11 produk pertanian, yaitu kualitas produk, kontinuitas, waktu pengiriman, teknologi,
sumberdaya  manusia,  negara  pesaing  Indonesia,  dan  insentif  investasi.  Apabila pemerintah  dapat  memperbaiki  faktor-faktor  pemicu  dayasaing  tersebut,  maka
komoditas  agribisnis  lokal  dapat  berkembang  dan  bersaing  sehingga  mampu meningkatkan ekspor, memenuhi kebutuhan dalam negeri serta sebagai substitusi
impor. Hasil penelitian Mudjayani 2008 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi  dayasaing  buah-buahan  tropis  Indonesia  adalah  produktivitas  dan nilai ekspor yang berpengaruh positif terhadap dayasaing, sedangkan harga ekspor
dan  dummy  krisis  berpengaruh  negatif  terhadap  dayasaing.  Salah  satu  strategi yang  dikemukan  oleh  Mudjayani  2008  untuk  meningkatkan  dayasaing  buah-
buahan tropis Indonesia adalah dengan meningkatkan kinerja dan volume ekspor buah-buahan  tropis  Indonesia  yang  dapat  meningkatkan  nilai  ekspor  sehingga
dapat  meningkatkan  dayasaing  buah-buahan  tropis  Indonesia.  Hal  senada  juga disampaikan oleh Istiqomah 2008 yang mengungkapkan bahwa dayasaing nenas
Indonesia dapat meningkat melalui peningkatan volume dan nilai ekspornya. Oleh karena itu, menurut penulis peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di
Kota Depok juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja ekspor komoditas tersebut.
2.2  Metode Analisis untuk Mengukur Dayasaing Suatu Komoditas
Ada  banyak  metode  analisis  yang  dapat  digunakan  untuk  menghitung maupun  menilai  dayasaing  suatu  komoditas.  Di  antaranya  adalah  Revealed
Comparative  Advantage RCA,  Berlian  Porter  dan  Policy  Analysis  Matrix
PAM.  Indeks  RCA  digunakan  untuk  mengukur  keunggulan  komparatif  suatu komoditas dan Berlian Porter dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis
keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur  tiga  analisis  sekaligus  yaitu  keuntungan  privat  dan  keuntungan  sosial
atau  ekonomi,  analisis  dayasaing  keunggulan  komparatif  dan  kompetitif  serta analisis  dampak  kebijakan  pemerintah  terhadap  komoditas  yang  sedang  menjadi
fokus penelitian. Mudjayani  2008  dan  Istiqomah  2008  menggunakan  metode  analisis
RCA  untuk  menjelaskan  kekuatan  keunggulan  komparatif  dari  komoditas  yang
12 diteliti.  Mudjayani  2008  mengemukakan  bahwa  buah-buahan  tropis  Indonesia
manggis,  nenas,  pepaya,  dan  pisang  memiliki  keunggulan  komparatif. Sementara  itu,  Istiqomah  2008  mengutarakan  hasil  penelitiannya  bahwa
keunggulan  komparatif  nenas  Indonesia  berada  pada  urutan  kedua  setelah Thailand,  kemudian  diikuti  oleh  Philipina  dan  Singapura.  Selama  tahun  1998-
2004, Indonesia mengalami fluktuasi nilai RCA. Pada tahun 2005, Indonesia tidak memiliki  keunggulan  komparatif  terbukti  dari  nilai  RCA  kurang  dari  satu  yaitu
0,93.  Bahkan  pada  tahun  2006,  Indonesia  tidak  mengekspor  nenas  ke  Malaysia. Rendahnya  nilai  RCA  diduga  terjadi  karena  nenas  Indonesia  kalah  bersaing
dengan Thailand, Philipina dan Singapura baik dalam hal harga maupun kualitas. Selain  itu,  rendahnya  dayasaing  disebabkan  munculnya  pesaing  baru  di  pasar
Malaysia yaitu Philipina yang baru muncul pada tahun 2005 dan Singapura yang muncul  pada  tahun  2006.  Hal  tersebut  juga  membuktikan  bahwa  dengan  adanya
AFTA, Indonesia tidak dapat keuntungan dari diberlakukannya pengurangan tarif, bahkan  Indonesia  menjadi  kalah  bersaing  dengan  negara  pengekspor  nenas
lainnya yang berada di kawasan ASEAN. Penelitian  yang dilakukan oleh  Wibowo 2008,  Hidayat 2009, Pratama
2010,  dan  Feryanto  2010  memiliki  persamaan  dengan  penelitian  yang dilakukan  oleh  penulis  yaitu  pada  metode  analisis  yang  digunakan.  Keempat
penelitian  tersebut  juga  menggunakan  analisis  PAM  dan  analisis  sensitivitas. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pada komoditas
yang  diteliti  dan  pada  skenario  yang  digunakan  pada  saat  melakukan  analisis sensitivitas.  Pada  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Wibowo  2008,  selain
menggunakan  metode  analisis  PAM  juga  menggunakan  analisis  Berlian  Porter untuk menghitung serta melihat keunggulan kompetitif pada dayasaing komoditas
jagung,  sedangkan  penulis  tidak  menggunakan  metode  analisis  tersebut  didalam penelitian  yang dilakukannya. Hal tersebut dikarenakan analisis PAM juga dapat
mengidentifikasi keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif sebagai indikator  dalam  menentukan  tingkat  dayasaing  komoditas  sehingga  tidak  perlu
melakukan  dua  kali  penghitungan  dengan  menggunakan  analisis  Berlian  Porter. Wibowo  2008  mengungkapkan  bahwa  pengusahaan  komoditas  jagung  di  Desa
Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan menguntungkan secara
13 finansial  maupun  ekonomi  serta  memiliki  dayasaing.  Hal  tersebut  terlihat  dari
nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 4.808.446,79 dan Rp  5.151.488,69  serta  nilai  Private  Cost  Ratio  PCR  dan  Domestic  Resources
Cost Ratio DRC lebih kecil dari satu yaitu 0,57 dan 0,55.
Hidayat  2009  mengemukakan  bahwa  pengusahaan  kambing  dengan skala  usaha  80  ekor  maupun  400  ekor  untuk  menghasilkan  susu  kambing  di
Kabupaten Bogor ternyata menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi serta  memiliki  dayasaing.  Hal  tersebut  terlihat  dari  nilai  keuntungan  privat  yang
positif untuk skala usaha 80 ekor dan 400 ekor  yaitu sebesar  Rp 228,16 juta dan Rp 1.061,80 juta per dua tahun serta keuntungan ekonomi yang juga positif yaitu
sebesar Rp 387,72 juta per dua tahun untuk skala usaha 80 ekor dan Rp 2.366,89 juta  per  dua  tahun  untuk  skala  usaha  400  ekor.  Nilai  PCR  dan  DRC  yang
ditunjukkan kurang dari satu yaitu 0,51 dan 0,50 untuk skala usaha 80 ekor serta 0,37 dan 0,30 untuk skala usaha 400 ekor.
Hasil  penelitian  Pratama  2010  menunjukkan  bahwa  pengusahaan  sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar oleh anggota Koperasi Peternak Garut
Selatan KPGS memiliki dayasaing meski dalam kondisi tarif impor susu sebesar nol  persen.  Hal  tersebut  terlihat  dari  nilai  keuntungan  privat  dan  sosial  yang
positif yaitu sebesar Rp 787,9 per liter dan Rp 1.706,5 per liter serta nilai PCR dan DRC  yang  kurang  dari  satu  yaitu  0,54  dan  0,72.  Sementara  itu,  Feryanto  2010
mengungkapkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan produk susu segar di Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan dari hasil penelitian di tiga lokasi,
yaitu Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung dan Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut secara umum
menguntungkan  dan  efisien  secara  finansial  maupun  ekonomi.  Hal  tersebut terlihat  dari  nilai  keuntungan  privat  dan  sosial  yang  positif  serta  nilai  PCR  dan
DRC  kurang  dari  satu  untuk  ketiga  wilayah.  Peternak  di  Kecamatan  Lembang memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 609,90 dan Rp 1.351,60 per
liter  susu  yang  dihasilkan  serta  nilai  PCR  dan  DRC  sebesar  0,79  dan  0,63. Peternak  di  Kecamatan  Pangalengan  memperoleh  keuntungan  privat  dan  sosial
sebesar  Rp  170,80  dan  Rp  930,90  per  liter  susu  yang  dihasilkan  serta  nilai  PCR dan  DRC  sebesar  0,94  dan  0,75.  Sedangkan  peternak  di  Kecamatan  Cikajang
14 memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 304,40 dan Rp 1.541,00 per
liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,89 dan 0,58. Koerdianto  2008  juga  menggunakan  metode  analisis  PAM  untuk
menganalisis  dayasaing  dan  dampak  kebjakan  pemerintah  terhadap  komoditas sayuran unggulan di Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang diteliti adalah
tomat  dan  cabe  merah.  Perhitungan  dengan  metode  PAM  yang  dilakukan  oleh Koerdianto  2008  adalah  perhitungan  untuk  satu  musim  tanam.  Sedangkan,
penulis  melakukan  perhitungan  PAM  multiperiode  times  series  sesuai  dengan umur  ekonomis  tanaman  dalam  menghasilkan  output.  Hal  ini  dilakukan  karena
komoditas yang menjadi fokus penelitian penulis adalah belimbing yang termasuk dalam  tanaman  tahunan  sehingga  diperlukan  perhitungan  PAM  multiperiode.
Hasil penelitian Koerdianto 2008 menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di Kecamatan Ciwidey maupun Lembang memiliki dayasaing. Hal tersebut
ditunjukkan oleh nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 16,089 juta dan Rp 69,869 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat
di Kecamatan Ciwidey, sebesar Rp 18,976 juta dan Rp 67,187 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan  Lembang, sebesar  Rp 29,274
juta dan Rp 37,727 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar Rp 36,194 juta dan Rp 35,575 juta per hektar
per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang. Nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu untuk seluruh usahatani yang diteliti yaitu sebesar
0,65 dan 0,36 untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar 0,63 dan 0,39 untuk  usahatani  tomat  di  Kecamatan  Lembang,  sebesar  0,44  dan  0,41  untuk
usahatani  cabe  merah  di  Kecamatan  Ciwidey,  dan  sebesar  0,45  dan  0,48  untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang.
2.3  Tinjauan Mengenai Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok