Sikap Sportif Sportiveness Kesetaraan Equality

sakit sebentar…” justru akan menenangkan pasien karena pasien merasa tidak sendirian dalam merasakan sakit. Ada orang lain yang perduli.

d. Sikap Sportif Sportiveness

Hasil penelitian tentang sikap sportif sebagai indikator efektivitas komunikasi ditemukan 57.0 responden menyatakan kadang-kadang berusaha mendorong pasien untuk senantiasa patuh minum obat demi kesembuhan penyakitnya. Sesuai penelitian Rosidah 2004 menemukan kompetensi komunikasi mempunyai hubungan positif dengan kinerja karyawan. Apabila kompetensi komunikasi mengalami kenaikan maka tingkat kinerja karyawan juga mengalami kenaikan. Dokter diharapkan mau menunjukkan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan. Tidak boleh seorang dokter selalu menyanggah apapun yang sampaikan pasiennya, sesederhana bahkan seaneh apapun pesan yang disampaikan, karena mungkin menurut pasien, pesan itu merupakan gagasan hebat. Dengan demikian pasien akan lebih berani menyampaikan pesannya, bukan kemudian menyimpannya dalam hati dan menyampaikannya, bahkan mengadukan pada orang lain.

e. Kesetaraan Equality

Hasil penelitian tentang kesetaraan sebagai indikator efektivitas komunikasi ditemukan 51.9 responden menyatakan kadang-kadang berupaya membagi waktu untuk berkomunikasi dengan setiap pasien meskipun ada pasien lain yang lebih membutuhkan. Yang dimaksud dengan kesamaan kesetaraan adalah bahwa diantara dokter dan pasien tidak boleh ada ‘kedudukan’ yang sangat berbeda seperti misalnya Universitas Sumatera Utara dokter yang menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. Walaupun dalam relasi ini dokter diakui lebih tahu dan lebih bisa, dia tidak boleh lalu memperlakukan pasiennya hanya sebagai objek yang ‘bodoh’ dan tidak boleh berpendapat atau bahkan bertanya. Lebih lagi pasien tidak boleh diperlakukan sebagai benda mati yang tidak pernah ditanyai kabar atau kesiapannya menjalani pemeriksaan penanganan pengobatan. Jika memungkinkan, pasien sebaiknya merasa bahwa dokternya adalah teman, bukan orang asing yang tidak boleh ditanyai apapun. Kebiasaan umum yang sudah berjalan lama sekali memang sulit diubah. Hubungan dokter dengan pasien seolah memang ‘ditakdirkan’ seperti itu. Garis antara dokter sebagai penentu, pengambil keputusan, dan pasien sebagai ‘objek penderita’ digambar dengan sangat tebal, hampir menyerupai dinding yang tidak bisa dirobohkan. Nyaris tidak pernah terjadi komunikasi yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah kalimat pendek, atau bahkan hanya kata yang dianggap perlu saja. Masing- masing memperlakukan lawannyasebagai mahluk asing bahkan dalam topik seminar ini kata dengan diganti menjadi versus yang artinya lawan. Namun, buruknya kualitas komunikasi antara dokter dan pasien tidak bisa lagi dibiarkan atau tidak diperdulikan oleh dokter yang diharapkan dapat mengambil inisiatif sebagai pihak yang ‘berkompeten’ dalam hubungan dokter dengan pasien. Ini berarti bahwa dokter yang harus belajar lebih dahulu untuk mampu berkomunikasi secara efektif, sesibuk apapun sang dokter dalam menjalankan profesinya. Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan Universitas Sumatera Utara batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu otonomi, beneficence, nonmaleficence, dan justice, yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity, fidelity, privacy, dan confidentiality sebagai prinsip turunannya. Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral orang barat saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual sekitar tahun 1972 - 1975. Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch dalam Sampurna, dkk 2005 mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Menurut Samil 2001 dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi seblum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai resultaat verbintennis melainkan upayanya yang sungguh-sungguh inspanning verbintennis. Universitas Sumatera Utara Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Oleh karena itu sejak sebelum Masehi telah ada Code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan Code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannyakelalaiannya. Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton dalam Samil 2001 lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan followed the rules. Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy. compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan lainnya yang merupakan bagian dari virtue-based ethics etika berdasar nilai kebajikan keutamaan. Pada hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip otonomi. Universitas Sumatera Utara Syarat komunikasi interpersonal yang baik adalah a good listener :mendengarkan orang lain untuk memberi kesempatan mereka mengungkapkan ide atau pemikiran, b intonasi : beri irama dalam setiap ucapan sehingga kata – kata mampu diserap dan dicerna oleh pendengar, c empati : memperhatikan respon emosi orang lain, jangan terlalu banyak humor jika lawan bicara sedang sedih atau sebaliknya, d humor : menyegarkan hubungan dengan sebuah suasana yang fresh dan tidak terkesan formal, e positioning : menguasai posisi dimana harus berdiri, kapan harus mendekat, kapan harus menjauh, membuat perubahan posisi di depan, ditengah maupun dibelakang, f volume suara : ucapan yang dikeluarkan mampu didengarkan oleh orang-orang dalam massa tersebut, g bahasa tubuh : jangan terlalu banyak mengekplorasi bahasa tubuh yang tidak perlu, h motivasi : gunakan kata- kata atau bahasa yang inspiratif maupun membangkitkan motivasi, bahkan dalam suasana belajar mengajar sekalipun, memotivasi orang lain sekalipun merupakan sebuah hal perlu dipertimbangkan. Ada 4 model komunikasi antara dokter-pasien, yaitu : 1. Model of activity - passivity Relationship Model pertama, dapat diibaratkan seperti komunikasi antara orang tua dengan anak kecil atau anak balita, dimana dokter bertindak sebagai orang tua yang aktif memerintah ini itu, dan pasien sebagai anak kecil yang hanya menurut dan tidak dapat mengungkapkan berbagai keluhan rasa sakit yang dia rasakan dan menyebabkan dia berobat ke dokter. Universitas Sumatera Utara 2. Model of Guidance - cooperation Relationship Model kedua, diibaratkan seperti komunikasi antara orang tua dengan anak yang sudah beranjak dewasa. orang tua tetap penentu kebijakan tunggal, namun bersifat arahan bukan perintah. 3. Model of Mutual - Participation Relationship Model ketiga, ibarat dua orang yang bekerjasama. saling melengkapi satu sama lain. Dokter bukanlah satu-satunya pihak aktif, karena pasien juga aktif dalam menyampaikan berbagai hal yang ingin dia ungkapkan kepada dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya. 4. Model of Provider - Consumer Relationship Model yang keempat, pasien diibaratkan sebagai konsumen. dimana “konsumen adalah raja” dan dokter adalah pelayan. jadi tugas dokter adalah memberikan pelayanan terbaiknya untuk si konsumen. Model yang disarankan untuk diterapkan dalam komunikasi kesehatan tentunya model ketiga dan keempat. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, karena berbagai survei sudah membuktikan bahwa sebenarnya salah satu faktor penting yang menentukan kesembuhan pasien adalah sikap positif yang ditunjukkan oleh sang dokter dalam berkomunikasi dengan sang pasien. Universitas Sumatera Utara

5.4 Hasil Wawancara dengan Pasien tentang Efektivitas Komunikasi di RSUP H. Adam Malik Medan