakan anggota famili Lauraceae. Jenis ini banyak tersebar di Peninsular Malaysia, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Filipina, Papua New Guini serta Myanmar. Di Indonesia jenis ini dikenal dengan nama huru meuhmal, huru dapung, huru leksa, wuru lutung (Lemmens et al.1995). Di Provinsi Nusa Tenggara Timur jenis ini dikenal dengan nama lokal kayu ular. Masyarakat NTT

Litsea tomentosa Blume memiliki berat jenis 0.57. Jenis ini digolongkan pada kelas awet III dan kelas kuat III-II (Oey, 1990). Kayunya dapat digunakan sebagai

medang atau rangka untuk konstruksi rumah.

Secara lengkap klasifikasi Litsea tomentosa Blume sebagai berikut : Klasifikasi

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Laurales

Famili : Lauraceae

Marga : Litsea

Sinonim : Litsea cuneata, Litsea membranacea Elmer,

Litsea grandifolia Teschner Deskripsi

Ketinggian pohon dapat mencapai 27 m. Diameter batang dapat mencapai 50 cm. Permukaan kulit batang halus dan berwarna cokelat. Kulit batang bagian dalam (inner bark) berwarna cokelat-orange. Daunnya tersusun secara spiral dan buahnya berbentuk elips. Jenis ini termasuk jenis yang jarang dijumpai namun terdistribusi di dataran rendah hingga hutan pegunungan dengan ketinggian 1500 m dpl. Kerapatan kayunya mencapai 700-750 kg/m3 pada kadar air 15% (Lemmens et al.,1995).


(27)

Gambar 2. Batang pohon (kiri) dan kulit batang L. tomentosa (kanan) Novianti et al. (2006) telah mengidentifikasi 4 jenis senyawa alkaloid dari kayu teras L. tomentosa. Adapun keempat jenis alkaloid tersebut adalah boldin, predisentrin, laurolitsin, dan launobin.

N C H3 O H O C H3 O H O C H3 boldin N O H O C H3 O C H3

C H3

O C H3 predisentrin N O H O C H3 O C H3 H O H laurolitsin N O C H3 H O H O C H2 O launobin

Gambar 3. Jenis alkaloid yang teridentifikasi pada kayu teras L.tomentosa

Govindachari (1971) berhasil mengisolasi jenis terpenoid tetrasiklik pada kayu L. tomentosa dengan nama litsomentol. Litsomentol merupakan triterpenoid tetrasiklik jenis baru dengan rumus molekul C30H52O2.

Gambar 4. Struktur molekul litsomentol Pemanfaatan Kulit Batang

Kulit batang sering menjadi masalah dalam proses pemanenan kayu. Kulit batang hasil dari pengulitan kayu menjadi limbah pemanenan yang sering muncul dibeberapa lokasi penebangan. Untuk mendukung pemanfaatan batang pohon secara menyeluruh, maka berkembang pemanfataan kulit batang. Kulit batang saat


(28)

ini banyak digunakan sebagai sumber energi karena kalor yang dihasilkan. Selain itu pada sektor pertanian kulit batang banyak digunakan sebagai pupuk atau penambah unsur hara. Kandungan bahan kimia aktif pada kulit batang seperti jenis alkaloid dan terpenoid, memmungkinkan pengembangan pemanfaatan kulit batang bagi industri farmasi. Kandungan tanin yang tinggi pada kulit batang menyebabkan banyak ekstraksi tanin dilakukan untuk digunakan pada industri penyamakan kulit (Duret et al., 2009). Beberapa studi yang menunjukkan sifat anti rayap dan anti jamur dari ekstrak kulit batang memungkinkan pemanfaatan kulit batang sebagai bahan pengawet alami untuk kayu.

Jamur

Istilah "jamur" (mushroom) berasal dari bahasa Yunani yaitu mykes. Berawal dari kata mykes itulah berkembang istilah mycology yang berasal dari kata mykes yang artinya jamur dan logos yang berarti ilmu. Istilah lainnya yaitu

fungus dalam bahasa Yunani juga merujuk kepada jamur. Fungus yang berarti tumbuh dengan subur, kemudian menjadi nama kingdom tumbuhan yaitu Fungi. Seorang botanis Italia bernama Pier Antonio Micheli, pada tahun 1729 memasukkan hasil penelitiannya mengenai jamur dan dipublikasikan pada Nova Plantarum Genera. Berbeda dengan tumbuhan lainnya yang bersifat autotrof, jamur merupakan organisme heterotrof. Secara tradisional, jamur merupakan organisme eukariotik yang mampu menghasilkan spora dan memiliki hifa (Alexopoulus et al., 1996). Diperkirakan diseluruh dunia terdapat 1.5 juta spesies yang termasuk di dalam kingdom Fungi, namun baru sekitar 69.000 spesies yang berhasil dideskripsikan (Hawksworth, 1991 dalam Alexopoulus,1996).

Jamur tidak memiliki klorofil. Jamur memiliki dinding sel, namun tidak memiliki akar, batang maupun daun seperti tumbuhan tingkat tinggi. Jamur terdiri dari filamen (benang) halus yang disebut dengan hifa. Hifa inilah yang bergabung membentuk mycelium sebagai tubuh jamur. Jika diamati dibawah mikroskop terdapat tipe hifa yang dibatasi oleh sekat. Tipe hifa seperti ini disebut dengan septate. Untuk hifa yang tidak bersekat disebut dengan hifa aseptate atau nonseptate. Setiap fragmen dari bagian jamur mampu tumbuh sebagai individu baru. Jamur memiliki kemampuan menggunakan segala macam sumber karbon


(29)

sebagai bahan makanan. Jamur ada yang digolongkan sebagai saprofit dan parasit. Saprofit mendapatkan makanan dari bahan organik yang telah mati. Parasit mampu hidup pada material organik yang hidup ataupun mati. Parasit dapat merugikan ataupun mematikan inang tempat jamur tersebut tumbuh. Disamping sebagai sumber makanan, jamur juga dapat menyerang berbagai produk yang digunakan oleh manusia. Bahkan jamur dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia. Salah satu kerugian yang disebabkan oleh jamur adalah pembusukan/pelapukan kayu. Jamur pelapuk kayu dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan sifat kimia kayu. Jamur ini merombak polimer kayu menjadi senyawa sederhana yang dijadikan sebagai sumber makanan untuk bertahan hidup. Proses perombakan dilakukan secara biokimia dengan bantuan enzim (Arif

et al., 2008).

Spesies jamur yang terkenal sebagai jamur pelapuk kayu antara lain :

Chaetomium globosum, Coriolus versicolor, Dacryopinax spathularia, Lentinus lepideus, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia brevispora, Polyporus sp., Poria

placenta, Pycnoporus sanguineus, Schizophyllum commune, Trametes sp.,

Tyromyces palustris, Gloeophyllum trabeum. Terdapat dua macam tipe pelapukan kayu oleh jamur yaitu : white rot fungi (busuk putih) dan brown rot fungi (busuk cokelat). Jamur busuk putih umumnya mampu mendegradasi komponen dinding sel seperti lignin, hemiselulosa dan selulosa. Sebagai contoh Poria medulla-panis

akan mendelignifikasi substrat pada kayu keras secara selektif, namun mampu mendegradasi seluruh komponen dinding sel pada jenis konifer. Terdapat 3 kelas enzim selulolitik yang teridentifikasi pada jamur busuk putih yaitu : (1) enzim hidrolitik seperti glukanase dan glikosidase; (2) enzim oksidatif; (3) enzim oksidoreduktif.

Pada jamur busuk cokelat, kayu yang diserang akan berwarna cokelat dan meninggalkan bekas kubik yang rapuh. Pada busuk cokelat hanya sedikit lignin yang termodifikasi. Serangan jamur busuk cokelat cenderung mendepolimerisasi polisakarida pada dinding sel, seperti selulosa dan hemiselulosa.


(30)

(31)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 5 bulan terhitung sejak Februari hingga Juni 2012 di LERMAB (Laboratoire d'Etudes et de Recherche sur Le Matériau Bois) , Université de Lorraine, Nancy, Perancis.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang pohon Litsea tomentosa Blume di kawasan Taman Wisata Alam Camplong, 45 km sebelah barat laut Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kulit batang diambil dari pohon yang berusia antara 10-15 tahun.

(A) (B)

Gambar 5. (A) Peta lokasi pengambilan bahan dan (B) proses pengambilan kulit batang L.tomentosa

Kulit batang selanjutnya digiling untuk dijadikan serbuk dan disaring untuk mendapatkan ukuran serbuk yang sesuai. Kulit batang yang sudah menjadi serbuk disaring menggunakan penapis ukuran 60 mesh, 40 mesh dan 40-60 mesh. Serbuk yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk yang lolos saring pada ukuran saringan 40-60 mesh.


(32)

Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian adalah diklorometan, aseton, toluen, etanol, metanol, etil asetat, air destilasi, DMSO, CDCL3. Untuk separasi

menggunakan kromatografi kolom, bahan kimia yang digunakan antara lain silika gel sebagai fase diam. Fase gerak yang digunakan adalah campuran larutan diklorometan: etil asetat: metanol dengan perbandingan 36:12:5 (v/v).

Untuk uji bioaktifitas digunakan bahan agar, malt extract, air dan HCl 0,1 N. Jamur yang digunakan adalah jamur pembusuk kayu seperti : Poria placenta,

Coriolus versicolor , Gloeophyllum trabeum yang telah dibiakkan sebelumnya di laboratorium biologi LERMAB.

Alat

Peralatan yang digunakan untuk preparasi sampel antara lain : grinder, saringan ukuran 40 dan 60 mesh, eksikator dan bejana plastik. Alat yang digunakan untuk ekstraksi adalah bejana reaksi pyrex, bejana soxhlet, kompor pemanas, gelas ukur, penjepit dan kertas saring. Alat yang digunakan untuk pemekatan ekstrak adalah tabung kaca, vacuum rotary evaporator,liophilizer. Untuk mengukur berat digunakan neraca analitik, untuk mengeringkan sampel digunakan oven suhu 50ºC dan untuk mengukur kadar air sampel digunakan oven suhu 103±2ºC. Perangkat separasi kromatografi kolom menggunakan tabung kaca tinggi ±150 cm sebagai kolom, silika gel, pasir hydrida, pipet, gelas ukur, tabung reaksi, lempeng silika untuk kromatografi lapis tipis (KLT). Untuk uji bioaktifitas digunakan alat aluminium foil, autoclave, dan peralatan gelas (erlenmeyer, gelas ukur), pipet, penjepit, perekat karet, cawan petri, pH meter, inkubator, lampu UV, pemantik api. Untuk analisis struktur kimia dan berat molekul menggunakan alat FTIR Spectrum 2000 Perkin Elmer, spectrum for

windows version : 1.5 (07 Mar 1997) Perkin-Elmer 1995 PE 1150F0018, GCMS,

LCMS, dan NMR Bruker DX dengan frekuensi 400Hz. Metode Penelitian Ekstraksi Pendahuluan

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan soklet. Serbuk kulit batang yang berukuran 40-60 mesh sebanyak ± 112 g, kadar air ± 5%, diekstrak dengan


(33)

menggunakan 4 macam pelarut dengan tingkat polaritas yang berbeda (suksesif) sebagai pendahuluan.

Pelarut dengan tingkat polaritas yang berbeda yaitu : diklorometan, aseton, toluen-etanol (2:1), air destilasi, masing-masing pada volume 150 mL. Ekstraksi akan berakhir jika pelarut penyari yang digunakan berwarna jernih. Ekstrak kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 40ºC dan tekanan 50 mmHg. Ekstrak pekat disimpan dalam wadah yang tertutup rapat untuk penggunaan selanjutnya.

Gambar 6. Skema ekstraksi suksesif Ekstraksi Menggunakan Metanol

Ekstraksi menggunakan pelarut metanol (MeOH) dilakukan menggunakan soklet. Sebanyak ± 170 gram serbuk kulit batang dimasukkan ke dalam cartridge selulosa (kertas saring) dan diletakkan kedalam bejana soklet. Ekstraksi dilakukan pada suhu titik didih metanol yaitu ± 65ºC.

Alat soxhlet digunakan untuk ekstraksi senyawa dari fase padat dengan melewatkan dalam fase cair berupa pelarut. Serbuk kayu ditempatkan dalam

cartridge selulosa, lalu dimasukkan ke dalam tubuh extractor yang melekat pada

Serbuk kulit batang (40-60 mesh)

Diklorometan

Ekstrak diklorometan Residu Aseton

Ekstrak aseton Residu Toluen-etanol

Residu

Ekstrak toluen-etanol Air destilasi

Residu Ekstrak air


(34)

sebuah reservoir pelarut (tabung) dan dilengkapi dengan kondensor. Pelarut diuapkan dan didinginkan dan jatuh menyentuh fase padat. Siklus ekstraksi ini kemudian diulang selama enam jam.

Untuk mengambil ekstrak yang masih bercampur dengan pelarut, maka pelarut diuapkan menggunakan vacuumrotary evaporator. Unit ini dapat dengan cepat menghapus pelarut yang mudah menguap dan menurunkan titik didih dengan mengurangi tekanan sekitar 50 mmHg. Tabung berisi ekstrak dan pelarut ditempatkan di bejana pengeringan selama beberapa menit. Untuk menghitung persentasi ekstrak digunakan rumus :

Persentasi Ekstrak = me / ms x 100 %

Dimana me adalah massa ekstrak kering dan ms (g) adalah massa sampel awal (serbuk) sebelum ekstraksi (g).

Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air serbuk dilakukan dengan mengeringkan serbuk pada oven bersuhu 102±3ºC. Pengukuran berat serbuk dilakukan hingga mendapatkan berat konstan. Adapun metode penetapan kadar air enggunakan rumus :

Kadar air (%) = BKU-BKT x 100% BKT

Dengan keterangan bahwa BKU adalah berat serbuk kering udara (g) dan BKT adalah berat serbuk kering oven (g).

Analisis Infra Merah (FTIR)

Analisis inframerah menggunakan perangkat FTIR Spectrum 2.000 Perkin Elmer. Sebanyak 5 mg ekstrak ditambahkan dengan kalium bromida (KBr) hingga homogen dan membentuk lempengan tipis. Lempengan yang terbentuk dianalisis dengan perangkat lunak FTIR Versi Windows 1.5 Perkin Elmer-1150F0018 PE 1995.

Analisis GCMS

Alat yang digunakan untuk analisis ini adalah kromatografi gas jenis Perkin Elmer Clarus 500, digabungkan ke spektrometer massa jenis Perkin Elmer Clarus


(35)

500, yang dikemudikan oleh TurboMass v.5.4.2 dan perangkat lunak dengan database MS NIST Cari 2.0 (2005). Pemisahan kromatografi dilakukan dengan fase diam DB-5MS (panjang 30 m, diameter 250 mm, ketebalan film 0,25 µm) dengan oven terprogram selama 40 menit, suhu oven pertama sebesar 80ºC (10 menit), kemudian 190ºC (15 menit), 280ºC (10 menit), dan terakhir pada suhu tinggi sebesar 300ºC (5 menit). Fase gerak yang digunakan terdiri dari Helium dengan laju alir 1 mL/menit. Untuk melakukan ini, ekstrak dilarutkan dengan 200 µ L BSTFA (silylating agent). Persiapan ini ditempatkan selama 30 menit, ditutup dalam oven pada suhu 70ºC untuk memungkinkan BSTFA menguap. Setelah menguap, 1 mL etil asetat ditambahkan untuk melarutkan ekstraktif. Langkah terakhir yaitu 1μL larutan ekstrak disuntikkan ke GC.

Analisis LCMS

LCMS yang digunakan untuk analisis menggunakan array dioda detektor dan spektrometer massa LCMS-8030 Shimadzu (Kyoto, Jepang) terdiri dari injektor SIL-20A otomatis, dua pompa LC-20AD untuk campuran eluen, oven CTO 20-A yang mengandung kolom HPLC Phenomenex ® Luna 3u C18 dan detektor dioda-array SPD-M20A yang mengandung tungsten dan deuterium dioda. Injeksi produk yang dianalisis sebanyak βμL. Perubahan gradien eluen menurut biner yang terdiri dari campuran air diasamkan dengan asam format 0,1% (pelarut A) dan asetonitril diasamkan dengan asam format 0,1% (pelarut B) dengan total laju aliran 0,4 mL/menit. Suhu oven diatur pada 40°C dan array detector dioda diatur ke 254 nm. Spektrometer massa terdiri sumber electrospray nebulizer (ESI) dan jenis ionisasi quadrupole. Nitrogen digunakan sebagai gas

nebulizing dan gas pengeringan. Argon digunakan sebagai gas penubruk. Hal ini akan memungkinkan untuk merekam spektrum dan kromatogram dalam mode positif dan negatif. Metode yang digunakan untuk analisis senyawa adalah ion fragmen scan producer. Potensi antarmuka (elektronebulizer dan corona) adalah 4,5 kV, laju aliran gas nebulizing adalah 3,0 L/menit dan laju aliran gas pengeringan adalah 15,0 L/min. Tekanan gas penubruk adalah 230 kPa. Setiap sampel dicatat dalam mode positif dan negatif dalam kisaran m/z 100-2000. Sekitar 4 mg ekstrak dilarutkan dalam 1-2 mL asetonitril. Untuk ekstrak yang


(36)

larut dalam metanol dilarutkan dalam 1-2 mL metanol dan dimasukkan ke dalam tabung kecil yang siap untuk dianalisis menggunakan LCMS.

Analisis NMR

Sebanyak 4 mg ekstrak ditambahkan 2 mL CDCl3. Setelah ekstrak larut lalu

dianalisis alat analisis NMR Bruker DX dengan frekuensi 400Hz. Analisis NMR proton dilakukan dengan jumlah scan sebanyak 32 kali yang dilakukan pada suhu 298ºK dengan suntikan manual. Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis adalah ACD/Chem Lab.

Analisis sakarida

Analisis sakarida dilakukan untuk mengetahui jenis dan kuantitas sakarida yang terkandung didalam ekstrak. Analisis ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak sebanyak ±4 mg dengan ±4 mL metanol dan dianalisis menggunakan HPLC-PAD.

Kromatografi Kolom

Setelah penentuan eluen terbaik melalui teknik kromatografi lapis tipis, maka pemisahan ekstrak menggunakan kromatografi kolom dilakukan. Metode kromatografi kolom yang dilakukan adalah dengan metode normal, dimana fase gerak bersifat non polar dan fase diam bersifat polar. Dalam pengerjaan kolom, pertama penyiapan kolom setinggi ± 1.2 m. Kapas (selulosa) dimasukkan kedalam ujung kran kolom, untuk membantu pencegahan masuknya udara. Untuk menambah efisiensi kolom ditambahkan pasir anhidrida. Penambahan silika gel sebagai fase diam dilakukan hingga ± 3/4 bagian kolom. Diklorometan ditambahkan pada kolom dan sampel siap dielusi didalam kolom. Sampel berupa ekstrak yang telah dikeringkan dan menjadi serbuk dielusi sebanyak ± 5 g. Sampel ditempatkan diantara pasir anhidrida diatas lapisan silika gel. Ruang kosong diatas sampel setinggi ± 15-20 cm disiapkan untuk penambahan eluen. Penambahan eluen dilakukan dengan menggunakan pipet dengan meneteskannya disisi kolom secara beraturan setinggi ruang kosong yang tersedia. Kran kolom dibuka untuk mengelusi sampel. Kecepatan laju alir yang digunakan adalah 1 tetes/detik dengan


(37)

penampungan sampel setinggi 3/4 tinggi tabung penampung yang ditandai dengan spidol. Elusi dilakukan hingga eluat yang tertampung dalam tabung penampung tidak berwarna lagi. Eluat yang ditampung juga dipisahkan atas perbedaan warna yang ada.

Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis dilakukan untuk penentuan eluen dan penggolongan fraksi dari kromatografi kolom. Prinsip KLT adalah menotolkan larutan ekstrak atau eluat pada lempeng silika gel (lempeng KLT). Penotolan menggunakan pipa kapiler dengan jumlah penotolan minimal 10 kali pada tempat yang sama. Lempeng KLT dilihat dibawah sinar lampu UV 254 nm untuk melihat spot terbaik dari masing-masing penotolan. Spot yang menunjukkan pemisahan terbaik pada KLT dapat digunakan sebagai dasar penentuan eluen. Penggolongan fraksi dari eluat hasil kromatografi kolom juga dilakukan melalui KLT. Pola spot yang terbentuk dan menunjukkan kemiripan digabungkan pada fraksi yang sama. Perbedaan warna eluat juga dapat membantu penggolongan fraksi dari kromatografi kolom.

Uji Bioaktifitas Ekstrak

Jamur yang digunakan untuk uji bioaktifitas ekstrak adalah Poria placenta, Coriolus versicolor, Gloeophyllum trabeum. Jamur dibiakan pada campuran media agar (30 g) dan malt extract (40 g) dan air suling (1000 mL). Campuran media biakan ini dipanaskan pada suhu 100ºC selama 30 menit. Media biakan jamur dikondisikan pada pH 4,8 dan disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 120ºC selama 25 menit. Setelah steril, 20 mL media agar didistribusikan pada cawan petri berdiameter ± 9 cm. Jamur diinduksikan dibagian tengah media agar yang masing-masing terdiri dari kontrol, media agar yang ditambahkan metanol dan media agar yang ditambahkan larutan ekstrak (ekstrak dilarutkan dalam metanol) . Biakan jamur diinkubasi pada suhu 22ºC selama 7 hari pada kelembapan relatif 70%. Setelah 7 hari diameter pertumbuhan mycelium jamur diukur untuk setiap perlakuan, yakni :1) cawan petri yang tidak diberi metanol (kontrol) 2) cawan petri yang diberi metanol dan 3) cawan petri yang diberi


(38)

larutan ekstrak. Pengujian bioaktivitas ekstrak terhadap ketiga jamur diatas dilakukan secara triplo. Pengukuran indeks anti jamur menggunakan metode Mun dan Prewitt, 2011 dengan rumus :

(AI) = [1-D1/D2] x100

dimana AI adalah nilai indeks antijamur, D1 nilai diameter pertumbuhan jamur pada pada cawan petri yang telah ditambahkan ekstrak, D2 nilai diameter pertumbuhan jamur pada cawan petri yang telah ditambahkan metanol.

Secara skematis metode penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 7. Skema metode kerja penelitian

Pada metode penelitian dilakukan ekstraksi pendahuluan lalu dilihat rendemen ekstrak masing-masing pelarut serta hasil analisis GCMS. Berdasarkan penilaian kedua aspek tersebut, rendemen ekstraksi pendahuluan cenderung rendah, hasil kromatogram GCMS mengindikasikan kuantitas senyawa target yang sedikit. Berdasarkan hasil studi mengenai ekstraksi L.tomentosa sebelumnya yang menggunakan pelarut metanol, maka pelarut yang dipilih adalah metanol.

Kulit Batang

Serbuk 40-60 mesh

Ekstraksi (Soklet; MeOH)

Analisis Fraksi (NMR, LCMS)

Penentuan Struktur Kimia Senyawa Aktif Ekstraksi

Pendahuluan

4 pelarut (diklorometan, aseton,toluen-etanol, air destilasi)

Analisis FTIR,GCMS Kromatografi

kolom

Pemilihan pelarut Uji Bioaktivitas ekstrak

MeOH

Fraksinasi (KLT)


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Pendahuluan

Pelarut yang digunakan pada tahap ekstraksi pendahuluan ada 4 macam. Keempat pelarut memiliki polaritas yang meningkat yaitu : diklorometan, aseton, campuran toluen-etanol 2:1 , dan air destilasi. Persentasi ekstrak untuk masing-masing pelarut seperti pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Persentasi ekstrak pada ekstraksi pendahuluan

Pelarut Persentasi Ekstrak (%)

Diklorometan 1.67

Aseton 2.93

Toluen-etanol (2:1) 5.88

Air destilasi 10.51

Berdasarkan Tabel 1 diatas, tampak bahwa persentasi ekstrak paling besar adalah ekstrak air dan persentasi terkecil adalah ekstrak diklorometan. Menurut Harkin & Rowe (1971) macam pelarut yang digunakan berpengaruh pada jenis komponen atau senyawa yang keluar (terekstrak). Umumnya senyawa non polar akan mudah diekstrak menggunakan pelarut non polar seperti eter, diklorometan dan kloroform. Demikian pula sebaliknya senyawa polar akan mudah diekstrak menggunakan pelarut polar seperti metanol atau air. Air merupakan pelarut paling polar. Adapun karakteristik senyawa yang dapat terekstrak oleh bermacam jenis pelarut yang digunakan seperti tersaji pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Karakteristik senyawa hasil ekstraksi dari berbagai macam pelarut Macam pelarut Jenis senyawa yang dapat diekstrak

Petrolium eter, eter, benzene, kloroform

Terpena dan turunannnya, lemak, lilin, asam lemak bebas, sterol,alkohol resin

Alkohol , aseton Polifenol sederhana, mono dan disakarida, tanin,

senyawa glikosida

Air (dingin atau panas) Disakarida, pati, getah, tanin, pektin

Alkali (aqueuse) Phlobapene, asam fenolik, fragmen suberin,

hemiselulosa, lignin

Asam (hidrolisis) Gula sederhana, asam uronik sebagai turunan dari

holoselulosa, dan lignin residu


(40)

Karakterisasi Infra Merah (FTIR)

Adapun karakterisasi ekstrak dari masing-masing pelarut menggunakan FTIR adalah sebagai berikut :

1. Ekstrak diklorometan

Berdasarkan spektra FTIR yang diperoleh seperti pada Gambar 8, senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak terindikasi memiliki ikatan O-H pada absorpsi 3400 cm-1, ikatan C-H alifatik pada serapan 2917,6 cm-1 dan 2849,6 cm-1. Pada daerah absorpsi 1738,5 cm-1dan 1646,7 cm-1 masing-masing mencirikan adanya ikatan C=O ester dan ikatan C=C non konjugasi, sedangkan pada daerah 1300-1000 cm-1 mengindikasikan adanya ikatan eter C-O.

4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 12,4 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 44,7 cm-1 %T 3419,4 2917,6 2849,6 1738,5 1646,7 1504,7 1463,7 1165,1 1054,6 719,3 612,6 496,9

Gambar 8. Spektrum FTIR ekstrak diklorometan 2. Ekstrak Aseton

Karakterisasi ekstrak aseton menggunakan FTIR menunjukkan hasil yang sama seperti pada ekstrak diklorometan. Pada ekstrak ini terdapat serapan pada daerah 3392 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus fungsi O-H, pada daerah 2919,0 cm-1 dan 2850,4 cm-1 menunjukkan serapan untuk identifikasi gugus C-H alifatik, serapan pada daerah 1701,7 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil terkonjugasi, sedangkan pada daerah 1653,0 cm-1 dan 1601,5 cm-1 mengkarakterisasi adanya ikatan rangkap C=C non konjugasi dan


(41)

aromatik. Serapan dengan intensitas lemah pada daerah 1000 cm-1 hingga 1300 cm-1 menunjukkan gugus fungsi C-O sebagai penanda adanya ester. Karakterisasi menggunakan FTIR ini memang memiliki keterbatasan namun dugaan adanya lignan, gula dan polifenol dapat diindikasi melalui spektra FTIR. Adapun gambar lengkap spektra FTIR ekstrak aseton seperti pada Gambar 9 berikut :

4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 30,0 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70,0 cm-1 %T 3392,0 2919,0 2850,4 2360,5 1701,7 1653,0 1601,5 1504,0 1451,4 1401,1 1284,9 1219,4 1199,5 1113,9 1083,7 1036,9 849,3 766,6 669,0 616,9

Gambar 9. Spektrum FTIR ekstrak aseton 3. Ekstrak Toluen-Etanol (2:1)

Karakterisasi ekstrak toluen-etanol menunjukkan hasil yang hampir sama dengan ekstrak dari kedua pelarut sebelumnya. Pada ekstrak toluen-etanol terindikasi adanya ikatan O-H pada daerah serapan 3369,5 cm-1, ikatan C-H alifatik ditandai oleh absorbansi pada daerah serapan 2918,8 cm-1 , serapan pada daerah 1645,6 cm-1 menunjukkan adanya ikatan rangkap C=C non konjugasi, dan serapan pada daerah 1000-1300 cm-1 menunjukkan adanya C-O. Gambar lengkap spektra FTIR ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 10.


(42)

4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 1,4 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60,0 cm-1 %T 3369,5 2918,8 1645,6 1600,4 1503,7 1451,2 1402,6 1285,1 1218,4 1199,5 1053,3 848,1 819,3 766,4 614,0 497,6

Gambar 10. Spektrum FTIR ekstrak toluen-etanol 4. Ekstrak air destilasi

Karakterisasi FTIR ekstrak air destilasi menunjukkan adanya ikatan O-H dan C-H alifatik, ikatan C=O dan ikatan C=C dengan absorbansi yang lemah. Serapan pada ekstrak FTIR cenderung lebih lemah dibandingkan dengan ketiga ekstrak lainnya. Gambar lengkap spektra FTIR ekstrak air destilasi seperti pada Gambar 11.

4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 16,1 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37,2 cm-1 %T 2363,6;21,3 2916,8;19,2 2332,6;23,9 3353,9;18,4 1654,1;17,9 1503,3;18,4 1555,5;19,11453,1;18,4 1866,6;33,7


(43)

Berdasarkan karakterisasi FTIR dapat diketahui bahwa senyawa yang terdapat didalam ekstrak memiliki gugus rangkap C=C maupun ikatan rangkap yang menunjukkan gugus C=O, C-H, C-O maupun N-H. Adapun jumlah puncak dan intensitas puncak pada daerah serapan dapat menjadi kunci untuk menunjukkan keberadan gugus fungsi. gugus C=O merupakan gugus yang perlu dilihat terlebih dahulu. Gugus C=O akan memberikan absorbsi kuat pada daerah 1820-1660 cm-1 berupa puncak kuat dengan lebar yang cukup. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi keberadaan gugus fungsi lainnya seperti gugus O-H yang dicirikan dengan absorbsi lebar pada 3400-2400 cm-1, namun sering overlap dengan absorbsi N-H. Serapan yang mengindikasikan adanya N-H sering tidak muncul karena adanya serapan gugus O-H yang lebih kuat dibandingkan dengan N-H (amina). Hal ini disebabkan ikatan hidrogen amina lebih lemah dibandingkan dengan alkohol (OH) (Silverstein et.al, 1984). Penciri gugus amida N-H akan memberikan absorbsi medium di dekat daerah 3500 cm-1 dan sering berupa puncak rangkap. Penanda adanya gugus ester dicirikan dengan adanya gugus C-O yang memberikan absorbsi kuat pada 1300-1000 cm-1. Penciri adanya gugus anhidrida dicirikan dengan adanya dua absorbsi sebagai penanda adanya gugus C=O di dekat serapan 1810 dan 1760 cm-1. Penanda adanya gugus aldehid dicirikan dengan adanya C-H aldehid yang tampak dengan adanya dua absorbsi lemah di dekat 2850 dan 2750 cm-1 atau di sebelah kanan absorbsi C-H. Jika seluruh pilihan tersebut diatas tidak muncul, maka itu sebagai penciri adanya gugus keton. Analisis FTIR memberikan kelemahan dengan adanya overlap daerah serapan. Meskipun gugus penciri telah dapat teridentifikasi, hasil spektra FTIR masih perlu dukungan analisis lanjutan menggunakan kromatografi gas maupun cair. Hal ini dikarenakan keberadaan gugus penciri yang tampak pada spektra FTIR dapat dimiliki oleh senyawa sakarida, asam lemak maupun senyawa fenol. Untuk memperkuat hasil analisis dan determinasi senyawa aktif maka posisi proton dapat diidentifikasi menggunakan NMR, sedangkan berat molekul dan struktur molekul senyawa dapat dianalisis menggunakan GC atau LC yang ditandem dengan spektrometri massa.


(44)

Karakterisasi GCMS

Disamping karakterisasi menggunakan FTIR, ekstrak yang diperoleh dari 4 macam pelarut juga dikarakterisasi menggunakan GCMS. Berdasarkan analisis menggunakan GCMS, hanya ekstrak aseton dan toluen-etanol yang menunjukkan hasil positif. Keduanya menunjukkan identifikasi senyawa alkaloid berupa brusin. Untuk ekstrak diklorometan tidak menunjukkan hasil kromatogram yang signifikan. Hal ini juga terjadi pada ekstrak air destilasi. Identifikasi adanya brusin pada ekstrak aseton ditunjukkan pada Gambar 12 berikut :

4.84 6.84 8.84 10.84 12.84 14.84 16.84 18.84 20.84 22.84 24.84 26.84 28.84 30.84 32.84 34.84 36.84 Time 0

100

%

Litsea acetone 1m6 der 01 Scan EI+

TIC 7.31e9 Area, Height 16.09 60004220 2351295488 15.25 35192368 915908608 5.12 38397344 330744544 20.18 98911112 865421696 35.97 108144128 203885424

32.83 33.33 33.83 34.33 34.83 35.33 35.83 36.33 36.83 37.33 37.83 Time 0

100

%

litsea acetone 1m6 der 01 Scan EI+

TIC 2.43e8 35.97 35.88 35.85 34.32 32.39 34.88

14 34 54 74 94 114 134 154 174 194 214 234 254 274 294 314 334 354 374 394 414m/z 0 100 % 394.2608 379.0648 31.9205

31.092643.919555.012679.0996 107.1361120.0420 162.3534 197.2205207.1488

280.5864

228.4386 256.4304 294.6143321.5072350.6607363.1170 395.4929

(replib) Brucine

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390

0 50 100

42 55 77 91 120

146 162 203

228 256 280 311326 351 379 394 O N O N O O

Gambar 12. (A) Kromatogram ekstrak aseton ; (B) Kromatogram diperbesar pada waktu retensi 35.97 menit; (C) Spektrometri massa eksperimental pada 35.97 menit; (D) Spektrometri massa brusin pada database GCMS

A

B

C


(45)

Berdasarkan Gambar 12 diatas, dapat diketahui bahwa pada 10 menit pertama belum ditemukan adanya puncak kromatogram yang mengidentifikasikan keberadaan senyawa tertentu. Pada waktu retensi antara 12 hingga 22 menit menunjukkan adanya puncak kromatogram yang mewakili adanya sylil dan glukosida. Keberadaan senyawa yang memiliki gugus furanik atau pyranik mungkin berada pada waktu retensi ini. Pada waktu retensi 35.97 menit terdapat puncak kromatogram yang kecil dan mengindikasikan adanya brusin berdasarkan spektrometri massa dan gambar struktur molekul senyawa yang muncul pada

database GCMS. Brusin merupakan kelompok alkaloid. Adapun hasil analisis kromatografi gas pada ekstrak aseton secara lengkap seperti pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Identifikasi ekstrak aseton dengan GCMS

Waktu Retensi (menit) Nama senyawa

5.12 Asam propanoik

16.09 Myo-inositol

20.18 α -D Glucopiranosida

35.97 Brusin

Keberadaan brusin dapat teridentifikasi pula pada ekstrak toluen-etanol pada waktu retensi sekitar 35 menit. Namun gambar puncak kromatografinya yang kecil menunjukkan jumlah brusin yang sedikit pada ekstrak. Gambar analisis kromatografi gas untuk ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 13.


(46)

Gambar 13. Kromatogram ekstrak toluen-etanol (2:1) Karakterisasi LCMS

Untuk mendukung karakterisasi GCMS, maka analisis menggunakan LCMS dilakukan untuk memperkuat identifikasi adanya brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Hasil karakterisasi menggunakan LCMS seperti pada Gambar 14 berikut :

250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z

0,0 1,0 2,0

Inten. (x10,000,000)

395

214 102

789

Gambar 14. (A) Kromatogram ion total ekstrak aseton; (B) Kromatogram pada berat molekul 395 (m/z ); (C) Spektrometri massa eksperimental Berdasarkan Gambar 14 diatas, dapat diketahui keberadaan brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Berdasarkan referensi, brusin memiliki berat molekul sebesar 394.47 (Merck Index:1426). Menurut kerja 2012020917-Feb-2012

5.02 7.02 9.02 11.02 13.02 15.02 17.02 19.02 21.02 23.02 25.02 27.02 29.02 31.02 33.02 35.02 37.02 Time 0

100

%

litsea toleth 4mg6 der 01 Scan EI+

TIC 1.06e10 16.13

15.95

15.27 14.55

14.49 14.21

20.06

16.76 18.9719.97 20.11

21.00

A

B


(47)

LCMS yang menggunakan detektor ESI, pembacaan dilakukan dengan skema [M+1] pada mode positif dan [M-1] pada mode negatif. Sifat gugus amina pada brusin yang lebih mudah terprotonisasi, menyebabkan pembacaan berat molekul yang teridentifikasi efektif pada mode positif. Oleh karena itu, teridentifikasinya nilai 395 pada waktu retensi 5, 21 menit mendukung hipotesa adanya brusin pada ekstrak. Senyawa lain yang teridentifikasi pada ekstrak aseton adalah senyawa enantiomer brusin yaitu striknin. Hal ini dapat diketahui berdasarkan Gambar 15 berikut :

250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z

0,0 1,0

2,0Inten. (x10,000,000)

335 102

214

Gambar 15. (A) Kromatogram pada 335 (m/z); (B) Spektrometri massa eksperimental

Berdasarkan referensi berat molekul striknin adalah 334.40 (Merck Index : 8724). Dengan demikian munculnya nilai 335 pada mode positif LCMS pada waktu retensi 4, 472 menit menunjukkan keberadaan striknin [M+1].

Brusin dan striknin juga teridentifikasi pada ekstrak toluen-etanol (2:1). Keduanya teridentifikasi pada waktu 5,21menit untuk brusin dan 4,48 menit untuk striknin. Karakterisasi LCMS mengenai teridentifikasinya brusin dan striknin pada ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 16.

A


(48)

Gambar 16. (A) Kromatogram ion total ekstrak toluen-etanol; (B) Kromatogram pada m/z 395; (C) Kromatogram pada m/z 335

Optimasi Proses (Ekstraksi menggunakan metanol)

Setelah melakukan ekstraksi pendahuluan dan melakukan karakterisasi menggunakan infra merah, GCMS dan LCMS, maka dipilih teknik ekstraksi yang lebih optimal. Berdasarkan studi hasil penelitian sebelumnya dan hasil ekstraksi pendahuluan yang diperoleh, maka optimisasi proses dilakukan dengan pemilihan metanol sebagai pelarut dengan tetap menggunakan metode soklet. Persentasi ekstrak yang diperoleh menggunakan pelarut metanol sebesar 16.21 % dari jumlah total serbuk kulit batang yang diekstrak sebanyak ±170 gram. Adapun hasil optimisasi proses adalah sebagai berikut :

Karakterisasi menggunakan LCMS

Berdasarkan hasil analisa kromatografi cair (LCMS), brusin dan striknin dapat teridentifikasi pada ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. Adapun gambar kromatogram lengkap yang menunjukkan adanya brusin dan striknin seperti pada Gambar 17.

A

B


(49)

Gambar 17. (A). Kromatogram ion total ekstrak metanol; (B) kromatogram pada m/z 395; (C) kromatogram pada m/z 335

Brusin teridentifikasi pada waktu retensi 5.21 menit. Selain brusin, pada ekstrak metanol ini dapat teridentifikasi adanya striknin pada waktu retensi 4.81 menit. Adanya kesamaan hasil identifikasi LCMS pada ekstraksi pendahuluan dan ekstraksi menggunakan metanol, semakin memperkuat keberadaan brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Striknin merupakan enantiomer dari brusin. Literatur menyebutkan bahwa striknin merupakan parents compounds

dari brusin. Hal ini disebabkan perbedaan keduanya hanya terletak pada 2 gugus metoksi (-CH3O-) yang dimiliki oleh brusin. Brusin memiliki 6 atom karbon

asimetris. Brusin kurang larut dalam air namun dapat larut dengan baik dalam alkohol. Struktur brusin dan striknin yang hampir mirip, sering dimanfaatkan untuk pemisahan asam rasemik. Oleh karena itu pemisahan antara striknin dan brusin bukanlah hal yang mudah.

A B

Gambar 18. (A) Struktur molekul brusin dan (B) Struktur molekul striknin

A

B


(50)

Karakterisasi menggunakan NMR

Ekstrak metanol dianalisa menggunakan NMR untuk memperkuat hasil analisa sebelumnya. Hasil analisa NMR ekstrak dibandingkan dengan brusin standar dari Sigma Aldrich. Adapun hasil analisa NMR ekstrak metanol dengan brusin standar adalah sebagai berikut :

n o v i0 7 .0 0 1 .e s p

8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 Chemi cal Shift (ppm)

-0.05 0 0.05 0.10 0.15

N

o

rm

a

li

z

e

d

I

n

te

n

s

it

y

Gambar 19. Spektrum NMR (1H) ekstrak metanol dan brusin standar Berdasarkan Gambar 19 diatas, dapat diketahui bahwa adanya persamaan spektra NMR antara ekstrak metanol dengan brusin standar pada daerah 3.5 - 4.0 ppm. Pada daerah tersebut terdapat puncak dengan intensitas tinggi yang mengindikasikan keberadan 2 gugus metoksi siklik (-CH3O-). Keberadaan proton

aromatik (1H dan 4H) diidentifikasi pada daerah 6.0- 8.5 ppm. Keberadaan proton pada karbon yang terikat gugus karboksil (-CH-C=O) ada pada daerah 2.0-3.0 ppm. Pada daerah sekitar 3.0 ppm menunjukkan proton methyne yang bertetangga dengan atom N (-CH-N-). Pada daerah 2.6 - 3.6 ppm mencirikan proton methylene yang bertetangga dengan atom N (-CH2-N-) . Hal ini memperkuat

dugaan adanya brusin pada ekstrak metanol.

Ekstrak metanol


(51)

Adapun karakterisasi spektra NMR (1H) ekstrak metanol secara lengkap disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 20 berikut :

Tabel 4. Karakterisasi NMR (1H) ekstrak metanol

Posisi ppm Posisi ppm

1H 6.70 16H 2.79

4H 7.73 17H a/b 1.33

8H 3.10 18H a

b

2.86 2.59 11H a

B

2.63 2.55

20H a b

3.28 2.43

12H 4.45 22H 6.30

13H 1.78 23H a/b 4.23

14H 1.67 MeO 2/3 3.85

15H a B

1.07 1.53

Gambar 20. Struktur molekul brusin Analisis Sakarida (Gula)

Untuk melengkapi hasil analisis maka dilakukan analisis sakarida yang terkandung didalam ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. Hasil analisis sakarida ini, dapat membantu overlap analisis pada spektrometri massa LCMS. Hasil analisis sakarida menggunakan HPLC-PAD diketahui bahwa jenis sakarida yang terdapat didalam ekstrak metanol antara lain : glukosa, xylosa, mannosa, asam glukuronik, asam galakturonik. Adapun kadar sakarida yang terdapat di dalam ekstrak seperti pada Tabel 5.


(52)

Tabel 5. Jenis dan kadar sakarida pada ekstrak metanol Jenis sakarida Kadar dalam ekstrak (mg/g)

Glukosa 0.35

Xylosa 0.06

Mannosa 0.01

Asam glukoronik 0.20

Asam galakturonik 0.01

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa spektrometri massa LCMS dapat mendeteksi berat molekul senyawa tertentu. Untuk menghindari kerancuan atau kesalahan pembacaan berat molekul pada spektrometri massa LCMS, maka analisis sakarida ini penting dilakukan. Glukosa memiliki rumus molekul C6H12O6

memiliki berat molekul: 180.16 g/mol. Xylosa memiliki rumus molekul C5H10O5

memiliki berat molekul 150.13 g/mol . Mannosa memiliki rumus molekul dan berat molekul yang sama seperti glukosa. Asam glukoronik memiliki rumus molekul C7H12O6 dengan berat molekul 192.17 g/mol. Asam galakturonik

memiliki rumus molekul C6H10O7 dengan berat molekul 194.14 g/mol.

Uji Bioaktivitas Ekstrak Metanol

Untuk mengetahui bioaktivitas ekstrak, maka ekstrak metanol kulit batang

Litsea tomentosa Blume. diujikan pada biakan jamur. Jamur yang digunakan adalah Poria placenta , Coriolus versicolor dan Gloeophyllum trabeum. Ekstrak dilarutkan pada metanol hingga mencapai konsentrasi 1 mg/ml. Sebagai pembanding diamati pula biakan jamur yang telah ditambahkan metanol maupun yang tidak ditambahkan metanol (kontrol). Adapun hasil pengujian pada ketiganya seperti pada Gambar 21, 22 dan 23.


(53)

Gambar 21. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Poria placenta : (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak

Gambar 22. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Coriolus versicolor : (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak

Gambar 23. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Gloeophyllum trabeum: (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH; (3) ditambahkan ekstrak

Pengukuran indeks antijamur menggunakan metode Mun dan Prewitt, 2011 dengan rumus :

(AI) = [1-D1/D2] x100

dimana AI adalah nilai Indeks Antijamur, D1 nilai diameter pertumbuhan jamur yang telah ditambahkan ekstrak pada cawan petri, D2 nilai diameter pertumbuhan

1 2 3

1 2 3


(54)

jamur yang telah ditambahkan metanol pada cawan petri. Adapun rataan pertumbuhan diameter mycelium jamur seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan pertumbuhan diameter mycelium jamur setelah 7 hari inkubasi

Species Tanpa MeOH

(cm)

Dengan MeOH (cm)

Dengan ekstrak (cm)

Poria placenta 7,67 3,00 1,00

Coriolus versicolor 6,17 2,90 1,33

Gloeophyllum trabeum 4,83 1,83 0,00

Berdasarkan Tabel 6 diatas tampak bahwa ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume memiliki sifat inhibitor terhadap pertumbuhan ketiga jenis jamur. Adanya perbedaan nilai diameter pertumbuhan mycelium jamur yang ditambahkan metanol dengan yang ditambahkan ekstrak, menunjukkan bahwa bioaktifitas ekstrak memang berperan dalam menghambat pertumbuhan jamur. Meskipun pada penambahan metanol terlihat adanya hambatan pertumbuhan diameter mycelium jamur, hal ini dikarenakan metanol yang bersifat asam. Tingkat keasaman sangat berpengaruh bagi pertumbuhan jamur. Disamping tingkat kelembaban dan temperatur, pH berperan dalam menentukan pertumbuhan jamur. Umumnya jamur dapat bertahan hidup pada suasana yang tidak terlalu asam. Ketiga jenis jamur diatas dikenal sebagai jamur pembusuk kayu. Poria placenta dan Gloeophyllum trabeum dikenal sebagai brown rot fungi

yang menyebabkan busuk cokelat pada kayu. Coriolus versicolor dikenal sebagai

white rot fungi yang menyebabkan busuk putih pada kayu.

Nilai indeks antijamur untuk ketiga jenis jamur uji adalah sebagai berikut:

Poria placenta sebesar 66.7 %, Coriolus versicolor sebesar 54.0 %,

Gloeophyllum trabeum sebesar 100.0 %. Nilai inhibitor ekstrak terbesar adalah pada jamur Gloeophyllum trabeum. Dimana ekstrak mampu menghambat total pertumbuhan jamur di dalam cawan petri. Sedangkan pada jamur Poria placenta


(55)

dipengaruhi oleh sifat inhibitor ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa

Blume.

Gambar 24. Diagram batang nilai indeks antijamur ekstrak metanol Jamur Poria placenta dan Gloeophyllum trabeum dikenal sebagai jamur pembusuk kayu dengan istilah brown rot fungi dan termasuk pada kelompok fungi Basidiomycetes. Brown rot fungi lebih banyak mendegradasi polisakarida pada interior kayu dan sedikit mendegradasi lignin sehingga kayu menjadi cokelat dan rapuh. Struktur anatomi hifa Poria placenta adalah hifa monomitic sedangkan

Gloeophyllum trabeum memiliki hifa dengan tipe nodose septate.Poria placenta

berdinding tipis hingga tebal, memiliki basidiospora dengan ukuran 12-14 x 5-6 µm. Gloeophyllum trabeum berdinding tipis dengan ukuran basidiospora 9.0-12.0 x 3.0-4.5 µm.

Jamur Coriolus versicolor dikenal dengan white rot fungi yang mampu mendegradasi lignin pada kayu. Secara umum jamur white rot fungi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1) jamur yang menguraikan selulosa dan hemiselulosa lebih dahulu kemudian lignin, 2) lebih banyak memetabolisme lignin lebih dahulu kemudian selulosa dan hemiselulosa dan 3) mampu mendegradasi semua polimer dinding sel secara simultan. Coriolus versicolor

memiliki tipe hifa hialin-nodose septate. Jamur ini berdinding tipis hingga tebal dengan ukuran basidiospora 4.5-7.5 x 2.2-4.5 µm.

Perbedaan nilai indeks antijamur ketiga jamur diatas, bisa disebabkan oleh struktur anatomi jamur, dimana jamur yang berdinding sel lebih tipis


(1)

Lampiran 16 Hasil pengukuran pH kolagen dan nanopartikel kolagen

sampel

nilai pH

rata-rata

kolagen

4,97

5.005

5,04

Nanopartikel

kolagen

5,06

4,925

4,79

Lampiran 17 Hasil pengukuran viskositas kolagen dan nanopartikel kolagen

Sampel

Spindle

No.

Speed

(rpm)

Faktor

Konversi

Pembacaan

Alat

Viskositas

(cP)

Rata-rata

kolagen

2

30

10

29.2

292

292,33

2

30

10

29.0

290

2

30

10

29.5

295

nanopartikel

kolagen

2

30

10

11.0

110

110

2

30

10

11.0

110

2

30

10

11.0

110

Lampiran 18 Hasil pengukuran derajat putih kolagen dan nanopartikel kolagen

Sampel

Pembacaan Alat

Derajat Putih (%)

Rata-rata

Kolagen

79.7

72.45

72,48

79.6

72.36

79.9

72.64

Nanopartikel

kolagen

66.0

60.00

60,03

66.0

60.00

66.1

60.09

Keterangan: Standar derajat putih menggunakan MgO (Magnesium Oksida)

dengan tingkat derajat putih 110%. Derajat putih sampel dihitung

dari perbandingan hasil pembacaan alat terhadap derajat putih

standar.


(2)

Lampiran 19 Kurva standar BSA untuk uji solubilitas protein

Standar induk = 50 mg/ml (5 mg/ml)

Volume standar (ml)

konsentrasi (mg/ml)

Absorbansi

0,2

1

0,0148

0,4

2

0,0349

0,6

3

0,055

0,8

4

0,0719

1

5

0,0919

y = 0,0191x - 0,0037 R² = 0,9992

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

0 1 2 3 4 5 6

A

bsor

bans

i

konsentrasi protein (mg/ml) kurva regresi linier standar BSA


(3)

Lampiran 20 Solubilitas kolagen pada berbagai pH

kode

berat sampel

(g)

Abs

Regresi linier BSA

konsentrasi protein sampel

(mg/ml)

Volume larutan

(ml)

Protein

(mg/g) Protein (%)

solubilitas (%)

Solubilitas spesifik

rata-rata

a b

kolagen 0,1516 0,0575 0,0191 -0,0037 3,2042 50 1056,790396 105,6790396

0,1521 0,0578 0,0191 -0,0037 3,2199 50 1058,479713 105,8479713

pH1 0,0302 0,0431 0,0191 -0,0037 2,4503 10 811,3449603 81,13449603 76,71313054 76,59574468 76,89

0,0302 0,0433 0,0191 -0,0037 2,4607 10 814,8122465 81,48122465 77,04096444 77,17569787

pH2 0,0302 0,0453 0,0191 -0,0037 2,5654 10 849,485108 84,9485108 80,31930335 80,19639935 80,25

0,0302 0,0452 0,0191 -0,0037 2,5602 10 847,7514649 84,77514649 80,1553864 80,2955665

pH3 0,0302 0,0474 0,0191 -0,0037 2,6754 10 885,8916126 88,58916126 83,76155921 83,63338789 83,61

0,0302 0,0472 0,0191 -0,0037 2,6649 10 882,4243265 88,24243265 83,43372531 83,57963875

pH4 0,0302 0,0516 0,0191 -0,0037 2,8953 10 958,7046219 95,87046219 90,64607092 90,50736498 90,49

0,0302 0,0514 0,0191 -0,0037 2,8848 10 955,2373357 95,52373357 90,31823703 90,47619048

pH5 0,0302 0,0481 0,0191 -0,0037 2,7120 10 898,0271142 89,80271142 84,90897783 84,77905074 84,75

0,0302 0,0479 0,0191 -0,0037 2,7016 10 894,559828 89,4559828 84,58114393 84,72906404

pH6 0,0302 0,0355 0,0191 -0,0037 2,0524 10 679,5880864 67,95880864 64,25544268 64,15711948 64,43

0,0302 0,0357 0,0191 -0,0037 2,0628 10 683,0553726 68,30553726 64,58327657 64,69622332

pH7 0,0302 0,0574 0,0191 -0,0037 3,1990 10 1059,25592 105,925592 100,1532538 100 100,00

0,0302 0,0572 0,0191 -0,0037 3,1885 10 1055,788634 105,5788634 99,82541988 100

pH8 0,0302 0,0541 0,0191 -0,0037 3,0262 10 1002,045699 100,2045699 94,74399456 94,599018 94,67

0,0302 0,054 0,0191 -0,0037 3,0209 10 1000,312056 100,0312056 94,58007762 94,7454844

pH 9 0,0302 0,0341 0,0191 -0,0037 1,9791 10 655,3170833 65,53170833 61,96060544 61,86579378 62,05


(4)

Lanjutan lampiran 20

kode

berat sampel

(g)

Abs

Regresi linier BSA

konsentrasi protein sampel

(mg/ml)

Volume larutan

(ml)

Protein

(mg/g) Protein (%)

solubilitas (%)

Solubilitas spesifik

rata-rata

a b

pH10 0,0302 0,0328 0,0191 -0,0037 1,9110 10 632,7797233 63,27797233 59,82968515 59,73813421 59,92

0,0302 0,0329 0,0191 -0,0037 1,9162 10 634,5133664 63,45133664 59,99360209 60,09852217

pH11 0,0302 0,0416 0,0191 -0,0037 2,3717 10 785,3403141 78,53403141 74,25437636 74,14075286 74,18

0,0302 0,0415 0,0191 -0,0037 2,3665 10 783,6066711 78,36066711 74,09045941 74,22003284

pH12 0,0302 0,0529 0,0191 -0,0037 2,9634 10 981,2419819 98,12419819 92,77699121 92,63502455 92,87


(5)

Lampiran 21 Solubilitas nanopartikel kolagen pada berbagai pH

kode

berat sampel

(g)

Abs Regresi linier BSA

konsentrasi protein sampel (mg/ml)

Volume larutan

(ml)

Protein

(mg/g) Protein (%)

solubilitas (%)

Solubilitas spesifik

rata-rata

a b

Nanopartikel kolagen

0,1748 0,0623 0,0191 -0,0037 3,4555 50 988,414583 98,8414583

0,1751 0,0625 0,0191 -0,0037 3,4660 50 989,7111897 98,97111897

pH1 0,031 0,0424 0,0191 -0,0037 2,4136 10 778,5846985 77,85846985 78,71943324 85,37037037 84,92

0,031 0,0425 0,0191 -0,0037 2,4188 10 780,2736024 78,02736024 78,89019123 84,4606947

pH2 0,031 0,0441 0,0191 -0,0037 2,5026 10 807,2960649 80,72960649 81,62231906 88,51851852 88,04

0,031 0,0442 0,0191 -0,0037 2,5079 10 808,9849688 80,89849688 81,79307705 87,56855576

pH3 0,031 0,0503 0,0191 -0,0037 2,8272 10 912,0081067 91,20081067 92,20931442 100 100,00

0,031 0,051 0,0191 -0,0037 2,8639 10 923,830434 92,3830434 93,40462035 100

pH4 0,031 0,0488 0,0191 -0,0037 2,7487 10 886,6745482 88,66745482 89,64794458 97,22222222 96,87

0,031 0,0491 0,0191 -0,0037 2,7644 10 891,7412599 89,17412599 90,16021855 96,52650823

pH5 0,031 0,0431 0,0191 -0,0037 2,4503 10 790,4070258 79,04070258 79,91473917 86,66666667 86,29

0,031 0,0433 0,0191 -0,0037 2,4607 10 793,7848336 79,37848336 80,25625515 85,92321755

pH6 0,031 0,0339 0,0191 -0,0037 1,9686 10 635,0278669 63,50278669 64,20500412 69,62962963 69,28

0,031 0,034 0,0191 -0,0037 1,9738 10 636,7167708 63,67167708 64,37576211 68,9213894

pH7 0,031 0,0474 0,0191 -0,0037 2,6754 10 863,0298936 86,30298936 87,25733272 94,62962963 94,21

0,031 0,0476 0,0191 -0,0037 2,6859 10 866,4077014 86,64077014 87,5988487 93,78427788

pH8 0,031 0,0413 0,0191 -0,0037 2,3560 10 760,0067556 76,00067556 76,84109535 83,33333333 82,89

0,031 0,0414 0,0191 -0,0037 2,3613 10 761,6956595 76,16956595 77,01185334 82,44972578

pH9 0,031 0,0431 0,0191 -0,0037 2,4503 10 790,4070258 79,04070258 79,91473917 86,66666667 86,29


(6)

Lanjutan lampiran 21

kode

berat sampel

(g)

Abs Regresi linier BSA

konsentrasi protein sampel (mg/ml)

Volume larutan

(ml)

Protein

(mg/g) Protein (%)

solubilitas (%)

Solubilitas spesifik

rata-rata

a b

pH10 0,031 0,0479 0,0191 -0,0037 2,7016 10 871,4744131 87,14744131 88,11112267 95,55555556 94,76

0,031 0,0477 0,0191 -0,0037 2,6911 10 868,0966053 86,80966053 87,76960669 93,96709324

pH11 0,031 0,0489 0,0191 -0,0037 2,7539 10 888,3634521 88,83634521 89,81870257 97,40740741 96,51

0,031 0,0486 0,0191 -0,0037 2,7382 10 883,2967404 88,32967404 89,3064286 95,61243144

pH12 0,031 0,0499 0,0191 -0,0037 2,8063 10 905,2524911 90,52524911 91,52628247 99,25925926 98,53