28
Impor yang meningkat adalah wajar mengingat tanaman gandum merupakan tanaman subtropik sehingga jarang dibudidayakan di Indonesia. Sari
2009
4
mengatakan sejak 1998 kalangan produsen tepung terigu telah memulai upaya pengembangan tanaman biji gandum bekerjasama dengan sejumlah
perguruan tinggi. Pada tahun 2000, pihaknya telah menjalin kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor, Universitas Pajajaran,
Universitas Gajah Mada, Universitas Brawijaya dan Universitas Kristen Satya Wacana. Upaya budidaya biji gandum di Indonesia saat ini masih dalam tahap
penelitian dan diharapkan dapat tumbuh seperti halnya tanaman subtropik lainnya antara lain kentang, kedelai, kol, tomat dan apel. Selain itu petani di Pasuruan
telah menanam biji gandum di areal seluas 100 ha dengan hasil panen sebanyak 150 ton sebagaimana disampaikan oleh Suriyanto 2011.
5
2. 5. Kebijak an Tepung Terigu Indonesia
Kebijakan pemerintah pada perdagangan biji gandum dan tepung terigu dinilai tidak jelas, mendukung liberalisasi dengan tarif bea masuk yang rendah
untuk impor kedua komoditas tersebut atau membela industri nasional demi keselamatan industri tepung terigu, dan industri makanan dan minuman nasional.
Oleh sebab itu, ketegasan dan keberpihakan pemerintah pada pelaku ekonomi domestik berupa penerapan kebijakan khusus, antara lain melalui mekanisme
hambatan tarif sangat diperlukan. Jika tidak ada kebijakan khusus, industri tepung terigu kemungkinan tidak dapat bersaing, sebab biji gandum dan tepung terigu
4. Sari, R. L. 2009. Dalam Meretas Jalan Mengurangi Ket ergant ungan Akan Gandum Impor. Berit a Daerah 8 April 2009.
WWW.berit adaerah.com ,
5. Suriyanto. Kemarau, Pet ani Pasuruan Tanamn Gandum. Jurnas 22 Sept ember 2011. WWW.jurnas.comnews
29
impor dari negara-negara Uni Eropa, seperti Belgia, Jerman, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, dan Jepang mampu menembus pasar dunia, termasuk Indonesia
dengan harga murah. Kebijakan pemerintah mengenai perdagangan biji gandum dan industri
tepung terigu dimulai dengan dibentuknya Badan Urusan Logistik Bulog sesuai dengan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114Kep1967. Pada era tersebut,
kehadiran Bulog merupakan lembaga stabilisasi harga pangan yang memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya
swasembada beras tahun 1984.
Tepung Tepung
Sumber : Keppres RI No. 111969. Gambar 2. Rantai Pengadaan Biji Gandum Sebelum Liberalisasi
Berdasarkan Keppres RI No.111969 tanggal 22 Januari 1969, struktur organisasi Bulog disesuaikan dengan misi barunya yang berubah dari penunjang
peningkatan produksi pangan menjadi “buff er stock holder” dan distribusi untuk golongan anggaran yakni pegawai negeri sipil dan ABRI. Kemudian dengan
Keppres No.391978 tanggal 5 Nopember 1978, tugas Bulog berubah lagi, Bulog mempunyai tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum
Biji Gandum Bulog
importir Industri
Penggilingan
Konsumen Akhir
Distributor Tepung Terigu
Pengecer
30
dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah.
Sampai dengan tahun 1997, Bulog menjadi satu-satunya yang diperkenankan untuk melaksanakan pengadaan biji gandum. Biji gandum yang
diimpor diserahkan kepada pihak swasta PT Bogasari Flour Mills, PT Berdikari Sari Utama Flour Mills, PT Panganmas Inti Persada, dan PT Sriboga Raturaya
untuk digiling menjadi tepung terigu yang selanjutnya diserahkan kembali ke BULOG untuk kemudian didistribusikan melalui distributor. Dalam kegiatan ini
PT Bogasari yang memiliki 81 persen pangsa pasar di pasar penggilingan tepung terigu berperan sebagai penerima jasa penggilingan saja seperti tiga perusahaan
lainnya. Selanjutnya pada awal Era Reformasi, beberapa lembaga Pemerintah
mengalami revitalisasi serta reformasi termasuk Bulog. Melalui Keppres RI No.45 tahun 1997 tugas pokok Bulog dibatasi hanya untuk komoditi beras dan gula
pasir. Tugas ini lebih dipersempit lagi dengan Keppres RI No.19 tahun 1998, dimana peran Bulog hanya mengelola komoditi beras saja. Pada akhirnya, sejak
diterbitkannya surat keputusan Menteri Perindustrian No. 21MPPKepI1998, pengadaan dan penyaluran tepung terigu di dalam negeri dilakukan secara bebas
tanpa campur tangan pemerintah. Pada era reformasi, pemerintah tidak lagi membatasi impor, dan BULOG tidak lagi memonopoli perdagangan tepung terigu
dan biji gandum. Tahun 2003, melalui Surat keputusan Menteri Keuangan Nomor
127KMK012003 tentang Perubahan Tarif Bea Masuk atas Impor Tepung Gandum, Pemerintah mengenakan tarif bea masuk atas impor tepung gandum
31
sebesar 5 persen yang berlaku sejak 1 Mei 2003 sampai dengan 31 Desember 2004, setelah itu bea masuk yang berlaku 0 persen. Selanjutnya pengenaan tarif
bea masuk setiap komoditi setiap tahunnya dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan para pihak. Pada tahun 2009 melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
07PMK.0112009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas impor Tepung Gandum, Impor Tepung Gandum dikenakan tariff bea masuk sebesar 5 persen,
sedangkan impor biji gandum dikenakan tarif bea masuk sebesar 5 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 241PMK.0112010 tentang
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Tarif bea masuk atas impor biji gandum dan tepung terigu tersebut
dicabut melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 13PMK.0112011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas
Barang Impor, sehingga semenjak 24 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2001 besaran tarif impornya menjadi nol. Keputusan ini sudah sesuai dengan
sistem organisasi perdagangan dunia World Trade OrganizationWTO yang hanya mengijinkan tarif sebagai instrumen untuk proteksi.
Biji Gandum Importir
Gandum
Distributor Tepung Terigu
Industri Penggilingan Biji
Importir Tepung Terigu
Tepung Terigu
Konsumen Akhir Pengecer Tepung
Terigu
32
Sumber : SK Menteri Perindustrian No. 21MPPKep11998. Gambar 3. Rantai Pengadaan Biji Gandum Setelah Liberalisasi
2. 6.