KEANEKARAGAMAN NAFS KONSEP JIWA DALAM ISLAM

10 8 10 9 PSIKOLOGI AGAMA PSIKOLOGI AGAMA Kata “menjadikan engkau adil” dipahami oleh sementara pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang mendurhakainya. Berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa nafs sebagai totalitas kemanusiaan dalam psikologi setara dengan istilah individualitas. Konsep nafs mengandung makna kedirian yang terdiri dari potensi ke- takwaan dan potensi kekufuran, namun Allah menegaskan bahwa potensi ketakwaan lebih mudah dikembangkan manusia daripada potensi ke- kufuran, hanya pengaruh lingkungan lebih mendorong manusia untuk mengembangkan potensi kekufurannya.

B. KEANEKARAGAMAN NAFS

Al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat- peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs al-ammarah, an-nafs al-lawamah,dan an-nafs al-muthmainnah. Masing dapat ditemukan pada firman Allah sebagai berikut: Peringkat pertama adalah an-nafs al-ammarah. Allah berfirman tentang an-nafs al-ammarah dalam Q.S Yusuf ayat 53 yang berbunyi: “Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Nafs al-ammarah disebut juga nafs hewani. Al-Ghazali menyebut- nya dengan citraan yang lebih kontras yaitu nafs bahimiyyah dan nafs sabu’iyyah binatang ternak dan binatang buas. Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan tempat tinggal yang serba berlebihan, tidak islami. Pun- caknya: hubb ad-dunya wa karahat al-maut cinta dunia dan takut mati. isyaratkan bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Oleh Karena itu Allah menegaskan bahwa manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya. Hal tersebut diingatkan Allah pada QS Al-Syams [91]: 9-10 berikut: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya.” Bahwa kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2]: 286 berikut: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya.” Menurut Quraish Shihab kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah bentuk kata yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat. Muhammad Abduh mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan kejahatan. Hal ini menegaskan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan. Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah firman Allah dalam QS Al-Infi ¯ar [82: 6-7 berikut: “Wahai manusia Apa yang memperdayakanmu berbuat dosa terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau. Yang telah menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau “adil” seimbang atau cenderung kepada keadilan.” ô‰s yxn=øùr ⎯tΒ yγ8©.y— ∩®∪ ô‰suρ zs{ ⎯tΒ yγ9¢™yŠ ∩⊇⊃∪ Ÿω ßÏk=s3ムª ²¡øtΡ ωÎ yγyèó™ãρ 4 yγs9 tΒ ôMt6|¡x. pκön=tãuρ tΒ ôMt6|¡tFø. 3 ... pκš‰r¯≈tƒ ß⎯≈|¡ΡM} tΒ x8¡xî y7ÎntÎ ÉΟƒÌx6ø9 ∩∉∪ “Ï© y7sn=yz y71§θ|¡sù y7s9y‰yèsù ∩∠∪ tΒuρ ä—Ìhté û©Å¤øtΡ 4 ¨βÎ }§ø¨Ζ9 8οu‘¨ΒV{ Ï™þθ¡9Î ωÎ tΒ zΟÏmu‘ þ’În1u‘ 4 ¨βÎ ’În1u‘ Ö‘θàxî ×Λ⎧Ïm§‘ ∩∈⊂∪ 110 111 PSIKOLOGI AGAMA PSIKOLOGI AGAMA kembali dari jalan yang orang-orang yang tidak beriman, serta mengarah kepada Allah untuk memperbaiki apa yang sebelumnya ia lalaikan serta meminta maaf atas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Kedua, Mengajak kepada pemiliknnya untuk introspeksi atas kelalai- annya dalam melakukan perbutan yang baik. Introspeksi ini mempunyai dua sisi: 1. Introspeksi atas kelalaian terhadap amal saleh seperti menginggalkan sedekah terhadap orang-orang miskin, melalaikan anak yatim, atau tidak mau peduli terhadap kesulitan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Jiwa ini dengan penyesalannya atas kelalaian dalam dasar perbuatan yang baik akan melalui jalan satu perilaku kepada perilaku yang lain yang lebih baik, dan akan menganjurkannya untuk kuat dan konsisten untuk tetap melakukan perbuatan ketaatan dan segera melakukan perbuatan baik. 2. Introspeksi atas kekuarangan dalam memperbanyak perbuatan baik seperti penyesalannya atas sedekah dengan jumlah yang sedikit, penyesalannya yang hanya memberikan makan kepada satu orang fakir, tidak dua atau lebih, penyesalannya karena hanya menjamu seorang tamu dalam waktu yang singkat dan tidak lama, demikian seterusnya. Nafs laww ± mah, yaitu jiwa yang sadar, taqwa, takut, selalu prihatin, selalu melakukan introspeksi diri, selalu melihat ke sekitarnya, selalu mencari kejelasan mengenai hakikat dari keinginannya, dan menghindari untuk menipu dirinya. Ia adalah jiwa yang mulia di sisi Allah sehingga Dia menyebutkannya bersamaan dengan fenomana hari kiamat. Ia adalah gambaran sebaliknya dari jiwa fajirah yaitu jiwa manusia yang selalu ingin untuk berbuat kedurhakaan dan selalu melangkah dalam kedurha- kaan, yang selalu melakukan kebohongan, menguasai dan melangkah dengan bebas tanpa sedikitpun melakukan introspeksi diri dan tanpa sedikitpun ada rasa penyesalan, rasa berdosa dan ia sama sekali tidak peduli. Ada pendapat yang mengatakan bahwa selalu menyesal laww ± mah adalah sesuatu yang tercela dan tidak terpuji. Dasar dari pandangan ini mengatakan bahwa lawwum berasal dari kata talawwum yaitu kebimbangan karena ia tidak tetap dalam satu kondisi, atau bahwa kata laww ± mah maksudnya adalah mulaw ± mah yang dicela. Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran ayat 14 tentang kecintaan manusia pada unsur-unsur nafs al-ammarah sebagai berikut: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik surga.” Peringkat kedua adalah an-nafs al-laww ± mah. Allah berfirman tentang an-nafs al-laww ± mah dalam Q.S al-Qiyamah ayat 2 yang berbunyi: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri Menyesali diri dalam ayat tersebut berarti jiwa tersebut menyesali diri mengapa melakukan kejahatan atau mengapa berbuat baik hanya sedikit. Hasan Basri dalam sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan: “Demi Allah, orang yang beriman tidak akan kamu lihat menyalahkan selain dirinya sendiri, ‘apa yang sebenarnya saya inginkan dengan kalimat saya, apa yang saya inginkan dengan makanan saya, apa sebenarnya yang saya iginkan dengan detak hati saya..? Sedangkan orang jahat berjalan tanpa pernah menyalahkan dirinya”. Kata laww ± mah ini adalah bentuk mubalagah hiperbolis dari kata lawum yang maksudnya adalah mencela dan menyalahkan secara berlebihan. Istilah laww ± mah adalah banyak mencela pemiliknya. Celaan dari jiwa seperti ini terhadap pemiliknya mengarah kepada dua jalan yaitu: Pertama, dengan mendorong pemiliknya untuk introspeksi atas per- buatan jelek yang pernah ia perbuat, seperti melakukan suatu perbuatan maksiat, menyakiti orang yang tidak seharusnya, atau menghukumnya dengan hukuman yang berlebihan. Penyesalan yang keras ini bisa mem- bangkitkan pemiliknya untuk bertaubat dan akan membawanya untuk z⎯Îiƒã— Ĩ¨Ζ=Ï9 =ãm ÏN≡uθy㤱9 š∅ÏΒ Ï™|¡ÏiΨ9 t⎦⎫ÏΖt6ø9uρ ÎÏÜ≈oΨsø9uρ ÍοtsÜΖsßϑø9 š∅ÏΒ É=yδ© ÏπÒÏø9uρ È≅ø‹y‚ø9uρ ÏπtΒ§θ|¡ßϑø9 ÉΟ≈yè÷ΡF{uρ Ïöysø9uρ 3 šÏ9≡sŒ ßì≈tFtΒ Íο4θu‹ysø9 u‹÷Ρ‘‰9 ªuρ …çνy‰ΨÏã Ú∅ó¡ãm Ét↔yϑø9 ∩⊇⊆∪ Iωuρ ãΝÅ¡øé ħø¨Ζ9Î ÏπtΒ§θ¯=9 ∩⊄∪ 112 113 PSIKOLOGI AGAMA PSIKOLOGI AGAMA “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar dengan pengalaman dari tingkatan nafs ammarah dan nafs al-laww ± mah, maka seseorang dapat mencapai mencapai nafs al-mu ¯ mainnah, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. Tidak gembira melonjak ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai Iman Karena telah matang oleh berbagai percobaan. Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan dengan kesombongan mendabik dada. Sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira basyiran ataupun khabar yang menakutkan na © iran. Berkata Ibnu ‘Atha’: “Nafs al-mu ¯ mainnah yaitu jiwa yang telah men- capai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya. Berkata Hasan Al- Bishri tentang nafs al-mu ¯ mainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.” Berkata sahabat Rasulullah saw ‘Amr bin Al-‘Ash Hadis mauquf: “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”

C. PENGERTIAN RUH, QALB, DAN ‘AQL 1. Ruh