Perendaman kulit dalam asam asetat

bahwa efek lyotropic dari asam karboksilat pada kolagen lebih dominan dalam peningkatan swelling.

4.2.3 Ekstraksi dengan air

Kulit hasil perendaman asam asetat dengan perlakuan terbaik 0,1 M selama 2 jam dilanjutkan pada tahap ketiga, yaitu ekstraksi dengan air. Kulit dicuci dengan air mengalir sampai pH mendekati netral. Hal ini ditujukan agar kolagen yang dihasilkan memiliki pH mendekati netral. Hinterwaldner 1977 menyatakan bahwa proses penetralan akan mengurangi sisa asam maupun basa sehingga dihasilkan pH akhir yang mendekati netral. Ekstraksi kulit dilakukan dengan air bersuhu 40 C selama 2 jam. Proses pemanasan kulit dalam air hangat menyebabkan berlanjutnya kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen yang sebelumnya sudah berlangsung selama proses perendaman asam asetat. Gómez-Guillén et al. 2011 menyatakan bahwa proses kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen akibat pemanasan kolagen menyebabkan terganggunya kesetabilan struktur triple heliks kolagen sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi gulungan dan akhirnya kolagen terdegradasi menjadi gelatin yang larut air. Pemilihan suhu 40 C dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya degradasi kolagen menjadi gelatin selama ekstraksi berlangsung. Hal ini didasarkan pada pendapat Karim dan Bhat 2009 yang menyatakan bahwa suhu 40 C merupakan suhu transisi perubahan heliks menjadi bentuk gulungan yang mengarah pada pembentukan gelatin yang larut. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Kołodziejska et al. 2008 yang menunjukkan bahwa degradasi kolagen menjadi gelatin terjadi diatas suhu 45 o C. Hasil esktrak kulit dengan air berupa kolagen larut air, kemudian dikeringkan dengan Freeze dryer sehingga diperoleh kolagen dalam bentuk serbuk. Rendemen kolagen yang dihasilkan sebesar 14,475 bb.

4.3 Pembuatan Nanopartikel Kolagen

Proses pembuatan nanopartikel kolagen dilakukan dengan metode desolvasi menggunakan etanol dingin. Optimasi dilakukan untuk mendapatkan rasio larutan kolagen terhadap etanol paling baik yang menghasilkan ukuran partikel kolagen terkecil nm dan nilai polydispersity index rendah. Ukuran nanopartikel kolagen yang dihasilkan dengan metode desolvasi menggunakan etanol dapat dilihat pada Tabel 9. Semua perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol 1:1, 1:2, dan 1:3 menghasilkan kolagen dengan ukuran nanopartikel yang berkisar antara 159,48 206,88 nm. Bolzinger et al. 2011 mendefinisikan nanopartikel dalam kisaran 1 100 nm, sementara Mohanraj dan Chen 2006 mendefinisikan nanopartikel sebagai partikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 10 1000 nm. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan nanopartikel kolagen berhasil dilakukan dengan metode desolvasi menggunakan etanol. Ketika larutan kolagen diaduk dengan kecepatan tinggi meggunakan stirer selama satu jam, maka batang-batang kolagen terpotong-potong menjadi ukuran yang lebih pendek. Penambahan etanol menyebabkan berkurangnya jumlah air yang dapat diikat oleh molekul kolagen dan sebaliknya meningkatkan rekasi hidrofobik dengan terbentuknya ikatan hidrogen intramolekul kolagen. Hal ini menyebabkan perubahan struktur kolagen menjadi bentuk terdehidrasi. Hal ini selaras dengan pendapat Singer 1962 di dalam Gulseren et al. 2012 yang mengatakan bahwa etanol dapat mempengaruhi struktur protein melalui perubahan konstanta dielektrik, kekuatan solvasi, mempengaruhi interaksi hidrofobik, ikatan hidrogen, momen dipol, dan jembatan garam. Tabel 9 Ukuran partikel dan polydispersity index nanopartikel kolagen Rasio larutan kolagen terhadap etanol awal penyimpanan Z-average nm Polydispersity Index Z-average nm Polydispersity Index 1:1 185,24 0,090 156,96 0,268 1:2 159,48 0,070 209,27 0,269 1:3 206,88 0,762 - - Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 menunjukkan nilai Z-average yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 dan 1:3. Namun jika dilihat dari nilai polydispersity index antara perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 dan 1:2 menunjukkan bahwa kedua perlakuan menghasilkan ukuran partikel yang seragam dibandingkan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:3. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran partikel cenderung mengalami peningkatan dengan peningkatan jumlah etanol yang ditambahkan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Gulseren et al. 2012 yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata ukuran partikel isolat -loctoglobulin dan isolat whey protein meningkat seiring penambahan etanol dari 0 sampai 5 kali lipat dari larutan yang digunakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Weber et al. 2000 yang menunjukkan terjadinya peningkatan ukuran partikel human serum albumin HSA dengan penambahan etanol hingga 4 kali lipat dari larutan HSA. Ukuran nanopartikel kolagen yang dihasilkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 lebih stabil dibandingkan dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 setelah mengalami penyimpanan selama 24 jam. Ukuran nanopertikel kolagen dengan perlakuan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:2 mengalami peningkatan dari dari 159,48 nm sebelum disimpan menjadi 209,27 nm setelah mengalami penyimpanan Tabel 9. Hasil penelitian Gulseren et al. 2012 menunjukkan bahwa ukuran nanopartikel whey protein yang dihasilkan dengan proses desolvasi menggunakan etanol dengan rasio larutan terhadap etanol sebasar 1:2 mengalami peningkatan setelah penyimpanan selama 96 jam dari 15,4 nm menjadi 17,1 nm. Peningkatan ukuran nanopartikel selama penyimpanan diduga disebabkan terjadinya agregasi antar nanopartikel kolagen dalam suspensi selama penyimpanan. Kelebihan etanol pada proses pembuatan nanopartikel menyebabkan kekuatan ionik pelarut meningkat. Hal ini diduga menyebabkan interaksi antara nanopartikel kolagen lebih kuat dibandingkan interaksi antara nanopartikel kolagen dengan pelarut. Hal ini selaras dengan pendapat Jun et al. 2011 bahwa agregasi dapat terjadi karena interaksi antar partikel yang lebih besar dibandingkan interaksi partikel dengan pelarut. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap ini dipilih perlakuan terbaik adalah penggunaan rasio larutan kolagen terhadap etanol sebesar 1:1 yang menghasilkan nanopartikel kolagen dengan ukuran partikel 185,24 nm. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Azarmi et al. 2006 yang berhasil membuat nanopartikel gelatin type A dengan metode desolvasi dua tahap menggunakan etanol sebagai agen desolvasi pada rasio larutan terhadap etanol sebesar 1:1 dengan ukuran partikel adalah 386 nm. Larutan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari perlakuan terbaik selanjutnya dihilangkan pelarutnya dengan proses evaporasi sampai diperoleh larutan nanopartikel kolagen bebas etanol. Larutan nanopartikel kolagen hasil proses evaporasi dikeringkan dengan freeze dryer sehingga diperoleh kolagen nanopartikel dalam bentuk serbuk. Rendemen dari nanopartikel kolagen yang dihasilkan sebesar 9,64 bb.

4.4 Karakterisasi Kolagen dan Nanopartikel Kolagen

Kolagen dan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari perlakuan terbaik pada penelitian tahap sebelumnya dikarakterisasi baik sifat kimia maupun fisik. Karakteristik kimia meliputi proksimat, jenis asam amino, dan pH; sedangkan karakteristik fisik yang diukur antara lain gugus fungsi dengan FTIR, berat molekul dengan SDS-PAGE, viskositas, derajat putih, analisis termal, solubilitas, dan struktur permukaan dengan SEM.

4.4.1 Komposisi proksimat

Komponen kimia kolagen dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menunjukkan kualitas kolagen yang dihasilkan dan sekaligus menilai efektifitas dari proses pretretment kulit pada proses pembuatan kolagen. Proses preteatment kulit diharapkan mampu menghilangkan komponen-komponen lain misalnya lemak, mineral, protein non kolagen pada bahan baku kulit sehingga dihasilkan kolagen dengan kandungan protein tinggi. Komposisi proksimat kolagen dan nanopartikel kolagen yang dihasilkan dari kulit ikan pari dan kolagen dari kulit ikan lainnya sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa komponen utama kolagen adalah protein dan komponen lainnya berupa air, lemak, dan abu dalam jumlah yang sedikit. Kandungan protein kolagen maupun nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari hampir sama dengan kandungan protein pada kolagen dari kulit ikan skate Raja kenojei namun lebih rendah dibandingkan protein pada kolagen dari kulit ikan rainbow trout Onchorhynchus mykiss, sedangkan untuk