Parameter fisik kimia perairan

Tabel 21 . Hasil analisis parameter kualitas air perairan pantai dan sungai Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Ambang Batas Perairan Pantai P Sungai S Suhu oC 28.58 ± 2.71 26.74 ± 17.97 21 – 32 Salinitas ooo 30.91 ± 4.00 17.97 ± 3.77 5 – 35 DO mgl 5.88 ± 1.42 6.02 ± 0.88 3 pH 8.07 ± 0.41 7.79 ± 0.43 6.5 – 8.5 BOD 5 0.74 ± 0.27 mgl 1.31± 0.83 25 TSS mgl 58.18 ± 22.19 60.43 ± 9.15 25 – 80 BOT mgl 18.76 ± 5.65 26.03 ± 5.73 - Kekeruhan NTU 14.44 ± 17.65 21.42 ± 4.42 30 NH 3 0.2639 ± 0.3300 -N mgl 0.1102 ± 0.0813 NO 1.0 2 0.2485 ± 0.5692 -N mgl 0.0250 ± 0.0074 0.25 NO 3 0.0110± 0.0141 -N mgl 0.0925 ± 0.1240 - PO 4 0.0583 ± 0.0648 -P mgl 0.0051± 0.0037 0.05 – 0.50 Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 2008; Jumlah sampel n perairan pesisir 40 sampel dan sungai 8 sampel total 48 sampel Keterangan : Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd 1990, Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; Soewardi 2002; dan MenKLH 2004. Tabel 22. Hasil analisis parameter kualitas air tambak udang intensif dan saluran pembuangan outlet Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Ambang Batas Tambak Intensif TI Saluran pembuangan intensifoutlet OI Suhu oC 28.77 ± 2.89 29,12 ± 1.95 21 – 32 Salinitas ooo 32.66 ± 1.96 31,19 ± 2.67 5 – 35 DO mgl 7.01 ± 1.31 4,67 ± 1.03 3 pH 8.18 ± 0.33 8,03 ± 0.59 6.5 – 8.5 BOD 5 1.32 ± 0.56 mgl 1.08 ± 0.43 25 TSS mgl 135 ± 46.64 180,88 ± 50.84 25 – 80 BOT mgl 28.49 ± 4.47 27,61 ± 7.00 - Kekeruhan NTU 32.68 ± 11.51 63,74 ± 19.38 30 NH 3 0.0878 ± 0.0350 -N mgl 0.4437 ± 0.6624 NO 1.0 2 0.1472± 0.1518 -N mgl 0.1449 ± 0.1083 0.25 NO 3 0.0091 ± 0.0068 -N mgl 0.1764 ± 0.3917 - PO 4 0.0431 ± 0.0140 -P mgl 0.0200 ± 0.0050 0.05 – 0.50 Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 2008; Jumlah sampel n tambak intensif 8 sampel dan saluran pembuanganoutlet 8 sampel total 16 sampel Keterangan : Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; Soewardi 2002; dan MenKLH 2004. Tabel 23. Hasil analisis parameter kualitas air tambak udang tradisional dan saluran pembuangan outlet Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Ambang Batas Tambak tradisional TT Saluran pembuanganoutlet OT Suhu oC 29.57 ± 0.76 30.02 ± 2,09 21 – 32 Salinitas ooo 31.45 ± 1.38 31.06 ± 6,68 5 – 35 DO mgl 6.60± 1.09 4.40 ± 0.52 3 pH 8.16± 0.36 8.09 ± 0.45 6.5 – 8.5 BOD 5 1.17 ± 0.51 mgl 1.06 ± 0.52 25 TSS mgl 37.75 ± 12.42 55.25 ± 10.56 25 – 80 BOT mgl 22.80 ± 12.42 25.10 ± 6.95 - Kekeruhan NTU 9.69 ± 3.41 19.26 ± 2.82 30 NH 3 0.2619 ± 0.3350 -N mgl 0.0988 ± 0.0032 NO 1.0 2 0.0558± 0.0954 -N mgl 0.1022 ± 0.1497 0.25 NO 3 0.0111 ± 0.0105 -N mgl 0.0022 ± 0.0004 - PO 4 0.0200 ± 0.0050 -P mgl 0.0428 ± 0.0274 0.05 – 0.50 Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 2008; Jumlah sampel n tambak tradisional 8 sampel dan saluran pembuangan 8 sampel total 16 sampel Keterangan : Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; Soewardi 2002; dan MenKLH 2004. Tabel 24. Hasil analisis parameter kualitas air perairan pesisir berdasarkan musim Parameter Musim Nilai Ambang Batas Kemarau Hujan Suhu oC 28.26 ± 1.56 29.92 ± 2.52 21 – 32 Salinitas ooo 31.71 ± 3.83 27.75 ± 6.35 5 – 35 DO mgl 5.86 ± 1.33 5.83 ± 1.50 3 pH 7.97 ± 0.53 8.14 ± 0.25 6.5 – 8.5 BOD 5 1.25 ± 0.52 mgl 0.65 ± 0.18 25 TSS mgl 70.83 ± 42.77 87.69 ± 59.34 25 – 80 BOT mgl 22.19 ± 7.91 22.23 ± 5.89 - Kekeruhan NTU 11.02 ± 12.18 25.83 ± 15.06 30 NH 3 0.2576 ± 0.3864 -N mgl 0.2183 ± 0.3030 NO 1.0 2 0.1522 ± 0.2451 -N mgl 0.2075 ± 0.5691 0.25 NO 3 0.0127 ± 0.0136 -N mgl 0.0433 ± 0.1896 - PO 4 0.1186 ± 0.1576 -P mgl 0.0432 ± 0.0381 0.05 – 0.50 Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 2008; Jumlah sampel n musim kemarau 20 sampel dan musim hujan 20 sampel total 40 sampel Keterangan: Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; Soewardi 2002; dan MenKLH 2004. Penjelasan masing – masing parameter kualitas pengukuran sebagai berikut : Suhu air merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada metabolisme, konsumsi oksigen, pertumbuhan dan sintasan udang yang dibudidayakan, dimana semakin tinggi suhu perairan maka proses metabolisme semakin semakin cepat demikian pula sebaliknya Pan Lu-Qing et al. 2007. Peningkatan suhu 10 Suhu o C, akan meningkatkan konsumsi oksigen organisme sekitar 2 – 3 kali lipat, disisi lain peningkatan suhu ini dapat mengurangi kelarutan oksigen dalam perairan Nontji 1993. Suhu yang relatif tinggi dapat merubah sifat fisika dan kimia perairan yang mengakibatkan kehidupan organisme terganggu Nybakken 1992; 1998. Menurut Boyd 1998, suhu optimal yang diperlukan oleh biota atau organisme yang hidup didaerah tropis berkisar antara 25 – 35 o Hasil pengukuran suhu perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 28.77 ± 2.89 C. o C dan 29.57 ± 0.76 o C Tabel 22 dan 23. Suhu perairan tambak udang intensif 126 ekom 2 24 jam pengukuran berkisar antara 26.53 – 28.90 o C, dimana suhu tertinggi pada siang hari jam 13.00 28.90 o C dan suhu terendah pada pagi hari jam 06.00 26.53 o C. Sedangkan suhu perairan tambak udang intensif 50 ekorm 2 24 jam pengukuran berkisar antara 26.71 – 28.35 o C, dimana suhu perairan tertinggi pada siang menjelang sore hari jam 14.00 – 15.00 28.35 o C dan suhu perairan tambak terendah pada pagi hari jam 06.00 26.71 o C. Suhu perairan tambak udang tradisional 24 jam pengukuran berkisar antara 27.30 – 29.05 o C, dimana suhu tertinggi pada siang hari yaitu jam 12.00 – 12.30 29.05 o C dan suhu terendah pada subuh hari yaitu jam 04.00 27.30 o C. Hasil pengukuran suhu pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 28.58 ± 2.71 o C dan 26.74 ± 17.97 o C Tabel 21. Suhu ini masih tergolong sesuai untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 21 – 32 o C dan suhu optimumnya antara 29 – 30 o C Boyd 1990; Poernomo 1992; Widigdo 2002; Soewardi 2002. Salinitas Parameter salinitas memiliki pengaruh langsung terhadap parameter lainnya di dalam perairan. Salinitas dapat mempengaruhi kelarutan oksigen perairan, kadar fosfat serta proses osmoregulasi organisme perairan. Salinitas air dapat menjadi faktor pembatas dalam budidaya tambak pada musim kemarau dan menjadi tidak bermasalah pada musim hujan Mustafa dan Rachmansyah 2008. Hasil pengukuran salinitas perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 32.66 ± 1.96 o oo dan 31.45 ± 1.38 o oo Tabel 22 dan 23. Salinitas perairan tambak udang intensif 126 ekorm 2 24 jam pengukuran berkisar antara 32.77 – 32.95 ooo, dimana salinitas tertinggi menjelang sore hari jam 15.00 32.95 ooo dan salinitas terendah pada pagi hari jam 08.00 – 09.00 32.77 ooo. Salinitas perairan tambak udang intensif 50 ekorm 2 24 jam pengukuran berkisar antara 32.15 – 33.97 ooo, dimana salinatas tertinggi pada siang hari jam 12.00 33,97 ooo dan salinitas terendah pada dinihari jam 02.00 32.15 ooo. Salinitas perairan tambak tradisonal 24 jam pengukuran berkisar antara 32.59 – 33.48 o C, dimana salinitas tertinggi pada malam hari jam 22.30 – 23.00 33.48 o C dan salinitas terendah pada subuh menjelang pagi yaitu jam 05.30 32.59 o Hasil pengukuran salinitas pada perairan sungai dan pantai masing – masing sebesar 17.97 ± 3.77 C. o oo dan 30.91 ± 4.00 o oo Tabel 21. Salinitas hasil pengukuran masih berada dalam kisaran yang diperkenankan untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 5 – 35 o oo dan untuk pertumbuhan optimum diperlukan salinitas 15-25 o oo Boyd 1990; Poernomo 1992; Widigdo 2002; Soewardi 2002. Fluktuasi pH dalam air berhubungan dengan aktivitas fitoplankton serta tanaman air lainnya dalam menggunakan CO Derajat Keasaman pH Air 2 selama proses fotosintesis. Secara alami pH dipengaruhi oleh konsentrasi CO 2 dan senyawa bersifat asam, dimana pH biasanya meningkat pada siang hari seiring dengan menurunnya konsentrasi CO 2. Hasil pengukuran pH perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 8.18 ± 0.33 dan 8.16 ± 0.36 Tabel 22 dan 23. pH perairan tambak udang intensif 126 ekorm 2 24 jam pengukuran berkisar antara 8.01 – 8.33, dimana pH tertinggi pada siang menjelang sore hari jam 13.00 – 15.00 8.33 dan pH terendah pada sore hari jam 16.00 8.01. pH perairan tambak udang intensif 50 ekorm 2 24 jam pengukuran berkisar antara 6.92 – 7.34, dimana pH perairan tertinggi pada menjelang sore hari jam 15.00 7.34 dan pH perairan terendah pada pagi hari jam 06.00 6.92. pH perairan tambak tradisional 24 jam pengukuran berkisar antara 8.06 – 8.17, dimana pH tertinggi pada siang hari yaitu jam 12.30 – 13.30 8.17 dan pH terendah pada dini hari yaitu jam 01.30 dan subuh hari yaitu jam 03.00 – 04.30. Hasil pengukuran pH pada perairan sungai dan pantai masing – masing sebesar 7.79 ± 0.43 dan 8.07 ± 0.41 Tabel 21. pH hasil pengukuran masih dalam kisaran yang sesuai untuk budidaya udang yaitu 6.5 – 8.5 dengan kisaran optimum 8.0-8.5 Poernomo 1992; Widigdo 2002; Soewardi 2002; MenKLH 2004. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya serta difusi dari udara APHA 1989. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat walaupun terjadi pergolakan massa air, sehingga sumber oksigen terlarut yang berasal dari difusi oksigen hanya sekitar 35 Effendi 2003. Oksigen terlarut ini sangat penting bagi kehidupan organisme budidaya untuk pernapasan dan mengoksidasi bahan organik didalam tambak. Pencemaran limbah organik dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan Connel dan Miller 1995 diacu dalam Efendi 2003. Oksigen Terlarut Rendahnya oksigen terlarut berpengaruh terhadap fungsi biologis organisme budidaya dan akan berakibat terhadap lambatnya pertumbuhan. Menurut Lee et al. 1978 bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan dan terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1 kadar oskigen terlarut 6 mgl kategori tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan; 2 kadar oskigen terlarut antara 4.5 – 6.4 termasuk kategori tercemar ringan; 3 kadar oksigen terlarut 2.0 – 4.4 mgl termasuk kategori tercemar sedang; dan 4 kadar oksigen terlarut 2.0 termasuk kategori tercemar berat. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 7.01 ± 1.31 mgl dan 6.60 ± 1.09 mgl Tabel 22 dan 23. Kandungan oksigen terlarut tambak udang intensif 126 ekorm 2 24 jam pengukuranberkisar antara 3.97 – 6.40 mgl, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari jam 14.00 6.40 mgl dan kandungan oksigen terlarut terendah pada dinihari jam 03.00- 04.00 3.97 mgl. Kandungan oksigen terlarut tambak udang intensif 50 ekorm 2 Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada perairan sungai dan pantai masing – masing sebesar 6.02 ± 0.88 mgl dan 5.88 ± 1.42 mgl Tabel 21. Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran masih sesuai atau dalam batas toleransi untuk budidaya udang yaitu 3 mgl 3 -10 mgl and optimum 4-7 mgl Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002. Sedangkan berdasarkan tingkat pencemeran, perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang termasuk dalam kategori belum tercemar sampai tercemar ringan sehingga masih layak digunakan untuk budidaya udang. 24 jam pengukuran berkisar antara 3.21 – 5.53 mgl, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari jam 14.00 5.53 mgl dan kandungan oksigen terendah pada malam hari jam 19.00 3.21 mgl. Tambak udang tradisional 24 jam pengukuran diperoleh kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5.01 – 6.53 mgl, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari yaitu jam 12.00 6.53 mgl dan kandungan oksigen terlarut terendah pada malam hari yaitu jam 20.00 5.01 mgl. Kandungan total suspended solid TSS dalam perairan secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme, karena dapat meningkatkan kekeruhan perairan dan mempengaruhi proses fotosintesis. Sedangkan pengaruh langsung dapat mengganggu kehidupan dan perkembangan biota serta dapat menyebabkan kematian biota karena dapat menutup insang dan menghambat saluran pernapasan APHA 1989; Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam effendi 2003. Total Suspended Solid TSS Hasil pengukuran kandungan total suspended solid TSS pada tambak udang intensif dan tradisional masing – masing 135 ± 46.64 mgl dan 37.75 ± 12.42 mglTabel 22 dan 23. Kandungan total suspended solid TSS yang tinggi pada tambak udang intensif disebabkan pemberian pakan buatan pellet yang tidak termakan uneaten food berupa sisa pakan dan hasil metabolisme berupa feaces yang terlarut dalam air tambak Boyd 1998; Johnsen et al.1993; Primavera dan Apud 1994. Pada tingkat budidaya intensif, kebutuhan akan nutrisi tergantung pada pakan buatan pellet dan apabila pakan buatan pellet yang diberikan banyak yang tidak termakan uneaten food maka akan menyebabkan tingginya kandungan bahan organik dalam tambak udang sehingga kandungan TSS dalam perairan tambak udang juga akan meningkat. Tingginya kandungan total suspended solid TSS pada tambak udang intensif mengakibatkan kandungan total suspended solid TSS pada saluran pembuangan juga cukup tinggi yaitu sebesar 180.88 ± 50.84 mgl sedangkan pada saluran pembuangan tambak udang tradisional sebesar 55.25 ± 10.56 mgl Tabel 22 dan 23. Hasil pengukuran kandungan total suspended solid TSS perairan pantai sebesar 58.18 ± 22.19 mgl dan sungai sebesar 60.13 ± 15.45 mgl Tabel 21. Kandungan TSS ini masih dalam batas toleransi untuk budidaya tambak udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 25 – 80 mgl Widigdo 2002; MenKLH 2004. Kebutuhan Oksigen Biokimia Biochemical Oxygen DemandBOD 5 BOD 5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan yang mempunyai nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik. BOD 5 mengindikasikan jumlah bahan organik perairan yang mudah diuraikan secara biologis serta jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi Widigdo 2002 ; Davis dan Cornwell 1991 diacu dalam Effendi 2003. Bahan organik yang diuraikan secara biologis melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Proses oksidasi aerobik akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut sampai pada tingkat terendah dan mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob yang berdampak terhadap kematian organisme. Boyd 1990 mendefinisikan BOD 5 sebagai jumlah oksigen dikonsumsi oleh proses respirasi aerob dalam botol yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 o Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya. 5 dan terbagi dalam 4 empat kategori Lee et al.1978 : 1. Nilai BOD 5 2.9 mgl termasuk kategori tidak tercemar; 2 nilai BOD 5 antara 3,0 – 5.0 mgl termasuk kategori tercemar ringan; 3 nilai BOD 5 antara 5.1 – 14.9 mgl termasuk kategori tercemar sedang; dan 5 nilai BOD 5 15 mgl termasuk kategori tercemar berat. Hasil pengukuran BOD 5 pada tambak udang intensif dan tradisional masing – masing 1.32 ± 0.56 mgl dan 1.08 ± 0.43 mgl Tabel 22 dan 23, sedangkan pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 0.74 ± 0.27 mgl dan 1.31 ± 0.83 mgl Tabel 21. BOD 5 ini masih sesuai untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 25 mgl MenKLH 2004. Berdasarkan tingkat pencemaran, dapat disimpulkan bahwa perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong tidak tercemar, sehingga masih layak digunakan untuk budidaya udang. Ammonia NH 3 Kadar ammonia NH -N 3 -N pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mgl McNeely et al. 1979 diacu dalam Effendi 2003 dan apabila kadar ammonia NH 3 -N perairan melebihi 0.2 mgl, maka perairan tersebut akan sedikit berpengaruh bagi beberapa jenis biota yang sangat sensitif Sawyer dan McCarty 1978 diacu dalam Effendi 2003. Kadar ammonia NH 3 -N yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, limpasan run off pertanian dan peternakan. Pada umumnya, fitoplankton lebih banyak menyerap ammonia NH 3 – N dibandingkan dengan nitrat NO 3 Hasil pengukuran kandungan perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 0.0878 ± 0.0350 mgl dan 0.02619 ± 0.3355 mgl Tabel 22 dan 23, sedangkan kandungan ammonia NH -N, karena lebih banyak dijumpai diperairan, baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik Welch 1980. 3 -N pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 0.2639 ± 0.3300 mgl dan 0.1102 ± 0.0813 mgl Tabel 21. Kandungan ammonia NH 3 -N masih dalam batas yang aman untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 1.0 mgl Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; MenKLH 2004. Nitrit NO 2 Nitrit merupakan peralihan antara ammonia NH 3 -N dan nitrat NO 3 -N melalui proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen melalui proses denitrifikasi. Proses denitrifikasi berlangsung dalam kondisi anaerob. Pada proses denitrifikasi, gas N 2 Di perairan alami, kandungan nitrit NO yang dapat terlepas dilepaskan dari dalam air ke udara. Keneradaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang mempunyai kadar oksigen terlarut rendah Effendi 2003. 2 -N biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit lebih sedikit dari nitrat NO 3 -N dan bersifat tidak stabil dengan keberadaa oksigen, karena nitrit NO 2 -N ini langsung dioksidasi menjadi nitrat NO 3 -N. Pada umumnya, perairan alami mengandung NO 2 sekitar 0.001 mgl Canadian Council of Resource and Environment Ministers, 1987 diacu dalam Effendi 2003 dan jarang melebihi 1 mgl Sawyer dan McCarty 1978, diacu dalam Effendi 2003. Seperti halnya ammonia NH 3 -N, nitrit NO 2 - N juga beracun terhadap udangikan, senyawa nitrit NO 2 -N dapat mengoksidasikan besi Fe di dalam hemoglobin dan mengakibatkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen terlarut akan menurun Poernomo 1988. Pada udang yang darahnya mengandung tembaga Cu hemocyanin mungkin terjadi oksidasi Cu oleh NO 2 Hasil pengukuran kandungan Nitrit NO dan memberikan akibat yang sama seperti pada udang Smith dan Russo 1975 dalam Poernomo 1989. 2 perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 0.1472 ± 0.1518 mgl dan 0.0558 ± 0.0954 mgl Tabel 22 dan 23. Sedangkan Kandungan nitrit NO 2 – N pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 0.2485 ± 0.5692 mgl dan 0.0250 ± 0.0074 mgl Tabel 21. Kandungan nitrit NO 2 – N masih dalam batas yang aman untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 0.25 mgl Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; MenKLH 2004 Nitrat NO 3 Nitrat NO -N 3 -N merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan juga sebagai sumber pertumbuhan tanaman air dan algae. Nitrat NO 3 -N mudah larut dalam air dan bersifat stabil Effendi 2003. Senyawa nitrat NO 3 -N dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses ammnonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang sangat penting dalam siklus nitrogen yang berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Hasil pengukuran kandungan nitrat NO 3 -N perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 0.0091 ± 0.0068 mgl dan 0.0111 ± 0.0105 mglTabel 22 dan 23. Sedangkan kandungan nitrat NO 3 -N pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 0.0110± 0.0141 mgl dan 0.0925 ± 0.1240 mgl Tabel 21. Hasil pengukuran kandungan nitrat NO 3 -N pada musim hujan lebih tinggi jika dibandingkan pada musim kemarau Tabel 24. Hal ini disebabkan karena nitrogen oksida yang berupa nitrat NO 3 yang terdapat diatmosfir akan turun ke bumi bersama air hujan, dimana air hujan mengandung NO 3 Apabila suatu perairan menunjukkan kadar nitrat lebih dari 5 mgl 5 mgl, maka perairan tersebut mengalami pencemaran limbah antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan sisa kotoran hewan. Kadar nitrat NO sekitar 0.2 mgl Effendi 2003. 3 Kandungan nitrat NO -N yang lebih dari 2 mgl dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pengayaan perairan, yang selanjutnya dapat menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat blooming. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, maka kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mgl Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam Effendi 2003. 3 -N yang terdapat dalam suatu perairan, dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kesuburannya, yaitu perairan oligotrofik mempunyai kandungan nitrat NO 3 -N antara 0 – 1 mgl, perairan mesotrofik mempunyai kandungan nitrat NO 3 -N antara 1 – 5 mgl, dan perairan eutrofik mempunyai kandungan nitrat NO 3 -N antara 5 – 50 mgl Volenweider dan Wetzel 1975 diacu dalam Effendi 2003. Berdasarkan hal ini, maka kandungan nitrat NO 3 -N masih dalam batas yang layak untuk budidaya udang dan kondisi -Tanaman Air - Fitoplankton - Zooplankton - Hewan kecil - Ikanudang - Hewan besar DEKOMPOSISI - Limbah Organik sisa pakan dan feses - Hewantanaman mati NITRAT EKSKRESI M ELA LUI INSA NG IKA N UDA NG PUPUK -UREA -ZA NH 3 NH 4 NITRIT Oksidasi Nitrobacter Oksidasi Nitrosomonas Reduksi Anaerob Reduksi Anaerob Siklus Nitrogen dalam air tambak N 2 Atm N 2 terlarut HNO 3 Nitrat HNO 2 Nitrit Tumbuhan Protein Hewan Protein NH 3 Amonia Eksresi Bakteri Perombak Produk Setengah jadi Bakteri, jamur algae 1 2 4 3 5 Atmosfir Air perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tidak mengarah kepada terjadinya proses pengayaan eutrofikasi. Lebih jelasnya siklus nitrogen dalam perairan tambak dapat dilihat pada Gambar 37. Gambar 37. Siklus nitrogen dalam perairan tambak sumber : Gunarto 2007 Dari gambar 37 terlihat bahwa ammonia NH 3 -N, nitrit NO 2 -N dan, nitrat NO 3 -N merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik yang bersifat racun bagi organisme budidaya, dimana tingkat keracunan akan semakin tinggi apabila pH mencapai 9.0. Sedangkan untuk siklus nitrogen di perairan dapat dilihat pada Gambar 38. Gambar 38. Siklus nitrogen di perairan Sumber : Welch 1980 Keterangan : 1. Bakteri penghasil nitrit; 2. Bakteri penghasil ammonia; 3. Nitrosomonas javanica dan Nitrosomonas europaea; 4. Bakteri Nitrobacter agile dan Nitrobacter wingradskyi; 5. Bakteri penghasil N 2 bebas. Fosfat PO 4 Fosfat PO -P 4 -P dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun secara spasial, karena sumber sumber fosfat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan Raymont 1980; Effendi 2003. Senyawa fosfat merupakan unsur zat hara yang dapat dijadikan sebagai petunjuk kesuburan perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya salah satunya adalah fitoplankton. Fosfat PO 4 -P merupakan faktor pembatas produktivitas primer dan merepresentasikan nutrien fosfat P terlarut. Kandungan fosfat PO 4 Hasil pengukuran kandungan fosfat PO –P pada perairan alami jarang melebihi 1 mgl Boyd 1995. 4 -P perairan tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 0.0431 ± 0.0140 mgl dan 0.0200 ± 0.0050 mgl Tabel 22 dan 23, sedangkan hasil pengukuran kandungan fosfat PO 4 -P pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 0.0583 ± 0.0648 mgl dan 0.0051 ± 0.0037 mgl Tabel 21. Hasil pengukuran kandungan fosfat PO 4 Berdasarkan kadar fosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : perairan oligrotofik yang mempunyai kadar fosfat 0.003 – 0.01 mgl, perairan mesotrofik mempunyai kadar fosfat 0.011 – 0.031 mgl dan perairan eutrofik mempunyai kadar fosfat 0.031 – 0.1 mgl Wetzel 1975 diacu dalam Effendi 2003. Hal ini berarti perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang termasuk dalam perairan mesotrophyc dengan tingkat kesuburan sedang. -P ini masih berada dalam batas kisaran nilai yang direkomendasikan untuk budidaya udang yaitu 0.05 – 0.5 mgl Boyd 1990; Poernomo 1992; Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; MenKLH 2004. Nilai kekeruhan pada tambak udang intensif dan tradisional masing – masing sebesar 32.68 ± 11.51 NTU dan 9.69 ± 3.41 NTU Tabel 22 dan 23, sedangkan pada perairan pantai dan sungai masing – masing sebesar 14.44 ± 17.65 NTU dan 21.42 ± 4.43 NTUTabel 21. Nilai kekeruhan ini masih dalam batas toleransi untuk budidaya tambak udang. Pada musim kemarau nilai kekeruhan perairan pantai berkisar antara 0.75-24.29 NTU 11.02 ± 12.18 dan Kekeruhan pada musim hujan nilai kekeruhan perairan berkisar antara 3.11-85.44 NTU 25.83 ± 15.06Tabel 24. Tingkat kekeruhan yang tergolong tinggi pada musim hujan disebabkan karena terjadinya proses pengadukan dasar perairan akibat adanya aktivitas gelombang sehingga menyebabkan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang menjadi keruh. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata – rata kandungan TSS yang juga tergolong tinggi yaitu 87.69 ± 59.34 mgl Tabel 24. Canter 1997, diacu dalam Bahtiar 1994; Effendi 2003 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara nilai padatan tersuspensi dengan nilai kekeruhan suatu perairan, dimana semakin tinggi nilai padatan tersuspensi TSS, maka akan semakin tinggi nilai kekeruhan dan akan memberikan pengaruh terhadap kepentingan perikanan budidaya Alabaster dan Lloyd 1982, diacu dalam Effendi 2003. Kondisi TSS yang cukup tinggi ini menyebabkan pembudidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada saat memasuki puncak musim hujan menghentikan operasional budidaya sampai memasuki peralihan ke musim kemarau Hasil wawancara dan pengamatan lapangan 2008. Operasionalisasi kegiatan budidaya udang pada puncak musim hujan dapat dilakukan dengan syarat melakukan treatment air laut sebelum digunakan sebagai media dalam petak pemeliharaan. Selain itu, dapat pula diupayakan meminimalisasi proses pergantian air tambak less water exchange atau tanpa pergantian air tambak zero water excange. Secara umum kualitas air di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd 1990, Poernomo 1992, Wedmeyer 1996, Widigdo 2002, Soewardi 2002 dan MenKLH 2004.

5.2.2.2. Korelasi antara parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa TSS berkorelasi positif dengan kekeruhan, BOT, dan NO 3 -N, namun berkorelasi negatif dengan DO. Korelasi antara sumbu utama pertama F1 dan sumbu utama kedua F2 merepresentasikan bahwa stasiun pengamatan XIII, XIV, dan XVIII dicirikan dengan BOD dan BOT yang tinggi sedangkan stasiun pengamatan XVI, dan XVII I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII Suhu Salinitas DO pH TSS BOT Keke ruhan BOD5 NH3-N NO3-N NO2-N PO4-P -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 -4 -2 2 4 6 -- axe 1 28 -- PO4-P NO2-N NO3-N NH3-N BOD5 Kekeruhan BOT TSS pH DO SalinitasSuhu -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -- axis 1 28 -- PO4-P NO2-N NO3-N NH3-N BOD5 Kekeruhan BOT TSS pH DO Salinitas Suhu -0.5 0.5 1 1.5 dicirikan dengan TSS, kekeruhan dan NO 3 -N yang tinggi dengan kandungan DO yang rendah. Stasiun pengamatan ini merupakan daerah pertambakan dan saluran pembuangan outlet yang merupakan tempat terakumulasinya limbah organik. Stasiun II, III, IV,VII,VIII, dan X dicirikan dengan salinitas, pH, PO 4 -P, dan NO 2 Ketiga sumbu utama pertama merepresentasikan 64.94 dari seluruh informasi parameter yang diamati. Hal ini berarti bahwa 64.94 data hasil analisis dapat diterangkan sampai sumbu utama ketiga. Ketiga sumbu utama masing – masing menjelaskan 27.25 F1, 23.35 F2, dan 14.33 F3 dengan nilai akar ciri masing – masing 3.27 F1, 2.80 F2 dan 1.72 F3. Sumbu utama pertama F1 dicirikan TSS, kekeruhan, NO -N yang tinggi, dimana stasiun ini merupakan daerah perairan pesisir 36 b. 3 -N, BOT, dan BOD, sumbu utama kedua F2 dicirikan salinitas, suhu, NO 2 -N, NH 3 -N, dan PO 4 a. -P Gambar 39a. Sedangkan pada sumbu utama ketiga F3 dicirikan pH, suhu, salinitas, dan DO Gambar 40 a b. Gambar 39. a Lingkaran grafik korelasi paramater fisik-kimia perairan pada sumbu 1 dan 2; b Proyeksi stasiun pengamatan pada Sumbu 1 dan 2. a.

Dokumen yang terkait

Dampak Perbaikan Saluran Irigasi Tambak Terhadap Prospek Pengembangan Usaha Budidaya Udang (Kasus di Wilayah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan)

0 5 104

Dampak Perbaikan Saluran Irigasi Tambak Terhadap Prospek Pengembangan Usaha Budidaya Udang (Kasus di Wilayah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan)

0 9 104

Kajian Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Lingkugan Perairan untuk Pengembangan Tambak Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.

0 11 158

Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Sinjai , Sulawesi Selatan

0 37 197

Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan pesisir untuk perencanaan strategis pengembangan tambak udang semi intensif di wilayah pesisir teluk awarange, kabupaten Barru, provinsi Sulawesi Selatan

1 11 213

Analisi dampak kegiatan pertambakan terhadap daya dukung kawasan pesisir (Studi kasus tambak udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan )

0 11 308

Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Sinjai , Sulawesi Selatan

0 8 395

Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan pesisir untuk perencanaan strategis pengembangan tambak udang semi intensif di wilayah pesisir teluk awarange, kabupaten Barru, provinsi Sulawesi Selatan

0 4 203

Kajian Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Lingkugan Perairan untuk Pengembangan Tambak Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

0 6 148

Biodiversitas Makroalga di Pantai Puntondo Kecamatan Mangara’bombang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 128