Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya WTA Responden

61 H 1 : β ≠ 0 X berpengaruh terhadap Y Hasil yang terdapat pada Tabel 20 menjelaskan bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 0,1 adalah usia X 1 , pendapatan X 3 , dan dummy peternak D 5 . Variabel yang berpengaruh pada taraf nyata α 0,15 adalah dummy petani D 4 , dan variabel yang berpengaruh pada taraf nyata α 0,20 adalah dummy rasa air D 2 , dummy pekerjaan lain D 6 , dan kerugian X 7 . Berbeda dengan Tabel 21 yang merupakan kategori rumahtangga yang memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai, variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 0,1 adalah usia X 1 , pendapatan X 3 , jumlah tanggungan X 5 , lama tinggal X 6 , dummy bau air D 3 , dummy petani D 4 , dummy peternak D 5 , dan kerugian X 7 . 1. Usia Variabel tingkat usia pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu serta kategori rumahtangga yang memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua secara berturut-turut memiliki nilai sig 0,065 dan 0,032 α=10 artinya tolak H , sehingga dapat disimpulkan bahwa usia berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori satu dan kategori dua bertanda negatif - artinya semakin tinggi usia responden maka WTA akan semakin rendah. Hal ini terjadi karena kebutuhan hidup di waktu tua menjadi semakin sedikit. Nilai koefisien tingkat usia untuk kategori satu yaitu sebesar 3.151,983 yang artinya jika usia semakin meningkat sebesar satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar Rp3.151,983, sedangkan nilai koefisien tingkat usia untuk kategori dua yaitu sebesar 1.497,192 yang artinya jika usia semakin meningkat sebesar satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar Rp1.497,192. 2. Pendapatan Variabel tingkat pendapatan pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu serta kategori rumahtangga yang memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua memiliki nilai sig yang sama yaitu sebesar 0,000. Nilai sig 0,000 α=10 artinya 62 tolak H , sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori satu dan kategori dua bertanda negatif - artinya semakin tinggi pendapatan seseorang maka WTA akan semakin rendah. Hal ini terjadi karena pendapatan responden yang tinggi mencerminkan bahwa responden berkecukupan mengeluarkan biaya untuk mengurangi kerugian yang dialami, sehingga nilai kompensasi akan kecil. Nilai koefisien tingkat pendapatan untuk kategori satu yaitu sebesar 0,171 yang artinya jika pendapatan meningkat sebesar satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar Rp0,171, sedangkan nilai koefisien tingkat pendapatan untuk kategori dua yaitu sebesar 0,046 yang artinya jika pendapatan meningkat sebesar satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar Rp0,046. 3. Dummy pekerjaan peternak Variabel dummy pekerjaan peternak pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu serta kategori rumahtangga yang memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua secara berturut-turut memiliki nilai sig 0,077 dan 0,000. Nilai sig tersebut α=10 artinya tolak H , sehingga dapat disimpulkan bahwa pekerjaan peternak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori satu dan kategori dua bertanda positif + artinya responden yang memiliki pekerjaan sebagai peternak akan meminta kompensasi yang tinggi baik pada kategori satu atau pun dua. Hal ini terjadi karena jenis pekerjaan tersebut memiliki resiko yang tinggi dengan keberadaan pabrik. Nilai koefisien pekerjaan peternak untuk kategori satu yaitu sebesar 88.663,918 yang artinya jika responden memiliki pekerjaan peternak, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp88.663,918, sedangkan nilai koefisien pekerjaan peternak untuk kategori dua yaitu sebesar 123.870,028 yang artinya jika responden memiliki pekerjaan peternak, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp123.870,028. 4. Dummy pekerjaan petani Variabel dummy pekerjaan petani pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu serta kategori rumahtangga yang 63 memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua secara berturut-turut memiliki nilai sig 0,101 dan 0,001. Nilai sig 0,101 α=15 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa pekerjaan petani pada kategori satu berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 15, sedangkan nilai sig pada kategori dua adalah 0,001 α=10 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa pekerjaan petani pada kategori dua berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori satu dan kategori dua bertanda positif + artinya responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani akan meminta kompensasi yang tinggi baik pada kategori satu atau pun dua. Hal ini terjadi karena jenis pekerjaan petani memiliki resiko yang tinggi dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh pabrik. Nilai koefisien pekerjaan petani untuk kategori satu yaitu sebesar 106.322,006 yang artinya jika responden memiliki pekerjaan petani, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp106.322,006, sedangkan nilai koefisien pekerjaan petani untuk kategori dua yaitu sebesar 149.383,507 yang artinya jika responden memiliki pekerjaan petani, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp149.383,507. 5. Dummy pekerjaan lain Variabel dummy pekerjaan lainnya pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu memiliki nilai sig 0,175 α=20 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa pekerjaan lain pada kategori satu berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 20, dan nilai koefisien bertanda positif + artinya responden yang memiliki pekerjaan lain juga membutuhkan air sebagai kebutuhan pokoknya, sehingga ketika air kering atau tercemar maka mereka akan meminta kompensasi yang tinggi. Nilai koefisien pekerjaan lain untuk kategori satu yaitu sebesar 91.406,395 yang artinya jika responden memiliki pekerjaan lainnya, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp91.406,395, sedangkan pada kategori dua memiliki nilai sig 0,885 α=20 artinya terima H , sehingga dapat disimpulakan bahwa pekerjaan lain pada kategori dua tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA 64 karena pengaruh tercemarnya air sungai tidak begitu dirasakan bagi responden dengan pekerjaan lain. 6. Jumlah tanggungan Variabel jumlah tanggungan yang berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10 hanya pada kategori dua yaitu rumahtangga yang memiliki sawah di dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai karena memiliki nilai sig 0,001 α=10 artinya tolak H . Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori dua ini bertanda positif + artinya semakin banyak tanggungan, maka responden akan meminta kompensasi yang tinggi. Hal ini terjadi karena semakin banyak tanggungan kebutuhan hidup akan semakin banyak. Nilai koefisien untuk jumlah tanggungan untuk kategori dua yaitu sebesar 20.426 yang artinya jika jumlah tanggungan meningkat satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp20.426 , sedangkan untuk kategori satu jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA karena nilai sig 0,299 α=20 artinya terima H 0. Hal ini terjadi karena bergantung pada intensitas pemakaian airnya, belum tentu jumlah tanggungan banyak kebutuhan airnya banyak juga. 7. Dummy rasa air Variabel rasa air untuk kategori satu memiliki nilai sig 0,158 α=20 artinya tolak H , sehingga dapat disimpulkan bahwa rasa air pada kategori satu berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 20. Nilai koefisien bertanda negatif - dan memiliki nilai 76.553,085, menunjukkan bahwa semakin mendekati tidak berasa maka nilai kompensasi akan turun sebesar Rp76.553,085, sedangkan pada kategori dua rasa air memiliki nilai sig sebesar 0,249 α=20 artinya terima H , sehingga dapat disimpulkan bahwa rasa air pada kategori dua tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 20. Hal ini terjadi karena air tidak untuk dikonsumsi pribadi sebagai air minum melainkan untuk menyiram tanaman atau minum ternak. 8. Dummy bau air Variabel bau air untuk kategori dua memiliki nilai sig 0,022 α=10 artinya tolak H , sehingga dapat disimpulkan bahwa bau air pada kategori dua berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai 65 koefisien bertanda negatif - dan memiliki nilai 54.899,727, menunjukkan bahwa semakin mendekati tidak bau airnya maka nilai kompensasi akan turun sebesar Rp54.899,727, sedangkan pada kategori satu bau air memiliki nilai sig sebesar 0,318 α=20 artinya terima H , sehingga dapat disimpulkan bahwa bau air pada kategori satu tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 20. Hal ini dikarenakan yang lebih penting bagi mereka adalah rasa air. 9. Kerugian Variabel kerugian pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar kategori satu memiliki nilai sig 0,190 α=20 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kerugian pada kategori satu berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 20, sedangkan pada kategori rumahtangga yang memiliki sawah dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua memiliki nilai sig 0,070 α=10 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kerugian pada kategori dua berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori satu dan kategori dua bertanda positif + artinya semakin tinggi kerugian maka kompensasi diharapakan pun tinggi baik pada kategori satu atau dua. Hal ini terjadi karena responden butuh biaya untuk mengatasi masalah tersebut. Nilai koefisien kerugian untuk kategori satu yaitu sebesar 0,148 yang artinya jika responden kerugiannya meningkat satu satuan, maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp0,148 sedangkan nilai koefisien kerugian untuk kategori dua yaitu sebesar 0,028 yang artinya, jika kerugian meningkat satu satuan maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp0,028. 10. Lama Tinggal Variabel lama tinggal untuk kategori rumahtangga yang memiliki sawah di dekat aliran sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai kategori dua memiliki nilai sig 0,043 α=10 artinya tolak H 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa lama tinggal pada kategori dua berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA pada taraf nyata α 10. Nilai koefisien yang diperoleh variabel ini pada kategori dua ini bertanda positif + artinya semakin tinggi waktu lama tinggal, maka responden akan meminta kompensasi yang tinggi. Hal ini terjadi karena semakin 66 lama tinggal maka aset yang dimiliki di daerah akan semakin banyak. Sehingga responden akan mengharapkan nilai yang tinggi ketika timbul eksternalitas negatif dari aktivitas pabrik. Nilai koefisien untuk lama tinggal pada kategori dua sebesar 1.351,084 yang artinya jika lama tinggal meningkat satu satuan, maka diduga rata- rata nilai WTA akan meningkat sebesar Rp1.351,084 , sedangkan untuk kategori satu lama tinggal tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA karena nilai sig pada kategori satu adalah 0,264 α=20, artinya terima H . Hal ini dikarenakan eksternalitas negatif tersebut baru terjadi sekitar tahun 2011, sedangkan rata-rata tinggal responden mayoritas lebih dari 35 tahun.

6.5 Implikasi dan Rekomendasi

Berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa pencemaran yang dihasilkan dari setiap usaha atau kegiatan manusia dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, ekosistem, dan keseimbangan kehidupan manusia. Hasil penelitian menunjukkan, meningkatnya aktivitas Pabrik Gula Rafinasi Kabupaten Lampung Selatan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa tercemarnya air sungai dan penurunan kuantitas serta kualitas air tanah. Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pabrik tersebut menyebabkan masyarakat sekitar pabrik, khususnya Desa Kertosari dan Mulyosari merasakan kerugian. Kerugian yang terjadi terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah kerugian pada rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar, kerugian ini timbul karena masyarakat harus meningkatkan biaya pengeluaran untuk memperoleh air bersih ke beberapa lokasi. Kategori kedua adalah kerugian pada rumahtangga yang memiliki sawah di dekat sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai. Kerugian pada kategori ini terjadi ketika petani dan peternak memanfaatkan air sungai untuk konsumsi kebutuhan pertanian, sehingga mengakibatkan produktivitas pertanian menurun dan gangguan pada ternak. Eksternalitas negatif yang timbul dari adanya aktivitas pabrik menjadi bukti bahwa Instalasi Pengelolaan Air Limbah IPAL yang dimiliki oleh Pabrik Gula Rafinasi Kabupaten Lampung Selatan belum berjalan dengan baik, sehingga pabrik seharusnya dapat memberikan kompensasi yang sesuai kepada masyarakat 67 yang merasakan dampak penurunan kualitas lingkungan tersebut. Selama ini pabrik sudah memberikan kompensasi berupa sumur bor kepada masyarakat di beberapa titik. Namun, menurut pendapat masyarakat kompensasi yang diberikan tersebut dirasa belum cukup jika dibandingkan dengan kerugian yang dialami. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan kontrol Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk memastikan bahwa limbah yang dihasilkan mengikuti standar baku mutu yang telah ditetapkan pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010, pihak pemerintah juga seharusnya lebih tegas dalam menindaklanjuti masalah pencemaran yang terjadi karena masalah tersebut berdampak pada kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat di sekitar pabrik, dan untuk pihak pabrik seharusnya melakukan kegiatan produksi yang berwawasan lingkungan sehingga tidak mengganggu kehidupan masyarakat sekitarnya. Jika pihak pabrik bisa mengikuti standar baku mutu limbah cair yang ada maka masyarakat tidak akan mengalami kerugian seperti yang dialami sekarang dan tidak perlu adanya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh pabrik. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi rekomendasi bagi Pabrik Gula Rafinasi Kabupaten Lampung Selatan dan sektor industri lainnya untuk melakukan aktivitas produksi yang berwawasan lingkungan, karena limbah yang dibuang langsung tanpa diolah terlebih dahulu akan membahayakan kehidupan organisme, ekosistem, dan manusia di sekitarnya. 68 VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Eksternalitas negatif yang timbul akibat aktivitas pabrik gula rafinasi di Kabupaten Lampung Selatan dirasakan oleh seluruh responden. Eksternalitas negatif yang paling dirasakan oleh responden adalah penurunan kuantitas dan kualitas air tanah, dan penurunan kualitas air sungai. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 113 responden, 40 responden merasakan kerugian akibat penurunan kualitas dan kuantitas air tanah, sehingga diperlukan tambahan yang harus dikeluarkan responden. Selain itu, sebanyak 73 responden merasakan kerugian berupa penurunan produktivitas pertanian dan gangguan ternak akibat tercemarnya air sungai. Hal seperti ini akan menimbulkan penurunan pendapatan bagi responden yang merasakan eksternalitas negatif dari aktivitas pabrik gula rafinasi. 2. Rata-rata biaya eksternal pada kategori rumahtangga yang memiliki sumur kering dan tercemar adalah Rp173.550 per bulan per kepala keluarga, sedangkan total biaya eksternal yang harus ditanggung oleh masyarakat Desa Kertosari dan Mulyosari untuk kategori ini adalah Rp623.044.500 per bulan. Namun, untuk rata-rata biaya eksternal pada kategori rumahtangga yang memiliki sawah di dekat sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai adalah Rp2.382.471 per bulan per kepala keluarga, sedangkan total biaya eksternal untuk kategori ini adalah Rp8.553.070.890 per bulan. Sehingga diperoleh total biaya eksternal akibat aktivitas pabrik sebesar Rp9.176.115.390 per bulan. 3. Nilai dugaan rataan WTA pada responden yang mengalami sumur kering dan tercemar adalah Rp256.757 per bulan per kepala keluarga. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA responden adalah sebesar Rp9.500.000 per bulan dan nilai total WTA masyarakatnya diduga sebesar Rp921.757.630 per bulan. Namun, untuk nilai dugaan rataan WTA pada responden pada kategori rumahtangga yang memiliki sawah di dekat sungai dan ternak yang 69 mengonsumsi air sungai adalah Rp341.538 per bulan per kepala keluarga. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA responden adalah sebesar Rp22.200.000 per bulan dan nilai total WTA masyarakatnya diduga sebesar Rp1.226.121.420 per bulan. 4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada besarnya nilai WTA rumahtangga untuk sumur kering dan tercemar secara positif yaitu pekerjaan petani, peternak, pekerjaan lainnya, dan kerugian. Usia, pendapatan, dan rasa air berpengaruh nyata secara negatif. Pada kategori rumahtangga yang memiliki sawah di dekat sungai dan ternak yang mengonsumsi air sungai memiliki faktor berpengaruh secara positif yaitu jumlah tanggungan, lama tinggal, pekerjaan petani, peternak, dan kerugian, sedangkan faktor yang berpengaruh secara negatif yaitu usia, pendapatan, dan bau air.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian, maka dapat disarankan : 1. Pabrik gula rafinasi seharusnya bisa melakukan pengolahan air limbah dengan baik sehingga tidak menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat di sekitar pabrik. 2. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengontrol dari segi pabrik saja, tetapi juga harus mengontrol masyarakat yang merasakan dampak dari adanya aktivitas pabrik eksternalitas negatif dari aktivitas pabrik tersebut. 3. Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian mengenai analisis Willingness to Pay WTP pihak pabrik, sehingga dapat diperoleh surplus produsen yang diterima oleh masyarakat dan surplus konsumen yang diperoleh perusahaan. 70 DAFTAR PUSTAKA [Agrifinasi] Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia. 2013. Membuat Gula Rafinasi [Internet]. Indonesia ID. [disadur 2013 Oktober 21]. Tersedia pada: http:www.agrirafinasi.org\. Adhitya, L. 2013. Estimasi Biaya Eksternal dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Air dan Udara di Sekitar Kawasan Pabrik [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Algifari. 2000. Analisis Regresi: Teori, Kasus, dan Solusi. Edisi ke-2. Yogyakarta ID: BPFE-Yogyakarta. [BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Lampung Selatan ID. [BPS] Badan Pusat Statistika Provinsi Lampung. 2012. PDRB Kabupaten Lampung Selatan atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2009 sampai 2012 [Internet]. Lampung Selatan ID. [disadur 2013 Oktober 5]. Tersedia pada: http:lampung.bps.go.id. Bravo, J. 2013. Analisis Regresi dan Korelasi Sederhana [Internet]. [disadur 2013 Desember 29]. Tersedia pada: http:www.academia.edu. [Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Luas perkebunan tebu Indonesia dan produksi gula tahun 2011 [Internet]. Indonesia ID. [disadur 2013 Oktober 5]. Tersedia pada: http:deptan.go.id. Dwiastuti, R. 2010. Laporan Magang di PT. Dharmapala Usaha Sukses Quality Control Gula Rafinasi. Surakarta ID: Universitas Sebelas Maret. Farhani, N. 2011. Kerugian Sosial Ekonomi dan Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Permasalahan Kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta ID: Bumi Aksara. Garrod, G dan Kenneth G.W. 1999. Economics Valuation of The Environmental. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachussetts. Gujarati, D.N. 2007a. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta ID: Erlangga. Gujarati, D.N. 2007b. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi Ketiga. Jilid 2. Jakarta ID: Erlangga. Habsyie, K. 2011. Terdapat 8 Tahapan yang Ada Pada Proses Produksi Pengolahan Gula Rafinasi [Internet]. Indonesia ID. [disadur 2014 Mei 4]. Tersedia pada: http:www.scribd.comdoc56558610Terdapat-8-Tahapan- Yang-Ada-Pada-Proses-Produksi-Pengolahan-Gula-Rafinasi. Handayani, N.I. 2012. Kajian Baku Mutu Air Limbah Industri Gula sebagai Instrumen Pengendalian Pencemaran di Jawa Tengah [Thesis]. Semarang ID. Universitas Diponegoro. 71 Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost – Benefit Analysis and Environment. England: Edward Elgar Publishing Limited. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor ID: IPB Press. Krisnamurthi, B. 2012. Ekonomi Gula. Jakarta ID: PT Gramedia Pustaka Utama. Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta ID: Andi Offset. Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta ID: Gajah Mada University Press. Mulyadi, A. 2012. Tanaman di Lampung Selatan Mati Akibat Limbah [Internet]. Lampung Selatan ID. [disadur 2013 Oktober 4]. Tersedia pada: http:regional.kompas.comread2012090722082896Tanaman.di.Lampung. Selatan.Mati.akibat.Limbah. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan nomor 15 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011 sampai 2031 . Peraturan Gubernur Lampung nomor 7 tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Pabrik Gula Rafinasi. Purnama, R.R. 2012. Estimasi Nilai Kerugian Dan Willingness To Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah Dan Udara Di Sekitar Kawasan Industri Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Putri E, Ismail A,Wijayanti P, Buitenzorgy M, Maresfiean N. 2010. Modul Kuliah Ekonomi Lingkungan . Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Rahmawati, D. 2011. Pengaruh Aktivitas Industri Terhadap Kualitas Air Sungai Diwak di Bergas Kabupaten Semarang dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air Sungai [Thesis]. Semarang ID: Universitas Diponegoro. Ramadhan, A. 2009. Analisis Kesediaan Menerima Dana Kompensasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Kota Depok Jawa Barat [Skripsi].. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Shaffitri, L. 2011. Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu Studi Kasus Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Purwokerto [Skripsi].. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. STATSDATA [Statistical Analysis Data]. 2013. Uji Asumsi Klasik Regresi Linier [Internet]. Indonesia ID. [disadur 2013 Desember 28]. Tersedia pada: http:www.statsdata.my.id. Triani, A. 2009. Analisis Willingness to Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta ID: Andi.