kebutuhan wilayah pembengunan. Pembangunan berkelanjutan mengandung ciri pokok atau kekuatan untuk efisiensi, produktif, inovatif dan tumbuh agregasinya.
Kecepatan perubahan atau pertumbuhan terhadap proses waktu selalu menggambarkan nilai positif sehingga sektor pertumbuhan tidak pernah menurun
dan sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas, kerjasama pembangunan yang kontinyu, distribusi alokasi yang adil dan kestabilan produksi yang mantap
dengan keragaman kecil Purwanto 2002 Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi yang
secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik biophysical sustainability dari wilayah pesisir dan laut harus diidentifikasikan terlebih dahulu. Pendugaan
kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik biophysical requirement setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan
dibandingkan dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir dan laut itu sendiri, sehingga dengan cara ini maka dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap
unit lokasi wilayah pesisir dan laut. Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tata guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik
biophysical availability wilayah pesisir dan laut dapat ditentukan sehingga pembangunan wilayah pesisir akan dapat terlaksana secara optimal. Penempatan
wilayah pembangunan di lokasi yang sesuai tidak saja menghindari kerusakan lingkungan, tetapi juga akan menjamin keberhasilan viability ekonomi kegiatan
yang dimaksud dan secara sosial budaya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pencapaian pembangunan secara berkelanjutan, tidak cukup hanya melihat aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saja, namun juga harus mempertimbangkan
aspek spasial dan temporal. Konsep keberlanjutan ini akan terus berkembang melalui proses perkembangan secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang
ditentukan oleh nilai-nilai dalam masyarakat, manusia, perubahan keadaan ekonomi, serta perubahan dalam realitas politik Anwar 2001.
2.3. Pengembangan Budidaya Tambak Udang di Wilayah Pesisir
Perikanan budidaya tambak udang di wilayah pesisir sangat berpengaruh terhadap kondisi sumberdaya pesisir, sehingga kemampuan wilayah pesisir untuk
menerima limbah dari kegiatan budidaya tambak udang harus selalu menjadi perhatian serius. Kesalahan dalam pengelolaan budidaya tambak udang akan
mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lingkungan sehingga akan mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan pada akhirnya dapat membahayakan pula
kesinambungan kegiatan budidaya udang tersebut. Pada umumnya, isu utama dalam perencanaan pembangunan budidaya tambak udang yaitu: i teknologi
yang tepat; ii meminimumkan dampak lingkungan; iii memperhatikan daya dukung lingkungan, iv meminimumkan penyakit; v memaksimumkan nilai
produksi dan; vi mengurangi kemiskinan Nautilus Consultants 2000. Kriteria teknologi budidaya tambak udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 . Kriteria teknologi budidaya tambak udang Kriteria
Teknologi budidaya Intensif
Semi Intensif Tradisional
Pakan Pakan formula
lengkap Alami dan
tambahan pakan buatan
Alami
Pengelolaan air Pompa dan aerasi
Pasang surut dan pompa
Pasang surut Padat penebaran
ekorhaMT 150 000 – 500 000 15 000 – 150 000
1000 – 15 000 Ukuran petak
tambak ha 0.1 - 1
1 - 5 3 - 20
Produksi tonMT
2 - 20 0.5 – 5
0.1 – 0.5 Lama
pemeliharaan bulan
3 - 4 3 - 4
4 – 6
Dampak budidaya Sangat tinggi
Sedang - tinggi tidak signifikan
Sumber : Suyanto dan Mujiman 2003; Chamberlain 1991, diacu dalam Kusumastanto 1994; Deb 1998; Effendi 1998;Central
Proteinaprima. 2002
Teknologi budidaya tambak udang terdiri dari teknologi budidaya udang intensif, semi intensif, dan tradisional. Pembagian teknologi budidaya tersebut
didasarkan pada beberapa kriteria yaitu : pakan, pengelolaan air, padat penebaran, ukuran petak tambak, dan produksi. Tambak udang intensif dapat menghasilkan
produksi yang tinggi namun lama operasional budidayanya pendek, sebaliknya budidaya tambak tradisional produksinya kecil namun lama operasional
budidayanya panjang Boers 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa tambak udang
tradisional adalah tambak udang yang cara pembuatan hingga pengoperasiannya tidak menggunakan peralaran moderen, umumnya dilakukan oleh petani yang
berpengetahuan rendah, berorientasi pada kelestarian, dan produktivitasnya tergantung dari alam sedangkan budidaya tambak udang intensif menggunakan
peralatan yang moderen, menggunakan input pakan untuk memacu pertumbuhan udang, dan biasanya kurang berorientasi pada kelestarian alam.
Berdasarkan pengelolaan air tambak udang, dikenal beberapa sistem, yaitu Soewardi 2002 :
1 Sistem terbuka Prinsipnya adalah air buangan tidak digunakan lagi dan dilakukan penambahan
air baru. Sistem ini diterapkan apabil kondisi lingkungan perairan masih baik tercemar ringan atau tidak tercemar, sumber air laut dan air tawar terdapat dalam
jumlah yang cukup, seperti di wilayah pesisir Sulawesi, Maluku, Papua, serta daerah pantau selatan Jawa.
2 Sistem semi tertutup Prinsinya adalah sampai dengan umur pemeliharaan tertentu 90 hari, air
yang dibuang digunakan kembali melalui kolam – kolam filter, sedimentasi, treatment dan aerasi. Setelah umur 90 hari, air buangan tidak digunakan lagi dan
digunakan air yang baru. Sistem ini biasanya diterapkan apabila kondisi perairan fluktuatif kadang kadang kualitas air baik dan kadang – kadang kurang baik
akibat pengaruh musim atau faktor lain, seperti di wilayah pesisir pantai timur Sumtera atau pantai utara Jawa.
3 Sistem tertutup Prinsipnya adalah air buangan tambak didaur ulang dan dimurnikan lagi pada
kolam – kolam treatment sehingga dapat digunakan kembali. Sistem ini biasanya diterapkan apabila kondisi perairan sangat berat sehingga tidak memungkinkan
untuk melakukan pergantian air setiap saat, seperti disebagian besar daerah pantai utara Jawa.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir adalah buangan limbah budidaya selama operasional yang mengandung
bahan organik yang berkonsentrasi tinggi serta nutrien sebagai konsekuensi masukan akuainput dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan feses yang
kemudian terlarut dalam perairan Johnsen et al.1993; Buschman et al. 1996; McDonald et al. 1996; Boyd et al.1998; Boyd 1999. Nitrogen dan fosfat yang
masuk ke lingkungan perairan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam sistem manajemen budidaya karena dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi
Gonzales et al. 1996; Horowitz dan Horowitz 2000; Montoya and Velasco 2000.
Adanya input nutrien yang berlebih ke kolom air dapat meningkatkan konsentrasi nutrien serta terjadinya peledakan populasi fitoplankton. Selain itu,
tingginya kandungan bahan organik dalam perairan dapat juga menimbulkan peledakan populasi organisme pathogen. Penurunan kelayakan kualitas perairan
sebagai dampak dari buangan limbah budidaya dapat mempengaruhi kehidupan udang yang dibudidayakan dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan panen
serta menurunnya fungsi produktivitas lahan budidaya Golburg et al. 2001; Boyd 2003. Oleh karena itu, pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir
harus ramah lingkungan. Menurut Soewardi 2007, kegiatan budidaya tambak udang yang ramah lingkungan adalah kegiatan budidaya tambak udang yang
proses pembuatan dan proses produksinya dilakukan dengan cara tidak merusak lingkungan yaitu dengan memperhatikan aspek lingkungan, seperti adanya jalur
hijau green belt, adanya tandon buangan dan pemasukan air, perbandingan tambak udang dan jalur hijau 60:40 , serta tidak menggunakan obat – obatan
antibiotika. 2.4. Kesesuaian Lokasi Tambak
Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahannya
ditujukan untuk mengurangi atau mencegah dampak negatif yang ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat berlangsung secara
optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis Bakosurtanal 1996; Hardjowigeno 2001.
Keberhasilan pertambakan udang terletak pada ketepatan pemilihan lokasi, dimana kekeliruan dalam pemilihan lokasi akan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan modal, tingginya biaya operasi, rendahnya produksi dan munculnya
masalah lingkungan Poernomo 1992. Pengalaman membuktikan bahwa lokasi pertambakan, teknologi yang diterapkan dan pola sebaran tambak di suatu
kawasan pantai akan berdampak luas terhadap mutu lingkungan, stabilitas produksi tambak dan keuntungan ekonomi usaha pertambakan.
Lahan untuk usaha pertambakan harus memenuhi persyaratan ekologis, biologis, teknis, sosial ekonomi, dan hiegienis, karena kesesuaian lahan
pertambakan akan sangat menentukan produktivitas budidaya tambak Gunarto 2007; Mustafa et al. 2008. Kawasan yang sesuai untuk tambak harus memenuhi
persyaratan Widigdo 2000; Csavas 1994: 1 lahan terletak di daerah pasang surut dengan elevasi air sedalam 0.5 – 1.0 m selama periode pasang naik, dapat
dikeringkan tuntas ketika air pasang terendah; 2 memiliki kemiringan dan ketinggian lahan yang ideal untuk tambak; 3 memiliki sumber air tawar dan
payau sepanjang tahun untuk menjaga salinitas pertumbuhan; 4 memiliki sumber air yang kualitasnya memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota akuatik; 5
kualitas tanah tanah tekstur liat, lempung sampai berpasir; 6 lahan tambak harus bebas banjir rutin dan terlindung dari gelombang laut yang basar; 7
pembukaan tambak pada lahan mangrove wajib mempertahankan jalur hijau di sepanjang pantai dan alur sungai dan; 8 total luas tambak setiap hamparan
merupakan satu kesatuan ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan pada hamparan tersebut; 9 kemudahan pemasaran; 10 tata guna lahan;
11kebijakan pemerintah, keamanan, dan sarana sosial. Perkembangan pertambakan yang tidak terkendali telah membawa
dampak negatif terhadap mutu lingkungan, dimana mutu air secara fisik, kimiawi dan mikrobiologis akan mengalami penurunan yang tajam. Gejala ini akan
diperburuk lagi oleh adanya perkembangan permukiman, pencemaran, perindustrian dan konversi hutan mangrove di wilayah pesisir.
2.5. Sistem Informasi Geografis SIG