13 inventarisasi yang akurat dan kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan
untuk menjamin agar sumberdaya tidak habis. Kawasan yang dilindungi, apabila dirancang dan dikelola secara tepat, akan memberi keuntungan yang lestari bagi
masyarakat. Pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk di sebagian besar kawasan tropika di dunia, yang disertai tingginya kecepatan
pengurasan sumberdaya alam maka kebutuhan pelaksanaan konservasi dirasakan sangat mendesak.
Kegiatan penambangan batubara berpotensi merusak lingkungan seperti penurunan produktifitas tanah dan terjadinya lahan kritis, terjadinya erosi dan
sedimentasi, pencemaran air, penurunan muka air tanah, terganggunya flora dan fauna dan perubahan iklim mikro, sehingga diperlukan upaya pengendalian dan
pemulihan lingkungan pada areal bekas tambang tersebut. Untuk membangun kriteria yang terukur dari keberhasilan proses rehabilitasi dapat diderivasi dari
karakteristik komunitas dan ekosistem sebagai tujuan rehabilitasi lahan bekas tambang Johnson dan Putwain, 1981. Rehabilitasi lahan pasca penambangan
batubara merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari manajemen penambangan secara keseluruhan. Sebagian besar areal penambangan batubara
terdapat di dalam kawasan hutan. Keadaan ini mengandung resiko untuk mengarahkan tujuan rehabilitasi lahan untuk menciptakan ekosistem sesuai
dengan peruntukan kawasan seperti semula atau mendekati kondisi ekosistem hutan sebelum dilakukan penambangan batubara tersebut. Perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan diperlukan untuk mewujudkan tujuan rehabilitasi lahan pasca penambangan Kustiawan, 2000.
2.2. Pasca Tambang Batubara
Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasioperasi produksi,
baik karena berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan
eksploitasioperasi produksi Kepmentamben Nomor 12111995. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM mendefinisikan
pasca tambang adalah berakhirnya seluruh rangkaian kegiatan penggalian dan seluruh kegiatan operasional juga perusahaan berhenti fully closed. Pasca
14 tambang batubara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu areal yang
sudah ditambang dimana kontrak perusahaan bisa sudah selesai atau belum selesai aktivitasnya di kawasan tersebut, sehingga diharapkan tanah yang sudah digali
berupa kolong-kolong sudah dapat direklamasi meskipun kegiatan pertambangan masih berlangsung. Berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena
dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasioperasi produksi menjadi acuan pemahaman pasca tambang batubara.
Batubara merupakan salah satu andalan utama sumber energi alternatif masyarakat Indonesia saat ini, selain minyak dan gas bumi yang sebagian besar
terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Batubara merupakan salah satu sumberdaya mineral yang penting di Indonesia dan termasuk dalam golongan bahan tambang
mineral organik yang dieksploitasi untuk kebutuhan sumber energi dalam negeri dan ekspor Qomariah, 2003. Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat
yang terbentuk dari berbagai tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang berlangsung sangat lama. Proses
pembentukan coalification memerlukan jutaan tahun, mulai dari awal pembentukan yang menghasilkan gambut, lignit, subbituminous, bituminous, dan
akhirnya terbentuk antrasit. Batubara memiliki peran yang cukup besar bagi penyediaan sumber
energi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penghasilan devisa negara. Industri pertambangan batubara di Indonesia diperkirakan akan
terus berkembang. Namun demikian, perkembangannya selalu diiringi dengan masalah lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan penambangan
batubara berpotensi mencemari lingkungan dan sering aspirasikepentingan masyarakat sekitar penambangan kurang diperhatikan oleh penambang maupun
pemerintah. Sebagai akibatnya masyarakat sekitar penambangan sering merasa dirugikan atas dampaknya terhadap kehidupan mereka Suyartono, 2001.
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur menjadi sorotan karena cadangan potensi batubaranya yang sangat menggiurkan, juga karena maraknya
tambang illegal. Produksi batubara Kalimatan Timur tahun 2004 sebesar 69,657 juta ton lebih dan tahun 2005 sebesar 72,989 juta ton lebih. Produksi ini
merupakan hasil penambangan batubara dari perusahaan pemegang ijin Perjanjian
15 Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B sebanyak 17 perusahaan,
dan Kuasa Pertambangan KP sebanyak 130 perusahaan. Sejumlah potensi cadangan batubara yang tersedia di Kalimantan Timur, terdapat penambangan liar
illegal mining di 108 titik, di Samarinda ada 36 titik, di Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri dari Kecamatan Samboja 60 titik dan Kecamatan Sanga-sanga
12 titik, juga terdapat stockpile kapasitas 200 ribu ton illegal, serta di Kecamatan Muara Jawa sebanyak 40.000 ton Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan
Timur, 2005. Kawasan ini merupakan daerah yang sangat strategis untuk tambang illegal karena berdekatan dengan sungai besar dan laut sehingga
memudahkan pengangkutan hasil curian kekayaan alam tersebut. Kegiatan usaha di sektor pertambangan merupakan kegiatan usaha padat
modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan eksploitasi. Resiko yang
dihadapi dalam dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik dan resiko kebijakan. Semua kebijakan yang berkaitan
dengan kegiatan pertambangan, baik langsung maupun tidak langsung, akan sangat mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan di Indonesia. Selain
itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajakiuran tambang harus mampu memberikan
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah. Pengeksploitasian dan pemanfaatan berbagai bahan tambang secara
besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa mekanisme keseimbangan dalam pengeksploitasiannya akan menyebabkan perubahan
ekosistem dan gangguan terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini akhirnya menimbulkan masalah lingkungan, yaitu menurunnya kualitas lingkungan hidup,
produktivitas dan keanekaragaman sumberdaya alam Djajadiningrat, 2001. Kusnoto dan Kusumodirdjo 1995 menjelaskan bahwa kegiatan
pertambangan selain meningkatkan devisa negara, juga berdampak terhadap lingkungan antara lain penurunan produktivitas tanah, terjadinya erosi dan
sedimentasi, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk serta terjadinya perubahan iklim mikro.
16 Oleh sebab itu, diperlukan perhatian yang cukup untuk mencegah
dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh bahan timbunan bekas tambang. Beberapa cara yang biasa dilakukan, diantaranya adalah penggunaan teknik-teknik
khusus seperti penimbunan selektif dan sistem drainase yang baik Gautama dan Muhidin, 1992.
Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan, sebenarnya meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek
lingkungan hidup, tetapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, dan budaya. Tidak sedikit tempat di seluruh dunia terjadi fenomena boom-and-bust,
dimana ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam
sementara ketika perusahaan tambang pergi maka kawasan tersebut berubah menjadi kota-kota mati ghost town, sedangkan upaya pengelolaan lingkungan
dalam operasi pertambangan seharusnya adalah tercapainya suatu kondisi lingkungan yang aman dan stabil yang berlangsung dalam kurun waktu yang
panjang. Keamanan dan kestabilan lingkungan hidup dapat meliputi terjaminnya
suatu kondisi lingkungan yang bebas pencemaran yang dapat mendukung keberlanjutan kehidupan dan ekosistem setempat maupun yang tercakup dalam
wilayah lain yang secara tidak langsung terkena dampak operasi pertambangan itu, oleh karenanya pengelolaan lingkungan hidup, terutama pada periode pasca
operasi pertambangan tidak boleh disimplifikasi hanya sebatas penanaman pohon atau reklamasi saja. Reklamasi lahan bekas tambang batubara menjadi kurang
bermanfaat jika sekadar memenuhi ketentuan yang berlaku tanpa kaidah perencanaan dan penataan yang tepat. Reklamasi merupakan bagian dari
rehabilitasi yang fungsinya untuk beberapan penggunaan sesuai kondisinya. Dampak penambangan terhadap kerusakan ekologi-fisik lingkungan
seperti: tanah, air dan vegetasi adalah merupakan dampak langsung yang akibatnya dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi baik kasat mata
maupun dari uji laboratorium. Pengamatan dari udara terlihat seperti danau-danau raksasa yang warna airnya ada yang hijau lumut, ada kebiru-biruan, dan ada juga
yang berwarna coklat. Bentuk lubang-lubang bekas tambang batubara bentuknya
17 tidak beraturan dan menyebar kemana-mana, vegetasi dan spesies hewan
dikawasan merupakan dua faktor lingkungan penting yang terancam keberdaannya Holec et al. 2006.
Sumberdaya alam tanah dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi karena untuk mendapatkan mendapatkan batubara didalam tanah harus
melalui mekanisme pengelupasan tanah. Vegetasi penutup lahan ditebang sebelum pengelupasan tanah dilakukan, dengan demikian fungsi tanaman sebagai penyerap
air permukaan tidak berlangsung. Hal ini mengakibatkan tanah akan terangkut dari satu tempat ke tempat lainnya yang disebut dengan erosi. Kerusakan tanah
juga terjadi karena pada saat pengelupasan tanah dalam proses penambangan. Lapisan tanah atas top soil yang kaya unsur hara ditumpuk pada suatu tempat,
dan pada akhirnya oleh hujan atau angin mengalami pengurangan unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Tanah yang bertekstur baik sebagai media tumbuh liat
pada akhirnya terbawa oleh air ketempat lain yang peruntukkannya tidak spesifik lagi. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sitorus 2003 bahwa kerusakan tanah
dapat terjadi oleh: 1 Kehilangan unsur hara dan dan bahan organik dari daerah perakaran, 2 Proses salinisasi, 3 Penjenuhan tanah oleh air waterlogging dan
4 Erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan
berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan atau menghasilkan barang atau jasa Foth, 1998 dan Arsyad, 2000. Masalah
kerusakan tanah oleh erosi di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara sungguh-sungguh Sinukaban, 1983.
Menurut Situmorang 1999 degradasi lahan didefinisikan sebagai fenomena hilangnya dan berkurangnya manfaat atau potensi dari suatu lahan.
Hilangnya atau berubahnya suatu komposisi flora dan fauna yang tidak digantikan terjadi pada lahan yang terdegradasikan. Terdapat dua kategori proses degradasi
tanah, yakni : 1 berkaitan dengan pemindahan bahan atau materi tanah erosi oleh air atau angin, dan 2 menurunnya kondisi tanah tersebut proses degradasi
beberapa sifat fisik dan kimia. Menurut Soemarwoto 2003 lingkungan hidup di Indonesia mengalami degradasi terus menerus. Penyebab alamiah kerusakan
18 lingkungan hidup juga banyak bersumber pada kelakuan manusia yang tidak
ramah lingkungan. Sitorus 2003 mengartikan degradasi tanah adalah proses hilangnya atau
berkurangnya kegunaan utility atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan atau perubahan kenampakan features tanah yang tidak dapat diganti. Degradasi tanah
adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan FAO, 1993. Degradasi tanah
memerlukan rehabilitasi yang pilihannya dapat direklamasi untuk keperluan beberapa penggunaan, dan bisa juga direstorasi untuk dikembalikan ke bentuk
penggunaan awal. Kerusakan lahan yang selama ini sering diangkat ke permukaan lebih
banyak yang disebabkan penebangan liar dan kebakaran, dan jarang sekali karena pertambangan padahal pembukaan lahan untuk kepentingan eksplorasi bahan
tambang sebenarnya lebih parah keadaannya dan akan lebih banyak memerlukan teknik dan biaya dalam rehabilitasinya Rustam, 2003.
Salah satu limbah tambang menurut Saptaningrum 2001 adalah lapisan penutup yang digali dan dipindahkan pada kegiatan pertambangan.
Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa: penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya
longsoran tanah, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk juga perubahan iklim mikro.
Kekurangan hara merupakan pembatas untuk pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang. Menurut Power et al. 1977 dan Djalaluddin 1989 pada
tanah bekas tambang tidak tersedia fospor P untuk tanaman dan ini dapat diperbaiki dengan pemberian 56-112 kg pupuk P per ha yang diberikan sebelum
penanaman. Ketersediaan hara N pada tanah gusuran tambang batubara umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang
relatif tinggi, namun tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi Hons dan Hossner, 1980.
19
2.3. Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara