155 maupun besar yang ada di sekitar wilayah pantai. Biaya investasi skor 2 yang
dibutuhkan oleh pukat tarik di perairan Maluku diperkirakan sekitar Rp 1.000.000 sampai Rp 2.000.000.
5.2.7 Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF
Hasil seleksi aspek ramah lingkungan terhadap alat tangkap yang beroperasi di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, rawai,
payang, pukat cincin, perangkap, dan bagan. Sedangkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan adalah pukat pantai, pukat tarik, pukat udang. Pancing tonda
merupakan alat tangkap yang cukup sempurna skor 3,55 dalam penilaian terhadap alat tangkap ramah lingkungan karena alat tangkap ini dapat mewakili
semua kriteria-kriteria penilaian terhadap aspek ramah lingkungan. Huhate termasuk dalam alat tangkap ramah lingkungan karena alat ini memenuhi kriteria
selektifitas tinggi dan produknya tidak membahayakan konsumen skor 4. Hal ini disebabkan karena alat ini hanya juga menangkap jenis ikan tertentu saja sesuai
dengan ukuran mata pancing yang digunakan serta produk hasil tangkapan juga tidak membahayakan konsumen. Alat tangkap ini termasuk bersama dengan jenis
pancing lainnya seperti pancing tonda, handline, multiple handline yang dikategori sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan
Jaring insang permukaan skor 3,22 merupakan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan karena alat ini juga cukup mendukung terhadap aspek ramah
lingkungan. Alat ini mempunyai selektivitas yang tinggi dan tidak berpengaruh terhadap nelayan skor 4. Hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat
tangkap ini hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Jaring insang yang dipergunakan adalah berukuran mata 4 sampai 7
inci sehingga hanya untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pukat cincin termasuk alat tangkap yang harus diperhitungkan terhadap
penilaian kriteria ramah lingkungan karena alat ini hasil tangkapan berkualitas tinggi skor 3, tidak membahayakan nelayan skor 3, produknya tidak
membahayakan konsumen skor 3, serta by catch dan discard minim skor 3. Produk dari pukat cincin tidak destruktif, by catch rendah serta jenis ikan hasil
tangkapan alat ini berupa jenis ikan pelagis kecil kembung, layang, selar, teri dan
156 lain-lain. Hasil tangkapan dari alat ini mendominasi 60 semua pasar lokal di
daerah Maluku, khususnya kota Ambon. Produk rawai dipastikan aman bagi konsumen, hal ini disebabkan karena
dalam pengoperasiannya alat ini tidak menggunakan bahan berbahaya seperti: potasium, bahan peledak untuk memperoleh hasil tangkapan sehingga dapat
dikatakan aman bagi konsumen, sedangkan skor 3 untuk kriteria dapat diterima secara sosial di masyarakat karena pengusahaan rawai hanya membutuhkan biaya
kecil, menguntungkan, serta tidak bertentangan dengan budaya serta memenuhi peraturan perikanan yang berlaku. Bagan juga memiliki kriteria penilaian tidak
destruktif terhadap habitat skor 3, hasil tangkapan berkualitas tinggi skor 3, tidak membahayakan nelayan skor 3, serta produknya tidak membahayakan
konsumen skor 3. Alat tangkap bagan ini dalam pengoperasiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap habitat di sekelilingnya karena pengoperasiannya di laut
lepas. Hasil tangkapan yang diperoleh cukup berkualitas tinggi dari jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kembung, layang. Di daerah Maluku
khususnya pengoperasian bagan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat tangkap huhate karena ikan umpan yang diperoleh dari alat tangkap ini
dipergunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan cakalang. Harga ikan pelagis kecil yang dipergunakan sebagai ikan umpan untuk penangkapan cakalang
sekitar Rp 40.000ember. Pukat pantai merupakan unit penangkapan yang cenderung merusak
lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya di perairan Maluku. Jenis alat tangkap pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, merupakan alat tangkap yang
cenderung merusak lingkungan dengan skor masing-masing 16. Pukat pantai mempunyai selektifitas yang terendah dan kurang diterima di masyarakat skor 1.
Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini mempunyai ukuran mata jaring yang cukup kecil 0,25 inci tentunya semua jenis ikan dari fase pertumbuhan sampai
dewasa akan tertangkap oleh alat ini. Pukat tarik, pukat pantai mempunyai sifat destruktif yang tinggi skor 1 terhadap habitat karena semua habitat biota laut
yang terperangkap dalam alat tangkap ini minimal akan mengalami rusak jika tidak tertangkap pada saat jaring ini tidak ditarik.
155 Hasil analisis linear goal programming memperlihatkan terjadi penurunan
jumlah alat penangkapan ikan pelagis seperti: pukat cincin, bagan, pukat pantai di perairan Maluku. Hal ini disebabkan karena jumlah ketiga alat tangkap ini tidak
memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya yang ada. Hasil analisis liniear goal
programming memperlihatkan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap alat tangkap yang menangkap ikan pelagis. Alat tangkap pukat cincin, pukat pantai,
dan bagan mengalami penurunan masing-masing: 15, 175, dan 240 unit untuk mencapai alokasi optimal, sedangkan huhate, pancing tonda dan jaring insang
mengalami penambahan sebesar 1053 unit, 13469 unit, dan 17339 unit. Implikasi yang terjadi akibat penambahan jumlah alat tangkap di perairan
Maluku berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan
mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah
ditetapkan. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk
mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan
teknologi tepat guna dari masing-masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Perbaikan teknologi tepat guna yang dilakukan ini didasarkan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1 menangkap ikan dengan ukuran jaring yang
sesuai, 2 tidak merusak ekosistim perairan, 3 tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4 penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang
ditangkap, 5 serta dapat diterima secara sosial. Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin
untuk dikembangkan berdasarkan solusi optimal basis, sehingga perlu pengurangan jumlah armada sebanyak 15 unit dari jumlah alokasi aktual 272
unit. Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius
dari stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara
156 optimal. Pengurangan jumlah pukat cincin ini perlu dilakukan dengan
memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Maluku. Pada kondisi access capacity yang bersifat jangka pendek, unit penangkapan
tersebut secara individual tidak menerapkan prinsip penangkapan berwawasan lingkungan, akan tetapi nelayan ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dalam penangkapan ikan tanpa memperhatikan stok ikan yang ada. Disisi lain walaupun terjadi pengurangan jumlah alat tangkap, namun diusulkan
solusi untuk pengembangan untuk alat tangkap ini berupa desain teknologi tepat guna yang dapat memabntu nelayan dalam mengelola sumberdaya antara lain: 1
perubahan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 2 ukuran kapal diperbesar, 3 serta penggunaan “winch” sebagai alat bantu
penangkapan. Perubahan ini dilakukan sehingga sumberdaya dapat dikelola secara optimal mengingat selama ini nelayan pukat cincin
Hasil analisis juga menunjukkan terjadi pengurangan terhadap jumlah alat tangkap pukat pantai sebesar 175 unit dari jumlah aktual 435 unit. Pengurangan
terhadap alat tangkap ini dilakukan karena alat ini merupakan alat tangkap yang tidak efektif dan efisien mengingat alat ini merusak sumberdaya yang ada. Solusi
yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan “boouke ami”. “Boouke ami” adalah jenis alat tangkap yang menggunakan sumber
cahaya untuk mengumpulkan ikan umpan dan digunakan pada pengoperasian alat tangkap huhate. Alat tangkap ini dapat dipakai pada kapal huhate sehingga
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pukat pantai dapat terhindari. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan
terhadap jumlah alat tangkap bagan sebanyak 240 unit dari hasil analisis berdasarkan solusi optimal basis 1659 unit adalah sangat efektif dilakukan untuk
mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan menempatkan
bagan pada jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait. Kebijakan pengurangan terhadap alat tangkap bagan dilakukan sangat perlu dilakukan karena
selama ini nelayan bagan dalam penempatan alat ini dilakukan pada daerah- daerah yang mengganggu alur pelayaran. Kebijakan yang dilakukan terhadap
pengurangan jumlah armada dapat menimbulkan dampak bagi nelayan dan harus
155 mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek sosial dan tenaga kerja, dimana
sebagian nelayan bagan akan kehilangan pekerjaan. Apabila terjadi pengurangan jumlah nelayan terhadap alat tangkap tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan
bertahap untuk mencegah terjadinya konflik nelayan. Disamping itu, perlu penanganan yang lebih serius oleh instansi terkait dalam penyediaan lapangan
pekerjaan alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan jumlah alat tangkap huhate sebanyak 1053 unit dari kondisi aktual 404 unit sehingga untuk mencapai hasil
berdasarkan solusi optimal basis sebanyak 1457 unit. Solusi yang dilakukan terhadap pengembangan alat tangkap huhate ke depan melalui peningkatan
motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap dan kapal, serta perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien.
Perbaikan teknologi penangkapan ikan seharusnya sudah dimulai dari sekarang sehingga produk yang dihasilkan dapat di eksport keluar negeri. Pengembangan
alat tangkap ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan seperti: 1 ukuran kapal diperbesar, 2
perbaikan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 3 serta perubahan teknologi penangkapan. Perubahan terhadap alat tangkap ini
dilakukan sehingga dapat mengelola sumberdaya ikan pelagis besar secara efektif dan berkesinambungan.
Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan alat tangkap huhate berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: 1 sumberdaya
ikan pelagis kecil cukup potensial, 2 teknologi penangkapan lebih baik dikuasai oleh nelayan lokal, 3 armada dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih
jauh dari basis penangkapan, 4 lebih produktif, 5 penyerapan tenaga kerja lebih besar. Solusi yang dilakukan mengingat pengembangan alat tangkap ini sangat
efektif dilakukan bila ditinjau dari faktor lingkungan dan aspek sumberdaya, karena pada prinsipnya ikan yang tertangkap dengan alat ini sangat efektif dalam
ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, ukuran mata kail yang digunakan nelayan berukuran 1000 terutama
dilakukan khusus untuk menangkap ikan pelagis besar.
156 Kebijakan penambahan berdasarkan hasil analisis terhadap alat pancing
tonda sebanyak 13469 unit dari alokasi aktual 27471 unit untuk mencapai solusi optimal basis 40940 unit. Hal ini perlu dilakukan karena alat ini merupakan jenis
alat tangkap yang mempunyai selektifitas tinggi, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat, serta menguntungkan. Beberapa solusi yang
dilakukan terhadap alat ini adalah dengan perbaikan teknologi dalam proses penangkapan seperti: 1 penggunaan metode “layang-layang” dalam penangkapan
ikan, 2 perbaikan desain cool box yaitu dengan penggunaan styrofoam, 3 perbaikan ukuran kapal ukuran kapal di perbesar. Hal ini perlu dilakukan karena
akhir-akhir ini semakin banyak permintaan akan ikan pelagis besar di pasaran
domestik maupun internasional.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap jaring insang permukaan di perairan Maluku sebesar 17339 unit dari kondisi
aktual 12661 untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak 30000 unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini
merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis besar yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat
tangkap jaring insang permukaan sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang
digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis besar adalah 4 sampai 7 inchi, terutama untuk menangkap ikan cakalang, ikan tongkol, serta ikan tuna. Namun,
tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktifitas pada alat tangkap ini tergolong rendah. Solusi pengembangan jaring insang permukaan ke-depan dapat
dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap, perbaikan desain kapal, perbaikan teknologi alat tangkap yang produktif, dan perbaikan manajemen
usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku
memerlukan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan berkesinambungan dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut
bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif
155 kabupatenkota di Maluku. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya
ikan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupatenkota cenderung
menentukan sendiri besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit
penangkapan ikan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lainnya sehingga sulit untuk menentukan hak
kepemilikannya. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan.
Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan
terbatas hanya pada daerah pantai. Nikijuluw 2002 mengatakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan
yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat
sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang
ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan terhadap unit
penangkapan yang mengelola sumberdaya perikanan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan RPP pelagis kecil maupun besar secara terpadu oleh
kabupatenkota yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan akan memberikan arah yang jelas, terorganisir
sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dapat dimanfaatkan. Penyususan RPP seharusnya melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola
sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong proses peningkatan “rasa memiliki” secara
bertanggungjawab untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan Martosubroto 2007.
Pembangunan perikanan di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan nasional tahun 2005 sampai 2009 dengan inti kebijakan tersebut adalah:
1 menjadikan perikanan tangkap sebagai andalan perekonomian dengan
156 membangkitkan industri perikanan nasional, 2 rasionalisasi, nasionalisasi, dan
modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan pada nelayan lokal maupun perusahan nasional, 3 mendorong Pemerintah Daerah
untuk lebih proaktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Intinya pada tingkat provinsi, kebijakan
pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah termanfaatkan potensi secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang
dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan di Maluku. Perkembangan teknik penangkapan modern, terutama semenjak
diperkenalkannya motorisasi modernisasi perikanan telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern.
Berdasarkan teknik dan alat penangkapan nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa
motor KTM, tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang efektif, cenderung bersifat subsistem, dan secara
geneologi telah menekuni aktifitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan
teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut
adalah dengan adanya transformasi teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting
yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa
nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di
sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan yang dilakukan, namun
demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan
masyarakat nelayan sehingga tanpa adanya perubahan tersebut maka modernisasi
dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif.
155 Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi juga perlu mempertimbang-
kan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas,
tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses
produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat
guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi yang lebih efisien
dapat menjadi pertimbangan. Teknologi yang relefan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas
penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif.
5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di perairan Maluku